Rabu, 24 Agustus 2016

TRADISI ”TAIQ LAUQ” DI KALANGAN MASYARAKAT ADAT WET SESAIT KUNO

Oleh : Eko Sekiadim

Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan bagi masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan sang penciptanya.

Menurut Pembekel Adat Sesait Masidep mengatakan, adat sering dipertentangkan dengan agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa transisi dari istilah ”gama telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam). Justeru agama mengakui keberadaan adat sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan beragama.

Dikatakan Masidep, umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas adat wet Sesait, dikenal istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum adat sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama, ”jelasnya.

Dengan istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya, perintah-perintah agama harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan  dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat adat wet Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara ruwah tanaman, upacara kelahiran, upacara kematian, upacara ngurisan, upacara sunatan, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat, perayaan adat Taeq Daya dan Taeq Lauq dan lain-lain.

Pada zaman dahulu secara turun-temurun sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait, upacara-upacara adat tradisi lokal yang sering di lakukan masyarakat adat wet Sesait adalah seperti upacara Mempayone Gunung Kenawan, mempayone Lande, mempayone Semboya dan mempayone Gunung Gedeng (taek lauq). Tetapi sejalan dengan datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait tahun 1966, segala bentuk ritual adat yang bertentangan dengan ajaran Islam di hentikan atau di larang.
Maka sejak tahun 1966 segala bentuk ritual tersebut di larang untuk dilakukan. Kecuali ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap dilakukan, bahkan hingga kini ritual tersebut masih dilestarikan, seperti ziarah ke makam penyebar agama Islam di Sesait yang di kenal dengan sebutan ’Kubur Beleq’ (Kanjeng Pangeran Syech Sayid Saleh Pedaleman Sangapati), ziarah ke makam Sesait di Bayan (Datu Bayan = Pangeran Sayid Anom) dan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang dilaksanakan secara adat di Sesait.

Upacara adat Taeq Lauq (upacara pemujaan) yang pernah dilaksanakan oleh masyarakat adat Sesait Lama ke Gunung Gedeng (Gunung Khayangan) yang letaknya sekitar 2 km kearah barat dari Kantor Desa Kayangan sekarang, sebelum tahun 1966 kebawah, itu para pemujanya masih memeluk Islam Wettu Telu.

Gunung Khayangan, dulunya ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan setiap bulan lima sekali dalam setahun dengan membawa sesajian dan membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional berupa gong dua yang jumlahnya tidak kurang dari 10 s/d 15 grup kesenian.

Acara pemujaan yang di kenal dengan upacara Taeq Lauq ke Gunung Khayangan tersebut adalah untuk mempayone petilasan Panji Mas Kolo yang ada di puncaknya. Acara pemujaannya pun dilaksanakan mulai sore hari sekitar pukul 15,00 hingga pukul 05,00 pagi keesokan harinya.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk sekedar mengulas kilas balik dari prosesi adat ”Taek Lauq” yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait Lama sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam ke gumi paer Sesait tahun 1966 silam.
Menurut Inaq Ijin (76) salah seorang tokoh keturunan Mangku Gedeng yang kini tinggal di Lokok Tujan Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU menuturkan terkait rangkaian prosesi ritual upacara adat ”Taek Lauq” hingga akhir pelaksanaannya.
Di tuturkannya, ritual adat taek lauq yang secara turun-temurun dilakukan purusanya dari sejak zaman ireng (zaman kegelapan) adalah salah satu sarana untuk memohon kepada yang kuasa atas penomena alam, seperti musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga hal ini sangat merugikan bagi  masyarakat yang pada saat itu membutuhkan air hujan untuk segala kebutuhan hidup. Karena satu-satunya yang diharapkan pada saat itu adalah hanya air hujan. Belum ada air irigasi seperti yang ada sekarang ini.

