Rabu, 24 Agustus 2016

TRADISI ”TAIQ LAUQ” DI KALANGAN MASYARAKAT ADAT WET SESAIT KUNO

Oleh : Eko Sekiadim

Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan bagi masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan sang penciptanya.

Menurut Pembekel Adat Sesait Masidep mengatakan, adat sering dipertentangkan dengan agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa transisi dari istilah ”gama telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam). Justeru agama mengakui keberadaan adat sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan beragama.

Dikatakan Masidep, umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas adat wet Sesait, dikenal istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum adat sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama, ”jelasnya.

Dengan istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya, perintah-perintah agama harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan  dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat adat wet Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara ruwah tanaman, upacara kelahiran, upacara kematian, upacara ngurisan, upacara sunatan, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat, perayaan adat Taeq Daya dan Taeq Lauq dan lain-lain.

Pada zaman dahulu secara turun-temurun sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait, upacara-upacara adat tradisi lokal yang sering di lakukan masyarakat adat wet Sesait adalah seperti upacara Mempayone Gunung Kenawan, mempayone Lande, mempayone Semboya dan mempayone Gunung Gedeng (taek lauq). Tetapi sejalan dengan datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait tahun 1966, segala bentuk ritual adat yang bertentangan dengan ajaran Islam di hentikan atau di larang.
Maka sejak tahun 1966 segala bentuk ritual tersebut di larang untuk dilakukan. Kecuali ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap dilakukan, bahkan hingga kini ritual tersebut masih dilestarikan, seperti ziarah ke makam penyebar agama Islam di Sesait yang di kenal dengan sebutan ’Kubur Beleq’ (Kanjeng Pangeran Syech Sayid Saleh Pedaleman Sangapati), ziarah ke makam Sesait di Bayan (Datu Bayan = Pangeran Sayid Anom) dan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang dilaksanakan secara adat di Sesait.

Upacara adat Taeq Lauq (upacara pemujaan) yang pernah dilaksanakan oleh masyarakat adat Sesait Lama ke Gunung Gedeng (Gunung Khayangan) yang letaknya sekitar 2 km kearah barat dari Kantor Desa Kayangan sekarang, sebelum tahun 1966 kebawah, itu para pemujanya masih memeluk Islam Wettu Telu.

Gunung Khayangan, dulunya ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan setiap bulan lima sekali dalam setahun dengan membawa sesajian dan membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional berupa gong dua yang jumlahnya tidak kurang dari 10 s/d 15 grup kesenian.

Acara pemujaan yang di kenal dengan upacara Taeq Lauq ke Gunung Khayangan tersebut adalah untuk mempayone petilasan Panji Mas Kolo yang ada di puncaknya. Acara pemujaannya pun dilaksanakan mulai sore hari sekitar pukul 15,00 hingga pukul 05,00 pagi keesokan harinya.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk sekedar mengulas kilas balik dari prosesi adat ”Taek Lauq” yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait Lama sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam ke gumi paer Sesait tahun 1966 silam.
Menurut Inaq Ijin (76) salah seorang tokoh keturunan Mangku Gedeng yang kini tinggal di Lokok Tujan Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU menuturkan terkait rangkaian prosesi ritual upacara adat ”Taek Lauq” hingga akhir pelaksanaannya.
Di tuturkannya, ritual adat taek lauq yang secara turun-temurun dilakukan purusanya dari sejak zaman ireng (zaman kegelapan) adalah salah satu sarana untuk memohon kepada yang kuasa atas penomena alam, seperti musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga hal ini sangat merugikan bagi  masyarakat yang pada saat itu membutuhkan air hujan untuk segala kebutuhan hidup. Karena satu-satunya yang diharapkan pada saat itu adalah hanya air hujan. Belum ada air irigasi seperti yang ada sekarang ini.

