GUMI
PAER SESAIT DALAM SEJARAH
BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
PENGHUNI GONTORAN SESAIT
***Era Pra Sejarah, keberadaan tanah Lombok belum jelas, karena sampai
saat ini belum ada data-data dari para ahli serta bukti yang dapat menunjang
tentang masa pra sejarah tanah Lombok ini. Suku Sasak
temasuk dalam ras tipe Melayu yang konon telah tinggal di Lombok selama 2.000
tahun yang lalu dan diperkirakan telah menduduki daerah pesisir pantai sejak
4.000 tahun yang lalu.
Berdasarkan
prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku Sasak sudah
menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI Masehi. Begitu pula
dengan nenek moyang penduduk yang pertama kali menghuni gontoran gumi paer
Sesait saat ini.
Menurut penuturan A.Rahini (60) yang merupakan keturunan
Datu Sesait ke 27 ini mengatakan, Berawal dari sebuah kampung kecil di Gawah
Pedaleman (sekarang Sesait), sekitar abad ke 14, hiduplah seorang manusia bernama Tumenggung Dalem. Pada
masa kehidupan Tumenggung Dalem ini, tidak banyak diketahui keberadaannya.
Hanya saja menurut A.Rahini yang dikutip dari Piagam Sesait (Kitab Muhtadi’)
diterangkan bahwa, pada masa kehidupan Tumenggung Dalem di Gawah Pedaleman
(hutan belantara) ini, datanglah seorang Syeh yang berasal dari Bagdad (Irak)
bernama Syeh Abdul Kadir Jaelani untuk menyebarkan Islam.
Syeh
Abdul Kadir Jaelani, setibanya di Gawah/Pawang Pedaleman yang dihuni Tumenggung
Dalem, kemudian ia tinggal dan menetap ditempat itu sampai akhir hayatnya.
Makamnya
sampai sekarang, oleh masyarakat Wet Sesait dikenal dengan nama makam Syeh
Sayyid Budiman (Syeh Abdul Kadir Jaelani). Makam ini sampai sekarang masih
tetap terpelihara oleh masyarakat Santong Asli.
Menurut penuturan
A.Rahini (59) berdasarkan isi Kitab Muhtadi’ yang pernah dibacanya menerangkan,
Tumenggung Dalem ini adalah diyakini sebagai orang yang pertama penghuni gontor
Sesait yang sekarang. Sehingga, oleh karena Tumenggung Dalem ini diyakini
sebagai orang yang pertama mendiami wet tersebut, maka Tumenggung Dalem ini
juga diyakini sebagai Raja Sesait yang Pertama.
Sepeninggal
Tumenggung Dalem (Datu Sesait I), berabad-abad kemudian, wilayah Pawang
Pedaleman lambat laun, seiring dengan perubahan zaman, dari waktu ke waktu,
penduduk yang menghuni wilayah dimana Tumenggung Dalem bermukim, sudah menjadi
ramai. Generasi ke generasi pun silih berganti. Begitu juga dengan penguasa
masa itu, pun silih berganti, hingga muncul marga yang berkuasa bernama Demung.
Marga
Demung yang muncul dan berkuasa ini pun tidak banyak diketahui, hanya saja yang
terkenal adalah Demung Titik Pati. Pada saat berkuasanya Demung Titi Pati
inilah muncul sinar yang saban hari berguling dari arah selatan Kampung Sesait
tepatnya di Oman Rot menuju arah utara hingga tiba di dekat mimbar Mesjid Kuno
lalu berhenti pada saat waktu asyar tiba. Setelah itu terus berguling kearah
utara hingga memasuki hutan Pedewak Sesait,
yang akhirnya ditempat itu muncullah seorang bayi, yang kelak dalam
perjalanan panjang sejarah Sesait bayi tersebut dinamakan Mak Beleq. Dimana Mak
Beleq ini nantinya setelah menjadi Datu Bayan menggantikan Datu Bayan
sebelumnya Emban Sereak akan berubah nama menjadi Sayyid Anom. Perubahan
sebutan nama ini, karena memang Mak Beleq yang sudah menjadi Datu Bayan, ketika
memulai mengamar syiar Agama Islam berubah nama menjadi Sayyid Anom.
Disebutkan,
Demung Titik Pati memiliki seorang putra bernama Demung Melsi Jaya. Maka
sepeninggal Demung Titik Pati (Datu Sesait II), praktis yang berkuasa di Gumi Paer Sesait pada periode
selanjutnya adalah Demung Melsi Jaya dan keturunannya, dimana
Demung Melsi Jaya
sendiri
memiliki empat orang anak, diantaranya
adalah Demung Waji, Demung Musani, Demung Nulik, dan Demung Sukar.
Keempat
Demung bersaudara
ini, yang salah satunya perempuan (Demung Musani) secara bersama-sama
menjalankan roda Pemerintahan
Kerajaan. Namun diantara keempat Demung bersaudara ini, Demung Musanilah yang
dipercaya untuk menjadi Raja Sesait yang sehari-harinya tinggal di dalam istana
(Kampu). Sedangkan ketiga saudaranya (Demung Waji,Demung Nulik Demung Sukar)
berada diluar istana membantu jalannya Pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Demung
Melsi Jaya, Demung pernah berdo’a kepada yang Kuasa agar didatangkan ahli
pembuat senjata, karena Sesait waktu itu adalah sebuah kerajaan, maka perlu
melengkapi kaula balanya dengan perlengkapan perang. Karena senjata pada waktu
itu sangat dibutuhkan sekali untuk keperluan perang.
Konon, berdasarkan kitab
Kontara Sesait diceritakan bahwa pada masa jayanya Demung Melsi Jaya, seiring
dengan perjalanan waktu, sekitar abad ke 14 M datanglah seorang pemuda ahli pembuat
senjata yang
berasal dari Klungkung Bali yang bernama Merkani, yang dikemudian hari dikenal
dengan sebutan Pande Merkani (masa Kerajaan Datu Sentul).
Pada perkembangan sejarah
berikutnya,Merkani (nama aslinya Syeh Sayyid Sa’id) ini semasa tinggal di Bali,
sebelum datang ke Lombok (Sesait), diyakini pernah mendirikan sebuah Mesjid di
daerah Serean Denpasar, yang hingga kini masih ada berdiri kokoh. Setiba di
Lombok, Merkani yang aslinya berasal dari Timur Tengah tepatnya Hadralmaut
(Yaman Utara) ini, kemudian tinggal menetap di Kerajaan Sesait. Karena saking
lamanya Merkani ini tinggal di Sesait, menurut Kontara Sesait, diceritakan
hingga mengawini Demung Musani, putri Datu Sesait Demung Melsi Jaya.
Dalam sejarah Sesait, Demung Melsi Jaya inilah yang
menjadi Raja Sesait yang Ketiga. Singgasananya sampai sekarang masih
dilestarikan dan dipelihara, oleh masyarakat wet Sesait dikenal dengan sebutan Kampu.
Dalam
perkembangan pemerintahan selanjutnya, Demung Musani (Datu Sesait IV) adalah
penguasa berikutnya setelah Demung Melsi Jaya (Datu Sesait III). Demung Musani
dan keturunannya, inilah yang berkuasa berabad-abad kemudian, terus–menerus
hingga sekarang yang berkuasa Bapuk Barudin (Puk Bar) keturunan yang ke 29.
Dengan demikian Puk Bar ini adalah Raja Sesait yang ke 29 dengan gelar Demung
Musani ke XXIX.
Sebelum Puk
Bar berkuasa, yang berkuasa sebelumnya ada 12 orang yang diketahui yaitu Raja Sesait ke 16 Pemban
Banah, Raja Sesait ke 17 Rebadi, Raja Sesait ke 18 Lengguk (1882 M), Raja Sesait
ke 19 Sriagan, Raja Sesait ke 20 Surawang, Raja Sesait ke 21 Ebeh, Raja Sesait
ke 22 Tapa, Raja Sesait ke 23 Enep, Raja Sesait ke 24 Retam, Raja Sesait ke 25
Kaimah, Raja Sesait ke 26 Medan, Raja Sesait ke 27 Pa’at, Raja Sesait ke 28
Maidi (Kenaul) dan Raja Sesait ke 29 Puk Barudin (11 Februari 2016 - sekarang).
Raja-raja Sesait ke 5 hingga ke 15
tidak diketahui keberadaannya. Sedangkan gelar
yang digunakan oleh para Raja Sesait ini adalah Demung Musani. Namun
sebutan untuk Raja di Sesait setelah Orde Baru berkuasa digunakan nama
Mangkubumi hingga sekarang.
B. MISTERI MUNCULNYA SAYYID ANOM
Konon,
sebagaimana diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat adat wet sesait, tentang misteri kemunculan seseorang
yang bernama Sayyid Anom, yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Mak
Beleq, yang nantinya dalam perjalanan sejarah dimasa mendatang adalah terkenal
sebagai Datu Bayan.
Diceritakan
oleh Masidep (48), bahwa di
gontoran Gumi paer Sesait, dibulan
Puasa/Ramadhan, tepatnya tanggal 17 Ramadhan, muncullah
sebuah cahaya yang berasal
dari bawah pohon beringin besar yang ada di selatan kampung Sesait sekarang. Lokasi tersebut dulunya bernama Oman Rot.
Bermula
dari bawah pohon beringin tersebut, muncul sebuah cahaya, terus menerus berguling
kearah utara ditengah kampung Sesait. Cahaya tersebut, ketika sudah sampai
disekitar mimbar Mesjid Kuno Sesait (waktu itu Mesjid ini sudah ada), lalu
berhenti sejenak. Anehnya, cahaya itu selalu
berhenti berguling ketika sudah ada waktu asyar. Melihat
adanya cahaya yang berguling saban hari dari
arah selatan hingga waktu asyar tersebut,
masyarakat Sesait pun berhamburan
keluar dari rumah masing-masing ingin melihat dari dekat, keberadaan cahaya
itu.
Oleh
karena cahaya tersebut dikerumuni oleh orang banyak, kemudian cahaya tadi terus
berguling kearah utara hingga masuk kawasan pawang adat alasbana (gawah bening) atau hutan belantara yang belum
pernah dijamah tangan manusia. Gawah bening/pawang alasbana tempat cahaya tadi
masuk, oleh masyarakat Sesait kala itu disebutnya sebagai Gawah Pedewak Sesait.
Masyarakat
Sesait yang ingin mengetahui keberadaan cahaya itu, terus mengikuti. Cahaya
tadi, ketika sudah sampai di suatu
lembah dalam hutan pedewak, lalu cahaya itu menghilang. Dengan menghilangnya
cahaya itu, kemudian muncullah sesosok bayi laki-laki mungil. Masyarakat yang mengikuti cahaya
tadi terperangah dan kaget, sembari sibuk mencari alat
untuk dijadikan wadah menampung air, untuk memandikan bayi tersebut.
Alat yang digunakan memandikan bayi itu, disebut Bandan. Hingga sekarang tempat
itu, oleh masyarakat sesait dikenal
dengan sebutan Koloh Bandan.
Seiring
dengan berjalannya waktu, bayi yang sejak kemunculannya di koloh Bandan tersebut, kemudian dipelihara oleh Datu Sesait yang berkuasa saat itu bernama Demung Titik Pati. Maka sejak itu, bayi
tersebut tinggallah bersama Datu Sesait dalam Kampu Sesait
hingga Dewasa.
Sebagaimana
lazimnya dalam ajaran Islam, bahwa seminggu kemudian dari sejak kelahiran bayi,
diadakanlah aqiqah dan ngurisan. Maka bayi yang kemunculannya dari koloh bandan
tersebut, oleh Datu Sesait di aqiqah dan dikuris (potong rambut). Hingga
sekarang pun potongan rambut dari bayi
tadi masih ada dan disimpan dalam suatu wadah yang disebut ‘Gandek’ di dalam Kampu Sesait.
Dalam
perkembangan selanjutnya, bayi itupun
tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan cerdas. Tidak lazimnya seperti
proses pertumbuhan bayi pada umumnya sangat lambat. Tetapi yang terjadi pada
pertumbuhan bayi ini malah sebaliknya. Mungkin menurut akal sehat manusia
normal, proses pertumbuhan bayi ini boleh dibilang sangat aneh bin ajaib.
Pasalnya,
setiap jam, setiap hari, setiap minggu dan bahkan setiap bulan pertumbuhannya
sangat cepat berubah menjadi besar. Sehingga oleh komunitas masyarakat Sesait
kala itu, melihat pertumbuhan badan anak tadi selalu berubah setiap saat,
itulah sebabnya disebut dengan “Mak Beleq” (karena
cepat besar).
Dalam
interaksi sosial sehari-hari, anak itu tumbuh besar dilingkungan keluarga kerajaan,
dibawah asuhan Datu Sesait Demung Titik Pati didalam Kampu
Sesait. Anak ini dalam kehidupan sehari-hari memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki oleh anak kebanyakan sebayanya. Dia cerdas, pintar, pandai, sopan
santun dalam bergaul, memiliki tabiat yang baik, dan patuh pada orang tua.
Alkisah, Mak Beleq pun kini sudah dewasa. Suatu saat
Datu Sesait Demung Titik Pati
pernah menawarinya untuk menggantikan dirinya kelak menjadi Raja Sesait. Mak
Beleq ketika mendengar tawaran tersebut, pada mulanya Dia tidak siap. Tetapi dengan berbagai alasan
yang bisa diterima oleh akalnya, akhirnya tawaran dari Datu Sesait tersebut diterimanya,
dengan suatu syarat, yaitu sebelum dirinya memangku jabatan sebagai Raja Sesait
menggantikannya kelak, ia berpesan agar membuatkan Berugak saka empat
sebanyak 4 buah, yang nantinya harus ditempatkan di empat penjuru kerajaan
Sesait (kampung Sesait sekarang). Berugak ini harus sudah selesai sebelum
dirinya memangku jabatan.
Raja
Sesait pun menyanggupinya. Namun sebelum memangku jabatan dan sebelum keempat
berugak itu dibuat, maka Mak Beleq pun minta
ijin pulang untuk mengambil pakaian kebesarannya. Maka Mak Beleq pun
menghilang.
“Inilah
yang menjadi misteri, yang hingga saat ini belum terungkap. Dia minta ijin
untuk mengambil pakaian kebesaran kerajaan, lalu menghilang, “kata Masidep, Sekjen
Perbekel Adat Sesait penuh keheranan.
“Dia
pergi dan menghilang kemana serta muncul kembali, itu tidak ada yang
mengetahuinya. Disinilah letak misterinya,”imbuhnya.
Dalam
kontara Sesait (sejarah) diterangkan, suatu ketika, sesuai dengan janjinya,
maka Mak Beleq pun kembali ke Sesait dengan membawa pakaian kebesarannya.
Namun, apa yang terjadi? Ketika beliau kembali, berugak empat buah yang
dijanjikan Datu Sesait dan harus sudah dibangun sebelum beliau memangku
jabatan, serta berugak itu harus ditempatkan di empat penjuru mata angin diluar
kerajaan Sesait, tetapi keempat berugak itu, belum bisa diwujudkan oleh
Datu/Raja/Demung Sesait kala itu.
Diceritakan,
sebenarnya Mak Beleq sudah siap menjadi Datu/Raja Sesait kala itu. Namun karena
Datu Sesait tidak menepati janjinya, maka Mak Beleq urung menjadi Datu Sesait.
Itulah sebabnya Mak Beleq dengan didampingi oleh Titik Kulem pergi ke Semboya
untuk mencari daerah baru, sebagai lokasi mendirikan sebuah kerajaan baru nantinya.
Syahdan, Mak Beleq suatu
ketika, dengan didampingi oleh Titik Kulem pun berangkatlah menuju Semboya. Mak Beleq dalam perjalanan
menuju semboya tersebut, sempat beristirahat di Santong. Tempat istirahatnya
ini, dari sejak itu hingga sekarang dibuatkan berugak “Pagalan”. Dimana berugak ini, sekarang keadaannya sangat
memprihatinkan atau tidak terurus. “Ini membutuhkan keseriusan dalam menangani,memelihara
dan merawat peninggalan sejarah masa lalu,”kata Bukren Klau suatu saat.
Dalam
perjalanan menuju Semboya ini, Mak Beleq membawa sebuah alat untuk dijadikan
sikap berupa sebilah keris dengan alasnya berupa perisai yang terbuat dari kayu
Satuba. Alat penyikap ini, oleh Mak Beleq diberikan nama “Kulem”. Karena yang ikut berjasa mendampingi Mak Beleq dalam perjalanannya ke Semboya
dalam rangka mencari daerah baru sebagai tempat mendirikan kerajaan baru nantinya bernama
“Titik Kulem”. Itulah sebabnya
alat tersebut dinamakan “Kulem.”
Hingga sekarang alat ini masih tersimpan oleh keturunannya yang ke 58 (Masidep)
di Dusun Sumur Pande Tengah Desa
Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara (KLU).
Setibanya di Semboya, dengan
menginjakkan kakinya pada sebuah batu besar, Maq Beleq pun mengarahkan
pandangannya ke seluruh daerah sekitar utara gunung Rinjani. Mulai ujung barat
hingga ujung timur, terus diperhatikannya. Dalam hatinya, Mak Beleq
berkeyakinan bahwa daerah yang cocok dan tepat untuk dijadikan sebagai tempat
mendirikan kerajaan baru nantinya adalah Bayan. Dimana Bayan kala itu, sedang
diperintah atau masuk daerah kekuasaan Datu Emban Sereak. Batu besar tempat Maq
Beleq menginjakkan kakinya pada saat itu, hingga kini masyarakat adat wet
Sesait menyebutnya dengan sebutan ‘Batu Penginjakan’.
Setelah Mak Beleq memastikan, bahwa
Bayanlah yang cocok sebagai lokasi letak kerajaan baru yang akan didirikannya
nanti, maka Mak Beleq pun lekas-lekas kembali ke Sesait. Sambil berjalan
pulang, Mak Beleq terus membayangkan dalam hatinya, kapan rencananya itu
menjadi kenyataan. Maka untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, Mak Beleq pun secara diam-diam melakukan survey ke daerah
Bayan.
Batu Penginjakan di Semboya
Dalam perjalanannya menuju
Bayan, Maq Beleq sering singgah dibeberapa tempat, yang kelak dikemudian hari,
setelah beliau berkuasa di Bayan, dijadikan daerah penyebaran Islam.
Daerah yang sering disinggahinya diantaranya Dasan Beleq (Gumantar), Salut,
Batu Gembung,
Sembagek, (Sukadana), Semokan dan Anyar.
Sehingga
tidak heran ditempat-tempat yang sering disinggahi oleh Maq Beleq kala itu,
hingga sekarang situs Mesjid Kuno masih ada dan tetap terpelihara oleh penganutnya.
Juru
Tulis Perbekel Adat Wet Sesait Masidep
menceritakan, bahwa setibanya di Bayan, Maq Beleq tinggal
dirumah salah seorang penduduk (tidak diketahui namanya…mungkin Amaq Bangkol)
yang tinggal berdua bersama isterinya yang belum pernah dikaruniai seorang anak
diladang miliknya dipinggir kerajaan. Pada saat survey ke daerah Bayan ini,
secara kebetulan Raja Bayan (Emban Sereak) yang berkuasa saat itu, di Istana
Kerajaan sedang berlangsung acara Gawe Beleq dalam rangka pernikahan putrinya
(tidak diketahui namanya).
