Oleh : Eko Sekiadim
Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan
bagi masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga
sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia dengan alam
sekitar dan manusia dengan sang penciptanya.
Menurut Pembekel Adat Sesait Masidep mengatakan, adat sering
dipertentangkan dengan agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa transisi
dari istilah ”gama telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam).
Justeru agama mengakui keberadaan adat sebagai bentuk pengejawantahan dari
keyakinan beragama.
Dikatakan Masidep, umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas
adat wet Sesait, dikenal istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan
agama. ”Hukum adat sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, ”jelasnya.
Dengan istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya,
perintah-perintah agama harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat adat wet Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir
gama dengan senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat
Sesait, seperti upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran,
upacara ruwah tanaman, upacara kelahiran, upacara kematian, upacara ngurisan, upacara
sunatan, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat, perayaan adat Taeq Daya
dan Taeq Lauq dan lain-lain.
Pada zaman dahulu secara turun-temurun sebelum datangnya pergerakan
penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait, upacara-upacara adat tradisi
lokal yang sering di lakukan masyarakat adat wet Sesait adalah seperti upacara
Mempayone Gunung Kenawan, mempayone Lande, mempayone Semboya dan mempayone
Gunung Gedeng (taek lauq). Tetapi sejalan dengan datangnya pergerakan
penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait tahun 1966, segala bentuk ritual
adat yang bertentangan dengan ajaran Islam di hentikan atau di larang.
Maka sejak tahun 1966 segala bentuk ritual tersebut di larang untuk
dilakukan. Kecuali ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam
tetap dilakukan, bahkan hingga kini ritual tersebut masih dilestarikan, seperti
ziarah ke makam penyebar agama Islam di Sesait yang di kenal dengan sebutan
’Kubur Beleq’ (Kanjeng Pangeran Syech Sayid Saleh Pedaleman Sangapati), ziarah ke makam Sesait di Bayan (Datu
Bayan = Pangeran Sayid Anom) dan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
yang dilaksanakan secara adat di Sesait.
Upacara adat Taeq Lauq (upacara pemujaan) yang pernah dilaksanakan oleh
masyarakat adat Sesait Lama ke Gunung Gedeng (Gunung Khayangan) yang letaknya
sekitar 2 km kearah barat dari Kantor Desa Kayangan sekarang, sebelum tahun
1966 kebawah, itu para pemujanya masih memeluk Islam Wettu Telu.
Gunung Khayangan, dulunya ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut
acara pemujaan setiap bulan lima sekali dalam setahun dengan membawa sesajian
dan membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional berupa gong dua yang
jumlahnya tidak kurang dari 10 s/d 15 grup kesenian.
Acara pemujaan yang di kenal dengan upacara Taeq Lauq ke Gunung Khayangan
tersebut adalah untuk mempayone petilasan Panji Mas Kolo yang ada di puncaknya.
Acara pemujaannya pun dilaksanakan mulai sore hari sekitar pukul 15,00 hingga
pukul 05,00 pagi keesokan harinya.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk sekedar mengulas kilas balik dari
prosesi adat ”Taek Lauq” yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait
Lama sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam ke gumi paer
Sesait tahun 1966 silam.
Menurut Inaq Ijin (76) salah seorang
tokoh keturunan Mangku Gedeng yang kini tinggal di Lokok Tujan Desa Sesait
Kecamatan Kayangan KLU menuturkan terkait rangkaian prosesi ritual upacara adat
”Taek Lauq” hingga akhir pelaksanaannya.