Maka untuk mengatasi hal tersebut, sebagai yang bertanggung jawab untuk semua itu adalah Mangku Gedeng. Melihat kejadian ini, lalu para Mangku Gedeng pada jamannya seperti (Papuk Nanom, Papuk Jumedah, Puk Narek) tidak tinggal diam, bagaimana mengatasi permasalahan yang di hadapi masyarakatnya kala itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, selaku Mangku Gedeng pada masa di jabat oleh Papuk Nanom (abad 18 M), Papuk Jumedah (abad 19 M), Papuk Narek (abad 20) dan Puk Surya (abad 21), pertama yang dilakukannya adalah mengadakan rapat (sangkep) dengan ”Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Jintaka dan Penghulu) ” bagaimana langkah-langkah mengatasi yang sedang menimpa masyarakat gumi paer Sesait Kuno kala itu. Oleh Tau Lokaq Empat bersama Mangku Gedeng sepakat untuk menggelar upacara  adat ”Taeq Lauq” ke Montong Gedeng (gunung Khayangan yang sekarang), dimana di Montong Gedeng ini terdapat petilasan seorang tokoh spiritual bernama Panji Mas Kolo yang mengaku saudara kandung dari Datu Bayan.
Diceritakan Inaq Ijin, setelah sepakat untuk menggelar upacara adat Taeq Lauq tersebut dan ketika sudah tiba waktunya, maka  pelaksanaannya pun segera di gelar selama 3 hari 2 malam, yaitu setiap tanggal 12,13 dan 14 Syawal tiap tahun. Namun sebelum pelaksanaan itu di gelar, Mangku Gedeng di bantu oleh para pelingsirnya melakukan berbagai persiapan, seperti melakukan bersih-bersih dilokasi sekitar petilasan Panji Mas Kolo yang dijadikan tempat ritual nantinya termasuk membuat berugak saka empat disekitar petilasan.
Adapun segala persiapan untuk perabotan kayu Salinguru, tales diambil dari pawang adat utara Sesait, termasuk atap berugak yang terbuat dari Santek dilapisi Ijuk (dibuat di Karang Lande Lokok Rangan yang sekarang) pun dipersiapkan. Itulah sebabnya pada zaman dahulu, juga pernah di adakan ritual ”Mempayone Lande”, tetapi sekarang sudah menjadi perkampungan Karang Lande Lokok Rangan.
Pada hari pertama ritual ”Taeq Lauq” yaitu pada tanggal 12 Syawal, gong dua di turunkan dari peraduannya (dari rumah adat Mangku Gedeng Papuk Jumedah). Setelah itu barulah masyarakat adat wet Sesait berdatangan untuk merembun ke rumah Mangku Gedeng yang dulu terletak di utara Mesjid Kuno Sesait. Sementara tari-tarian pun terus berlangsung tanpa henti mengiringi ritual merembun tersebut hingga malam hari.
   Inaq Ijin dan Petilasan Panji Mas Kolo
Keesokan harinya yaitu tanggal 13 Syawal, Mangku Gedeng ”Tun Melauk” (turun ke Montong Gedeng duluan). Dalam perjalanan Mangku Gedeng ini pun tidak boleh ada orang yang mengetahui, termasuk tidak boleh berbicara, jika dia makan tidak boleh mengajak orang berbicara, tidak boleh bertemu dengan praja Taeq Lauq. Hal ini dimaksudkan agar segala bangsa hewan dan unggas tidak buas. ”Pokoknya tidak boleh ngomong kepada siapa saja alias diam seribu bahasa,”jelas Inak Ijin dengan mimik serius.
Kemudian pada hari ketiga yaitu puncaknya tanggal 14 syawal, masyarakat wet Sesait Kuno mulai berdatangan ke Sesait dengan membawa segala macam kelengkapan sajian makanan yang di kemas di atas dulang adat, termasuk gong gambelan (gong dua) dari segala penjuru pun di datangkan untuk mengiringi. Termasuk mempersiapkan para gadis untuk dirias sebagai Praja Taek Lauq. Masing-masing kampung kala itu pun mengeluarkan seorang gadis untuk dijadikan praja. Sehingga nyaris masyarakat dari berbagai kampung yang mengikuti pemujaan itu beradu dan berlomba saling memperebutkan praja dari kampung manakah yang paling cantik. Sambil melakukan tari-tarian bebas dan lepas.
Setelah semuanya telah siap, maka iring-iringan pun di gelar dengan posisi praja Taeq Lauq berada paling depan diapit dan di iringi para pelingsir adat, dibelakangnya diikuti oleh para pengiring pasukan tombak muda-mudi, lalu di belakangnya barisan pembawa dulang saji adat, baru kemudian di belakangnya lagi diiringi gong dua dan gong gambelan lainnya. Setelah itu baru diikuti oleh masyarakat umum.
Perjalanan ritual Taeq Lauq menuju Montong Gedeng  pun di lakukan pada sore hari sekitar pukul 15,00  waktu setempat dan menyusuri hutan belantara (pawang adat pedewak Sesait). Tiba di kaki Montong Gedeng sebelah selatan menjelang Maghrib.
Lalu di lanjutkan dengan ritual  penyembelihan kerbau berbulu putih yang belum dewasa. Penyembelihan ini pun dilakukan di kaki Montong Gedeng sebelah selatan. Ritual ini pun terus di iringi tari-tarian bebas dan lepas oleh penari-penari yang terpilih dan memang sudah disiapkan sebelumnya. Kemudian pada pukul 18,00-20,00 acara istirahat sambil mempersiapkan acara selanjutnya.
Ketika segala sesuatunya sudah siap,  sajiannya lalu di bawa naik ke atas dimana petilasan Panji Mas Kolo berada dengan di iringi gong dua. Sementara masyarakat pengiring termasuk praja Taeq Lauq dan gong gamelan lainnya tetap tinggal di bawah (selatan Montong Gedeng). Tari-tarian pun terus berlangsung hingga Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas.  Tari-tarian dengan di iringi gong dua ini bisa berlangsung hingga pajar menyingsing.  Namun yang perlu di ingat pada ritual pemujaan yang melibatkan kaum hawa sebagai penari bebas itu pun tidak boleh bercampur dengan kaum laki-laki dalam melakukan tarian bebas itu. Karena Puncak acara dari pemujaan Taeq Lauq itu adalah tidak bercampurnya kaum laki-laki dan kaum wanita dalam melakukan tari-tarian bebas dan lepas tersebut. Hal itu, karena disamping mereka yang menari itu merasa mendapat penghargaan, juga merupakan pelepas lelah setelah setahun bekerja dan berkarya.
Setelah Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas,  maka Mangku Gedeng pun turun diringi gong dua dan di sambut oleh Praja Taek Lauq, para pelingsir adat, gong gamelan lainnya serta masyarakat kebanyakan yang sejak sorenya menunggu.
Sambil bersorak sorai kegirangan yang tak terbendung dari masyarakat menyambut turunnya Mangku Gedeng yang telah selesai melaksanakan tugasnya. Tari-tarian pun terus di gelar hingga tiba waktunya untuk berangkat pulang kembali ke rumah sesuai dengan asal masing-masing, yang dari Sesait kembali ke Sesait, yang dari Luk kembali ke Luk, dari Kelongkong kembali ke Kelongkong, dari Rempek kembali ke Rempek dan lain sebagainya. Iring-iringan pulang pun berlangsung penuh kegirangan sambil terus menari.
Seluruh rombongan yang ikut ambil bagian dalam ritual Taek Lauq ini, ketika kembali  dan sebelum memasuki pintu gerbang masuk ke kampung Sesait, maka oleh Tau Lokak Empat, mereka di sembek terlebih dahulu baru boleh masuk di tanah Sesait. Hal ini dilakukan karena ritual yang dilakukan pada jaman itu, di anggap keluar dari aqidah ajaran Islam.
Setelah tahun 1966, kegiatan pemujaan ke Gunung Khayangan itu sudah tidak kelihatan lagi. Namun sisa-sisa keturunan Mangku Gedeng yang hingga kini masih hidup, tetap melakukannya walau hanya sebatas ruwah biasa.(#)

GUNUNG KAYANGAN MINIATUR BOROBUDUR LOMBOK UTARA

Oleh : Eko Sekiadim

 Kabupaten Lombok Utara (KLU) dengan semboyan Tioq Tata Tunaq banyak memiliki tradisi lama yang masih kuat dipegang masyarakat penganutnya hingga saat ini.

Montong Gedeng yang kerap dijadikan sebagai lokasi tujuan pelaksanaan ritual adat oleh masyarakat penganutnya pada jaman dulu, kini keadaannya banyak ditumbuhi tanaman liar yang mengering. Meski sekilas tak ada yang tampak istimewa, keberadaannya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah di timur bumi Tioq Tata Tunaq.