Sebagaimana
lazimnya kebiasaan dikalangan istana, jika raja mengadakan gawe beleq/mengkarya
besar-besaran, pasti berlangsung cukup lama, yaitu bisa tujuh hari tujuh
malam dan bahkan bisa lebih dari itu. Acaranya pun disetiap gawe beleq seperti
itu, peresean pasti tidak terlupakan, selain
hiburan khas kerajaan lainnya. Begitu pula dengan Raja Bayan Emban Sereak kala itu,
adakan gawe beleq tujuh hari tujuh malam dalam
rangka menikahkan putrinya.
Nah, didalam acara gawe besar-besaran
tersebut, Raja Emban Sereak mengundang dan mendatangkan para jawara-jawara
(para Pepadu pilih tanding) dari seluruh negeri yang ada di Pulau Lombok dan
ada pula yang berasal dari luar
daerah kekuasaannya. Bahkan, para raja dan Pangeran atau Putra Mahkota dari seluruh
negeri di Pulau Lombok maupun yang
berasal dari pulau seberang pun didatangkan.
Oleh
Maq Beleq, dari kejauhan terdengarlah sayup-sayup timbul tenggelam dibawa tiupan angin sepoi-poi
basah bunyi gong gamelan bertalu-talu yang sedang ditabuh oleh para penabuh
(sekaha) dari alun-alun
kerajaan. Maq Beleq bertanya pada orang tua tempatnya tinggal itu, yang sudah
dianggap sebagai neneknya, bunyi apakah itu. Neneknya mengatakan bahwa bunyi
atau suara itu berasal dari kerajaan yang sedang menggelar Karya Besar (Gawe
Beleq), yang didalamnya ada peresean.
Mendengar
cerita neneknya itu, Maq Beleq pun merasa kegirangan.
Sepontan denyut jantungnya berdetak keras. Kepingin cepat-cepat tiba dilokasi
untuk melihat dari dekat acara dimaksud. Namun ke-inginannya
itu tidak kesampaian, karena neneknya melarang pergi ketempat keramaian, dengan
alasan, mereka adalah orang biasa, orang pedusunan alias orang udik.
Lebih-lebih tidak sembarang orang yang bisa menghadirinya.
“Mana mungkin kita bisa hadir ditempat seperti
itu. Lebih-lebih gawe tersebut, Raja
yang mengadakan,”kata neneknya suatu saat.
Selain Maq Beleq masih terlalu muda untuk hadir ditempat
keramaian seperti itu, bahkan
tidak jelas asal-usulnya. Hal itulah yang
menyebabkan neneknya melarangnya untuk hadir. Sebab yang hadir
ditempat itu, disamping hanya dari
kalangan istana, juga dihadiri oleh para raja dan
para Pangeran atau putra mahkota dari
kerajaan tetangga seluruh negeri.
Perasaan
geger bercampur penasaran ingin melihat dari dekat, terus berkecamuk didalam
hati Mak Beleq. Secara
pelan-pelan, penuh hiba, Maq Beleq
terus memohon kepada neneknya agar mau mengantarkan dirinya ketempat acara gawe
tersebut, walau hanya nonton dari kejauhan. Melihat kemauan yang keras pada
diri Mak Beleq yang sudah dianggap cucunya itu, akhirnya pada malam terakhir dari puncak acara
gawe itu, neneknya pun mau mengantarkannya, dengan syarat biar nonton dari
kejauhan.
Diceritakan,
setelah Maq Beleq diijinkan, dengan didampingi oleh kakek- neneknya, maka Maq Beleq pun berangkatlah menuju istana dimana acara gawe beleq
tersebut berlangsung.
Dalam
perjalanan, perasaan gembira bercampur senang terus berkecamuk dalam hatinya,
kepingin cepat sampai tujuan. Seberapa ramaikah acara itu. Hal inilah yang membuat hati Maq Beleq merasa senang
dan bahagia. Sudah tidak bisa dibayangkan lagi, bagaimana cara mengungkapkan
perasaan gembiranya.
Dengan
langkah pasti sambil senyum sumringah, Maq
Beleq yang didampingi kakek-neneknya dalam perjalanan menuju istana kerajaan dimana Raja sedang
mengadakan gawe beleq itu, terus melangkahkan kakinya
dengan penuh kegirangan.
Walau
dengan bersusah payah, akhirnya
Maq Beleq bersama kakek-neneknya, sampailah
mereka di istana kerajaan. Setibanya di istana, mereka hanya bisa menyaksikan
acara dari kejauhan. Berbagai kesenian khas kerajaan pun ditampilkan. Walau hanya
nonton dari kejauhan, Maq Beleq pun merasa puas.
Malam
pun semakin larut, namun tidak menyurutkan intensitas jumlah penonton, yang
ingin menyaksikan gelaran tersebut. Bahkan kehadiran penonton terus saja
mengalir bak aliran air yang mengalir membanjiri alun-alun istana. Di
penghujung acara, oleh panitia hiburan kerajaan, ditampilkan acara yang sangat
ditunggu-tunggu oleh para jawara pilih tanding dari seluruh negeri yakni
Perisean. Ketika tiba partai yang terakhir, tampillah calon menantu raja. Calon
mantu raja ini yang oleh para pangeran yang hadir, dikenalnya sebagai jawara
atau pepadu pilih tanding. Sehingga membuat kecut para pangeran yang hadir.
Dengan tampilnya pepadu pilih tanding di arena, yang tidak lain adalah calon
menantu raja yang berkuasa saat itu, sesekali melontarkan sesumbarnya.
Namun,
dari seluruh pangeran yang hadir maupun dari kalangan rakyat biasa, tidak ada
yang berani tampil melawan calon mantu raja. Bahkan tidak ada yang berani mengeluarkan suara
sepatah kata pun. Dalam keheningan malam yang semakin larut itu, ditambah
dengan rasa ketakutan yang mencekam, maka tiba-tiba muncullah seorang pemuda ke
tengah arena menyatakan kesiapannya untuk beradu tanding dengan pepadu yang
sekaligus calon mantu raja itu,
yang terlebih dahulu berada di tengah arena. Pemuda itu tiada lain adalah Maq
Beleq sendiri.
Dikisahkan,
tanpa pikir panjang mantu raja yang tak pernah terkalahkan tersebut, langsung
meladeni pemuda tadi (Maq Beleq). Awalnya
pada ronde-ronde permulaan, Maq Beleq tidak melawan atau membalas pukulan demi
pukulan yang dilontarkan lawannya. Begitu
pula dengan ronde berikutnya, Maq Beleq tetap tidak mau membalas pukulannya. Mak Beleq hanya menghindar sambil melindungi tubuhnya dari setiap serangan yang
dilancarkan oleh musuhnya dibawah ende atau perisai miliknya.
Para
pangeran yang hadir menyaksikan peristiwa itu, merasa keheranan. Tidak mungkin
seorang lawan tidak membalas pukulan dari musuhnya. Lebih-lebih yang dilawan itu adalah pepadu pilih
tanding yang tidak pernah terkalahkan di seantero Lombok kala itu. ”Disinilah letak misterinya. Tidak mungkin seorang pepadu jika
berlaga melawan pepadu pilih tanding tidak membalasnya,”terang Masidep, yang
juga pekembar peresean di daerah KLU ini.
Diceritakan,
bahwa pada ronde terakhir,
barulah Maq Beleq meladeni atau membalas pukulan lawannya (calon mantu raja),
dengan tiga pukulan, yaitu satu pukulan ditelinga kiri, satu pukulan ditelinga
kanan dan satu pukulan di kepala. Tak ayal lagi, pepadu pilih tanding tersebut
bocor dan jatuh pingsan. Melihat
musuhnya bocor dan tak sadarkan diri, Maq Beleq takut, sementara penonton
ribut, karena pepadu idola mereka yang tidak lain calon mantu raja kalah. Maka
sambil membuang tameng / perisainya, Maq Beleq langsung
kabur. Dengan bantuan kakek-neneknya,
maka Maq Beleq lari, sehingga selamat dan terhindar dari perhatian kalangan
istana.
Sementara
itu, dikalangan istana sibuk mencari siapa dan dari mana pemuda tadi yang mengalahkan
calon menantu raja, karena raja bertanya tentang hal ihwal kejadian tersebut. Para punggawa kerajaan pun melapor kepada raja, bahwa ada seorang pemuda yang
mampu mengalahkan calon menantunya.
Raja
Emban Sereak, setelah mendapatkan laporan tersebut, segera menitahkan para
punggawa dan seluruh bala tentara kerajaan
untuk mencari dan menyelidiki
keberadaan orang yang telah mengalahkan calon menantunya itu. Dengan menyusuri
seluruh daerah kerajaan, dengan bantuan para penduduk
setempat, maka usaha para punggawa dan seluruh bala tentara kerajaan tersebut pun, tidak
sia-sia. Mereka mendapatkan sebuah petunjuk yang mengarah kepada pemuda yang
sedang mereka cari. Ketika
mereka sampai di pojok kampung dipinggir daerah kekuasaan kerajaan, mereka
mendapatkan berita bahwa ada yang melihat keberadaan pemuda itu, ketika menghadiri acara gawe yang
diselenggarakan pihak kerajaan.
Setelah
mendapatkan informasi keberadaan pemuda tadi, maka raja pun mengutus utusannya untuk mencari orang yang dianggap
pernah bersama dengan pemuda yang mengalahkan calon menantunya itu. Para utusan kerajaan itu pun
berangkatlah menuju sebuah pedusunan yang terletak dipinggir kerajaan, sekitar
lereng gunung Sangkareang Rinjani.
Setiba
disana, para punggawa atau para utusan kerajaan tadi bertanya tentang
keberadaan pemuda yang pernah melawan dan mengalahkan pepadu kerajaan beberapa
waktu lalu, yang hingga saat itu belum sadarkan diri selama tiga hari tiga
malam. Disamping ingin mengetahui secara detail tentang siapa sebenarnya pemuda
itu, yang bisa mengalahkan pepadu kerajaan yang sudah terkenal tak terkalahkan
diseantero jagad masa itu. Mungkinkah, pemuda itu bisa mengobatinya. Karena pepadu yang dikalahkannya
itu adalah calon menantu Raja yang sudah tiga
hari tiga malam belum sadarkan
diri.
Pada
saat bersamaan, tersiarlah kabar keseluruh pelosok kerajaan dikalangan rakyat
Bayan, tentang kekalahan pepadu kerajaan oleh seorang pemuda yang tidak
dikenal. Isu itu
sudah menjadi buah bibir dari seluruh rakyat kerajaan kala itu.
Amaq
Bangkol (orang tua tempat tinggal pemuda itu) mengatakan bahwa, memang ada
seorang pemuda yang tinggal bersamanya. Namun Amaq Bangkol mengaku keberadaan
pemuda tadi hanya tinggal bersamanya selama tiga
hari saja. Setelah itu menghilang dan
muncul kembali setelah tiga hari
kemudian. Keadaan ini berlangsung terus-menerus hingga peristiwa kekalahan
pepadu kerajaan olehnya itu terjadi.
Disinilah
letak misterinya. Keberadaan
pemuda yang tinggal bersama Amaq Bangkol itu, tiga
hari ada dan tiga hari menghilang. Dan
menghilangnya pun tidak diketahui, dia menghilang kemana, Amaq Bangkol sendiri tidak mengetahuinya. Hanya saja pemuda itu pernah
mengatakan bahwa dirinya mengaku berasal dari “Sesait”.
Amaq
Bangkol juga mengaku tidak tahu namanya. Karena
memang pemuda itu tidak pernah menceritakan siapa sebenarnya dirinya. Hanya saja dia menyebut dirinya
berasal dari Sesait. Utusan kerajaan pun hanya berpesan kepada Amaq Bangkol,
jika pemuda itu datang lagi, agar dia diajak ke istana menghadap raja. Saat yang ditunggu pun tiba. Berselang tiga hari kemudian, sebagaimana yang pernah diceritakan
Amaq Bangkol kepada utusan kerajaan sebelumnya, maka pemuda itu pun muncul lagi
di Bayan.
Dikisahkan,
begitu pemuda tadi sudah ada di rumahnya, maka
secara diam-diam Amaq Bangkol berangkatlah ke istana kerajaan
untuk melaporkan, bahwa pemuda yang dimaksud sudah ada dirumahnya.
Lalu
Raja segera mengutus punggawanya untuk menjemput pemuda yang dimaksud (Amaq
Beleq). Maka pemuda
itu pun setuju dijemput, dengan syarat Amaq Bangkol diikutkan juga ke istana. Para utusan raja pun menyetujuinya. Maka berangkatlah mereka menuju
istana kerajaan dengan menggunakan pengawalan pasukan berkuda yang ketat.
Setiba
di istana kerajaan, maka pemuda tadi dipersilahkan duduk di atas singgasana
yang sudah dipersiapkan disamping singgasana raja. Namun pemuda tadi menolak
dan memilih duduk dibawah, bersama-sama dengan para bangsawan kalangan istana lainnya.
Rajapun bertanya tentang identitas siapa sebenarnya pemuda itu. Nama, asal-usulnya
serta orangtuanya. Pemuda itu
menjawab, ”Menurut orang Sesait, mereka memberikan aku nama Amaq Beleq, asalku
dari Sesait dan orang tuaku, aku sendiri tidak tahu. Apakah Demung Titik Pati (Datu Sesait yang sedang
berkuasa saat itu) tempat aku dibesarkan sebagai orang tuaku atau bukan, hal itupun aku tidak tahu. Yang jelas aku diberi nama
Amaq Beleq,”terangnya.
Setelah Raja mengetahui identitas pemuda itu,
maka raja berfikir bahwa pemuda inilah yang pantas
menggantikan posisinya sebagai raja Bayan. Atas penawaran Raja ini, Amaq Beleq menolak dengan alasan
dia masih kecil, belum pantas memegang
amanah dan belum berpengalaman serta dirinya juga
bukan dari keturunan bangsawan dari trah keluarga kerajaan Bayan dan bahkan
tidak jelas asal usulnya.
Berbagai upaya dan usaha yang dilancarkan Raja untuk meyakinkan Mak Beleq
agar bersedia untuk duduk di singgasana menggantikan dirinya. Setelah
didesak Raja, akhirnya Maq
Beleq pun menyanggupinya dengan satu syarat, yaitu ketika Maq Beleq diangkat
menjadi Raja Bayan menggantikan posisi Raja Emban Sereak, maka Maq Beleq minta
dijemputkan isterinya di Gunung Rinjani.
Disini
juga letak misterinya. Pemuda tadi
mengaku asalnya dari Sesait, dia tinggal dengan Datu Sesait. Tetapi setelah ditawari jadi Raja
Bayan menggatikan raja emban Sereak, dia setuju, asalkan dijemputkan isterinya
di Gunung Rinjani.
Raja
Emban Serak pun menyanggupinya. Maka
diperintahkanlah para punggawa dan para prajurit kerajaan sejumlah 400 orang
untuk pergi ke gunung Rinjani, guna menjemput isteri Maq Beleq yang katanya
berada di Gunung Rinjani.
Namun
diceritakan bahwa, dalam perjalanan menuju ke gunung Rinjani tersebut, para
utusan kerajaan yang diberangkatkan dengan kekuatan sejumlah 400 orang
tersebut, yang sampai
tujuan hanya tinggal 20 orang. Yang
lainnya, tidak mampu naik melanjutkan perjalanan dan
bahkan diantara para prajurit utusan tersebut, banyak
yang meninggal. Selain itu, banyak diantara para prajurit yang di utus ada
yang percaya dan ada pula yang tidak percaya.
”Mustahil
seorang pemuda dari udik yang tidak tahu asal usulnya dan yang akan dijadikan
raja di Bayan, katanya memiliki istri di gunung Rinjani lagi, ”kata sebagian prajurit yang tidak
percaya itu.
Dikisahkan,
para utusan yang jumlahnya hanya 20 orang yang sampai tujuan ke gunung Rinjani dalam
rangka menjemput istri Maq Beleq tersebut, terperangah dan kaget. Ketika mereka tiba di gunung Rinjani, ternyata
isteri Maq Beleq (Nenek Bini) yang dimaksud, sudah bersiap-siap akan berangkat,
lengkap dengan kereta ‘Juli Jempana’ (tandu
pengantin) miliknya.
Akhirnya,
isteri Amaq Beleq Nenek Bini dengan di arak keliling di sekitar gunung Rinjani itu pun berhasil dibawa pulang oleh 20 orang prajurit ke kerajaan
Bayan. Sejak saat itu, Amaq Beleq diangkat
sebagai Raja Bayan menggantikan Raja sebelumnya Emban Sereak, dengan sebutan ”Datu Bayan.”
Setelah
Maq Beleq resmi memangku jabatan sebagai Raja Bayan (Datu
Bayan), maka misi utama yang akan
dilakukan Datu Bayan kala itu adalah menggiatkan penanaman Tauhid dan Syareat
Agama Islam, dengan tidak meninggalkan budaya yang berkembang dan berlaku
sebelumnya di daerah Bayan. Ini
berarti, agama jalan dan adat pun jalan seiring. Inilah misi utama Datu Bayan.
Selain
misi itu, ada misi yang paling besar dalam menyebarkan ajaran Islam, yaitu,
Datu Bayan berkeinginan mengislamkan orang Jawa, Madura, Bali, Surabaya dan seluruh kawasan pulau
Lombok. Sehingga
daerah-daerah yang ada di Jawa, yang pernah di kunjunginya dalam misi
penyebaran agama Islam oleh para utusan Datu Bayan kala itu antara lain, seperti Betawi, Banten, Surabaya, Jombang dan Sumenep.
Dalam
perjalanan pulang, para utusan Datu Bayan ini, pernah singgah di Bali yaitu di
daerah Singaraja dan Karangasem. Namun,
sebelum para utusan ini diberangkatkan dalam misi penyebaran Agama Islam
tersebut, ada sebuah kesepakatan antara Datu Bayan dengan para utusan yaitu
sebelum misi selesai penyebaran Islam di pulau Jawa, Madura dan Bali, maka para
utusan tidak boleh kembali. Setelah misi tersebut sudah selesai baru penyebaran
Islam di pusatkan di pulau Lombok.
Tetapi,
kesepakatan tersebut tidak di patuhi oleh para ulama yang ada di Lombok. Artinya, para ulama yang ada di
Lombok menginginkan agar penyebaran Islam di Lombok dilakukan bersamaan dengan
para utusan yang ke pulau Jawa.
Dengan
melanggar kesepakatan tersebut, ada seorang ahli nujum yang menghadap Raja,
melaporkan bahwa ada musuh kerajaan yang asalnya dari pulau Bali bernama
“Nengah Subagan”.
Raja
bertanya kepada ahli Nujum tersebut, tentang siapa sebenarnya Nengah Subagan
itu. Ahli Nujum mengatakan bahwa
keberadaan Nengah Subagan saat itu, masih dalam kandungan ibunya yang baru
berusia 3 bulan.
Sementara
itu, penyebaran Islam di pulau Lombok khususnya di daerah utara gunung Rinjani,
yang lebih dikenal dengan sebutan “Paer Daya” itu terus berlangsung. Sehingga
dalam misi penyebaran Islam di Paer Daya dibeberapa daerah utara gunung
Rinjani, diberikan hak otonomi untuk mendirikan Mesjid/langgar sebagai tempat
ibadah dalam menjalankan syareat Islam.
Itulah
sebabnya, hingga saat ini beberapa peninggalan Mesjid Kuno di daerah utara
gunung Rinjani masih ada dan tetap terpelihara. Daerah-daerah tersebut antara lain, Mesjid Borok
Sokong Tanjung, Mesjid Soloh Rempek, Mesjid
Sesait, Mesjid
Salut, Mesjid Gumantar, Mesjid Anyar, Mesjid Bayan, Mesjid
Loloan, Mesjid Barung Birak, Mesjid
Sukadana, Mesjid Sembagek, Mesjid Batu Gembung Embar-embar dan lain-lain.