Maka untuk mengatasi hal tersebut, sebagai yang bertanggung jawab untuk semua itu adalah Mangku Gedeng. Melihat kejadian ini, lalu para Mangku Gedeng pada jamannya seperti (Papuk Nanom, Papuk Jumedah, Puk Narek) tidak tinggal diam, bagaimana mengatasi permasalahan yang di hadapi masyarakatnya kala itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, selaku Mangku Gedeng pada masa di jabat oleh Papuk Nanom (abad 18 M), Papuk Jumedah (abad 19 M), Papuk Narek (abad 20) dan Puk Surya (abad 21), pertama yang dilakukannya adalah mengadakan rapat (sangkep) dengan ”Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Jintaka dan Penghulu) ” bagaimana langkah-langkah mengatasi yang sedang menimpa masyarakat gumi paer Sesait Kuno kala itu. Oleh Tau Lokaq Empat bersama Mangku Gedeng sepakat untuk menggelar upacara  adat ”Taeq Lauq” ke Montong Gedeng (gunung Khayangan yang sekarang), dimana di Montong Gedeng ini terdapat petilasan seorang tokoh spiritual bernama Panji Mas Kolo yang mengaku saudara kandung dari Datu Bayan.
Diceritakan Inaq Ijin, setelah sepakat untuk menggelar upacara adat Taeq Lauq tersebut dan ketika sudah tiba waktunya, maka  pelaksanaannya pun segera di gelar selama 3 hari 2 malam, yaitu setiap tanggal 12,13 dan 14 Syawal tiap tahun. Namun sebelum pelaksanaan itu di gelar, Mangku Gedeng di bantu oleh para pelingsirnya melakukan berbagai persiapan, seperti melakukan bersih-bersih dilokasi sekitar petilasan Panji Mas Kolo yang dijadikan tempat ritual nantinya termasuk membuat berugak saka empat disekitar petilasan.
Adapun segala persiapan untuk perabotan kayu Salinguru, tales diambil dari pawang adat utara Sesait, termasuk atap berugak yang terbuat dari Santek dilapisi Ijuk (dibuat di Karang Lande Lokok Rangan yang sekarang) pun dipersiapkan. Itulah sebabnya pada zaman dahulu, juga pernah di adakan ritual ”Mempayone Lande”, tetapi sekarang sudah menjadi perkampungan Karang Lande Lokok Rangan.
Pada hari pertama ritual ”Taeq Lauq” yaitu pada tanggal 12 Syawal, gong dua di turunkan dari peraduannya (dari rumah adat Mangku Gedeng Papuk Jumedah). Setelah itu barulah masyarakat adat wet Sesait berdatangan untuk merembun ke rumah Mangku Gedeng yang dulu terletak di utara Mesjid Kuno Sesait. Sementara tari-tarian pun terus berlangsung tanpa henti mengiringi ritual merembun tersebut hingga malam hari.
   Inaq Ijin dan Petilasan Panji Mas Kolo
Keesokan harinya yaitu tanggal 13 Syawal, Mangku Gedeng ”Tun Melauk” (turun ke Montong Gedeng duluan). Dalam perjalanan Mangku Gedeng ini pun tidak boleh ada orang yang mengetahui, termasuk tidak boleh berbicara, jika dia makan tidak boleh mengajak orang berbicara, tidak boleh bertemu dengan praja Taeq Lauq. Hal ini dimaksudkan agar segala bangsa hewan dan unggas tidak buas. ”Pokoknya tidak boleh ngomong kepada siapa saja alias diam seribu bahasa,”jelas Inak Ijin dengan mimik serius.
Kemudian pada hari ketiga yaitu puncaknya tanggal 14 syawal, masyarakat wet Sesait Kuno mulai berdatangan ke Sesait dengan membawa segala macam kelengkapan sajian makanan yang di kemas di atas dulang adat, termasuk gong gambelan (gong dua) dari segala penjuru pun di datangkan untuk mengiringi. Termasuk mempersiapkan para gadis untuk dirias sebagai Praja Taek Lauq. Masing-masing kampung kala itu pun mengeluarkan seorang gadis untuk dijadikan praja. Sehingga nyaris masyarakat dari berbagai kampung yang mengikuti pemujaan itu beradu dan berlomba saling memperebutkan praja dari kampung manakah yang paling cantik. Sambil melakukan tari-tarian bebas dan lepas.