Nilai-nilai peninggalan nenek moyang berupa ritual adat masih berpengaruh kuat sebagai pola hidup masyarakatnya. Seperti ritual buka tanah sebelum mulai membuka areal untuk pola tanam. Ritual adat ini diwariskan nenek moyang masyarakat wet  (gontoran) Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
Sebelum memulai pola tanam masyarakat wet (gontoran) Sesait  selalu menggelar perayaan adat yang jatuh pada tiap bulan lima setiap tahun. Perayaan rutin ini diperingati secara turun-temurun oleh masyarakat adat wet (gontoran) Sesait dan dikenal dengan  Perayaan Adat Taiq Daya dan  Taiq Lauq.

Taiq Daya dilakukan masyarakat komunitas adat Santong Asli. Prosesi ritualnya dilakukan dengan naik ke Bale Penginjakan di Pawang Semboya yang terletak di lereng utara gunung Rinjani. Waktu pelaksanaannya setelah pagelaran ritual Taiq Lauq. Sementara Taiq Lauq dilaksanakan mengenang sejarah nenek moyang masyarakat adat Sesait yang kala itu naik ke Montong Gedeng untuk melaksanakan ritualnya. Montong Gedeng itu sendiri tidak lain adalah Gunung Kayangan saat ini, terletak sekitar 200 meter ke arah timur  Kampung Cangkring Dusun Sidutan Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
    

Menurut tokoh adat Wet Sesait, Djekat, menuturkan berdasarkan sejarah perayaan adat Taeq Daya maupun Taeq Lauq, asal-muasal perayaan ini berawal dari kebiasaan orang tua Sesait lama yang dikenal dengan sebutan Tau Lokaq Empat, yang terdiri dari Penghulu, Pemusungan, Mangkubumi, dan Jintaka.
Dikatakan, kebiasaan para sesepuh Sesait lama kala itu, sebelum melaksanakan suatu kegiatan yang berlaku menyeluruh bagi masyarakatnya, mereka selalu menggelar sangkep atau musyawarah di Bale Adat yang berada di lereng selatan Montong Gedeng. Hal-hal yang biasanya dibicarakan adalah terkait waktu dimulainya membuka tanah dan waktu dimulainya musim pola tanam. Itulah sebabnya, sebut Djekat, warga Sesait lama tidak akan berani memulai pelaksanaan pola tanam sebelum Tau Lokaq Empat selesai menggelar rapat tersebut. Pasalnya, mereka patuh dan taat pada aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun. “Jadi, orang Sesait lama sejak jaman dulu sudah mengenal yang namanya aturan pola tanam,” kata Djekat.
Djekat menyebut, kegiatan ritual adat yang digelar setiap bulan lima tiap tahun tersebut adalah sebagai bentuk revitalisasi ritual adat yang memang pernah dilakukan oleh masyarakat Sesait lama pada jamannya. Namun semenjak tahun 1966 ritual adat ini hilang atau praktis tidak dilakukan oleh warga. Pasalnya, pada saat itu  terjadi perombakan ajaran Islam dari wettu telu ke ajaran Islam waktu lima. Karena pada saat itu penduduk Sesait lama dan sekitarnya masih menganut Islam Wettu Telu. “Jadi sudah 50 tahun silam ritual Taiq Lauq tersebut tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sesait lama,”jelasnya.

Pada zaman dahulu dibawah tahun 1965, Montong Gedeng atau gunung Khayangan ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan kepada para Dewa yang bersemayam di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat Sesait Lama, bahwa di gunung Khayangan tersebut di yakini sebagai tempat petilasan Panji Mas Kolo. Itulah sebabnya, setiap tahun sebelum tahun 1965 kebawah, tempat itu ramai di kunjungi oleh masyarakat penganutnya untuk Ngaturang Ulak Kaya.

Pada saat acara Ngaturang Ulak Kaya (terkenal dengan sebutan “Taeq Lauq”)  itu, masyarakat penganutnya membawa makanan, sesaji dan Praja Taeq Lauq (para gadis yang di rias layaknya pengantin) sambil membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional rakyat yang jumlahnya tidak kurang dari 10 hingga 15 grup.

Praktis sejak tahun 1966 acara pemujaan di Gunung Khayangan itu sudah tidak kedengaran lagi, tinggal Gunung Khyangan yang masih tetap utuh tegak berdiri yang merupakan peninggalan bersejarah bagi Desa Kayangan, sehingga namanya diabadikan sebagai lambang dan nama Desa Kayangan saat ini.


Sehingga perayaan adat yang dilakukan masyarakat Sesait - Kayangan ke Montong Gedeng itu adalah untuk mengajak masyarakat setempat merevitalisasi kembali ritual adat yang sejak puluhan tahun silam tidak pernah lagi dilakukan oleh masyarakat penganutnya (Sesait lama). “Setidak-tidaknya itu sebagai bentuk upaya generasi penerus untuk  menghargai apa yang telah dan pernah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Sesait lama pada jamannya dulu. Spirit atau semangatnya itulah yang perlu kita revitalisasi oleh kita sebagai generasi penerusnya,”tandas Djekat.

Sebagai destinasi daerah tujuan wisata, maka Montong Gedeng yang dikenal sebagai Gunung Kayangan saat ini, kedepannya akan ditata dan dibangun menyerupai sebuah candi yang mirip dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Sehingga tidak heran, oleh sosok tokoh adat Sesait yang juga politisi di DPRD KLU ini memiliki impian besar agar Montong Gedeng (Gunung Kayangan) tersebut, bisa kembali diangkat. Djekat pun berhajat ingin menata Montong Gedeng agar ke depannya lebih menarik dan sangat potensial untuk dikembangkan.


”Saya menganggap dan berkeinginan besar agar kedepannya kawasan Montong Gedeng ini dapat dijadikan sebagai  Miniatur Borobudurnya Kabupaten Lombok Utara. Karena memiliki nilai historis yang tinggi, khususnya bagi warga Kayangan dan sekitarnya,” tandas Djekat.@

Selasa, 09 Agustus 2016

MENGENAL SOSOK SYECH SAYID SALEH PEDALEMAN SANGAPATI


                    “Wali Penyebar Agama Islam Pertama di Gumi Paer Sesait”

Oleh : Eko Sekiadim

Berawal dari sebuah kampung kecil pada Pertengahan abad 14 M, terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer Sesait kala itu, masyarakat kampung tersebut sudah memiliki keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima (dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki faham dan keyakinan yang sangat kuat. Setelah kedatangan para Wali Allah (para penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut, maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu. 