Dalam
misi penyebaran Islam dengan memberikan hak otonom tersebut, maka Datu Bayan
berfatwa yang terakhir di Mesjid Kuno Bayan, “Bahwa seluruh ulama dan tokoh
adat penyebar Islam di undang untuk mendengarkan Fatwa terakhir Datu Bayan”.
Isi
Fatwa Datu Bayan : “Saya sampai disini misi saya dalam penyebaran Islam. Silahkan dilanjutkan dan
pertahankan penyebaran Islam di seluruh pelosok daerah otonom masing-masing.”
Pada
saat berlangsungnya Fatwa Datu Bayan tersebut, secara fisik memang keberadaannya sudah tidak kelihatan, hanya suaranya
saja (maerat) yang didengar oleh seluruh undangan yang hadir mendengarkan
fatwanya yang terakhir itu.
Sehingga
Datu Bayan, saat memberikan fatwa terakhir, berpesan dan mengingatkan kepada
seluruh ulama dan tokoh adat yang hadir, bahwa barang siapa yang ingat kepada
dirinya (Datu Bayan), maka datanglah ke tempat itu
(Mesjid Kuno Bayan), dia pasti ada
disitu (Mesjid Kuno Bayan).
Masing-masing
orang/ulama yang mendengar suara fatwa terakhir Datu Bayan itu, dimana sumber
suara tersebut, lalu diberi
tanda dengan batu. Sehingga sampai saat ini, masyarakat mengenalnya dengan
jirat Makam Bayan, Makam
Sesait, Makam
Karang Salah, Makam Semokan, Makam
Loloan dan makam-makam lainnya, yang
semuanya itu terletak dilingkungan Mesjid Kuno Bayan.
Khusus
di Sesait, untuk mengenang jasa Maq Beleq, karena untuk pertama kalinya dia
muncul di Sesait (Koloh Bandan), ternyata Maq Beleq itu adalah seorang Sayyid
keturunan Nabi Muhammad Saw, yang oleh orang Sesait dikenalnya dengan nama Si
Sayyid (Sayyid Anom), sehingga untuk mengenangnya diabadikan dengan nama sebuah
kampung, yang hingga saat ini bernama Sesait.
C.
SEJARAH
DESA SESAIT SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN ISLAM DAN PEMERINTAHAN PERTAMA
Desa Sesait adalah desa tertua dari 8 desa yang ada di wilayah
Kecamatan Kayangan. Pasalnya, sebelum berdiri 7 desa lainya, Desa Sesait sudah
ada. Pemberian nama Sesait, tidak terlepas dari peran para wali yang memang
sengaja datang dari Timur Tengah (Bagdad) dalam misi penyebaran Agama Islam di
daerah itu.
Nama dan istilah Sesait
berasal dari bahasa Arab, yaitu Sayyid, sebagai istilah untuk memberi gelar
kepada para pemimpin agama atau orang yang memiliki pengetahuan luas dibidang
agama Islam. Kata Sayyid, juga digunakan untuk menunjuk seseorang yang memiliki
gelar keturunan atau sahabat Nabi Muhammad Saw yang menyebarkan agama Islam.
Berawal dari
sebuah kampung kecil pada awal abad 14 M,
terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan
budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut,
sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer Sesait kala itu, masyarakat kampung tersebut sudah memiliki
keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam
Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima
(dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki
faham dan keyakinan yang sangat kuat.
Setelah kedatangan para Wali Allah (para
penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut,
maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.
Konon menurut Piagam Sesait
Kitab Muhtadi’, pada abad 14 M,
Sesait dijadikan sebagai Pusat
Penyebaran Islam dan Pusat
Pemerintahan Pertama yang
mencakup wilayah kekuasaan
Sesait, karena berdasarkan atas
keputusan para wali di Jawa,
bahwa wali yang pertama mengijakkan
kakinya di gumi Sesait kala itu ada dua orang yaitu Syech Sayyid Saleh Pedaleman, asal Makkah Al-Mukarramah
dan Syech Sayyid Rahmad.
Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan
ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar
Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan
perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini
tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka sepakat siapa yang tetap
tinggal dan yang akan melanjutkan perjalanan.
Sejarah mencatat, bahwa yang tetap
tinggal di kampung tersebut adalah
Syech Sayyid Saleh Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku
Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran
Sangapati atau lebih dikenal dengan nama
Melsey Jaya. Kanjeng Syeh Sayyid Saleh Pedaleman setelah ditinggal rekannya
Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir
hayatnya. Syeh Sayyid Saleh Pedaleman
inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait.
Setelah mangkat tahun 1413 M., beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait
sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makamnya hingga saat
ini, yang oleh masyarakat Sesait menyebutnya “Makam Kubur Beleq”.
Kanjeng
Sayyid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi
Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa dwipa untuk melanjutkan syiar
Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab
Muhtadi’) yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan,
sepeninggal Kanjeng Said Rahmad dari
bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam
itu, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayyid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat
laun nama kampung itu berubah dari Si Sayyid menjadi Sesait.
Inilah awal mula kampung tersebut diberikan nama Kampung Sesait hingga
sekarang. Sesuai dengan nama beliau sendiri Sayyid Rahmat yang artinya dalam bahasa arab keselamatan. Adapun peninggalan – peninggalan serta
ajaran - ajaran Sayyid Rahmat yang masih ada
yang kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) seperti, Kitab
Suci Al Qur’an Cetakan Turki Pertama
tahun 1433 M, Kitab Slawatan yang di
tulis tangan oleh beliau sendiri,
yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang
terbuat dari Hati Pisang. Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda
tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul
dan Tasawuf, dimana metode yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya,
tidak pernah bertentangan dengan adat -
istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu
yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan
para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih
kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait.
Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para
pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai.
Sepeninggal Kanjeng Said Rahmad berlayar ke gumi jawa Dwipa kala itu,
lalu beliau menempatkan kampung Si Sayyid (Sesait) sebagai pusat
penyebaran agama Islam dan sekaligus di jadikan sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Sesait. Adapun wilayah Kerajaan Sesait yang
di jadikan sebagai pusat Pemerintahan kala itu
menjadi satu wilayah. Namun sekarang sudah berubah menjadi beberapa buah
desa yang berdiri sendiri, yaitu Desa Pendua, Dusun Santong Asli Desa
Santong, Desa Kayangan dan Desa Sesait
sendiri. Walau wet Sesait ini sudah masuk menjadi bagian desa lain dan di
pisahkan secara administrasi, namun wet adatnya masih tetap satu yaitu wet adat
gumi paer Sesait. Kampu Sesait yang oleh
Sayid Rahmat dijadikan sebagai
keratonnya dan dalam struktur Pemerintahan di bentuklah
lembaga pemerintahan yang di sebut Tau Lokaq Empat, yaitu Mangku Gumi sekaligus sebagai Raja,
Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan, Jintaka sebagai Pengatur pola tanam di bidang
perekonomian dan Penghulu membidangi di bidang Agama yang mencakup
wilayah kekuasaan Kerajaan Sesait.
Selanjutnya dalam Kitab Muhtadi’ yang menjadi sumber tertulis Sejarah Sesait menyebutkan,
Pengangkatan Raja Pertama Sesait kala itu dijalankan berdasarkan atas keputusan
keluarga Kerajaan dan bukan memakai sistem Demokrasi seperti yang berlaku di
Negara yang menganut paham demokrasi. Hal tersebut dilakukan karena ini masalah
urusan Trah Kerajaan dan itu juga di setujui oleh para Wali penyebar agama
Islam (Sayid
Rahmat) ketika itu, sekitar
pertengahan abad 15 M silam. Pengangkatan Raja pertama Sesait dengan
gelar Pangeran Mangku Gumi (Satu) sesuai dengan silsilah keturunan yang sudah
tertulis di dalam Piagam Sesait (Kitab Kontara dan Kitab Muhtadi’), dan inilah
yang menjadi pedoman keluarga Kerajaan dalam hal pengangkatan Raja, dari
pertama terbentuk sampai saat ini dan
itu tidak bisa di interfensi oleh siapapun, karena itu mutlak keputusan Trah
keluarga Kerajaan (sesuai Purusa) yang sudah baku sejak pertamanya terbentuk.
Setelah terbentuknya Mangku Gumi, barulah
Mangku Gumi mengangkat Pemusungan
sebagai Kepala Pemerintahan pada waktu itu, kemudian Penghulu dan Jintaka. Untuk membantu dalam menjalankan
pemerintahannya, Pangeran Mangku Gumi, juga mengangkat Seorang Senopati
Perang yaitu Senopati Anggura Paksa
dan empat orang Patih sekaligus, yaitu Daman, Jumanah, Rapiqah
dan Raqiah. Konon ke-empat orang
patih ini adalah bersaudara dan khusus
di datangkan dari Negeri
Iraq Bagdad. Di ceritakan dalam piagam Sesait, ketika Said Rahmat meninggalkan kampung Sesait untuk berlayar
melanjutkan perjalanannya ke Jawa Dwipa, namun sebelum sampai ke Jawadwipa,
beliau sempat singgah di Serean Karang Asem dan Klungkung Bali, setelah itu
baru kemudiam beliau melanjutkan perjalanan ke tanah Jawadwipa. Sesuai dengan
wasiat beliau, kisah perjalanan Said
Rahmat dari Sesait ke Pulau Jawa tepatnya di Ampel Denta
Surabaya, di tulis oleh Lebe
Seriaji ( santri beliau sendiri), hingga saat ini tulisan beliau masih
tersimpan dengan baik di Kampu Sesait.
Kurun waktu dua abad lebih lamanya, Sesait
mengalami masa kejayaannya. Pada masa Pemeintahan Layur tahun 1725-1755 M. Pada zaman itu terjadi peristiwa yang hingga saat ini masih melegenda pada
rakyat Sesait, yaitu cerita tentang munculnya seorang bayi yang dikemudian hari
menjadi ulama besar yang bergelar Pangeran
Sayyid Anom. Di bawah asuhan ulama besar inilah sehingga Islam pada zaman itu berjaya di gumi paer Sesait. Tidak heran banyak santri
yang menimba ilmu di daerah ini, yang rata-rata mengambil aliran jalan tassawuf.
Dalam perjalanan sejarah beberapa abad
kemudian, Sesait yang dulunya sebuah kampung lambat laun berubah menjadi sebuah
desa. Menurut Djekat salah seorang sesepuh yang dituakan di gumi paer Sesait
mengatakan, Desa Sesait sudah ada sejak tahun 1895 dengan Pemusungan (Kades)
yang pertama bernama Murdip (asal Lekok) dengan pusat pemerintahannya di
Amor-Amor. Kemudian pada masa Mardawati tahun
1928, Desa Sesait dipindahkan ke Lokok Rangan. Dengan pindahnya Desa Sesait
tersebut ke Lokok Rangan maka berdirilah Desa Selengen tahun 1929 dengan Kepala
Desa Pertamanya Redip.
Ketika pusat pemerintahannya di Lokok
Rangan, Desa Sesait telah diperintah oleh 3 orang pemusungan, yaitu Amaq Aliah
(1928-1945), Amaq Muliamah (1945-1958) dan Jumais tahun 1958 hingga tahun 1966
saat desa tersebut di pindahkan ke Santong. Dengan pindahnya Desa Sesait ke
Santong, maka berdirilah Desa Kayangan dengan Kepala Desa pertamanya Israil
Ismail DM tanggal 26 Agustus 1966.
Sejak Desa Sesait di pindahkan ke
Santong tanggal 26 Agustus 1966 hingga tahun 2006, Pemusungan Sesait yang
memerintah secara berurutan antara lain, Amaq Saharim (1966-1967), Amaq Raidin
(1967), Medip (1968-1970), Dahlan (1970-1974), Seta Antadirja (1974-1979),
Djekat (1979-1987), Satriadi (1987-1988), Djekat (1988-2006) dan pada tahun
1997, Desa Sesait kembali di pindahkan ke Sumur Pande dengan Pemusungan masih
di jabat Djekat.
Dengan pindahnya kembali Desa Sesait
ke Sumur Pande pada tahun 1997 tersebut, maka berdirilah Desa Santong dengan
Kepala Desa pertamanya Artim Yahya (1997). Setelah lengser pada tahun 2006,
Djekat diganti oleh Sidep (2006-2007), lalu Murdan (2007-2012) dan terakhir
Airman,S.Pd (2013-sekarang).
Sejak berdirinya hingga saat ini, Desa
Sesait tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarahnya. Desa dengan motto
Merenten (bersaudara) yang dijadikan maskot semangat seluruh masyarakatnya
dalam bekerja yang sebagian besar hidup dari hasil pertanian ini, telah mampu
menunjukkan hasil yang patut di banggakan. Seperti dalam bidang pertanian,
perkebunan dan peternakan. Ketiga sektor inilah yang dijadikan prioritas
unggulan yang dihasilkan desa ini.
Pemusungan Sesait sejak di jabat oleh
Djekat semangat Merenten itu terus di galakkan dan di budayakan hingga
pemerintahan Airman yang sekarang. Semangat Merenten inilah yang dianut tatkala
akan memulai suatu pekerjaan. Lebih-lebih di setiap akan memulai suatu program
yang direncanakan. Acapkali semangat inilah yang selalu di kedepankan dalam
setiap pengambil kebijakan. Termasuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam
setiap menjalankan program pembangunan, baik dalam bidang pemerintahan,
pembangunan maupun dalam bidang kemasyarakatan.
Sejalan dengan berjalannya waktu, Desa
Sesait yang memiliki luas 17.100 Ha dengan jumlah penduduk 10.127 jiwa, 2.792
KK serta kepadatan penduduknya 0,592 /km tersebut pun pada awal tahun 2015,
berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Lombok Utara Nomor 15 tahun 2015 tanggal
11 Mei 2015, kemudian melahirkan Desa Santong Mulia dengan Penjabat Kepala Desa
pertamanya Eko Sekiadim,S.Sos (SK.Bupati No.268/28/Pem/ 2015 tgl.11 Juni 2015)
asal Lokok Sutrang dan Desa Sesait sendiri sebagai Desa Induk.
Desa Santong Mulia dengan luas wilayah
223,26 Ha, dan jumlah penduduk 2.560 jiwa, yang terdiri dari Laki-laki 1.354
dan Perempuan 1.206 serta 588 KK tersebut, membawahi enam dusun, yakni Dusun
Tukak Bendu dengan Kepala Dusun Sukarti, Dusun Lokok Sutrang dengan Kepala
Dusun Asrudin, Dusun Mula Gati dengan Kepala Dusun Amudin, Dusun Santong Mulia
dengan Kepala Dusun Iswandi, Dusun Sumur Jiri dengan Kepala Dusun Munawar dan
Dusun Lokok Rauk dengan Kepala Dusun Kamarudin ini, berbatasan langsung dengan
Desa Kayangan di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Gumantar
dan Desa Dangiang, sebelah barat dengan Desa Sesait dan Desa Pendua dan sebelah
selatan berbatasan dengan Desa Sesait (Induk).****
BAB II
PRANATA LOKAL ADAT WET SESAIT
A.
KONDISI
PRANATA LOKAL SESAIT
Beberapa
temuan dalam intervensi pranata lokal pada wet Sesait (Persekutuan Adat
Sesait), fungsi dan eksistensinya di masyarakat wet Sesait yang membawahi 4
Desa dan satu dusun yakni Desa Kayangan, Desa Sesait, Desa Santong Mulia, Desa
Pendua dan Desa Santong (khusus Dusun Santong Asli) sampai saat ini sangat
kuat.
Tidak
jarang institusi (pranata) ini masih efektif dan mampu menyelesaikan berbagai
persoalan dan konflik horisontal serta mampu mengajukan perubahan struktur
pemerintahan desa berikut tugas dan fungsi tanggung jawabnya.
Menurut
Perbekel Adat Sesait Masidep, menjelaskan bahwa institusi pranata lokal dan
unsur-unsur yang mampu bertahan dan ada yang diaktifkan kembali dalam
sistem Pemerintahan Desa pada era
otonomi luas saat ini, diantaranya, sebut saja Banjar, Lang-lang, Merebot,
Kyai, Penghulu, Calak, Pembayun, Mangku, Belian, Pemusungan, Juru Tulis,
Keliang, Jintaka, Anakoda, Pengancang, Nyawen dan lain-lain.
Keberadaan
institusi dan pranata lokal di Sesait ini, lanjut Masidep, tetap bertahan dari
zaman ke zaman dan eksistensinya tetap kuat untuk di jalankan, baik dari segi
tugas, fungsi maupun tanggung jawabnya.
Selanjutnya
temuan hasil inventarisasi beberapa institusi dan pranata lokal, baik yang
masih tetap dipakai oleh Pemerintah setempat dan masyarakat, namun harus
dikembalikan dahulu, maupun yang masih kuat keberadaannya ditengah-tengah
masyarakat, serta menjabarkan peran, fungsi dan tanggung jawabnya dari
satuan-satuan pemerintahan desa.
Menurut
pemerhati Adat Wet Sesait, Abidin Tuarita,B.Sc
mengatakan bahwa, institusi dan pranata lokal yang sampai saat ini
diberdayakan kembali, diantaranya adalah Pemusungan, Keliang, Juru Tulis, Juru
Arah, Lang-lang, Mangku Gumi, Penghulu,Toak Lokaq, Jintaka, Aji Makam, Anakoda
dan lain-lain.
Selanjutnya
Abidin Tuarita juga menjelaskan bahwa institusi dan pranata lokal yang kembali
diberdayakan di Sesait ini, adalah merupakan hak-hak masyarakat adat yang
selama era pemerintahan orde baru telah dikebiri bahkan dibekukan.
Konsepsi
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa pemerintahan orde baru,
benar-benar mengalami internalisasi setelah keluarnya UU No.5 Tahun 1979.
Keluarnya produk Undang-undang ini memberi arti yang cukup mendalam bagi
tenggelamnya hak-hak masyarakat adat atas kelembagaan sosial, budaya, ekonomi
dan politik.
Undang-undang
Pemerintahan Desa yang berbau monolitik ini, lanjut Abidin, memberlakukan
penyeragaman struktur pemerintahan desa yang sebelumnya memiliki struktur
kelembagaan pemerintahan masyarakat adat yang plural.
”Hak-hak
masyarakat adat meliputi tiga hal mendasar, yaitu, pertama; mengacu pada hak-hak atas sumber kehidupan/hak ulayat yang
berada diwet geografis mereka, kedua;
pengakuan hak-hak masyarakat adat didasarkan pada tradisi dan hukum yang
mengatur masyarakat adatnya sendiri; dan yang ketiga adalah pengakuan pada sistem dan kelembagaan sosial, budaya,
ekonomi dan politik, ”urai Abidin Tuarita.
B.
POLA
PEMERINTAHAN DESA DI SESAIT
Untuk
mewujudkan otonomi masyarakat desa pada era otonomi luas saat ini, di Sesait
selama beberapa tahun terakhir ini (sejak tahun
2001), telah membangun pola pemerintahan kolektif dengan mengefektifkan
dan memfungsikan peran Pemusungan, Penghulu dan Mangku (tiga basis ketokohan).
Membangun
tiga basis ketokohan ini, menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menjelaskan
bahwa secara struktural merupakan perubahan yang sangat fundamental dan
strategis dalam menyelenggarakan pola pemerintahan di tingkat desa.