Setelah semuanya telah siap, maka iring-iringan pun di gelar dengan posisi praja Taeq Lauq berada paling depan diapit dan di iringi para pelingsir adat, dibelakangnya diikuti oleh para pengiring pasukan tombak muda-mudi, lalu di belakangnya barisan pembawa dulang saji adat, baru kemudian di belakangnya lagi diiringi gong dua dan gong gambelan lainnya. Setelah itu baru diikuti oleh masyarakat umum.
Perjalanan ritual Taeq Lauq menuju Montong Gedeng  pun di lakukan pada sore hari sekitar pukul 15,00  waktu setempat dan menyusuri hutan belantara (pawang adat pedewak Sesait). Tiba di kaki Montong Gedeng sebelah selatan menjelang Maghrib.
Lalu di lanjutkan dengan ritual  penyembelihan kerbau berbulu putih yang belum dewasa. Penyembelihan ini pun dilakukan di kaki Montong Gedeng sebelah selatan. Ritual ini pun terus di iringi tari-tarian bebas dan lepas oleh penari-penari yang terpilih dan memang sudah disiapkan sebelumnya. Kemudian pada pukul 18,00-20,00 acara istirahat sambil mempersiapkan acara selanjutnya.
Ketika segala sesuatunya sudah siap,  sajiannya lalu di bawa naik ke atas dimana petilasan Panji Mas Kolo berada dengan di iringi gong dua. Sementara masyarakat pengiring termasuk praja Taeq Lauq dan gong gamelan lainnya tetap tinggal di bawah (selatan Montong Gedeng). Tari-tarian pun terus berlangsung hingga Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas.  Tari-tarian dengan di iringi gong dua ini bisa berlangsung hingga pajar menyingsing.  Namun yang perlu di ingat pada ritual pemujaan yang melibatkan kaum hawa sebagai penari bebas itu pun tidak boleh bercampur dengan kaum laki-laki dalam melakukan tarian bebas itu. Karena Puncak acara dari pemujaan Taeq Lauq itu adalah tidak bercampurnya kaum laki-laki dan kaum wanita dalam melakukan tari-tarian bebas dan lepas tersebut. Hal itu, karena disamping mereka yang menari itu merasa mendapat penghargaan, juga merupakan pelepas lelah setelah setahun bekerja dan berkarya.
Setelah Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas,  maka Mangku Gedeng pun turun diringi gong dua dan di sambut oleh Praja Taek Lauq, para pelingsir adat, gong gamelan lainnya serta masyarakat kebanyakan yang sejak sorenya menunggu.
Sambil bersorak sorai kegirangan yang tak terbendung dari masyarakat menyambut turunnya Mangku Gedeng yang telah selesai melaksanakan tugasnya. Tari-tarian pun terus di gelar hingga tiba waktunya untuk berangkat pulang kembali ke rumah sesuai dengan asal masing-masing, yang dari Sesait kembali ke Sesait, yang dari Luk kembali ke Luk, dari Kelongkong kembali ke Kelongkong, dari Rempek kembali ke Rempek dan lain sebagainya. Iring-iringan pulang pun berlangsung penuh kegirangan sambil terus menari.
Seluruh rombongan yang ikut ambil bagian dalam ritual Taek Lauq ini, ketika kembali  dan sebelum memasuki pintu gerbang masuk ke kampung Sesait, maka oleh Tau Lokak Empat, mereka di sembek terlebih dahulu baru boleh masuk di tanah Sesait. Hal ini dilakukan karena ritual yang dilakukan pada jaman itu, di anggap keluar dari aqidah ajaran Islam.
Setelah tahun 1966, kegiatan pemujaan ke Gunung Khayangan itu sudah tidak kelihatan lagi. Namun sisa-sisa keturunan Mangku Gedeng yang hingga kini masih hidup, tetap melakukannya walau hanya sebatas ruwah biasa.(#)