Menurut Djekat, salah seorang tokoh adat Sesait mengatakan, pada sekitar abad 14 M, Sesait dijadikan sebagai Pusat Penyebaran Islam dan Pusat Pemerintahan Pertama diwilayah kekuasaan Sesait, karena berdasarkan atas keputusan para wali di Jawa, bahwa wali yang pertama menginjakkan kakinya di gumi paer Sasait adalah Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman, berasal dari Makkah Al-Mukarramah, dan Kanjeng Said Rahmad atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Bapuk Rahmad. 
 
Kedua wali tersebut secara bersamaan datang ke kampung tersebut. Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka pun sepakat, siapa yang tetap tinggal dan siapa yang akan melanjutkan perjalanan. 
 
Sejarah mencatat, bahwa yang tetap tinggal di Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Pangeran Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati atau lebih dikenal dengan nama Melsey Jaya. Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya. Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makam beliau masih terpelihara hingga saat ini, yang oleh masyarakat Sesait di sebutnya “Makam Kubur Beleq”. 
 
Kanjeng Sayid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa Dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Sayid Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam di tanah Sesait tersebut, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si Sayid menjadi Sesait. 
 
Disebutkan, adapun peninggalan – peninggalan serta ajaran –ajaran Sayid Rahmat yang hingga kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) diantaranya, Kitab Suci Al Qur’an Cetakan Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Sholawatan yang di tulis tangan oleh beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati pohon Pisang. Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana metode yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan adat - istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. “Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai,”tandas Djekat.( eko)

                                                                    (Pernah terbit di Seputar NTB, Minggu Ke-3 Juli 2015)

MAKAM KUBUR BELEQ, MAKAM SYECH SAYID SALEH PEDALEMAN SANGAPATI


Ketika menyebut makam Kubur Beleq, sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Sesait -Kayangan. Mengingat perjalanan panjang sejarah penyebaran Islam di Sesait, sangat erat kaitannya dengan keberadaan makam ini. Tidak sedikit mitos yang melingkari keberadaan makam Kubur Beleq, sosok ulama yang dikabarkan sebagai mubaligh berasal dari Bagdad ini, menyebarkan Islam sampai ke tanah Sesait, sekitar awal abad ke 14 M. Oleh masyarakat komunitas Sesait – Kayangan dikenal dengan sebutan Kubur Beleq. Pada momen hari-hari raya/hari lebaran hingga lebaran topat setiap tahun, makamnya banyak dikunjungi warga dari berbagai wilayah di Lombok untuk berziarah. Salah seorang tokoh Sesait Djekat menyebutkan, ulama yang berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Sesait adalah Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati dari Bagdadh. Peranannya dalam penyebaran Islam amat besar di masyarakat Sesait zaman dulu, sehingga makamnya memiliki makna spiritual yang luar biasa.

Makam Kubur Beleq dikalangan masyarakat Sesait-Kayangan dikenal juga dengan sebutan makam Titik Pati. Makam ini terletak sekitar 300 meter ke arah utara Dusun Sesait Desa Sesait Kecamatan Kayangan Lombok Utara. Untuk sampai ke tempat makam ini, tidak harus menguras tenaga dalam jumlah yang besar. Cukup jalan kaki beberapa menit, sudah sampai di lokasi. Begitu tiba di lokasi, kita akan singgah dulu di makam Titik Pati yang lokasinya persis di dekat pintu masuk.

Para peziarah yang akan melakukan ziarah ke makam Kubur Beleq, terlebih dahulu harus melakukan zikir di makam Titik Pati ini. Pasalnya diyakini makam ini merupakan makam ayahanda dari Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati. Jadi, sebelum ziarah ke makam Kanjeng, harus ke makam ayahandanya terlebih dahulu untuk meminta ijin berziarah ke makam tersebut. ”Makam Titik Pati ini diyakini oleh masyarakat adat Sesait sebagai makam para penyebar Islam di tanah Sesait yang pertama kali menganut Islam, tetapi belum bersunnat,”jelas pembekel adat Sesait Masidep. Dijelaskannya, setelah selesai zikir/minta ijin di makam Titik Pati, lalu dilanjutkan ke makam Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati, yang lokasinya hanya beberapa meter saja.

Di sekeliling makam Kubur Beleq tersebut terdapat empat makam kecil-kecil, yang oleh warga setempat diyakini sebagai makam para pendampingnya. Keempat makam tersebut tiada lain adalah makam Mahapatih/panglima perang yang selalu mendampingi dan membantunya dalam penyebaran Islam di seantero gumi Sesait. Keempat patih itu antara lain, Daman, Jumanah, Rafikah dan Rafi’ah. Selama masa hayatnya, sang Syech mendedikasikan dirinya untuk menyeru masyarakat Sesait agar menganut Islam, sehingga peran para patih ini vital dalam membantu penyebaran syiar ajaran Islam kala itu. Namun demikian, karena situasi dan kondisi saat itu yang tidak begitu memungkinkan sehingga para ulama ini dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah setempat tidak maksimal. Terbukti, mereka tidak optimal memberikan pencerahan kepada warga setempat. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan tak optimalnya penyebaran syiar Islam kala itu karena sang ulama telah terlebih dahulu mangkat. Dampaknya, sinkretisme (paham agama yang melibatkan unsur tahayul) dan animisme, bercampur aduk dengan ajaran yang diajarkan. (eko).
                                                         (Pernah terbit di Radar Lombok, Rabu, 01/07/2015)

Selasa, 12 April 2016

Usia Dini, Desa Persiapan Santong Mulia Syarat Prestasi

 Oleh : Eko Sekiadim

Tanjung,--- Desa Persiapan Santong Mulia yang berdiri berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Lombok Utara Nomor 15 Tahun 2015 tanggal 11 Mei 2015, dan peresmiannya tanggal 11 Juni 2015 lalu, telah mampu menorehkan beberapa prestasi, baik pada level Kecamatan maupun di level Kabupaten.