Pola
Pemerintahan Kolektif dengan tiga kekuatan tokoh adat ini, disebut ”Wettu Telu”
atau menurut Tau (orang) Sesait lazimnya disebut ”Waktu Telu”.
Istilah
Wettu Telu sejak zaman dahulu, lanjut Masidep, bahwa hal itu sering digunakan
pada sebuah pemerintahan kolektif karena memiliki akar budaya yang sangat kuat
dengan nuansa agama yang sangat relevan yaitu ”adat luwir gama” (pelaksanaan
adat bersendikan agama).
”Pola
pemerintahan kolektif dengan kekuatan Wettu Telu ini, wet artinya wilayah,
Tu/Tau artinya orang/tokoh dan Telu artinya tiga,”jelas Masidep.
”Dengan
demikian, tiga wet atau wilayah masing-masing memiliki pemimpin tersendiri,
yaitu Wet Pemerintah dipimpin oleh Pemusungan; Wet Agama dimpin oleh Penghulu
dan Wet Adat Budaya dipimpin oleh Mangku Gumi,”tandasnya lagi.
Menurut
tokoh adat Sesait yang juga anggota DPRD
KLU Djekat Demung Waji, mengatakan bahwa kembalinya nilai pranata lokal melalui
pola kepemimpinan kolektif (Wettu Telu), dalam upaya menghilangkan indikasi
’penguasa tunggal’ atau dominasi Kepala Desa dengan memfungsikan lembaga yang
memang sudah ada sejak dahulu.
Misalnya,
sebut saja seperti di Desa Sesait ini, bahwa sistem pengambilan keputusan;
seorang Pemusungan selalu mengacu pada kekuatan agama dan adat, sehingga dalam
pengambilan keputusan selalu melibatkan kepemimpinan kolektif yang terdiri atas Pemusungan, Penghulu dan
Mangku Gumi (Perbekel Adat), yang merupakan figur publik, dimana masing-masing
tokoh ini memiliki keahlian dibidangnya.
Selanjutnya
papar Djekat, ”bila pada era orde baru terjadi dominasi kekuasaan oleh Kepala
Desa dalam arti penguasa tunggal di desa, maka mau bilang apa, sebab UU No.5
Tahun 1979 membentuk karakter itu, ”katanya.
Disamping
itu, jelas Djekat DW, bahwa pola pemerintahan yang dahulu memiliki hirarkis
yang sangat kuat, jadi ada sistem komando. Saat ini era reformasi sudah
bergulir dan kran demokrasi sudah dibuka, maka sebaiknya para Kepala Desa harus
meresponnya untuk membentuk pola pemerintahan lokal dengan melibatkan semua
unsur di desa, sebagai satu kesatuan.
Menyimak
pernyataan Djekat DW ini, maka sudah dapat dipastikan bahwa, hukum berupa UU
No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, telah melakukan pendekatan
sentralistik dan berbau monolitik (kekuasaan tunggal), hingga menghilangkan
hak-hak masyarakat adat dan menyumbat Grass Root Democraty.
”Dengan
adanya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka memberikan ruang
gerak bagi pranata lokal untuk dimunculkan kembali dalam Pemerintahan
Desa,”jelas Djekat.
Pola
Pemerintahan di Desa Sesait telah menyatukan semua elemen sebagai satu kesatuan
hukum untuk mewujudkan hak politik, demokrasi dan partisipasi masyarakat, yaitu
hak berpendapat, hak memilih dan dipilih, serta hak pengawasan. Disamping itu,
pola hubungan pada sistem pemerintahan ini memiliki pola hubungan konsultatif,
koordinatif, kontrol dan fasilitatif.
C.
KONDISI KELEMBAGAAN ADAT WET SESAIT
Dijadikannya sistem Kelembagaan Adat Wet
Sesait sebagai Pilot Projeck (Proyek Percontohan) oleh Bank Dunia dalam hal sistem tata kelembagaan Adat. Hal itu berdasarkan hasil pantauan
dan penelitian awal terhadap keberadaan dan fungsi sosialnya yang masih utuh serta masih diakui oleh
Komunitas Masyarakat wet Adat Sesait.
Hal ini diakui oleh Juru
Tulis Pembekel Adat Sesait, Masidep, saat ditemui di Bale Pesanggrahannya di Dusun Sumur Pande Tengah Desa Sesait tahun 2011 lalu mengatakan,
keinginan Bank Dunia untuk menjadikan Kelembagaan Adat Wet Sesait sebagai Pilot
Projeck telah disampaikan beberapa kali kepada pihaknya, bahkan dalam rangka
itu pihaknya juga pernah di undang dalam kegiatan-kegiatan seminar maupun work shop
di Hotel Lombok Raya Mataram.
Ia juga menjelaskan tentang
beberapa hal yang menjadi fokus kajian Bank Dunia terkait pranata Adat dan pranata sosial budaya gumi paer Sesait, diantaranya sistem sosial Komunitas Masyarakat Adat
Sesait, Sistem Kelembagaan Adat dan Awik-awik (aturan hukum) baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis.
Untuk diketahui, ada beberapa
Norma Adat yang dijadikan pedoman hidup Komunitas Masyarakat Adat Sesait, yaitu
pertama, Adat Luir Gama (Norma Agama) sebagai Sumber Pedoman Utama. Kedua, Adat
Tata Krama yang di dalamnya juga mengatur tentang Aji Krama atau Adat
Pemulangan (Pernikahan). Ketiga, Adat Tapsila atau Norma Sopan Santun dan Kesusilaan.
Ketiga norma Adat tesebut
menganut hubungan Hirarkis yang merupakan satu kesatuan utuh, tidak bisa
terpisahkan satu dengan lainnya dalam penanganan ataupun penyelesaian persoalan
yang ada. Ketiga Norma Adat tersebut masing-masing terdiri dari beberapa bagian
dengan Dosa Angkatan dan lambang tersendiri baik itu yang berkaitan dengan
kasus Pidana maupun perdata.
“Untuk dimaklumi, butuh waktu
satu bulan untuk mengupas sebagian dari sistem sosial dan kelembagaan adat komunitas
masyarakat Sesait ini, ”tandas Masidep.
Ketua Pembekel Adat Amaq
Suniarni yang juga akrab disapa Amaq Degoh ini membenarkan apa yang dikatakan Juru Tulisnya bahwa Bank
Dunia sedang menjajaki Komunitas-komunitas Adat untuk dijadikan proyek
percontohan. Terkait dengan Komunitas Adat Sesait sebagai pilot projek untuk
saat ini belum ada kesepakatan yang jelas dengan pihak Bank Dunia.
Menurut Bank Dunia yang di
tuturkan kembali oleh Amaq Degoh, dalam hal adat
istiadat Sesait memang paling layak untuk dijadikan sebagai pilot projek, mengingat Komunitas
Masyarakat Adat Sesait masih mengakui dan mempertahankan tradisi leluhur.
Setiap pelaksanan Ritual Adat yang dipusatkan di Kampu Sesait dan Masjid Kuno,
masyarakat dari berbagai penjuru berbondong-bondong mengikuti pelaksanaan
Ritual adat.
Ia juga menjelaskan Luas
wilayah Sesait berdasarkan Kara-Kara (Sejarah) memiliki batas-batas yaitu batas
sebelah barat laut adalah Dangar Teduh (Pohon Kayu Dangar) yang berada
di Tanak Song Desa Jenggala Kecamatan Tanjung. Batas Sebelah Timur laut adalah Ketapang Sejolo
Dusun Tampes Desa Selengen Kecamatan Kayangan. Batas sebelah tenggara adalah Lokok Tangkok areal
Hutan Lindung dan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan sebelah Barat Daya
adalah Punikan sebelah utara Kecamatan Lingsar Lombok Barat.
Namun, Amaq Degoh
berpandangan bahwa, seiring perkembangan Zaman dan pada era Orde Baru muncul
kebijakan Penyeragaman sistem Pemerintahan Desa yang mengakibatkan terjadinya
pemecahan wilayah Komunitas Adat menjadi tiga bagian wilayah adat dan beberapa
Desa.
Untuk saat ini, ada empat
Desa yang tetap memusatkan pelaksanaan Ritual
Adat di pusat budaya (Kampu Sesait) yaitu : Desa Sesait sebagai Desa
Induk dengan kepala Pemerintahan bergelar Pemusungan, Desa Pendua dengan kepala
Pemerintahan adalah Kepala Desa, Desa Kayangan dengan Kepala Pemerintahan
adalah Kepala Desa dan Desa Santong dengan Kepala Pemerintahan adalah Kepala
Desa, dimana keempat Desa tersebut berada di Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok
Utara.
Menurut Amaq Degoh, semua kegiatan-kegiatan
Ritual adat yang dilaksanakan di wet Sesait selalu berpedoman kepada ajaran
Agama Islam, misalnya pada saat pelaksanaan ritual Aji Makam “Pulek Taon Lakok Balit (pergantian musim Hujan ke
Kemarau) dan Pulek Balit Lakok Taon, semua prosesi bernuansa keagamaan seperti
mengaji sampai namatang (tamat) sebungkul (30 Jus) Al-Quran di Masjid Lokak yang dipimpin oleh Lokak
Empat (Empat Orang Tua dalam Sistem Kelembagaan Adat Sesait) yaitu Mangku Bumi, Pemusungan, Penghulu dan
Jintaka.
Demikian pula dalam Ritual
Adat lainnya, misalnya dalam pelaksanaan Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad
SAW selama empat
hari tiga malam juga dipusatkan di dalam Kampu dan Masjid Lokak (Kuno).
Sementara itu tokoh Masyarakat
Adat Lombok Utara Djekat Demung Waji, menyambut baik keinginan Bank Dunia untuk menjadikan
Sesait sebagai Pilot Projeck dalam hal tata kelembagaan adat. Tokoh kharismatik
yang juga Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini mengungkapkan
bahwa kepercayaan Bank Dunia adalah moment penting untuk menjelaskan tentang
keberadaan Masyarakat Adat yang sesungguhnya karena selama ini muncul stigma
yang kurang bersahabat terhadap keberadaan komunitas masyarakat adat.
Misalnya, sebut
Djekat, istilah Waktu
Telu yang sering disalah pahami oleh sebagian orang. “Waktu telu sering
dikonotasikan dengan ajaran sesat dan menyimpang dari ajaran agama Islam,
padahal tidak demikian, buktinya kami memiliki Kitab Al-Quran cetakan pertama pada
zaman Turki Usmani dan masih banyak lagi benda-benda bersejarah peninggalan
Para Wali yang kini tersimpan di dalam Kampu Sesait,” ungkap Djekat.
D.
NILAI KEARIFAN LOKAL MERENTEN SEBAGAI
FALSAFAH
Merujuk pada dinamika
kehidupan modern saat ini, dapat di saksikan warna kehidupan yang didominasi
oleh sikap dan prilaku yang merupakan buah transformasi budaya Barat sebagai pengaruh langsung Globalisasi.
Sikap dan prilaku tersebut
adalah cerminan dari mindsite berpikir yang tidak lazim dimiliki oleh masyarakat
Dunia Timur. Kerangka pikir Dunia Barat tersebut dimotori oleh paham
Kapitalisme yang lahir dari filsafat materialisme dan filsafat Dialektika.
Filsafat materialisme
memandang kehudupan ini sebagai suatu sistem mekanistik yang akan terus berjalan dan akan menghasilkan
materi baru sebagai hasil perubahan dari materi itu sendiri.
Masyarakat Barat memandang
bahwa materi adalah realitas kehidupan sehingga setiap aktivitasnya harus
menghasilkan materi walaupun jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana dianut masyarakat Dunia Timur.
Strategi atau upaya untuk
menghasilkan materi adalah dengan membangun sistem kapitalistik, dimana
penguasaan terhadap modal (uang, bahan baku industri, energi dan lain-lain) merupakan tujuan dalam
rangka mencapai kepuasan hidup. Untuk menjamin berjalannya sistem kapitalis maka
dikombinasikan dengan faham liberal (paham Kebebasan individual). Kebebasan
tanpa batas dan tanpa kendali Agama sebagai sumber Moral.
Masyarakat barat selain
memandang materi adalah realitas kehidupan dan penguasaan terhadap materi
secara bebas merupakan keharusan, mereka juga meyakini bahwa dalam dinamika
kehidupan ummat manusia tidak lepas dari peristiwa konflik. Jadi mereka meyakini bahwa konflik adalah
keniscayaan (paham dialektika).
Paham dialektika memandang
bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih baik harus melalui
peristiwa konflik. Paham inilah yang menjadi sumber malapetaka dalam kehidupan
umat manusia. Paham ini memicu setiap orang untuk berusaha sekuat mungkin dalam
memperoleh atau menguasai sumber-sumber kehidupan demi kepentingan pribadi
melalui persaingan tidak sehat.
Dalam persaingan harus ada
yang dikalahkan atau harus ada sebagai pemenang dengan pengakuan sebagai orang
terkuat layaknya kehidupan rimba. Mengacu pada realitas tersebut tidak
mengherankan jika kita sering menyaksikan terjadinya konflik dimana-mana dalam
Negara kita atau di sekitar lingkungan kita sendiri terutama konflik yang
didominasi oleh kaum muda. Hal ini adalah akibat dari perubahan cara berpikir
dan perilaku yang cenderung kebarat-baratan.
Contoh yang lebih nyata dalam
konteks sosial
budaya lokal masyarakat Lombok Utara, (KLU) yang notabene-nya dianggap
sebagai masyarakat yang kental dengan nilai-nilai adat istiadatnya justru
sebaliknya kering, bagaikan musik tanpa makna.
Masyarakat telah kehilangan
jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya seperti hilangnya solidaritas sosial,
tenggang rasa, gotong royong dan rasa kekeluargaan. Realitas ini timbul sebagai
akibat dari arus perubahan cara berpikir pragmatis-praktis dipengaruhi oleh
globalisasi dengan kendali kaum-kaum kapitalisme dan imperialisme barat yang
memandang bahwa materi adalah tujuan hidup dan manusia tidak ada bedanya dengan
binatang, siapa kuat ia menang (eloknya seperti hukum rimba).
Menyimak realitas
tersebut, tentu kita perihatin sebagai
anak bangsa yang meyakini bahwa kita adalah bangsa yang besar dan beradab atau bangsa yang memiliki
budaya dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dengan menganggap orang lain
adalah saudara (renten) dan kawan bukan lawan atau pesaing.
Namun demikian membangun
prinsip dan konsep hidup tersebut tidaklah mudah karna harus memiliki landasan
yang kuat sebagai sumber moral dan sumber kaedah-kaedah dalam kehidupan.
Artinya suatu komunitas masyarakat tertentu yang memiliki latar belakang
sejarah dan sumber moral adalah sangat potensial dalam mempengaruhi dinamika
kehidupan global baik secara langsung maupun tidak (membangun kader-kader muda
yang cerdas dan bermoral), misalnya seperti Komunitas Masyarakat Adat Wet
Sesait.
Masyarakat wet Sesait dalam
wilayah Kabupaten Lombok Utara merupakan masyarakat yang masih mengakui
dan terikat dengan nilai-nilai adat istiadat (Lokal Genuine). Salah satu
indikatornya adalah semboyan Merenten (Persaudaraan). Walaupun
demikian tidak dipungkiri terjadinya pergeseran nilai akibat kebijakan
pariwisata dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kearifan lokal.
Semboyan Merenten tidak lahir
begitu saja, tetapi semboyan Merenten merupakan hasil atau bentuk dari
kemurnian nilai-nilai adat istiadat dan budaya berdasarkan keyakinan keagamaan.
Secara harfiah Merenten berasal
dari kata dasar Renten yang artinya saudara dan imbuhan me- yang menyebabkan
kata benda berubah menjadi kata kerja me-renten yang maknanya bersaudara.
Melihat bentuk kata dari semboyan merenten maka dapat disimpulkan bahwa para
leluhur masyarakat wet sesait menghendaki semboyan merenten tidak sekedar
sebagai simbol belaka tapi lebih menekankan kepada penerapan atau pelaksanaan
nilai-nilai merenten dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sosiokultural masyarakat wet Sesait merupakan
masyarakat adat/tradisi sekaligus juga masyarakat yang religius. Masyarakat wet
Sesait berkeyakinan bahwa antara adat istiadat dan agama tidak bisa dipisahkan,
agama adalah ruh dari adat istiadat itu sendiri. Hal ini bisa terlihat dari
struktur kelembagaan adat yang terdiri dari pemusungan adat, pemangku adat,
Kiyai, dan mangku bumi.
Kondisi sosiokultural
masyarakat Wet Sesait dipengaruhi cara pandang atau falsafah hidup
masyarakatnya. Mereka memandang kehidupan ini sebagai sebuah anugrah Tuhan
sekaligus juga amanah Tuhan yang harus dijalani dan dipelihara. Kehidupan dunia
merupakan tanggung jawab kekhalifahan dimana setiap orang merupakan pelaksana
dari tanggung jawab tersebut maupun dengan berkelompok.
Pandangan hidup masyarakat
wet Sesait mempengaruhi pola interaksi baik pola interaksi antar sesama
manusia/relasi sosial, pola interaksi dengan alam maupun cara berhubungan dengan Tuhan dan
selanjutnya sangat mempengaruhi model struktur kelembagaan adat.
Cara pandang tentang alam semesta tersebut mempengaruhi
pola Interaksi
atau relasi masyarakat dengan alam misalnya dalam memanfaatkan hasil hutan atau
ekosistem lainnya. Prinsip hidup dalam memanfaatkan alam bagi masyarakat adalah
“Aik Meneng Empak Bau Tunjung Tilah dan Bau Besi Bau Asak (Oleh Kamardi).
Makna dari falsafah ini
adalah bahwa dalam setiap aktivitas memanfaatkan alam tidak boleh berlebihan
atau dengan tanpa merusak ekosistem/alam itu sendiri, kelestarian lingkungan
tetap terjaga, sedangkan bau Besi bau asak bermakna bahwa setiap sesuatu yang
diambil dari alam tidak boleh berlebihan sehingga menjadi mubazir. Oleh karena
itu barang tersebut harus di olah terlebih dahulu sehingga menjadi sesuatu yang
berdaya guna.
Masyarakat memandang alam
semesta adalah anugrah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya
karena mereka memandang alam juga adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki ruh
dan merupakan titipan Ilahi yang harus diperlakukan sama. Sehingga dalam
memanfaatkan alam, masyarakat tradisi, tidak boleh mengambil secara berlebihan
dan disertai tanggung jawab untuk memulihkan kembali sesuatu dari alam yang
dimanfatkan.
Untuk lebih menjamin prinsip
atau nilai-nilai hidup bisa menjadi standar interaksi dengan alam atau menjadi
kesadaran kolektif yang melekat pada masing-masing individu dalam kehidupn
sehari-hari, masyarkat tradisi membuat awik-awik yang merupakan hasil consensus
bersama melalui musyawarah.
Sedangkan dalam pola
interaksi dengan sesama/relasi sosial masyarakat tradisi menjadikan merenten
sebagai semboyan dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang dalam wilayah wet
adalah bagian dari keluarga besar yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Dari hasil kajian awal tentang pranata social yang ada di msyarakat wet sesait
dan kajian literature budaya nusantara menunjukkan bahwa budaya nusantara
dengan segala keanekaragamannya merupakan potensi yang harus tetap dipelihara
dan dikembangkan sebagai identitas bangsa dalan rangka menumbuhkan kepercayaan
diri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain untuk mewujudkan perdamian
abadi di dunia.