Di tuturkannya, ritual adat taek lauq yang secara turun-temurun dilakukan
purusanya dari sejak zaman ireng (zaman kegelapan) adalah salah satu sarana
untuk memohon kepada yang kuasa atas penomena alam, seperti musim kemarau yang
berkepanjangan, sehingga hal ini sangat merugikan bagi masyarakat yang pada saat itu membutuhkan air
hujan untuk segala kebutuhan hidup. Karena satu-satunya yang diharapkan pada
saat itu adalah hanya air hujan. Belum ada air irigasi seperti yang ada
sekarang ini.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, sebagai yang bertanggung jawab untuk
semua itu adalah Mangku Gedeng. Melihat kejadian ini, lalu para Mangku Gedeng pada
jamannya seperti (Papuk Nanom, Papuk Jumedah, Puk Narek) tidak tinggal diam,
bagaimana mengatasi permasalahan yang di hadapi masyarakatnya kala itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, selaku
Mangku Gedeng pada masa di jabat oleh Papuk Nanom (abad 18 M), Papuk Jumedah
(abad 19 M), Papuk Narek (abad 20) dan Puk Surya (abad 21), pertama yang
dilakukannya adalah mengadakan rapat (sangkep) dengan ”Tau Lokaq Empat
(Mangkubumi, Pemusungan, Jintaka dan Penghulu) ” bagaimana langkah-langkah
mengatasi yang sedang menimpa masyarakat gumi paer Sesait Kuno kala itu. Oleh
Tau Lokaq Empat bersama Mangku Gedeng sepakat untuk menggelar upacara adat ”Taeq Lauq” ke Montong Gedeng (gunung
Khayangan yang sekarang), dimana di Montong Gedeng ini terdapat petilasan
seorang tokoh spiritual bernama Panji Mas Kolo yang mengaku saudara kandung
dari Datu Bayan.
Diceritakan Inaq Ijin, setelah sepakat
untuk menggelar upacara adat Taeq Lauq tersebut dan ketika sudah tiba waktunya,
maka pelaksanaannya pun segera di gelar
selama 3 hari 2 malam, yaitu setiap tanggal 12,13 dan 14 Syawal tiap tahun.
Namun sebelum pelaksanaan itu di gelar, Mangku Gedeng di bantu oleh para
pelingsirnya melakukan berbagai persiapan, seperti melakukan bersih-bersih
dilokasi sekitar petilasan Panji Mas Kolo yang dijadikan tempat ritual nantinya
termasuk membuat berugak saka empat disekitar petilasan.
Adapun segala persiapan untuk perabotan kayu
Salinguru, tales diambil dari pawang adat utara Sesait, termasuk atap berugak
yang terbuat dari Santek dilapisi Ijuk (dibuat di Karang Lande Lokok Rangan
yang sekarang) pun dipersiapkan. Itulah sebabnya pada zaman dahulu, juga pernah
di adakan ritual ”Mempayone Lande”, tetapi sekarang sudah menjadi perkampungan
Karang Lande Lokok Rangan.
Pada hari pertama ritual ”Taeq Lauq” yaitu pada tanggal 12 Syawal, gong dua
di turunkan dari peraduannya (dari rumah adat Mangku Gedeng Papuk Jumedah). Setelah
itu barulah masyarakat adat wet Sesait berdatangan untuk merembun ke rumah
Mangku Gedeng yang dulu terletak di utara Mesjid Kuno Sesait. Sementara
tari-tarian pun terus berlangsung tanpa henti mengiringi ritual merembun
tersebut hingga malam hari.
Inaq Ijin dan Petilasan Panji Mas
Kolo
Keesokan harinya yaitu tanggal 13
Syawal, Mangku Gedeng ”Tun Melauk” (turun ke Montong Gedeng duluan). Dalam
perjalanan Mangku Gedeng ini pun tidak boleh ada orang yang mengetahui,
termasuk tidak boleh berbicara, jika dia makan tidak boleh mengajak orang
berbicara, tidak boleh bertemu dengan praja Taeq Lauq. Hal ini dimaksudkan agar
segala bangsa hewan dan unggas tidak buas. ”Pokoknya tidak boleh ngomong kepada
siapa saja alias diam seribu bahasa,”jelas Inak Ijin dengan mimik serius.
Kemudian pada hari ketiga yaitu
puncaknya tanggal 14 syawal, masyarakat wet Sesait Kuno mulai berdatangan ke
Sesait dengan membawa segala macam kelengkapan sajian makanan yang di kemas di
atas dulang adat, termasuk gong gambelan (gong dua) dari segala penjuru pun di
datangkan untuk mengiringi. Termasuk mempersiapkan para gadis untuk dirias
sebagai Praja Taek Lauq. Masing-masing kampung kala itu pun mengeluarkan
seorang gadis untuk dijadikan praja. Sehingga nyaris masyarakat dari berbagai
kampung yang mengikuti pemujaan itu beradu dan berlomba saling memperebutkan
praja dari kampung manakah yang paling cantik. Sambil melakukan tari-tarian
bebas dan lepas.