Penjabat Kepala Desa Persiapan Santong Mulia melalui Sekretaris Desanya Karyati Al Bayan mengatakan,  walaupun  usia Desa ini masih relatif muda yakni baru memasuki bulan kelima pada bulan ini, tentu telah banyak yang sudah dilakukan pihaknya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Termasuk keterlibatan Desa ini dalam mengikuti berbagai even kegiatan. Seperti kegiatan partisipasi dalam mengikuti berbagai lomba yang di gelar panitia HUT KLU ke 8 dan HUT RI ke 70, baik ditingkat Kecamatan maupun di tingkat Kabupaten Lombok Utara.

Disebutkan, untuk kegiatan lomba ditingkat Kecamatan Kayangan maupun di tingkat Kabupaten Lombok Utara, Desa Persiapan Santong Mulia terus ambil bagian dan berpartisipasi menggali pengalaman. Untuk di tingkat Kecamatan Kayangan semua cabang lomba diikuti. Dari semua cabang lomba yang diikuti, Desa ini telah menorehkan beberapa prestasi, diantaranya juara satu gerak jalan tingkat umum diraih regu Linmas Desa dan juara duanya putra Bajang Patuh Lokok Sutrang. Sedangkan di bagian putrinya ditempati PKK Desa sebagai juara ketiga. Untuk gerak jalan tingkat SMP/MTs diwakili SMPN 2 Kayangan sebagai juara kedua putra, dan karnavalnya sebagai juara ketiga. Sedangkan juara karnaval untuk umum juara satu di raih kontingen Desa Persiapan. Di cabang tennis meja, Desa ini juga ikut ambil bagian dengan menurunkan atlitnya Mahdan Crok, yang meraih juara tiga setelah kalah dari atlit tennis meja dari Santong Burhan M.Nur dan Agus Oga dari Sumur Pande.

Selain prestasi tersebut, Karyati juga menyebutkan dalam lomba lari 10 K, tingkat Kecamatan Kayangan, Desa ini pun mengirim atlitnya. Hasilnya, sungguh luar biasa. Dua orang atlit lari 10 K berhasil masuk 10 besar, yakni Angga (20) keluar sebagai juara kedua dan Mulyadin di posisi kelima. Kemudian ditingkat Kabupaten Lombok Utara dalam even yang sama, Desa ini pun kembali mengirim atlitnya. Namun, dari 10 orang atlit yang dkirim (7 putra dan 3 putri), hanya tiga orang yang berhasil masuk 10 besar, yakni Angga di posisi ketiga, Heri di posisi ke 6 dan Suci di posisi ke 7. “Melihat prestasi yang ditorehkan ini, tentu Desa ini patut diperhitungkan dan disejajarkan dengan Desa yang memang sudah definitif,”tandas Karyati. (eko)

Senin, 11 April 2016

Meletusnya Peristiwa Berdarah Bagek kembar

 Oleh : Eko Sekiadim

Sesait,(SK),--Seiring dengan berjalannya waktu, Sesait menjadi wilayah kerajaan yang berdaulat hingga satu abad lamanya hingga meletus Perang Pageh Praya pada tahun 1882 M. Dalam Perang Pageh Praya tersebut, kerajaan Sesait juga ikut andil di dalamnya, yaitu dengan mengirim bantuan pasukan dan bergabung dengan pasukan di Praya untuk melawan Pasukan Anak Agung yang ingin menguasai Lombok. Di bawah pimpinan Titik Pantok , maka pasukan kerajaan Sesait berangkatlah menuju Praya.

Dalam perang Pageh Praya melawan Pasukan Anak Agung ini, Titik Pantok gugur sebagai kusuma bangsa (Syahid) di medan perang dan jasadnya di bawa pulang dan dimakamkan di utara kampung Sesait yang sekarang.

Agar Pasukan Sesait tidak kehilangan kendali di medan Perang, maka Mangku Gumi mengangkat Rebos Bin Alaya sebagai Pimpinan Pasukan menggantikan Titik Pantok yang telah gugur ketika terjadi perang melawan pasukan Anak Agung di Praya Lombok Tengah tahun 1882 M. Rebos Bin Alaya ini, tidak lain adalah misan Mangku Gumi sendiri. Mangku Gumi pada waktu itu di pegang oleh Lengguk Bin Rebadi, beliau adalah Mangku Gumi ke 19 di dalam hirarki Kerajaan Sesait.

Kurun waktu 65 tahun kemudian (1882-1945), dari sejak perang Pageh Praya, maka berkecamuklah perang dunia kedua. Di daerah teritorial Kerajaan Sesait pada tanggal 02 juni 1945, timbullah peristiwa berdarah yang menewaskan Komandan kompi Nippon Jepang bernama “Tani Guci” di Bagek Kembar oleh pejuang Sesait. Sehingga peristiwa berdarah itu yang oleh masyarakat Sesait disebut Peristiwa Berdarah Bagek Kembar.

Karena rakyat Sesait dan bahkan siapapun yang tinggal di dunia ini, tidak rela dijajah dalam bentuk apapun. Itulah sebabnya rakyat Sesait dalam menegakkan kedaulatan hirarki kerajaan, termasuk di dalamnya adat budaya yang masih kuat dan ini merupakan bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dalam mengusir penjajah dari Ibu pertiwi tercinta ini. Maka hal tersebut patut di apresiasi dengan memberikan penghargaan yang luar biasa, karena semangat patriotisme yang terpatri dalam diri para pejuang tak terkalahkan.

Menurut keterangan saksi sejarah yang masih hidup hingga sekarang seperti Papuk Antek,Papuk Jamiah Amaq Bardi dan lain-lainnya, mereka rata-rata mengaku ketika terjadinya peristiwa Bagek Kembar Berdarah itu mereka masih usia remaja dan menuturkan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.

Di tuturkan, sebagaimana di ketahui bahwa penjajahan Jepang semakin leluasa memperluas wilayah kekuasaannya dalam Perang Asia Timur Raya. Ekspansi Jepang yang didasari semangat Hakko Ichiu dengan cepat merambah Asia Tenggara dan masuk ke Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1942, Ter Porteen (Panglima Tentara Hindia Belanda) harus menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Jepang di Kalijati. Maka, mulailah periode pendudukan Jepang di Indonesia.