BAB III
KONDISI PRANATA LOKAL ADAT WET
SESAIT
A. KOMUNITAS
ADAT DIPISAH OLEH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Dalam pelaksanaan Maulid adat
Wet Sesait Kecamatan Kayangan, ada empat desa yang merupakan satu kesatuan yang
terlibat yaitu Desa Sesait, Pendua, Santong dan Kayangan. Masyarakat empat desa
ini adalah satu, hanya seiring dengan perubahan waktu, dipisahkan secara
administratif oleh
lembaga yang disebut desa.
Sejak hari pertama dimulainya
Maulid Adat wet Sesait ini, seluruh masyarakat yang tergabung dalam wet Sesait
berkolaborasi membaur jadi satu dalam mempersiapkan segala sesuatu terkait
pelaksanaan Maulid Adat. Tak terkecuali remaja gadis juga ikut ambil bagian
dalam kegiatan yang digelar tahunan ini.
Hari pertama, dimulai sejak
pagi hari prosesi awal dilakukan Menutu (menumbuk padi) bulu di Kampu oleh
Praja Nina (Praja Mulud), kemudian terus berlanjut hingga malam hari yang
diikuti oleh kaum hawa yang ada dirumah masing-masing. Sebelum itu,
didahului dengan menguluh padi bulu dari Sambi (lumbung) yang memang sudah ada
di sekitar kompleks Kampu. Menguluh ini dilakukan oleh Toak Lokak Mangkubumi
dengan segenap ritualnya.
Pare bulu (padi yang berbulu)
terus ditumbuk menggunakan wadah sederhana yang oleh masyarakat Sesait disebut
Lesong (lesung) dengan penumbuk kayu. Beras inilah yang nantinya akan
dibawa oleh Praja Mulud pada proses Bisoq Menik (cuci beras) ke sebuah sumur
yang di sebut
Lokok Kremean, yang jaraknya sekitar 1,5 km kearah barat daya Kampung
Sesait dan dilakukan secara turun-temurun terus digunakan.
Hari Kedua dilakukan
Merembun, yang dilakukan oleh ribuan masyarakat yang tergabung dalam wet Sesait
menggunakan pakaian tradisional, dengan membawa
hasil bumi berupa beras, pisang, aneka kue, kelapa, kayu bakar dan lain
secukupnya. Bahan-bahan ini kemudian dikumpulkan menjadi satu dalam ruangan
khusus kompleks Kampu.
“Kegiatan merembun ini
mencerminkan semangat gotong royong, yang merupakan adat istiadat asli bangsa
Indonesia. Merembun bisa juga diartikan berkumpulnya seluruh masyarakat
komunitas Sesait, yaitu berkumpulnya di Kampu ini,”jelas Djekat.
Dalam prosesi Merembun ini,
seluruh Komunitas yang masuk dalam wet Sesait datang untuk membawa bahan-bahan
yang digunakan dalam prosesi Maulid adat. Mereka datang dari Desa Pendua,
Santong, dan Desa Kayangan. Keempat desa ini dulunya satu desa, tetapi seiring
dengan perubahan waktu, desa-desa tersebut saat ini hanya dipisahkan oleh
administrasi Pemerintahannya saja.
B.
PEMAHAMAN ADAT VERSI KOMUNITAS SESAIT
Adat
adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan bagi
masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga sekarang
sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia dengan alam sekitar,
dan manusia dengan sang penciptanya.
Pembekel
Adat Sesait Masidep mengatakan, adat sering dipertentangkan dengan agama oleh
banyak kalangan, terutama dimasa transisi dari istilah ”gama telu”(gama waktu
telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam). Justeru agama mengakui keberadaan adat
sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan beragama.
Dijelaskannya,
umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas Sesait, dikenal istilah
”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum adat sangat perlu
ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama,”jelas
Masidep.
Dengan
istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya, lanjut Masidep, bahwa
perintah-perintah agama harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat
adat Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan
senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti
sebut saja upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara
ruwah tanaman, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat dan lain-lain.
Kegiatan
– kegiatan ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu oleh pranata adat dan agama
yang memiliki kepribadian tinggi terhadap nilai-nilai agama Islam.Sehingga
sudah merupakan agenda budaya yang tetap dipertahankan dan dilestarikan dari
generasi ke generasi.
Sementara
itu salah seorang tokoh adat Sesait Djekat mengatakan, kata adat dari segi
hukum mengandung pengertian norma atau aturan yang merupakan kebiasaan tidak
tertulis. Walaupun sifatnya tidak tertulis, tetapi mengandung unsur nilai yang
dihormati dan disepakati oleh seluruh masyarakat adat Sesait.
Sedangkan
unsur nilai adat pada umumnya ,menurut Djekat menjelaskan, ada dua hal,
pertama, hal-hal yang bersifat anjuran atau keharusan yang patut dikerjakan,
kedua,hal-hal yang bersifat larangan atau menurut adat bersifat ”Maliq” (Pemalik)
untuk dikerjakan. ”Khusus untuk unsur yang kedua, apabila dilanggar akan
mendapat sanksi moral berupa ejekan, celaan, cemoohan dari warga persekutuan
adat Sesait,”katanya.
C.
STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT SESAIT
Secara historis, munculnya adat di Sesait
memiliki empat komponen Petinggi
Adat yang sudah diakui secara turun - temurun.
Menurut
Djekat, tokoh adat Sesait mengatakan, petinggi adat yang kalau di komunitas
Sesait dikenal dengan ’Tau Lokaq Empat,’ yaitu, Pertama, Pemusungan Adat,
adalah sebagai pimpinan pemerintahan desa, Kedua, Penghulu Adat, adalah tokoh
agama sebagai pemegang, penegak dan pengatur masalah hukum serta norma-norma
agama dan adat. Ketiga, Jintaka, yaitu sebagai pemberi dan pelaksana izin/hajat
yang diminta masyarakat, dan yang Keempat yaitu Mangku Bumi, yaitu sebagai
perumus dan penentu awiq-awiq dan sanksi-sanksi adat.
Djekat
menjelaskan, empat komponen tadi merupakan jabatan dalam struktur kelembagaan
Adat Wet Sesait bersifat baku. Artinya apapun yang terjadi, rezim manapun yang
berkuasa di negara ini, serta bagaimanapun perubahan zaman, komunitas adat
Sesait tetap menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan dan eksistensinya.
Hal ini
dapat dibuktikan, bahwa pada puncak pemerintahan orde baru dengan berbagai
kebijakannya yang berdampak pada penggembosan pranata lokal dan institusi adat,
tetapi di Sesait, lembaga adat dan keempat komponennya itu tetap utuh dan
kokoh.
Menurut
perbekel adat Sesait Masidep, mengatakan bahwa, sebagai Petinggi Adat dengan
jabatan dan tugasnya masing-masing, keempat tokoh Tau Lokaq Empat ini memiliki
kepribadian yang mencerminkan kemuliaan dan keikhlasan terhadap tugas-tugas
yang di embannya serta perlambangan untuk keempat tokoh ini lebih bernuansa
Islam.
Dijelaskan,
perlambangan dari keempat tokoh Tau Lokaq Empat ini dengan bernuansa Islam yang
kental. Pertama, Pemusungan Adat, dilambangkan dengan warna ’merah’, artinya
keberanian, yaitu berani mengambil sikap, keputusan dan kendali terhadap segala
permasalahan yang dihadapi. Apapun yang terjadi harus berani bertanggungjawab,
baik internal maupun eksternal. Sosok ini menggambarkan watak dan kepribadian
sahabat Nabi Muhammad Saw yang bernama ’Sayyidina Ali’,ra.
Kedua,
Penghulu Adat, dilambangkan dengan warna’putih’ artinya kesucian, yaitu harus
menentukan hukum dan norma-norma yang bersih, baik terhadap agama maupun adat,
sehingga tidak menimbulkan penyimpangan hukum atau norma yang mengarah pada
ketidakadilan. Disamping itu tokoh ini pengemban amanat untuk selalu melanjutkan
perjuangan Nabi Muhammad Saw secara utuh, sehingga sosok ini menggambarkan
watak dan kepribadian sahabat Nabi yang kedua yakni ’Sayyidina Abubakar, ra’.
Ketiga, Jintaka
(Mangku Alam), dilambangkan dengan warna ’kuning’ artinya
pemberi/penyebar, yaitu menyebarluaskan wilayah hukum adat Sesait dan memberi
izin berupa pelaksanaan syarat/hajat yang berkaitan dengan bencana atau
musibah. Misalnya, sebut Masidep, wabah kekeringan, wabah penyakit dan
macam-macam wabah penyakit lainnya. Tokoh ini pula memiliki keahlian dalam
menciptakan kemakmuran,baik perekonomian maupun usaha-usaha lain. Sosok ini
menggambarkan watak dan kepribadian sahabat Nabi Muhammad Saw yang ketiga yaitu
’Sayyidina Utsman, ra.’
Keempat, Mangku Gumi, dilambangkan dengan
warna ’biru’ atau ’hijau’ artinya kesuburan yang mendatangkan kemakmuran,
sehingga dapat memberi warna kehidupan yang sejahtera lahir bathin.
Berkaitan dengan kesuburan, masih menurut Masidep, bahwa
pemelihara lingkungan alam pertanian dan menjaga kesuburan tanaman, sejak tanam
bibit hingga panen. Kegiatan yang menyangkut tanah dan tanaman, Mangku Gumi ini
dibantu oleh stafnya (penyuluh/PPL-nya) yang disebut ’Anakoda’ yang tersebar
diseluruh gubug/kampung. Sedangkan untuk kegiatan pelestarian alam atau hutan
(gawah) dan lingkungannya, Mangku Gumi dibantu oleh beberaoa stafnya yang
disebut ’Mangku Gawah’. Karena dapat memberi atau menciptakan kesuburan,
kemakmuran dan ketentraman bagi warga, maka Mangku Gumi ini digambarkan seperti
watak sahabat Nabi Muhammad Saw yang keempat yaitu ’Sayyidina Umar, ra”. Jabatan
yang mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing, namun pada saat-saat
tertentu, empat tokoh yang kalau di wet Sesait disebut Tau Lokaq Empat ini,
bekerjasama secara kolektif, terpadu dan terkoordinasi. Dimana Pemusungan Adat
bertindak sebagai penggerak dan pengendali.
Misalnya penangkal kekeringan dan wabah penyakit, upacara
agama dan adat, kebutuhan dalam upacara perkawinan, serta penyelesaian berbagai
kasus adat dan sosial kemasyarakatan.
BAB IV
RANGKAIAN PROSESI RITUAL MAULID ADAT
A.
PENJAGA SITUS LOKOK
KREMEAN
Lokok
Kremean adalah salah satu situs Sesait yang hingga kini masih lestari. Dimana,
situs yang tiap tahunnya langganan digunakan sebagai rangkaian prosesi bisok
beras (cuci beras) menjelang pelaksanaan Maulid Adat, selalu dibenahi
oleh masyarakat Adat Sesait. Puluhan pemuda wet Sesait yang tergabung dalam
Himpunan Pemuda Pencari Situs Sesait (HPPSS) bekerjasama dengan marga Sanggia
gotong royong membenahi situs Lokok Kremean, yang memang di sumur inilah nenek
moyang (Bapu’ Balo’ Tau Sesait)
pada jaman dulu melakukan ritual bisok Menik setiap pelaksanaan prosesi ritual Maulid
Adat (24/02/2011).
Menurut
penuturan Lakiep (alm) yang dikonfirmasi saat pelaksanaan Maulid adat pada tahun 2011
silam mengaku, sudah empat tahun menjaga situs ini, dimana keberadaan
dirinya sebagai penjaga situs tersebut berdasarkan Purusa (garis keturunan)
dari Bapuk
Buntit-Amaq Sanggia (Marga Sanggia).
”Saya
menjaga situs Lokok Kremean ini sudah empat tahun, dari sejak ayah saya tiada
pada tahun 2007. Marga kami menjaga situs ini secara turun-temurun atau
berdasarkan Purusa, ”beber Lakiep. Disamping situs Lokok Kremean, lanjut Lakiep, ada
pula situs yang lain. Diantaranya adalah Sumur Jukung, Sumur Minyak, Batu
Lesong dan Lokok Nampih. Lakiep menjelaskan bahwa, situs-situs ini ada
keterkaitannya satu sama lain.
Diceritakan, berdasarkan cerita para
orang tua jaman dahulu yang diceritakan secara turun-temurun dengan bahasa
tutur, bahwa sebelum pelaksanaan Maulid Adat, ditempat situs ini, Pare
(padi) ditutu (ditumbuk) ,
kemudian ditampik (dibersihkan), kemudian di Krem (di rendam), lalu
dibuat Jaja Pangan (sejenis penganan), lalu di goreng.
Setelah semuanya ini sudah selesai,
kemudian dibawa kembali menggunakan Jukung (sampan/rakit) ke Kampu
(rumah adat) di Sesait untuk proses selanjutnya.
”Itulah
sebabnya ada situs Batu Lesong (digunakan untuk menumbuk padi), situs Lokok
Nampih (tempat Menampik/membersihkan beras), situs Lokok Kremean (tempat
merendam beras sebelum dibuat jaja pangan) dan situs Sumur Jukung (diyakini
sebagai sampan/rakit untuk membawa beras dan jaja pangan ke Kampu),”jelas
Lakiep.
Ketika
ditanya, apakah ada perhatian dari Perbekel Adat terhadap dirinya selaku
penjaga situs Lokok Kremean selama ini, Lakiep mengaku tidak ada sama sekali.
Hanya saja, katanya kalau sudah ada keperluan menggunakan situs ini sebagai
tempat prosesi kegiatan Maulid adat, baru pihak Perbekel Adat menghubungi
dirinya.
”Ini betul-betul karena Purusa
saja, kami menjaga situs ini. Walau kami menjaganya berdasarkan Purusa, namun
kami ikhlas, biarpun tidak mendapatkan perhatian serius dari pemegang
kebijakan,”kilah Lakiep.
B. SAMBUT
MAULID ADAT, LESTARIKAN TRADISI TURUN TEMURUN
Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw di Kabupaten
Lombok Utara (KLU) memiliki warna yang berbeda dari perayaan yang dilakukan
ditempat lain. Setiap daerah di KLU merayakan Maulid yang dikenal dengan Maulid
Adat.
Masyarakat Desa Sesait Kecamatan Kayangan
gotong royong setiap menjelang perayaan Maulid Adat selalu membersihkan areal
Mesjid Kuno dan tempat-tempat lainnya yang dijadikan sebagai pendukung
pelaksanaan adat saat Maulid Adat digelar, semuanya harus dalam keadaan bersih.
Kegiatan ini merupakan tradisi para leluhur yang di wariskan secara
turun-temurun yang harus di lalui oleh Masyarakat Adat Sesait menjelang
pelaksanaan Maulid Adat di gelar setiap tahunnya.
Salah seorang tokoh muda Adat Sesait Abdul
Wahab mengatakan, kegiatan pembersihan di sekitar areal Mesjid Kuno tersebut
memang sudah di jadualkan pihak Tau Lokaq Empat (Penghulu, Pemusungan,
Mangkubumi dan Jintaka) seminggu sebelum pelaksanaan Maulid Adat di gelar.
Selain pembersihan di sekitar areal Mesjid
Kuno Sesait, Abdul Wahab juga menyebut, ada sejumlah situs yang akan digunakan
untuk mendukung proses ritual Maulid Adat, juga menjadi sasaran untuk
dibersihkan. Seperti, Kampu (singgasana Raja = tempat penyimpanan benda-benda
bersejarah peninggalan raja), Bale Adat (tempat Mangkubumi tinggal) dalam
Kampu, situs Sumur Lokok Paok (tempat pengambilan air untuk memasak nasi Aji
yang nantinya akan dinaikkan dalam acara puncak Maulid Adat), situs sumur Lokok
Nampih (tempat cuci beras) dan sejumlah situs lainnya, seperti pembersihan gong
dua (gamelan pengiring selama proses ritual Maulid Adat), berugak agung (tempat
Tau Lokaq Empat melaksanakan ritualnya hingga selesai pelaksanaan Maulid Adat),
persiapan pembuatan Payung Agung dan lainnya.
Dikatakan Wahab, rangkaian ritual Maulid Adat
di Sesait pada tahun 2015 ini dimulai pada hari Kamis tanggal 01 Januari yang
diawali dengan proses merembun bagi keluaraga Tau Lokaq Empat ke dalam Kampu
dan dilanjutkan menumbuk padi bulu. Kemudian pada hari Jumat tanggal 02 Januari
akan dilakukan pembuatan jajan pangan (aneka kue sejenis Wajik) pada pagi
harinya yang nanti akan dihidangkan saat Maulid Adat berlangsung.
Kemudian pada sore harinya dilakukan
pengumpulan bahan-bahan dari warga untuk kegiatan gawe Maulid Adat. Sementara
itu, Gong Dua pun di turunkan.
Hari Sabtui tanggal 03 Januari, Gong Dua
dibawa ke berugak Kelap untuk disemayamkan sementara sebelum dibawa ke berugak
sebelah selatan Mesjid Kuno untuk ditabuh hingga selesai pelaksanaan Maulid
Adat. Kemudian pada malam harinya digelar prisean di halaman depan mesjid Kuno.
Lalu pada hari Minggu tanggal 04 Januari digelar cuci beras ke Lokok Kremean
Bat Pawang dan malam harinya menjelang Magrib adalah puncak pelaksanaan ritual
Maulid Adat dengan dinaikkannya nasi Aji ke Mesjid Kuno Sesait.
C.
PEMDA KLU APRESIASI PROSESI AWAL
MAULID ADAT SESAIT
Seperti biasa, ditahun-tahun sebelumnya,
datangnya bulan maulid tahun ini juga di ikuti oleh digelarnya prosesi Maulid
Adat di beberapa wet adat yang terdapat di Kabupaten Lombok Utara, seperti
pembukaan prosesi Maulid Adat yang digelar di Wet Sesait.
Kegiatan pembukaan prosesi Maulid Adat wet
Sesait ini, dihadiri oleh Pemerintah Daerah KLU yang diwakili Kabag Kesra
Muhammad, S.Pd. Acara awalnya yakni Memajang di Mesjid Kuno Sesait dimulai
tepat pukul 16,00 wita, yang di dahului sholat Asar berjamaah di Musholla Kampu
Sesait. Memajang itu sendiri dilakukan oleh Tau Lokak Empat (Mangkubumi,
Pemusungan, Penghulu dan Jintaka). Para tamu undangan dengan didampingi Tau
Lokak Empat pun beriringan menuju tempat acara dilaksanakan (Mesjid Kuno) dan
prosesi ini berjalan sakral dan meriah, Sabtu (03/01).
Pada hari yang sama, sebelum acara Memajang
dilakukan, nampak rombongan iring-iringan pemuda-pemudi dari berbagai dusun di
wilayah wet Sesait, berjalan menuju pusat lokasi digelarnya perayaan awal
prosesi maulid adat yang terletak di dalam Dusun Sesait.
Dengan membawa berbagai macam hasil pertanian,
yang dihajatkan sebagai bahan untuk masakan dalam pelaksanaan hari puncak yang
jatuh pada hari Minggu (04/01), para muda-mudi ini perlahan memasuki area
penyimpanan berbagai barang bawaan, ke sebuah tempat yang disebut kampu.
Kepala Desa Sesait Aerman dalam sekapur
sirihnya mengatakan, tradisi maulid adat yang di gelar oleh masyarakat adat
Sesait ini adalah merupakan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun sejak
Islam masuk di bumi Sesait pertengahan abad ke 14 M. Sehingga perlu dilestarikan.
Sebagai warisan para leluhur, Maulid Adat memberikan manfaat positif pada
masyarakat. “Mudah-mudahan tradisi leluhur Sesait ini tetap lestari sepanjang
zaman,”asanya.