GUNUNG KAYANGAN MINIATUR BOROBUDUR LOMBOK UTARA

Oleh : Eko Sekiadim

 Kabupaten Lombok Utara (KLU) dengan semboyan Tioq Tata Tunaq banyak memiliki tradisi lama yang masih kuat dipegang masyarakat penganutnya hingga saat ini.

Montong Gedeng yang kerap dijadikan sebagai lokasi tujuan pelaksanaan ritual adat oleh masyarakat penganutnya pada jaman dulu, kini keadaannya banyak ditumbuhi tanaman liar yang mengering. Meski sekilas tak ada yang tampak istimewa, keberadaannya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah di timur bumi Tioq Tata Tunaq.

Nilai-nilai peninggalan nenek moyang berupa ritual adat masih berpengaruh kuat sebagai pola hidup masyarakatnya. Seperti ritual buka tanah sebelum mulai membuka areal untuk pola tanam. Ritual adat ini diwariskan nenek moyang masyarakat wet  (gontoran) Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
Sebelum memulai pola tanam masyarakat wet (gontoran) Sesait  selalu menggelar perayaan adat yang jatuh pada tiap bulan lima setiap tahun. Perayaan rutin ini diperingati secara turun-temurun oleh masyarakat adat wet (gontoran) Sesait dan dikenal dengan  Perayaan Adat Taiq Daya dan  Taiq Lauq.

Taiq Daya dilakukan masyarakat komunitas adat Santong Asli. Prosesi ritualnya dilakukan dengan naik ke Bale Penginjakan di Pawang Semboya yang terletak di lereng utara gunung Rinjani. Waktu pelaksanaannya setelah pagelaran ritual Taiq Lauq. Sementara Taiq Lauq dilaksanakan mengenang sejarah nenek moyang masyarakat adat Sesait yang kala itu naik ke Montong Gedeng untuk melaksanakan ritualnya. Montong Gedeng itu sendiri tidak lain adalah Gunung Kayangan saat ini, terletak sekitar 200 meter ke arah timur  Kampung Cangkring Dusun Sidutan Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
    

Menurut tokoh adat Wet Sesait, Djekat, menuturkan berdasarkan sejarah perayaan adat Taeq Daya maupun Taeq Lauq, asal-muasal perayaan ini berawal dari kebiasaan orang tua Sesait lama yang dikenal dengan sebutan Tau Lokaq Empat, yang terdiri dari Penghulu, Pemusungan, Mangkubumi, dan Jintaka.
Dikatakan, kebiasaan para sesepuh Sesait lama kala itu, sebelum melaksanakan suatu kegiatan yang berlaku menyeluruh bagi masyarakatnya, mereka selalu menggelar sangkep atau musyawarah di Bale Adat yang berada di lereng selatan Montong Gedeng. Hal-hal yang biasanya dibicarakan adalah terkait waktu dimulainya membuka tanah dan waktu dimulainya musim pola tanam. Itulah sebabnya, sebut Djekat, warga Sesait lama tidak akan berani memulai pelaksanaan pola tanam sebelum Tau Lokaq Empat selesai menggelar rapat tersebut. Pasalnya, mereka patuh dan taat pada aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun. “Jadi, orang Sesait lama sejak jaman dulu sudah mengenal yang namanya aturan pola tanam,” kata Djekat.
Djekat menyebut, kegiatan ritual adat yang digelar setiap bulan lima tiap tahun tersebut adalah sebagai bentuk revitalisasi ritual adat yang memang pernah dilakukan oleh masyarakat Sesait lama pada jamannya. Namun semenjak tahun 1966 ritual adat ini hilang atau praktis tidak dilakukan oleh warga. Pasalnya, pada saat itu  terjadi perombakan ajaran Islam dari wettu telu ke ajaran Islam waktu lima. Karena pada saat itu penduduk Sesait lama dan sekitarnya masih menganut Islam Wettu Telu. “Jadi sudah 50 tahun silam ritual Taiq Lauq tersebut tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sesait lama,”jelasnya.

Pada zaman dahulu dibawah tahun 1965, Montong Gedeng atau gunung Khayangan ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan kepada para Dewa yang bersemayam di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat Sesait Lama, bahwa di gunung Khayangan tersebut di yakini sebagai tempat petilasan Panji Mas Kolo. Itulah sebabnya, setiap tahun sebelum tahun 1965 kebawah, tempat itu ramai di kunjungi oleh masyarakat penganutnya untuk Ngaturang Ulak Kaya.