Kehidupan rakyat pada masa pendudukan Jepang sungguh sangat menyedihkan. Lahan-lahan pertanian dieksploitasi sehingga menimbulkan krisis bahan pangan, krisis ekonomi, sumber daya alam, dan tingginya angka kematian. Hal itu diperparah dengan pengerahan tenaga kerja rakyat dalam bentuk kinrohoshi atau kerja bakti dan romusha atau kerja paksa. Pengerahan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Jepang akan pembuatan kubu-kubu pertahanan, lapangan terbang, gudang bawah tanah, jalan raya, dan jembatan. Proyek itu tidak hanya berada di Indonesia tetapi juga Birma, Muangthai, Vietnam, dan Malaysia. Dampaknya adalah ribuan orang terbunuh sementara para gadis dijadikan jughun ianfu atau wanita penghibur. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi rakyat Indonesia pada waktu itu. Begitu pula dengan di Lombok terutama di gumi paer Sesait.

Menurut cerita Amaq Bardi yang di benarkan oleh Papuk Antek dan Papuk Jamiah, kronologis terjadinya peristiwa berdarah bagek kembar yang menewaskan Tani Guchi seorang komandan tentara Jepang yang pada saat itu bertugas di wilayah gumi paer Sesait-Kayangan.Suatu ketika Tani Guci sebagaimana biasanya selalu turun ke lapangan mengawasi para petani tanaman kapas di wilayah Santong Korang , Bagek Kembar hingga di lendang galuh montong cempogok Lokok Rangan.Dalam menjalankan tugasnya ini, oelh Tuan Tani Guchi dan pasukannya selalu bertindak kasar dan main hakim sendiri.Sehingga ada dua orang pejuang Sesait yang di bunuhnya karena tidak keluar menanam kapas dikarenakan mereka sakit.

Amaq Akon, salah seorang korban yang di bunuh oleh Tuan Tani Guchi di kediamannya di Sesait (sekitar 50 meter sebelah timur Kampu) bersimbah darah segar dari sekujur tubuhnya.Terbunuhnya Amaq Akon ini dikarenakan tidak ikut pergi menanam kapas yang ditanam diwilayah Santong Korang sampai Bagek Kembar.Namun ketidak ikutan Amaq Akon itupun bukan tanpa alasan yang jelas yaitu karena sakit.Sebelumnya memang Amaq Akon telah permakluman kepada teman-teman seperjuangannya tidak bisa ikut bekerja menanam kapas sebagaimana yang dilakukannya setiap hari, dikarenakan Amaq Akon sedang sakit perut sehingga dia tidur di rumah kumuh sederhana miliknya sebelah timur Kampu Sesait yang berjarak kurang lebih 50 m.

Rupanya Tuan Tani Guchi tidak memperdulikannya.Lalu Tuan Tani Guchi mencari Amaq Akon langsung ke rumahnya dan membunuhnya. Melihat kejadian sadis yang di lakukan oleh penjajah Jepang terhadap rakyat Sesait waktu itu, maka lima dari Sembilan belas pahlawan Sesait menjadi murka. Mereka tampil membela pahlawan Sesait yang telah di bunuh oleh Tuna Guchi tersebut. Saking marahnya melihat kejadian tersebut, maka kelima pahlawan Sesait (Amaq Rera,Amaq Rumpat, Amaq Baris,Amaq Ideh dan Amaq Benjang ) kala itu, ikut pula membunuh pasukan Jepang.Setelah berhasil membunuh beberapa pasukan Jepang itu, mereka berencana untuk membunuh komandannya Tuan Tani Guchi.

Setelah Guci selesai menyiksa dan membunuh Amaq Akon, di lihatnya masyarakat banyak yang berdatangan sambil membunyikan Beduk di Masjid Kuno Sesait, Guci pun pergi. Kemudian Mangku Gumi mengambil inisiatip mengumpulkan tokoh-tokoh untuk melakukan rencana membunuh Guci. Setelah sepakat, dibawah pimpinan Mangku Gumi Lengguk sendiri dan putranya Rumpat, mereka mengatur siasat untuk bisa melumpuhkan Tuan Tani Guchi komandan Jepang yang sombong dan selalu bertindak anarkis tersebut.

Dalam strategi perang itu, mereka membagi menjadi dua jalur pengejaran yaitu jalur barat di pimpin Mangku Gumi Lengguk, mulai dari Sesait terus ke utara melalui sejongga, mengambil arah memutar untuk mendahului Guci yang akan pulang ke Pos penjagaannya di Amor-amor, dimana Tuan Tani Guchi ini ketika akan pulang melalui jalan Mpak Mayong. Sedangkan jalur timur di pimpin oleh Rumpat putra Mangku Gumi sendiri, dari Sesait terus ke utara menyusuri Tukak Bendu, Santong Korang, Bagek Kembar hingga Empak Mayong.

Mangku Gumi beserta Pejuang lainnya dapat mendahului guci di selatan Mpak Mayong (sekarang Dusun Bagek Kembar), Lokaq Ebeh langsung menghunus pedangnya dan mengarahkan ke tubuh Guci, namun Guci sempat berkelit, sehingga pedang lokaq Ebeh kala itu terpental hingga nyaris mengenai leher kuda yang di tunggangi oleh Guci. Berselang beberapa detik setelah itu, secara bersamaan dari arah selatan dari atas kudanya Rumpat menghujamkan tombaknya tepat kedada Guci.Guci pun terpental jatuh dari atas kudanya sambil bersimbah darah. Guci berusaha untuk bangun, namun malang bagi Guci secara serentak pejuang Sesait dibawah pimpinan Mangku Gumi Lengguk dan Rumpat secara bersamaan menghujamkan senjata pedang dan tombak serta keris yang mereka bawa secara bertubi-tubi ke tubuh Guci, hingga tubuh Guci tidak bisa di kenali.