Sementara Muhammad dalam sambutannya
mengatakan, perayaan Maulid Adat ini adalah salah satu tradisi budaya yang
patut dilestarikan. Sehingga kalau adat dan agama dijadikan bersinergi dalam
kehidupan sehari-hari dari setiap manusia, maka inilah yang dikatakan adat
luwir gama. “Agama dan adat
tidak bisa dipisahkan dan harus sejalan dan saling beriringan,” ungkapnya di
hadapan para tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat wet Sesait.
Dikatakan, prosesi Maulid Adat ini, diharapkan
dapat memberikan transpormasi nilai-nilai agama agar dapat diimplementasikan di
dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan
yang dilakukan secara turun-temurun itu, penuh dengan nilai gotong royong dan
pesan-pesan spiritual.”Para orang tua kita zaman dahulu menerapkan pengetahuan
keagamaan mereka dengan tindakan. Nah,
Maulid Adat di Wet Sesait ini adalah salah satu contohnya, ”katanya.
Disebutkan, tidak tepat melakukan pemisahan
antara agama dengan adat. Ajaran agama selalu selaras dengan ajaran adat.Semua
mengajarkan kebaikan dan saling mendukung satu sama lain. Pun ketika ada
penyimpangan dalam praktiknya itu merupakan akibat kurangnya informasi yang
diterima masyarakat. “Kalau ada anggapan bahwa Sholat itu hanya menjadi
kewajiban pemangku saja, saya rasa itu bukan ajaran agama dan adat. Barangkali
informasi yang sampai pada saudara kita itu belum lengkap,”tandasnya.
Menurutnya, nilai-nilai yang terakandung di
tengah masyarakat berupa adat istiadat berjalan beriringandengan ajaran agama.
Misalnya, ajaran tentang moral, yakni terkait dengan pergaulan dengan lain
jenis yang memiliki norma-norma di tengah masyarakat. Agama pun memberikan
rambu-rambu tentang pergaulan itu. “Ada daerah dimana ketika melanggar aturan
agama yang juga aturan adat itu, langsung diberikan sanksi adat,”sebutnya.
Kedepannya, kegiatan Maulid Adat seperti yang
di gelar di Sesait bisa menanamkan rasa tanggung jawab untuk mempertahankan
tradisi. Namun jangan sampai semangat pelaksanaan kegiatan adat itu di lupakan.
Maulid adat adalah merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat pada
Nabi Muhammad Saw.
Terpisah, tokoh adat Sesait, Djekat mengatakan,
hari ini, Sabtu (03/01). adalah prosesi awal yang dilakukan masyarakat adat wet
sesait, dimana masyarakat berbondong - bondong datang ke Kampu membawa berbagai
macam barang berupa kayu uyunan, beras, puntik, lekok-buak, tembakau secukupnya
serta hasil bumi lainnya, yang oleh masyarakat Sesait dinamakan merembun
(mengumpulkan).
“Merembun adalah prosesi awal maulid adat,
dimana masyarakat datang dengan membawa berbagai barang bawaan, baik yang
bersipat material ataupun hasil bumi,”ungkap Djekat.
Rangkaian prosesi Maulid Adat ini akan
terus berlangsung hingga hari Minggu,(04/01). Adapun rangkaian prosesi lanjutan
yang akan dilakukan hingga hari ini adalah peresean dan bisoq menik (cuci
beras) di sebuah sungai yang memang di sakralkan dari jaman dahulu hingga saat
ini. Selanjutnya disusul dengan penyembelihan hewan kurban berupa ratusan
kambing didepan pintu Mesjid Kuno Sesait. Dan prosesi ritual Maulid Adat Sesait
akan berakhir setelah dulang Nasi Aji diturunkan dari Mesjid Kuno.
D. PROSESI RITUAL MAULID ADAT WET SESAIT
Tiga
minggu sebelum ada kepastian akan di gelarnya Maulid Adat pada tahun
bersangkutan, maka Tau Loka Empat yang terdiri dari Mangkubumi, Pemusungan,
Penghulu dan Jintaka mengadakan musyawarah bertempat di Kampu.Yang di bahas
dalam pertemuan tersebut hanya satu yaitu tentang kesepakatan jadi atau
tidaknya ritual Maulid Adat di gelar.
Setelah
keputusan Tau Lokak Empat tersebut ditetapkan, maka sesuai dengan ranah
masing-masing harus menyebarluaskan kepada kaula balanya (masyarakat
diwilayahnya masing-masing) bahwa Maulid Adat jadi dilaksanakan.
Sebagai
tindak lanjut dari kesepakatan Tau Lokak Empat itu, maka diadakanlah musyawarah
yang kedua untuk membahas tentang penetapan waktu dimulainya ritual Maulid
Adat, termasuk menentukan tanggal dimulainya. Setelah seluruh masyarakat adat
wet Sesait mengetahuinya, maka mulailah saat itu harus mempersiapkan segala
sesuatunya.
Pelaksanaan
prosesi ritual Maulid Adat di wet Sesait di laksanakan selama empat. Pada hari pertama dimulai dengan
melakukan berbagai persiapan, termasuk membersihkan tempat-tempat yang
dijadikan sebagai lokasi kegiatan ritual pendukung Maulid Adat. Diantaranya
seperti membersihkan lingkungan Mesjid Kuno Sesait, membersihkan Sumur Lokok
Kremean sebagai lokasi tujuan Bisok Menik (cuci beras), membersihkan Kampu
termasuk alat-alat yang digunakan,membersihkan Sumur Lokok Paok yang air
sucinya nanti diambil sebagai dasar membuat jaja pangan (aneka kue), memasak
nasi untuk nasi aji pada saat puncak pelaksanaan ritual Maulid Adat dan sebagai dasar memasak sayur didepan
Mesjid Kuno serta berbagai persiapan lainnya, seperti mencari dan mengundang
para mangku (Mangku Lokok Kremean, Mangku Payung Agung, Mangku Lokok Paok,
Mangku Ran, Mangku Air, Mangku Gong Dua yang terlibat dalam prosesi ritual Maulid
Adat di wet Sesait.
Setelah
itu, maka pada sore harinya para Mangku ini berkumpul di Kampu untuk kemudian
pada prosesi awal ritual Maulid Adat bekerja sesuai dengan tugas masing-masing
hingga selesai pelaksanaan Maulid Adat. Selain itu, para praja Mangku dan praja
Penghulu (dua orang perempuan supuk yang sudah tua dan dua orang yang masih
muda dan belum aqil baleq) di jemput dan seterusnya mereka tinggal dirumah yang
sudah disiapkan disekitar Kampu sejak dijemput pada hari pertama
hingga berakhirnya ritual prosesi Maulid Adat. Praja Nina atau Praja Mulud (anak perempuan yang belum aqil baliq sebagai
simbol kesucian) yang sudah di jemput itu nantinya bertugas untuk Menutu Pare Bulu (menumbuk padi yang berbulu sampai menjadi beras) dan membuang
unggunnya ke Lokok Kremean dengan didampingi Mangku Lokok Kremean.
Pada hari kedua dilanjutkan
dengan Menguluh yaitu mengambil Pare Bulu (padi yang berbulu) dari Sambi (lumbung) yang ada disekitar Kampu
oleh Toak Lokak Mangku. Kemudian diteruskan Menutu
Pare Bulu dan unggunnya (kulit padi) dibuang ke Lokok
kremean oleh Praja Mangku dan Praja Mulud yang dirangkaikan dengan mandi Praja Mulud. Setelah itu
dilanjutkan dengan Pembuatan Jaja Pangan
(Jajan sejenis wajik) dan air untuk membuatnya diambilkan dari Lokok Paok pada
hari pertama oleh Toak Lokak Mangkubumi.
Menjelang
Maghrib, Gong Adat (Gong Dua) diturunkan dari Bale Agung purusanya A.Siwadi.
Setelah diturunkan kemudian diarak menuju Bangaran Adat yang berada 10 meter
arah barat laut Kampu dan disambut oleh Tau Lokak Mangku. Setelah itu, gong
adat tersebut selanjutnya terus diarak melalui sebelah utara Kampu dan
ditempatkan di berugak depan Kampu sebelah timur sambil terus di bunyikan dan
di inapkan satu malam.
Pada hari ketiga, pada
pagi hari Gong Dua yang sudah nginap satu malam tersebut, lalu di bawa menuju
Berugak Amak Kelap selatan Mesjid Kuno sambil terus dibunyikan hingga waktu
Zuhur tiba. Setelah sholat Zuhur dilaksanakan, baru kemudian Gong Dua tadi di
pindahkan lagi menuju Berugak Guram selatan Mesjid Kuno. Ditempat inilah Gong
Dua ini diinapkan sambil terus dibunyikan hingga selesainya pelaksanaan ritual
prosesi Maulid Adat di gelar.
Sore
harinya dilanjutkan dengan acara Merembun
(mengumpulkan) beras bagi Ina Bapu
(sebutan bagi kaum hawa/ibu-ibu dan nenek-nenek) sekaligus juga waktu untuk
membuat jajan selain pangan.
Menjelang sore hari akan dilakukan persiapan Memajang atau Ngengelat yang
akan dilaksanakan setelah sholat Asyar berjamaah sampai menjelang waktu sholat
Magrib dan Isya di Mesjid Kuno.
Ritual Memajang
merupakan ritual pertama sebagai pembuka pelaksanaan ritual-ritual lainnya yang
dilakukan oleh Tau Lokok Empat (Mangkubumi, Penghulu, Pemusungan dan Jintaka).
Adapun makna dari ritual Memajang
adalah sebagai simbol persamaan dan kesetaraan umat Manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah Swt.
Setelah
selesai Memajang yang dilakukan oleh Tau Lokok Empat (Mangkubumi, Penghulu,
Pemusungan dan Jintaka), dilanjutkan dengan sholat Magrib dan Isya. Ini semua
dilaksanakan di Mesjid Kuno.
Kegiatan
berikutnya dilaksanakan di halaman Mesjid Kuno adalah Semetian (Perisian) yaitu saling pukul menggunakan Penjalin (rotan) yang masing-masing
bertameng. Acara semetian harus diawali oleh Pepadu (Jagoan) Nina Sik Wah
Supuk (perempuan uzur yang sudah monopaus), barulah Pepadu Mama boleh bertarung sampai tengah malam.
Adapun acara puncak prosesi ritual Maulid Nabi Besar
Muhammad Saw yang dikemas secara adat dilaksanakan pada hari keempat yaitu keesokan harinya setelah Memajang dan Semetian dilakukan.
Rangkaian
ritual pada acara puncak tersebut, diawali dengan ritual Bisok Menik (cuci beras) dipagi harinya ke Lokok Kremean (diyakini sebagai tempat pemandian bidadari dan
orang-orang suci). Cuci beras ini dilakukan
oleh kaum hawa (baik yang masih gadis maupun yang sudah berkeluarga)
asalkan tidak datang bulan, dengan di
Abih (diapit) baris tiga oleh kaum laki-laki (barisan Nina ditengah diapit barisan Mama).
Ba’da
Zhohor, acara dilanjutkan dengan berkurban dengan menyembelih binatang Kerbau (Sembeleh Kok) yang ukuran,umur dan bobot
sudah menjadi ketentuan para leluhur (Kok
Kembalik Pokon). Sementara di dalam Kampu, pada saat yang bersamaan, Nasi Aji (yang akan dibawa ke Mesjid
Kuno) dan Payung Agung (nanti
ditempatkan dipintu masuk Mesjid Kuno) juga dipersiapkan. Persiapan ini tidak
sembarang orang yang mengerjakannya, harus berdasarkan Purusa (garis
keturunan).
Setelah
berkurban (Sembeleh Kok), dilanjutkan
dengan Mbau Praja Mama dengan cara mengejar dan menangkap setiap laki-laki yang
belum aqil baliq sebanyak tiga orang yang akan dijadikan putra Mahkota, untuk
disandingkan dengan Praja Nina (yang
sudah terpilih pada hari pertama saat menutu
pare bulu) sebagai Praja Mulud
(sepasang putra-putri mahkota).
Praja
Mulud bertugas sebagai penjaga pintu Mesjid Kuno dengan membawa Payung Agung dan menjaganya dari
sentuhan orang lain yang melewati pintu Mesjid Kuno. Jika Payung Praja Mulud (Payung Agung) disentuh orang
lain, maka diberi sanksi yaitu dipukul menggunakan Pemecut (Penjalin yang diberi tali) oleh Praja Mulud. Sementara yang dua orang Praja itu ditempatkan di
tempat imam sebagai penjaga abu dedeng (sebuah wadah untuk menaruh abu api/au
yang biasa digunakan para ibu untuk
memberikan kehangatan bagi bayinya ketika baru lahir).
Menjelang
sore hari pada hari terakhir dari ritual Maulid Adat di wet Sesait ini,
kemudian dilanjutkan dengan Naikang
Dulang Nasi Aji dengan wadah dulang
berjumlah tiga buah berkaki satu yang dikhususkan bagi Tau Lokak Empat;
(Pemusungan, Mangkubumi,Penghulu dan Jintaka), dimana seluruh isinya terdiri
dari apa saja yang ada di alam ini dan waktu membuatnya atau pada saat
merakitnya ini dilakukan oleh Praja Mangku,Praja Penghulu dibantu Tau Lokak
Empat (Mangkubumi, Penghulu,Pemusungan dan Jintaka) serta tidak boleh berbicara
sepatah katapun. Jadi ketika butuh bantuan harus menggunakan kode isyarat satu
sama lainnya.
Waktu Naikang Nasi Aji ke Mesjid Kuno ini,
diyakini yaitu pada waktu Gugur Kembang
Waru ( waktu menjelang Magrib). Prosesi ritualpun berakhir dan ditutup
dengan Do’a Maulid oleh Penghulu Adat.
Usai
acara, masyarakatpun bubar. Sambil keluar Mesjid harus hati-hai, jangan sampai
menyentuh payung Agung yang berada di pintu keluar yang dijaga oleh Praja
Mulud.”Siapa saja yang masuk dalam Mesjid Kuno Sesait dalam acara ritual Maulid
Adat setiap tahunnya, ketika keluar tidak boleh menyentuh Payung Agung,
alasannya itu pemalik dan yang namanya pemalik itu tidak boleh,”terang Rahim
alias A.Rahini yang merupakan tokoh adat Sesait keturunan Raja Sesait yang ke
27 Balok Pa’at.
E.
RITUAL MAULID ADAT SESAIT, SELURUH
KEGIATAN DIMULAI DARI KAMPU
Seluruh rangkaian Maulid Adat
Wet Sesait berasal dari dalam Kampu. Mangkubumi yang menjadi penjaga Kampu,
mengambil berbagai perlengkapan maulid di sebuah bangunan yang dulunya istana
raja.
Dalam struktur hirarki kepemerintahan Wet Sesait
yakni Mangkubumi, memasuki bangunan bedek di dalam kompleks Kampu. Bangunan
berdinding bambu dan berlantai tanah itu dulunya istana raja yang juga
pemimpin agama di wilayah Sesait. Kini bangunan itu berubah menjadi semacam
museum tempat menyimpan warisan para leluhur raja dan penyebar agama Islam di
Wet Sesait.
Mangkubumi yang secara
turun-temurun bertugas mengawali proses ritual maulid adat di wet Sesait itu,
keluar dengan membawa nampan berisi kain
putih berukuran besar dan beberapa kain putih lainnya serta mushaf Al-Qur’an
kuno. Kain putih dan mushaf Al-Qur’an kuno inilah yang dibawa menuju Mesjid
Kuno untuk memulai prosesi Maulid Adat yakni Memajang.
Kitab suci Al-Qur’an umat
Islam inilah yang nanti dibaca usai pelaksanaan memajang itu. Al-Qur’an
berukuran besar yang merupakan cetakan kedua berasal dari Turki dan berkulit
Onta tersebut sudah modern. Sedangkan Mushaf Al-Qur’an yang bertuliskan tangan
sudah tidak di keluarkan karena sudah sangat tua usianya dan masih tersimpan
dalam sebuah kaca di dalam bangunan Kampu.
Setelah perlengkapan memajang sudah
di keluarkan, sang mangkubumi mengunci pintu bangunan di Kampu itu. Mangkubumi
sebagai penjaga Kampulah yang berhak masuk memegang kunci itu.
Bahan perlengkapan memajang
itu pun kemudian di bawa menuju ke Mesjid Kuno oleh Toak Lokak Mangkubumi.
Iringan para pemimpin adat seperti Mangkubumi, Peghulu, Pemusungan dan Jintaka
pun mengikuti di belakangnya. Baru kemudian di belakangnya lagi diikuti oleh
para sesepuh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, masyarakat umum dan tamu
undangan sambil beriringan keluar dari kompleks Kampu berjalan menuju Mesjid
Kuno Sesait melalui jalur tertentu, seperti yang pernah dilalui oleh para
leluhur terdahulu. Tidak boleh melalui jalan gang-gang di kompleks kampung Sesait yang kini sudah
modern.
Di depan Mesjid Kuno Sesait,
ratusan warga berpakaian adat menunggu rombongan. Diiringi gamelan adat berupa
Gong Dua dan perangkatnya, rombongan memasuki alun-alun Mesjid Kuno. Tikar
rotan di gelar, gamelan terus di tabuh, para wanita tua, anak muda menari di halaman
mesjid, sembari para pemimpin adat menyiapkan prosesi memajang di dalam Mesjid.
Di tengah-tengah Mesjid Kuno
itu terbentang sebuah tali, mulai dari mimbar di ujung barat hingga ke pintu
masuk di ujung timur. Di atas tali itulah nantinya kain putih berukuran besar
itu dibentangkan. Inilah yang disebut proses Memajang itu.
Kain putih itu mulai di
naikkan dari bawah, diawali oleh Penghulu dari tiang ujung kiri mimbar terus
naik hingga memasuki bentangan tali yang sudah di pasang sebelumnya, sembari
membaca selawat nabi. Selawat nabi itu pun tidak dibaca keras. Ini sebagai
symbol, dulunya ketika masyarakat adat wet sesait di jajah oleh Bali, mereka
harus menyembunyikan identitas ke Islaman mereka lantaran di buru. Maka selawat
pun di baca dalam hati. Lembaran kain putih itu, lalu diteruskan oleh pemimpin
adat lainnya hingga seluruh lembaran kain putih itu selesai di bentangkan
menutupi langit-langit Mesjid Kuno.
Setelah kain putih besar itu
terbentang, lalu diiringi pemasangan kain di empat tiang pada bagian tengah
mesjid. Di tiang pojok timur (tenggara) di pasang kain berwarna merah oleh
Pemusungan. Warna merah melambangkan keberanian. Pojok timur (tenggara)
tersebut melambangkan terbitnya matahari. Matahari yang menyinari seluruh isi
alam. Pun demikian dengan seorang Pemusungan harus mampu mengayomi seluruh
warganya tanpa membedakan status, agama dan status sosialnya.
Kemudian di tiang pojok barat
daya, kain putih di pasang oleh Penghulu. Warna putih melambangkan kesucian Islam. Penghulu dalam pandangan
masyarakat Sesait sebagai pemimpin agama, pemimpin spiritual. Selanjutnya pada
tiang di pojok timur laut di pasang kain berwarna biru yang diikat oleh
Mangkubumi. Warna biru ini melambangkan kesuburan. Lalu kain warna kuning di
pasang di tiang di pojok sebelah barat laut oleh Jintaka. Warna kuning
melambangkan kesejahteraan.