Pada saat acara Ngaturang Ulak Kaya (terkenal dengan sebutan “Taeq Lauq”)  itu, masyarakat penganutnya membawa makanan, sesaji dan Praja Taeq Lauq (para gadis yang di rias layaknya pengantin) sambil membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional rakyat yang jumlahnya tidak kurang dari 10 hingga 15 grup.

Praktis sejak tahun 1966 acara pemujaan di Gunung Khayangan itu sudah tidak kedengaran lagi, tinggal Gunung Khyangan yang masih tetap utuh tegak berdiri yang merupakan peninggalan bersejarah bagi Desa Kayangan, sehingga namanya diabadikan sebagai lambang dan nama Desa Kayangan saat ini.


Sehingga perayaan adat yang dilakukan masyarakat Sesait - Kayangan ke Montong Gedeng itu adalah untuk mengajak masyarakat setempat merevitalisasi kembali ritual adat yang sejak puluhan tahun silam tidak pernah lagi dilakukan oleh masyarakat penganutnya (Sesait lama). “Setidak-tidaknya itu sebagai bentuk upaya generasi penerus untuk  menghargai apa yang telah dan pernah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Sesait lama pada jamannya dulu. Spirit atau semangatnya itulah yang perlu kita revitalisasi oleh kita sebagai generasi penerusnya,”tandas Djekat.

Sebagai destinasi daerah tujuan wisata, maka Montong Gedeng yang dikenal sebagai Gunung Kayangan saat ini, kedepannya akan ditata dan dibangun menyerupai sebuah candi yang mirip dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Sehingga tidak heran, oleh sosok tokoh adat Sesait yang juga politisi di DPRD KLU ini memiliki impian besar agar Montong Gedeng (Gunung Kayangan) tersebut, bisa kembali diangkat. Djekat pun berhajat ingin menata Montong Gedeng agar ke depannya lebih menarik dan sangat potensial untuk dikembangkan.


”Saya menganggap dan berkeinginan besar agar kedepannya kawasan Montong Gedeng ini dapat dijadikan sebagai  Miniatur Borobudurnya Kabupaten Lombok Utara. Karena memiliki nilai historis yang tinggi, khususnya bagi warga Kayangan dan sekitarnya,” tandas Djekat.@

Selasa, 09 Agustus 2016

MENGENAL SOSOK SYECH SAYID SALEH PEDALEMAN SANGAPATI


                    “Wali Penyebar Agama Islam Pertama di Gumi Paer Sesait”

Oleh : Eko Sekiadim

Berawal dari sebuah kampung kecil pada Pertengahan abad 14 M, terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer Sesait kala itu, masyarakat kampung tersebut sudah memiliki keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima (dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki faham dan keyakinan yang sangat kuat. Setelah kedatangan para Wali Allah (para penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut, maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu. 


Menurut Djekat, salah seorang tokoh adat Sesait mengatakan, pada sekitar abad 14 M, Sesait dijadikan sebagai Pusat Penyebaran Islam dan Pusat Pemerintahan Pertama diwilayah kekuasaan Sesait, karena berdasarkan atas keputusan para wali di Jawa, bahwa wali yang pertama menginjakkan kakinya di gumi paer Sasait adalah Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman, berasal dari Makkah Al-Mukarramah, dan Kanjeng Said Rahmad atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Bapuk Rahmad. 
 
Kedua wali tersebut secara bersamaan datang ke kampung tersebut. Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka pun sepakat, siapa yang tetap tinggal dan siapa yang akan melanjutkan perjalanan. 
 
Sejarah mencatat, bahwa yang tetap tinggal di Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Pangeran Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati atau lebih dikenal dengan nama Melsey Jaya. Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya. Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makam beliau masih terpelihara hingga saat ini, yang oleh masyarakat Sesait di sebutnya “Makam Kubur Beleq”. 
 
Kanjeng Sayid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa Dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Sayid Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam di tanah Sesait tersebut, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si Sayid menjadi Sesait. 
 