Menurut keterangan saksi sejarah yang masih hidup Amaq Bardi, Amaq Jamiah dan Papuk Antek, yang ketika peristiwa Bagek Kembar Berdarah itu terjadi, mereka rata-rata masih usia remaja menceritakan, setelah terbunuhnya Guci tersebut lalu mayatnya di mutilasi menjadi tiga bagian lalu di kubur terpisah di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Hal itu di maksudkan untuk menghilangkan jejak.Peristiwa ini terjadi tanggal,02 Juni1945 di Bagek Kembar, yang sekarang masuk dalam wilayah Dusun Bagek Kembar Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara Barat. Untuk mengenang para pejuang atau pahlawan Sesait yang berhasil membunuh Komandan tentara Jepang waktu itu, maka peristiwa itu terkenal dengan nama Peristiwa Berdarah Bagek kembar.(@)

Selasa, 05 April 2016

SEJARAH DESA SESAIT SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN ISLAM DAN PEMERINTAHAN PERTAMA


Oleh : Eko Sekiadim

Desa Sesait adalah desa tertua dari 9 Desa yang ada di wilayah Kecamatan Kayangan. Pasalnya, sebelum berdiri 8 desa lainnya, Desa Sesait sudah ada. Pemberian nama Sesait, tidak terlepas dari peran para wali yang memang sengaja datang dari Timur Tengah (Bagdad) dalam misi penyebaran Agama Islam di daerah itu.

Nama dan istilah Sesait berasal dari bahasa Arab, yaitu Sayyid, sebagai istilah untuk memberi gelar kepada para pemimpin agama atau orang yang memiliki pengetahuan luas dibidang agama Islam. Kata Sayyid, juga digunakan untuk menunjuk seseorang yang memiliki gelar keturunan atau sahabat Nabi Muhammad Saw yang menyebarkan agama Islam.
Berawal dari sebuah kampung kecil pada awal abad 14 M, terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer Sesait kala itu, masyarakat kampung tersebut sudah memiliki keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima (dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki faham dan keyakinan yang sangat kuat. Setelah kedatangan para Wali Allah (para penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut, maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.
Konon menurut Piagam Sesait Kitab Muhtadi’, pada abad 14 M, Sesait dijadikan sebagai Pusat Penyebaran Islam dan Pusat Pemerintahan Pertama yang mencakup wilayah kekuasaan Sesait, karena berdasarkan atas keputusan para wali di Jawa, bahwa wali yang pertama mengijakkan kakinya di gumi Sesait kala itu ada dua orang yaitu Syech Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati, asal Makkah Al-Mukarramah dan Syech Sayyid Rahmad.
Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka sepakat siapa yang tetap tinggal dan yang akan melanjutkan perjalanan.
Sejarah mencatat, bahwa yang tetap tinggal di kampung tersebut adalah Syech Sayyid Saleh Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran Sangapati atau lebih dikenal dengan nama Melsey Jaya. Kanjeng Syeh Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya. Syeh Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat tahun 1413 M., beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makamnya hingga saat ini, yang oleh masyarakat Sesait menyebutnya “Makam Kubur Beleq”.
Kanjeng Sayyid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Said Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam itu, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayyid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si Sayyid menjadi Sesait.
Inilah awal mula kampung tersebut diberikan nama Kampung Sesait hingga sekarang. Sesuai dengan nama beliau sendiri Sayyid Rahmat yang artinya dalam bahasa arab keselamatan. Adapun peninggalan – peninggalan serta ajaran - ajaran Sayyid Rahmat yang masih ada yang kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) seperti, Kitab Suci Al Qur’an Cetakan Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Shalawatan yang di tulis tangan oleh beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati Pisang. Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana metode yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan adat - istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai.
Sepeninggal Kanjeng Said Rahmad berlayar ke gumi jawa Dwipa kala itu, lalu beliau menempatkan kampung Si Sayyid (Sesait) sebagai pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus di jadikan sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Sesait. Adapun wilayah Kerajaan Sesait yang di jadikan sebagai pusat Pemerintahan kala itu menjadi satu wilayah. Namun sekarang sudah berubah menjadi beberapa buah desa yang berdiri sendiri, yaitu Desa Pendua, Dusun Santong Asli Desa Santong, Desa Kayangan, Desa Santong Mulia dan Desa Sesait sendiri. Walau wet Sesait ini sudah masuk menjadi bagian desa lain dan di pisahkan secara administrasi, namun wet adatnya masih tetap satu yaitu wet adat gumi paer Sesait. Kampu Sesait yang oleh Sayid Rahmat dijadikan sebagai keratonnya dan dalam struktur Pemerintahan di bentuklah lembaga pemerintahan yang di sebut Tau Lokaq Empat, yaitu Mangku Gumi sekaligus sebagai Raja, Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan, Jintaka sebagai Pengatur pola tanam di bidang perekonomian dan Penghulu membidangi di bidang Agama yang mencakup wilayah kekuasaan Kerajaan Sesait.
Selanjutnya dalam Kitab Muhtadi’ yang menjadi sumber tertulis Sejarah Sesait menyebutkan, Pengangkatan Raja Pertama Sesait kala itu dijalankan berdasarkan atas keputusan keluarga Kerajaan dan bukan memakai sistem Demokrasi seperti yang berlaku di Negara yang menganut paham demokrasi. Hal tersebut dilakukan karena ini masalah urusan Trah Kerajaan dan itu juga di setujui oleh para Wali penyebar agama Islam (Sayid Rahmat ) ketika itu, sekitar pertengahan abad 14 M silam. Pengangkatan Raja pertama Sesait dengan gelar Pangeran Mangku Gumi (Satu) yang dijabat oleh Syech Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati sesuai dengan silsilah keturunan yang sudah tertulis di dalam Piagam Sesait (Kitab Kontara dan Kitab Muhtadi’), dan inilah yang menjadi pedoman keluarga Kerajaan dalam hal pengangkatan Raja, dari pertama terbentuk sampai saat ini dan itu tidak bisa di interfensi oleh siapapun, karena itu mutlak keputusan Trah keluarga Kerajaan (sesuai Purusa) yang sudah baku sejak pertamanya terbentuk.
Setelah terbentuknya Mangku Gumi, barulah Mangku Gumi mengangkat Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan pada waktu itu, kemudian Penghulu dan Jintaka. Untuk membantu dalam menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangku Gumi (Syech Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati), juga mengangkat Seorang Senopati Perang yaitu Senopati Anggura Paksa dan empat orang Patih sekaligus, yaitu Daman, Jumanah, Rapiqah dan Raqiah. Konon ke-empat orang patih ini adalah bersaudara dan khusus di datangkan dari Negeri Iraq Bagdad.
Di ceritakan dalam piagam Sesait, ketika Said Rahmat meninggalkan kampung Sesait untuk berlayar melanjutkan perjalanannya ke Jawa Dwipa, maka peran patihnya yang empat inilah yang membantu dalam memperluas wilayah syiar Islam kala itu. Sebelum Said Rahmat sampai ke Jawadwipa, beliau sempat singgah di Serean Karang Asem dan Klungkung Bali, setelah itu baru kemudiam beliau melanjutkan perjalanan ke tanah Jawadwipa. Sesuai dengan wasiat beliau, kisah perjalanan Said Rahmat dari Sesait ke Pulau Jawa tepatnya di Ampel Denta Surabaya, di tulis oleh Lebe Seriaji ( santri beliau sendiri), hingga saat ini tulisan beliau masih tersimpan dengan baik di Kampu Sesait.
Kurun waktu dua abad lebih lamanya, Sesait mengalami masa kejayaannya. Pada masa Pemeintahan Layur tahun 1725-1755 M. Pada zaman itu terjadi peristiwa yang hingga saat ini masih melegenda pada rakyat Sesait, yaitu cerita tentang munculnya seorang bayi yang dikemudian hari menjadi ulama besar yang bergelar Pangeran Sayyid Anom. Di bawah asuhan ulama besar inilah sehingga Islam pada zaman itu berjaya di gumi paer Sesait. Tidak heran banyak santri yang menimba ilmu di daerah ini, yang rata-rata mengambil aliran jalan tassawuf.
Dalam perjalanan sejarah beberapa abad kemudian, Sesait yang dulunya sebuah kampung lambat laun berubah menjadi sebuah desa. Menurut Djekat salah seorang sesepuh yang dituakan di gumi paer Sesait mengatakan, Desa Sesait sudah ada sejak tahun 1895 dengan Pemusungan (Kades) yang pertama bernama Murdip (asal Lekok) dengan pusat pemerintahannya di Amor-Amor. Kemudian pada masa Mardawati tahun 1928, Desa Sesait dipindahkan ke Lokok Rangan. Dengan pindahnya Desa Sesait tersebut ke Lokok Rangan maka berdirilah Desa Selengen tahun 1929 dengan Kepala Desa Pertamanya Redip.