Acara memajang ini juga di
isi dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Usai itu, lalu dilanjutkan
dengan penjelasan makna Maulid Adat Wet Sesait oleh sesepuh adat yang memang
mengetahui dan paham tentang makna-makna yang terkandung di dalam setiap
rangkaian ritual dan sejarah Maulid Adat di wet Sesait. Lalu selanjutnya, acara
di tutup dengan pengajian hikmah Maulid Nabi Muhammad Saw.
Para pemimpin adat ini pun kembali ke kompleks
Kampu membawa perlengkapan. Malam harinya, barulah kegiatan presean di gelar
semalam suntuk. Keesokan harinya, prosesi ritual tahap berikutnya pun dimulai
dengan agenda bisok menik (cuci beras). Lagi-lagi prosesi awal dimulai dari
Kampu. Praja
Mulud, tiga anak gadis yang belum dewasa keluar dari ruangan tempat pemingitan.
Merekalah yang terdepan dalam iring-iringan bisok menik. Di depan pemangku Lokok Kremean
yang membawa
sesaji memandu jalan menuju tempat pencucian beras ke Lokok Kremean yang
letaknya 1,5 km kearah barat daya Kampung Sesait.
Usai prosesi ritual bisok
menik, agenda berikutnya adalah prosesi sembelih hewan kurban di depan pintu
Mesjid Kuno Sesait. Lagi-lagi prosesi awal dari kegiatan tersebut di mulai dari
Kampu. Seluruh perlengkapan untuk menyembelih hewan kurban dikeluarkan dari
dalam Kampu itu. Dua bilah parang dan beberapa perlengkapan lainnya dibawa dari
Kampu menuju tempat penyembelihan. Kampu ini sebagai sentral seluruh kegiatan
dimulai.
F.
MEMAJANG SIMBOL PERSAMAAN DAN KESETARAAN UMMAT MANUSIA
Menjelang sore hari akan
dilakukan persiapan Memajang atau Ngengelat yang akan dilaksanakan setelah sholat
Asyar berjamaah sampai menjelang waktu sholat Magrib dan Isya di Mesjid Kuno. ”Ritual
Memajang merupakan ritual pertama sebagai pembuka pelaksanaan ritual-ritual
lainnya. Adapun makna dari ritual Memajang adalah sebagai simbol
persamaan dan kesetaraan umat Manusia sebagai makhluk citaan Allah Swt,”kata
Asrin selaku ketua panitia pelaksana.
Asrin
menambahkan bahwa setelah selesai Memajang yang dilakukan oleh Tau Lokok Empat
(Mangkubumi,Penghulu,Pemusungan dan Jintaka), dilanjutkan dengan sholat Magrib
dan Isya. Ini semua dilaksanakan di Mesjid Kuno.
Kegiatan
berikutnya yang dilaksankan di halaman Mesjid Kuno adalah Semetian (Perisian) yaitu
saling pukul menggunakan Penjalin (rotan) yang masing-masing
bertameng. Acara semetian harus diawali oleh Pepadu (Jagoan) Nina
Sik Wah Supuk (perempuan uzur yang sudah monopaus), barulah Pepadu
Mama boleh bertarung sampai tengah malam.
Adapun acara puncak prosesi ritual Maulid Nabi Besar
Muhammad Saw (lanjut Asrin) yang dikemas secara adat dilaksanakan pada hari
keempat (Kamis), yaitu keesokan harinya setelah Memajang dan Semetian
dilakukan.
Rangkaian
ritual pada acara puncak tersebut, diawali dengan ritual Bisok Beras (cuci beras)
dipagi harinya ke Lokok Kremean (diyakini sebagai tempat pemandian bidadari dan
orang-orang suci).
Cuci
beras ini dilakukan oleh kaum hawa (baik yang masih gadis maupun yang sudah
berkeluarga), dengan di Abih (diapit) baris tiga
oleh kaum laki-laki (barisan Nina
ditengah diapit barisan Mama).
Ba’da
Zhohor, acara dilanjutkan dengan Berkurban dengan menyembelih Kerbau (Sembeleh
Kok) yang ukuran,umur dan bobot sudah menjadi ketentuan para leluhur (Kok
Kembalik Pokon). Sementara di dalam Kampu, pada saat yang bersamaan, Nasi
Aji (yang akan dibawa ke Mesjid Kuno) dan Payung Agung (nanti
ditempatkan dipintu masuk Mesjid Kuno) juga dipersiapkan. Persiapan ini tidak
sembarang orang yang mengerjakannya, harus berdasarkan Purusa (garis
keturunan).
Setelah
berkurban (Sembeleh Kok), dilanjutkan dengan Mbau Praja Mama dengan cara
mengejar dan menangkap setiap laki-laki yang belum aqil baliq sebanyak tiga
orang yang akan dijadikan putra Mahkota, untuk disandingkan dengan Praja
Nina (yang sudah terpilih pada hari pertama saat menutu pare bulu) sebagai
Praja
Mulud (sepasang putra-putri mahkota).
Praja
Mulud bertugas sebagai penjaga pintu Mesjid Kuno dengan membawa Payung
Agung dan menjaganya dari sentuhan orang lain yang melewati pintu
Mesjid Kuno. Jika Payung Praja Mulud (Payung Agung) disentuh orang lain, maka
diberi sanksi yaitu dipukul menggunakan Pemecut (Penjalin yang diberi tali)
oleh Praja
Mulud.
Menjelang sore
hari pada hari terakhir dari ritual Maulid Adat di wet Sesait ini, kemudian
dilanjutkan dengan Naikang Dulang Nasi Aji (dulang yang berkaki satu yang
dikhususkan bagi Tau Lokak Empat; Pemusungan, Mangkubumi, Penghulu dan Jintaka).
”Waktu Naikang
Nasi Aji ke Mesjid Kuno ini, diyakini yaitu pada waktu Gugur
Kembang Waru ( waktu menjelang Magrib). Prosesi ritualpun berakhir dan
ditutup dengan Do’a oleh Penghulu Adat,”jelas Asrin.
G. SEMETIAN MERIAHKAN MAULID ADAT
Wet Sesait meliputi empat desa yang ada wilayah
Kecamatan Kayangan yaitu Desa Kayangan, Desa Pendua, Desa Santong (Khusus Dusun
Santong Asli) dan Desa Sesait sendiri. Pada tahun ini menggelar acara ritual
Maulid Adat yang dihadiri ribuan orang dari berbagai penjuru Lombok Utara.
Maulid Adat di wet Sesait memang
berbeda dengan Maulid Adat di daerah lainnya di Lombok Utara.Wet Sesait
menggelar Maulid adat agak maju beberapa hari dibandingkan dengan daerah lain.
Perbedaan ini menurut perhitungan Tau Lokak Empat adalah berdasarkan perhitungan
Jango Bangar.
“Kami memiliki penanggalannya
berdasarkan perhitungan Jango Bangar, bahkan untuk Maulid adat pada tahun-tahun
berikutnya sudah bisa ditentukan hari dan tanggalnya mulai sekarang,”ungkap
Djekat salah seorang tokoh adat tertua di wet Sesait.
Di masa mendatang, Wakil
Bupati KLU yang hadir memberikan sambutan pada acara Maulid Adat di Sesait ini
mengatakan bahwa, kegiatan Maulid Adat seperti yang digelar di
Sesait ini, bisa menanamkan rasa tanggung jawab untuk mempertahankan tradisi.
Namun jangan sampai semangat pelaksanaan kegiatan adat itu dilupakan. Maulid Adat merupakan salah
satu bentuk penghormatan masyarakat terhadap Nabi Muhammad Saw.
Harapan yang sama juga
disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Propinsi NTB L.Gita Ariadi, ketika membuka secara resmi
kegiatan Semetian atau yang lebih populer disebut Perisean. Gita
mengatakan bahwa kegiatan Semetian dalam rangkaian Maulid Adat seperti di
Sesait ini perlu dilestarikan.Karena ritual seperti ini adalah warisan para leluhur dan masih
memberikan manfaat positif pada masyarakat.
Gita juga mengharapkan
kedepannya kegiatan Maulid Adat bisa ditata dengan lebih bagus lagi. Dalam
artian, keunikan Maulid Adat itu bisa menjadi daya tarik pariwisata. Agar
kegiatan sakral itu tidak terganggu, perlu dipikirkan acara seremonial yang
bisa diikuti oleh wisatawan yang pada ujungnya akan memberikan kontribusi yang
besar bagi masyarakat Sesait.
“Kalau Gong Dua ini sakral, mungkin perlu ada gong
lainnya yang disiapkan sewaktu-waktu untuk menyambut tamu,”kata Gita.
H. RITUAL BISOK MENIK KE LOKOK KREMEAN
Rangkaian lanjutan prosesi
Maulid Adat pada hari yang ke empat (Kamis 17/02/2011) di wet Sesait, kembali
dilaksanakan dengan agenda Bisok Beras (bisok Menik), sekitar satu km ke arah
barat daya Mesjid Kuno Sesait.
Nampak rombongan
iring-iringan para pemuda-pemudi dari berbagai dusun di wilayah wet Sesait,
berjalan menuju pusat lokasi digelarnya ritual bisok beras (bisok menik) di
Lokok Kremean, yang merupakan prosesi
awal sebelum beras dimasak dalam Kampu, yang terletak di dalam perkampungan
Sesait.
Walau Sesait diguyur hujan
sejak pagi harinya, namun peserta bisok beras yang terdiri dari kaum hawa baik yang
masih gadis, sudah berkeluarga maupun
yang sudah monopaus, tidak menyurutkan semangat mereka untuk ikut ambil bagian
dalam kegiatan sacral ritual tahunan ini. Semangat mereka semakin bertambah
manakala diiringi oleh dua barungan (grup) gong dua yang ikut
mengiringi dari belakang.
“Wah, semangat betul kita
ini, walau kita tidak pakai alas kaki, kita tetap semangat ikut ambil bagian
untuk dapat bisok beras,”kata Turni, salah seorang peserta bisok beras dari Sumur Pande, yang
dibenarkan juga oleh temannya Rusmiati dari Rebakong.
Ketua Panitia Pelaksana
Asrin, mengatakan bahwa, kegiatan ritual bisok beras ke Lokok Kremean tahun ini
diikuti oleh sekitar 230 orang peserta. Kegiatan ini, menurut Asrin sempat
tertunda dari jadual semula, karena disebabkan kondisi cuaca yang tidak
bersahabat.
“Dari pagi hari sampai di
gelarnya ritual ini, hujan terus turun, sehingga jadual yang kita rencanakan
mulai jam 07,00 molor menjadi jam 09,15. Ini bukan kesalahan kami panitia, tapi
inilah kehendak Yang Kuasa,”jelas Asrin.
Diakui Asrin, walau hujan
terus mengguyur Sesait, namun prosesi ritual bisok beras jalan terus dan
semangat peserta juga antusias. “Mungkin ini karena pesertanya banyak, sehingga
mereka juga semangat, lebih-lebih banyak peserta dari kalangan muda-mudi,”katanya
menambahkan.
Sementara itu, dari kalangan
generasi muda asal sumur Pande Demung Waji, mengatakan sangat terharu melihat
rekan-rekan sebayanya penuh semangat ikut kegiatan sakral yang tiap tahun
diselenggarakan wet Sesait ini. Sehingga, tidak terasa katanya air matanya
jatuh dan tidak bisa ngomong apa-apa.
“Ini patut kita berikan
apresiasi kepada generasi muda khususnya di wet Sesait. Karena kita lihat
sekarang ini, para pemuda wet Sesait sudah mulai menampakkan jati dirinya.
Buktinya, yang nampak menonjol dari kegiatan Maulid Adat ini adalah dari
generasi mudanya, dari sejak perencanaan, penggalangan dana, pencarian situs
sejarah, pelaksanaan ritual, sampai dengan berakhirnya rangkaian prosesi Maulid
Adat ini, semuanya dari kalangan generasi muda yang ada di wet Sesait,” beber
Demung Waji.
I. BISOK MENIK SEBAGAI NAPAK TILAS SEJARAH
Kegiatan
bisok menik (cuci beras) bukan sekadar membersihkan beras sebelum dimasak,
namun memiliki makna sejarah.Lokasi bisok menik ini tidak pernah diubah sejak
zaman dulu hingga sekarang yaitu Lokok Kremean, yang berdasarkan Purusa dijaga
oleh Marga Sanggia.
Sekitar
230 wanita mengenakan pakaian tradisional berupa Kebaya berbaris rapi didepan
pintu Kampu Sesait (Singgasana Raja sesait).Di tangan kanan mereka membawa
sebuak keraro/praras (baki terbuat dari anyaman bambu).Satu persatu mereka
masuk ke dalam Kampu untuk mengambil beras yang mau dibawa untuk dicuci ke
Lokok Kremean.
Jintaka
yang mengenakan pakaian berwarna kuning, sibuk
menuangkan beras satu bokor ke dalam praras/keraro yang dibawa oleh para
wanita yang sudah siap antri satu persatu. Setelah keraro mereka terisi dengan
beras, lalu mereka kembali berbaris.
Prosesi
ritual bisok Menik ke Lokok Kremean ini, dimulai dari keluarnya Pemangku Lokok
Kremean yang membawa Sesaji dalam wadah baki berada di barisan paling depan,
dibelakangnya praja Nina (wanita yang sudah monopause), lalu disusul Praja
Mulud dengan beban diatas kepalanya berada diurutan ketiga dan diikuti oleh
ratusan wanita lainnya dibelakangnya, sambil menjunjung praras berisi beras
yang mau di cuci ke Lokok Kremean Bat Pawang.
Saat acara ini
digelar, hujan terus turun mengguyur wilayah Sesait, hingga selesainya acara
ritual bisok beras ini. Namun ritual ini terus berlanjut dengan antrian yang
cukup panjang dari depan Kampu menuju mata air Lokok Kremean Bat Pawang dengan
memakan waktu yang cukup lama.
Perjalanan
panjang menuju mata iar ini merupakan kilas balik perjalanan sejarah ritual
Maulid Adat sejak zaman para leluhur. Dimana kegiatan bisok beras ini harus
dilakukan di Lokok Kremean, sebab zaman dulu hanya di mata air inilah yang ada
sumber air bersih.
Ketika
sampai di mata air, pencucian beras hanya bisa dilakukan oleh pemangku Lokok
Kremean dari Marga Sanggia. Sesajen berupa lekok buak ditempatkan dekat sumur.
Baru pemangku mengambil air dengan Tambang ( bokor terbuat dari kelapa
utuh), lalu disiramkan ke praras yang berisi beras. Satu persatu ratusan wanita
pembawa praras yang ritual ini antre mendapat giliran bisok beras.
Setelah
seluruh beras selesai dicuci, barulah perjalanan pulang digelar seperti
perjalanan ketika berangkat. Pemangku Marga Sanggia berada paling depan disusul
oleh praja mulud dan ratusan wanita lainnya yang ikut dalam prosesi ritual
bisok beras ini. Kepulangan para wanita dalam ritual bisok beras ini disambut
gembira warga lainnya. Gambelan Gong dua yang mengiring saat berangkat tadi
hanya sampai di suatu tempat (dipinggir hutan belantara) yang dulunya tidak
bisa masuk sampai ke Lokok Kremean tempat bisok beras.
Jadi, gong adat
ini hanya menunggu ditempat itu, untuk menanti kembalinya iring-iringan para
wanita bisok beras tadi. Ditempat inipun iring-iringan wanita bisok beras ini,
disambut oleh pemangku, kemudian bersama sama kembali ke Kampu.
Dalam
perjalanan pulang kembali ke Kampu ini disambut oleh Tauk Olkak Empat
(Mangkubumi, Penghulu, Pemusungan dan Jintaka) diiringi musik gong dua (gong adat). Sepanjang
perjalanan, para penyambut menari hingga ke Kampu. Lalu beras dituangkan
kedalam sebuah Keraro beras. Beras siap dimasak untuk disuguhkan nantinya pada
saat menaikkan dulang nasi aji ke
Mesjid Kuno.
Ada
sedikit perbedaan dalam kegiatan rangkaian bisok beras antara wet Sesait dengan
wet Bayan serta wet Gumantar.Perbedaan ini pada penyembelehan hewan kurban yang
akan dijadikan lauk pada kegiatan maulid adat.
Di wet
Sesait, penyembelehan dilakukan persis dihalaman depan Mesjid Kuno, sejajar
dengan pintu masuk mesjid. Penyembelehan itu dilaksanakan setelah kegiatan
bisok beras usai yaitu ba’da zhohor. Sementara di wet Bayan penyembelehan
dilaksanakan terlebih dahulu sebelum cara bisok beras didalam Kampu. Kalau di
wet Gumantar tidak ada acara penyembelehan. Hanya acara bisok beras
dilaksanakan setelah turun gong.
Perbedaan
lainya terletak pada acara puncak penyelesaian ritual maulid adat dalam Mesjid
Kuno. Di wet sesait acara ritual puncak Maulid Adat dengan dinaikkannya dulang
Nasi Aji ke Mesjid Kuno. Sedangkan di wet Bayan dan wet Gumantar, acara
puncaknya sama, yaitu dengan naiknya Praja Mulud ke Mesjid Kuno.
J. RITUAL PENYEMBELIHAN KERBAU KEMBALIK POKON
Sudah menjadi tradisi
ketentuan para leluhur bahwa, ritual bisok menik dalam rangkaian prosesi
Maulid Adat Sesait, harus ke Lokok Kremean, yang lokasinya sekitar satu km
kearah barat daya Mesjid Kuno.
Usai bisok menik ini,
rangkaian selanjutnya setelah bakda zhohor adalah sembeleh Koq (kerbau) kembalik pokon,
yang ukuran,umur dan bobot sudah menjadi ketentuan para leluhur.
Menurut A.Rahini (55) salah
seorang tokoh adat Sesait bahwa, seluruh rangkaian pekerjaan ritual adat di wet
Sesait ini adalah berdasarkan perhitungan kalender
Jango Bangar.
“Pelaksanaan ritual adat di wet Sesait seluruhnya berdasarkan perhitungan
kalender Jango Bangar. Termasuk juga acara ritual penyembelehan Koq didepan
pintu Mesjid Kuno Sesait ini,”jelas A.Rahini.
Namun diakui A.Rahini bahwa sebelum
acara penyembelehan Kerbau (Koq) dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan
penyembelehan tiga ekor ayam yang putek
mulus,bulu telu (tiga) dan bing kuning, ditempat dimana nantinya
pemyembelehan Koq dilaksanakan.
“Warna bulu ayam putek mulus
(symbol kesucian) melambangkan Penghulu, warna bulu telu (biru, symbol
kesuburan) melambangkan Mangkubumi, dan warna bing kunig (merah-kuning, symbol
keberanian dan kemakmuran) melambangkan Pemusungan dan Jintaka,”beber A.Rahini
lugas.
Ketika ditanya, mengapa ayam yang tiga warna tadi disembeleh
duluan, A.Rahini yang juga anak mantan dari Mangkubumi terdahulu ini,
mengatakan dengan senyum bahwa, pada saat itu ada Manik – Mulud (Firman Allah
Swt) segala sesuatu mulai ada.
Sementara itu Ketua Panitia
Pelaksana Maulid adat wet Sesait, Asrin mengatakan, yang mengerjakan ritual
persiapan penyembelehan Koq ini adalah
Purusa A.Dalik-A.Kayam Bat Pawang.“Yang melakukan melekok koq (ikat kerbau)
sebelum disembeleh dari Purusa A.Dalik-A.Kayam Bat Pawang.