Setelah semuanya telah siap, maka
iring-iringan pun di gelar dengan posisi praja Taeq Lauq berada paling depan
diapit dan di iringi para pelingsir adat, dibelakangnya diikuti oleh para
pengiring pasukan tombak muda-mudi, lalu di belakangnya barisan pembawa dulang
saji adat, baru kemudian di belakangnya lagi diiringi gong dua dan gong
gambelan lainnya. Setelah itu baru diikuti oleh masyarakat umum.
Perjalanan ritual Taeq Lauq menuju
Montong Gedeng pun di lakukan pada sore
hari sekitar pukul 15,00 waktu setempat
dan menyusuri hutan belantara (pawang adat pedewak Sesait). Tiba di kaki
Montong Gedeng sebelah selatan menjelang Maghrib.
Lalu di lanjutkan dengan ritual penyembelihan kerbau berbulu putih yang belum
dewasa. Penyembelihan ini pun dilakukan di kaki Montong Gedeng sebelah selatan.
Ritual ini pun terus di iringi tari-tarian bebas dan lepas oleh penari-penari
yang terpilih dan memang sudah disiapkan sebelumnya. Kemudian pada pukul
18,00-20,00 acara istirahat sambil mempersiapkan acara selanjutnya.
Ketika segala sesuatunya sudah
siap, sajiannya lalu di bawa naik ke
atas dimana petilasan Panji Mas Kolo berada dengan di iringi gong dua.
Sementara masyarakat pengiring termasuk praja Taeq Lauq dan gong gamelan
lainnya tetap tinggal di bawah (selatan Montong Gedeng). Tari-tarian pun terus
berlangsung hingga Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas. Tari-tarian dengan di iringi gong dua ini
bisa berlangsung hingga pajar menyingsing. Namun yang perlu di ingat pada ritual pemujaan
yang melibatkan kaum hawa sebagai penari bebas itu pun tidak boleh bercampur
dengan kaum laki-laki dalam melakukan tarian bebas itu. Karena Puncak acara
dari pemujaan Taeq Lauq itu adalah tidak bercampurnya kaum laki-laki dan kaum
wanita dalam melakukan tari-tarian bebas dan lepas tersebut. Hal itu, karena
disamping mereka yang menari itu merasa mendapat penghargaan, juga merupakan
pelepas lelah setelah setahun bekerja dan berkarya.
Setelah Mangku Gedeng selesai
melaksanakan tugasnya di atas, maka
Mangku Gedeng pun turun diringi gong dua dan di sambut oleh Praja Taek Lauq,
para pelingsir adat, gong gamelan lainnya serta masyarakat kebanyakan yang
sejak sorenya menunggu.
Sambil bersorak sorai kegirangan yang
tak terbendung dari masyarakat menyambut turunnya Mangku Gedeng yang telah
selesai melaksanakan tugasnya. Tari-tarian pun terus di gelar hingga tiba
waktunya untuk berangkat pulang kembali ke rumah sesuai dengan asal
masing-masing, yang dari Sesait kembali ke Sesait, yang dari Luk kembali ke
Luk, dari Kelongkong kembali ke Kelongkong, dari Rempek kembali ke Rempek dan
lain sebagainya. Iring-iringan pulang pun berlangsung penuh kegirangan sambil
terus menari.
Seluruh rombongan yang ikut ambil bagian
dalam ritual Taek Lauq ini, ketika kembali
dan sebelum memasuki pintu gerbang masuk ke kampung Sesait, maka oleh
Tau Lokak Empat, mereka di sembek terlebih dahulu baru boleh masuk di tanah
Sesait. Hal ini dilakukan karena ritual yang dilakukan pada jaman itu, di
anggap keluar dari aqidah ajaran Islam.
Setelah tahun 1966, kegiatan pemujaan ke Gunung Khayangan itu sudah tidak
kelihatan lagi. Namun sisa-sisa keturunan Mangku Gedeng yang hingga kini masih
hidup, tetap melakukannya walau hanya sebatas ruwah biasa.(#)