Ketika pusat pemerintahannya di Lokok Rangan, Desa Sesait telah diperintah oleh 3 orang pemusungan, yaitu Amaq Aliah (1928-1945), Amaq Muliamah (1945-1958) dan Jumais tahun 1958 hingga tahun 1966 saat desa tersebut di pindahkan ke Santong. Dengan pindahnya Desa Sesait ke Santong, maka berdirilah Desa Kayangan dengan Kepala Desa pertamanya Israil Ismail DM tanggal 26 Agustus 1966. 
 
Sejak Desa Sesait di pindahkan ke Santong tanggal 26 Agustus 1966 hingga tahun 2006, Pemusungan Sesait yang memerintah secara berurutan antara lain, Amaq Saharim (1966-1967), Amaq Raidin (1967), Medip (1968-1970), Dahlan (1970-1974), Seta Antadirja (1974-1979), Djekat (1979-1987), Satriadi (1987-1988), Djekat (1988-2006) dan pada tahun 1997, Desa Sesait kembali di pindahkan ke Sumur Pande dengan Pemusungan masih di jabat Djekat.

Dengan pindahnya kembali Desa Sesait ke Sumur Pande pada tahun 1997 tersebut, maka berdirilah Desa Santong dengan Kepala Desa pertamanya Artim Yahya (1997). Setelah lengser pada tahun 2006, Djekat diganti oleh Sidep (2006-2007), lalu Murdan (2007-2012) dan terakhir Airman,S.Pd (2013-sekarang).'

Sejak berdirinya hingga saat ini, Desa Sesait tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarahnya. Desa dengan motto Merenten (bersaudara) yang dijadikan maskot semangat seluruh masyarakatnya dalam bekerja yang sebagian besar hidup dari hasil pertanian ini, telah mampu menunjukkan hasil yang patut di banggakan. Seperti dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan. Ketiga sektor inilah yang dijadikan prioritas unggulan yang dihasilkan desa ini.

Pemusungan Sesait sejak di jabat oleh Djekat semangat Merenten itu terus di galakkan dan di budayakan hingga pemerintahan Airman yang sekarang. Semangat Merenten inilah yang dianut tatkala akan memulai suatu pekerjaan. Lebih-lebih di setiap akan memulai suatu program yang direncanakan. Acapkali semangat inilah yang selalu di kedepankan dalam setiap pengambil kebijakan. Termasuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam setiap menjalankan program pembangunan, baik dalam bidang pemerintahan, pembangunan maupun dalam bidang kemasyarakatan. 
 
Sejalan dengan berjalannya waktu, Desa Sesait yang memiliki luas 17.100 Ha dengan jumlah penduduk 10.127 jiwa, 2.792 KK serta kepadatan penduduknya 0,592 /km tersebut pun pada awal tahun 2015, berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Lombok Utara Nomor 15 tahun 2015 tanggal 11 Mei 2015, kemudian melahirkan Desa Santong Mulia dengan Penjabat Kepala Desa pertamanya Eko Sekiadim,S.Sos ( SK.Bupati No.268/28/Pem/2015 tgl.11 Juni 2015) asal Lokok Sutrang dan Desa Sesait sendiri sebagai Desa Induk. 
 
Desa Santong Mulia dengan luas wilayah 223,26 Ha, dan jumlah penduduk 2.560 jiwa, yang terdiri dari Laki-laki 1.354 dan Perempuan 1.206 serta 588 KK tersebut, membawahi enam dusun, yakni Dusun Tukak Bendu dengan Kepala Dusun Sukarti, Dusun Lokok Sutrang dengan Kepala Dusun Asrudin, Dusun Mula Gati dengan Kepala Dusun Amudin, Dusun Santong Mulia dengan Kepala Dusun Iswandi, Dusun Sumur Jiri dengan Kepala Dusun Munawar dan Dusun Lokok Rauk dengan Kepala Dusun Kamarudin ini, berbatasan langsung dengan Desa Kayangan di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Gumantar dan Desa Dangiang, sebelah barat dengan Desa Sesait dan Desa Pendua dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sesait (Induk).****