Disebutkan, adapun peninggalan – peninggalan serta ajaran –ajaran Sayid Rahmat yang hingga kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) diantaranya, Kitab Suci Al Qur’an Cetakan Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Sholawatan yang di tulis tangan oleh beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati pohon Pisang. Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana metode yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan adat - istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. “Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai,”tandas Djekat.( eko)

                                                                    (Pernah terbit di Seputar NTB, Minggu Ke-3 Juli 2015)

MAKAM KUBUR BELEQ, MAKAM SYECH SAYID SALEH PEDALEMAN SANGAPATI


Ketika menyebut makam Kubur Beleq, sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Sesait -Kayangan. Mengingat perjalanan panjang sejarah penyebaran Islam di Sesait, sangat erat kaitannya dengan keberadaan makam ini. Tidak sedikit mitos yang melingkari keberadaan makam Kubur Beleq, sosok ulama yang dikabarkan sebagai mubaligh berasal dari Bagdad ini, menyebarkan Islam sampai ke tanah Sesait, sekitar awal abad ke 14 M. Oleh masyarakat komunitas Sesait – Kayangan dikenal dengan sebutan Kubur Beleq. Pada momen hari-hari raya/hari lebaran hingga lebaran topat setiap tahun, makamnya banyak dikunjungi warga dari berbagai wilayah di Lombok untuk berziarah. Salah seorang tokoh Sesait Djekat menyebutkan, ulama yang berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Sesait adalah Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati dari Bagdadh. Peranannya dalam penyebaran Islam amat besar di masyarakat Sesait zaman dulu, sehingga makamnya memiliki makna spiritual yang luar biasa.

Makam Kubur Beleq dikalangan masyarakat Sesait-Kayangan dikenal juga dengan sebutan makam Titik Pati. Makam ini terletak sekitar 300 meter ke arah utara Dusun Sesait Desa Sesait Kecamatan Kayangan Lombok Utara. Untuk sampai ke tempat makam ini, tidak harus menguras tenaga dalam jumlah yang besar. Cukup jalan kaki beberapa menit, sudah sampai di lokasi. Begitu tiba di lokasi, kita akan singgah dulu di makam Titik Pati yang lokasinya persis di dekat pintu masuk.

Para peziarah yang akan melakukan ziarah ke makam Kubur Beleq, terlebih dahulu harus melakukan zikir di makam Titik Pati ini. Pasalnya diyakini makam ini merupakan makam ayahanda dari Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati. Jadi, sebelum ziarah ke makam Kanjeng, harus ke makam ayahandanya terlebih dahulu untuk meminta ijin berziarah ke makam tersebut. ”Makam Titik Pati ini diyakini oleh masyarakat adat Sesait sebagai makam para penyebar Islam di tanah Sesait yang pertama kali menganut Islam, tetapi belum bersunnat,”jelas pembekel adat Sesait Masidep. Dijelaskannya, setelah selesai zikir/minta ijin di makam Titik Pati, lalu dilanjutkan ke makam Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati, yang lokasinya hanya beberapa meter saja.

Di sekeliling makam Kubur Beleq tersebut terdapat empat makam kecil-kecil, yang oleh warga setempat diyakini sebagai makam para pendampingnya. Keempat makam tersebut tiada lain adalah makam Mahapatih/panglima perang yang selalu mendampingi dan membantunya dalam penyebaran Islam di seantero gumi Sesait. Keempat patih itu antara lain, Daman, Jumanah, Rafikah dan Rafi’ah. Selama masa hayatnya, sang Syech mendedikasikan dirinya untuk menyeru masyarakat Sesait agar menganut Islam, sehingga peran para patih ini vital dalam membantu penyebaran syiar ajaran Islam kala itu. Namun demikian, karena situasi dan kondisi saat itu yang tidak begitu memungkinkan sehingga para ulama ini dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah setempat tidak maksimal. Terbukti, mereka tidak optimal memberikan pencerahan kepada warga setempat. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan tak optimalnya penyebaran syiar Islam kala itu karena sang ulama telah terlebih dahulu mangkat. Dampaknya, sinkretisme (paham agama yang melibatkan unsur tahayul) dan animisme, bercampur aduk dengan ajaran yang diajarkan. (eko).
                                                         (Pernah terbit di Radar Lombok, Rabu, 01/07/2015)