Jadi tidak sembarang yang
melakukannya,”jelas Asrin yang dikenal dalam komunitas Sesait ini dipanggil
Upik.Sedangkan yang akan melakukan penyembelehan adalah dari Tau Lokak Empat,
bisa Mangkubumi, Pemusungan,Penghulu dan Jintaka.Tergantung kesepakatan mereka,
siapa yang akan melakukan penyembelehan.
K. PUNCAK MAULID ADAT, DULANG NASI AJI DINAIKKAN
Ritual prosesi Maulid Adat
wet Sesait, pada puncaknya yang terakhir (hari keempat) dengan menaikkan Nasi
Aji ke Mesjid Kuno. Nasi Aji yang dinaikkan ini berjumlah tiga buah dulang yang berkaki satu, yang bentuk dulangnya seperti Waruga
pada jaman batu besar.
Disebut Nasi Aji, karena cara
penyajian segala isinya dengan cara berdiri dan dibungkus / dibalut dengan kain
putih. “Pada intinya, ini adalah sebuah simbol bahwa, apapun isinya tidak ada
yang mengetahui, karena dibungkus dengan kain putih,”kata Lakiep (alm) dari
Marga Sanggia suatu kesempatan pada masa hidupnya.
Mengapa jumlahnya harus tiga
dulang? Lakiep menjelaskan,” karena itu ada hubungannya dengan Menjango,
Membangar dan Bukak Tanak, ”jelasnya.
Dulang Nasi Aji berisikan segala jenis makanan yang sebelumnya
sudah disajikan oleh Praja Mulud di dalam Kampu. Isinya terdiri dari nasi,
lauk-pauk (tanpa garam), pisang, jaja pangan, jaja tutu dan lain secukupnya.
Semua penganan ini disajikan / diatur dengan cara berdiri. Masing-masing dulang
dibungkus dengan menggunakan kain putih (melambangkan kesucian).
Menurut salah seorang tokoh
adat Sesait A.Rahini (55) bahwa, Nasi Aji yang
berjumlah tiga dulang ini, diperuntukkan bagi Tau Lokak Empat. Sedangkan
dulang selebihnya itu adalah sebagai pengiring dulang Nasi Aji, dan
diperuntukkan bagi siapa saja yang ada di dalam Mesjid Kuno.
“Khusus dulang Nasi Aji yang
tiga buah ini, sudah ada peruntukannya. Satu dulang untuk pasangan Pemusungan
dan Penghulu, satu dulang untuk pasangan Mangkubumi dan Jintaka, dan satu dulang
yang lainnya diperuntukkan bagi tamu undangan yang lain, yang setingkat dengan
jabatan Tau Lokak Empat,”terang A.Rahini.
Tetapi yang unik disini,
lanjutnya, bahwa Mangkubumi itu tidak makan. Sebagai penggantinya dicarilah
orang yang sederajat dengannya, untuk menyantap Nasi Aji bersama dengan Jintaka.
Ada lagi sebutan yang unik
dalam Tau Lokak Empat. Misalnya, Penghulu, tidak disebutkan Penghulu saja,
tetapi ditambah sebutan nama didepannya dengan sebutan Mas Penghulu. Sedangkan
yang lain, seperti Pemusungan, Mangkubumi dan Jintaka, sebutannya tetap tidak
berubah.
“Yang lain, tetap sebutannya,
hanya Penghulu saja yang disebut Mas Penghulu,”jelas A.Rahini. Ketika ditanya
mengapa demikian, A.Rahini menjawab dengan senyum, “Karena itu identik dengan
Penggentik (Pengganti), ”katanya.(#)
BAB V
SITUS
PENINGGALAN SEJARAH GUMI PAER
SESAIT
Berbicara mengenai sejarah,
pandangan kita tidak pernah lepas dari masa lampau. Sejarah bukanlah suatu yang
asing bagi kita.Walaupun demikian, masih banyak diantara kita yang belum
mengetahui sejarah peninggalan masa lalu yang ada disekitar kita. Hal ini
disebabkan karena kurangnya peninggalan – peninggalan tertulis yang
ditinggalkan oleh masyarakat terdahulu yang sampai kepada generasi berikutnya.
Dalam tulisan kali ini,
terfokus pada beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di Gumi Paer Sesait,
yang berhasil penulis kumpulkan dari berbagai sumber.
Menurut Perbekel Adat Sesait
Masidep, menyebutkan, ada beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di Gumi Paer
Sesait, yang hingga kini masih tersimpan lestari. Peninggalan-peninggalan
sejarah itu, ada yang tersimpan dalam Kampu dan ada pula masih tersimpan oleh
keturunannya.
Diantara peninggalan sejarah
yang hingga kini masih tersimpan lestari tersebut,antara lain :
A.
KULEM DAN KERIS
Peninggalan Datu Bayan, Kulem
adalah nama sebuah alat yang pernah dipergunakan oleh Mak Beleq (sebutan Datu
Bayan sebelum menjadi Datu Bayan) sebagai sikap (senjata) dalam perjalanannya
menuju ke Semboya, untuk memantau kawasan utara gunung Rinjani yang nantinya
akan dijadikan sebagai lokasi mendirikan sebuah kerajaan baru.
Kulem, yang sudah berusia
puluhan abad ini, secara turun - temurun masih tersimpan rapi oleh Masidep keturunannya yang ke-58 di dusun Sumur Pande Tengak Desa Sesait
Kecamatan Kayangan KLU. Kulem tersebut adalah sejenis Perisai terbuat dari kayu
Stuba dan sebilah keris.
Sebenarnya, Kulem ini adalah
nama orang yang mendampingi Mak Beleq dalam perjalanannya menuju daerah
Semboya, untuk melihat seluruh daerah
kawasan utara gunung Rinjani, daerah yang mana kira-kira yang cocok untuk mendirikan
sebuah kerajaan baru.
Dari kerajaan baru inilah
nantinya akan dijadikan pusat penyebaran Islam keseluruh pelosok dikawasan
utara gunung Rinjani.
Mak Beleq, dengan didampingi
oleh pengiringnya yang bernama Kulem, sebelum sampai ke tempat tujuan, singgah
dulu disebuah gubug di daerah Santong (sekarang Santong Asli) untuk
beristirahat sejenak menghilangkan kepenatan akibat perjalanan jauh. Gubug yang
digunakan oleh Mak Beleq sebagai tempat istirahat tersebut, hingga sekarang
gubug ini masih terpelihara dengan baik
oleh keturunannya, yang memang berdasarkan purusanya.
Dalam perjalanan ritualnya ke
Semboya kala itu, Mak Beleq bersama pendampingnya Kulem, memang mengharuskan
singgah terlebih dahulu untuk beristirahat dirumah yang sampai saat ini masih
terpelihara di Santong Asli itu. Setelah itu, baru kemudian perjalanan
dilanjutkan menuju Semboya. Tiba disana, dicarilah tempat yang cocok dijadikan
pijakan, untuk melihat daerah sejauh mata memandang yang ada di lereng utara
gunung Rinjani. Batu pijakan yang digunakan oleh Mak Beleq kala itu, yang oleh
masyarakat adat wet Sesait dikenal dengan nama ‘Batu Penginjakan Semboya’. Batu
Penginjakan ini pun hingga kini masih terpelihara dan dijaga oleh purusanya.
Pada setiap tahun, untuk
memperingati hijriyahnya Mak Beleq dalam menapak tilas mencari daerah baru
sebagai lokasi sebuah kerajaan yang akan didirikannya, maka Kulem ini selalu
dibawa ke Semboya oleh keturunannya dalam sebuah acara ritual. Mak Beleq
didalam menjalankan misinya mencari daerah baru tersebut, berdasarkan naluri
darah birunya sebagai calon Datu/Raja, maka dipilihlah daerah Bayan untuk
dijadikannya sebagai daerah kerajaannya nanti.
Dimana pada saat yang
bersamaan, pada masa itu di Bayan sudah ada Raja yang memerintah, yang bernama
Emban Sereak. Rupanya, Mak Beleq inilah yang diceritakan dalam perjalanan
sejarah nantinya yang akan menjadi Raja Bayan menggantikan Raja Emban Sereak.
Dalam perjalanan sejarah
berikutnya, diceritakan bahwa Kulem ini juga dikenal sebagai salah satu tokoh
penyebar Agama Islam di daerah Sesait. Salah satu tokoh keturunan Kulem ( penyebar Islam ) di gumi Sesait
adalah H.Yamani, atau yang lebih dikenal dengan sebutan H.Imok/ Amaq Imok. Alat
ini (Kulem) tersebut, hingga kini masih tersimpan dengan baik oleh keturunannya
yang ke- 58, Masidep, yang juga Sekjen Perbekel Adat Wet Sesait, yang
berpenampilan low profil ini.
B.
BALE BANGAR
Gumantar adalah salah satu desa dari
delapan desa yang ada diwilayah Kecamatan Kayangan Lombok Utara. Hingga sekarang, desa ini banyak
meninggalkan beberapa situs sejarah yang penuh dengan nuansa adat istiadatnya,
terutama yang berpusat di Dusun Dasan Beleq.
Secara sosiokultural, masyarakat adat Dasan
Beleq berkaitan erat dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari situs
budaya yang ada, terus hidup dan berkembang sejalan dengan ritme kehidupan
masyarakat setempat.
Pusat aspek keagamaan terdapat di
dusun Gumantar, dimana Mesjid Kuno yang ada sekarang adalah dibangun oleh para
wali dan ulama’ penyebar agama Islam terdahulu, sedangkan pusat Pemerintahannya
kala itu terdapat di Dusun Dasan Beleq ini.
Situs – situs sejarah peninggalan para wali
penyebar agama Islam yang terdapat di Dusun
Dasan Beleq Desa Gumantar Kecamatan Kayangan KLU ini, menurut tokoh adat Dusun
Dasan Beleq, Malinom (48), mengatakan bahwa, ada beberapa peninggalan, diantaranya
:
1.
Bale Bangar Gubuq’
‘Bale Bangar Gubuq’, yang oleh masyarakat
setempat disebutnya Pagalan. Bale ini, terletak ditengah-tengah Gubuq Dasan Beleq,
dengan ukuran 5x5 m. Bale (rumah) ini, menurut Malinom, keberadaannya diyakini
dibuat oleh orang yang pertama kali datang dan menetap di Dusun Dasan Beleq. “Kedatangannya
dari mana, dan siapa namanya, itu tidak bisa dipastikan, ”kata Malinom.
Namun menurut Sahir (40), salah
seorang tokoh muda yang disegani di dusun setempat, menceritakan kepada suarakomunitas.net,
tentang keberadaan dari seorang wali penyebar agama Islam yang pertamakali
datang dan menetap di kampung Dasan Beleq tersebut.
Diceritakan, konon katanya, pada
sekitar abad 16 Masehi, ketika agama Islam sudah mulai tersebar ke seluruh pelosok
tanah air, tak terkecuali para penyebar ajaran Islam sampai juga ke wilayah
utara lereng gunung Rinjani. Termasuk di gumi Dasan Beleq ini. Para penyebar
agama Islam yang pertama kali datang ke tempat itu (Dasan Beleq), menurut
Sahir, diawali dari Gunung Rinjani. Penyebar agama Islam ini, bernama Mak Beleq
dan Kendi (menyerupai Kendi) turun dari Gunung Rinjani, yang dikemudian hari,
dalam perjalanan sejarah, setelah berkuasa dan menyebarkan agama Islam di
daerah Bayan, Mak Beleq dikenal dengan sebutan Datu Bayan.Sedangkan temannya
yang bernama Kendi tadi, kala itu,tetap tinggal dan menyebarkan agama Islam di
daerah Dasan Beleq dan sekitarnya.
Diceritakan, sebelum sampai ke Dasan
Beleq, para penyebar ajaran Islam (Mak Beleq dan Kendi) ini berhenti dulu di
Pawang Semboya, untuk melihat sekeliling utara lereng gunung Rinjani, kearah
mana nantinya tujuannya yang pertama dalam menyebarkan ajaran Islam yang
dibawanya. Setelah mantap keteguhan hatinya, maka dipilihlah suatu daerah
sebagai tujuannya yang pertama dalam menyebarkan ajaran Islam. Daerah tersebut,
sekarang dikenal dengan nama Dusun Dasan Beleq. Karena yang pertama kali datang
ditempat itu bernama Mak Beleq, sebelum melanjutkan penyebarannya ke daerah
Bayan.
2.
Bale Adat
Kemudian, situs peninggalan sejarah yang lain
di Dusun Dasan Beleq ini adalah Bale Adat yang berada di Pawang
Gedeng/Pawang Adat, sekitar 400 meter kearah selatan Gubuq Dasan Beleq
sekarang.
Bale adat yang berada ditengah Pawang Gedeng/Pawang Adat ini, terbuat
dari anyaman pohon bambu. Mulai dari atap hingga pagarnya semuanya terbuat dari
bambu.
3.
Berugak Agung’
Disamping Bale Adat ini, sekitar 5 meter
disebelah barat laut dari Bale Adat tersebut, didirikan ‘Berugak Agung’ saka enam,
sebagai tempat persinggahan para tetua adat sebelum melaksanakan upacara ritual
adat di Bale Adat tersebut. Selain sebagai tempat persinggahan para tetua adat
sebelum melaksanakan upacara ritualnya, maka Berugak Agung ini, digunakan pula
sebagai tempat mempersiapkan sesaji dan segala bentuk hidangan makanan yang
disajikan dalam wadah yang disebut dulang, yang diperuntukkan bagi seluruh
masyarakat adat yang hadir dalam upacara
adat, usai melakukan upacara ritual di
Bale Adat tersebut.
Menurut Sahir, yang mendampingi penulis,
ketika mengunjungi Bale Adat yang berada di tengah Pawang Gedeng pada tahun
2010 silam mengatakan, kalau belum sampai waktunya diadakan acara ritual di
Bale Adat tersebut, siapa saja tidak boleh masuk atau sekedar melintas didalam
arena atau halaman Bale Adat. “Itu pemalik,”katanya meyakinkan.
Ketika penulis mengambil
gambar Bale Adat dan Berugak Agung tersebut, hanya dari luar areal pembatas.
Nuansa adat di sebuah dusun tradisional yang jauh dari bisingnya kehidupan
masyarakat modern ini, masih kental dengan tradisi-tradisi wetu telu, berurat
berakar dikalangan sebagian masyarakat Dayan Gunung, yang masih kuat memegang
tradisi tersebut.
Komunitas masyarakat adat
dusun Dasan Beleq, menurut Sahir, upacara ritual di Bale Adat yang berada di
Pawang Gedeng itu, akan dilaksanakan secara besar – besaran empat bulan sekali. Upacara tersebut, menurut Sahir
adalah upacara Buku Beleq. Disebut demikian, karena upacara ini dilaksanakan
empat bulan sekali secara besar-besaran. Namun Sahir juga mengaku, bahwa pelaksanaan
upacara ritual adat di Pawang Gedeng tersebut, tiap bulan juga
dilaksanakan,tetapi hanya sekedar upacara kecil-kecilan.
Pelaksanaan upacara Buku
Beleq di Bale Adat dalam Pawang Gedeng ini, akan dilaksanakan setiap dua bulan sekali.
Namun sebelumnya, kata Sahir, masyarakat adat Dusun Dasan Beleq secara gotong
royong memperbaiki dulu atap dan pagar dari Bale Adat tersebut, dimana ‘bambu
lande’ yang digunakan diambilkan dari suatu tempat yang sudah
ditentukan, yaitu dari daerah Tenggorong.
‘Perbaikan ini, dilaksanakan
selama 12 hari berturut-turut, hingga tiba waktunya pelaksanaan upacara
adatnya, ”tambahnya. “Mudah-mudahan saja agenda yang sudah ditetapkan oleh para
tokoh adat di Dusun Dasan Beleq ini, bisa dilaksanakan sesuai rencana,
”sambungnya.
C.
PENINGGALAN SRIANGGE
1. Takepan
Lahat
2. Kitab
Shalawatan
3.
Umbak Bayan
Peninggalan Sriangge,
berupa : Takepan Lahat yang ditulis didaun lontar, Kitab Shalawatan dan Umbak
Bayan, yang hingga kini masih disimpan oleh (Samudin-Kedemuq-Lokok Sutrang
Sesait), juga yang hingga kini masih tersisa adalah pohon Kelor dan Paving
block. Pohon Kelor (remunggek) ini masih ada hingga sekarang, tidak jauh dari
makamnya.
Pohon ini dulunya diyakini
sengaja ditanam dekat tempayan (Ploncor) yang digunakan sebagai wadah menyimpan
air untuk wudu’.
Dalam menjalani kehidupan
bersama istrinya di gawah alas bana ini, Sriangge terus menjalankan kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt,
hingga akhir hayatnya.Disamping itu, hingga saat ini bekas peninggalan
Sriangge masih tersimpan.
Menurut
Amaq Sudirahman (Narimah), salah seorang keturunan ke -12 dari Sriagan,
menceritakan bahwa ke-5 anak Sriagan ini, antara lain Sriangge, Bading, Gubah,
Oncok dan Goneng. ”Kelima anak dari Sriagan ini mempunyai andil dalam
memperluas wilayah penyebaran Islam kala itu, ”sebut Narimah.
Sebut saja,
lanjut Narimah seperti Gubah, mendapat
tugas ke Soloh dan ke Jawa Timur serta ke Betawi, Bading ke Lombok Tengah,
Goneng ke Bayan, Oncok di sekitar Barat Laut wet Sesait dan Sriangge ke
Beraringan dan sekitarnya.
Bagaimana
kiprah dan keberadaan dari para penyebar Islam putra asli dari Gumi Paer Sesait
ini, tidak banyak diketahui. Hanya yang dibahas dalam tulisan ini adalah ketokohan
Sriangge dan keteguhan imannya dalam mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh
Hindu yang masuk ke wet Sesait kala itu.
Pohon
Kelor Dekat Tempat Berwudu dan Bekas Sumur Sriangge
Di
ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh
Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya
Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke tanah / gumi paer Sesait,
yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah. Sehingga,
ketika pengaruh Hindu ini masuk ke gumi paer Sesait, maka dari kalangan santri
yang ta’at beribadah ini, meninggalkan gumi paer Sesait untuk mengasingkan diri
dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan Gawah Alas Bana, yang belum pernah
terjamah tangan manusia.
Di Gawah
Alas Bana (diyakini sebelah barat Dusun Beraringan sekarang) inilah Santri yang
bernama Sriangge bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya.
D.
PENINGGALAN
SAYYID ANOM
a. Al-Qur’an tulis tangan
Peninggalan
Sayyid Anom dalam kiprahnya menyebarkan agama Islam. Al-Qur’an tulis tangan
pada kulit onta, yang usianya menurut Piagam Sesait sekitar 580 tahun yang lalu,
yang hingga kini masih tersimpan baik di dalam Kampu Sesait.
b.Mesjid Kuno, Tongkat khutbah dan Balai Agung Adat
Disamping
itu, ada juga peninggalan Sayyid Anom yang lain, seperti Mesjid Kuno, Tongkat khutbah yang
terbuat dari hati pohon pisang (galih) dan Balai Agung Adat
(Singgasana Raja) yang disebut Kampu.
Ajaran-ajaran
yang dibawa oleh ulama Sayyid Anom ini adalah Fiqh Ushul dan Tasawuf.
Dalam praktek syiarnya, metode yang dilakukan adalah tidak bertentangan dengan
adat istiadat setempat. Sehingga dalam perayaan hari-hari besar Islam, seperti
Maulid Nabi Muhammad Saw ketika itu,
dilaksanakan secara adat. Hingga kini, ritual Maulid adat di kampung yang
namanya Sesait ini, tetap lestari pelaksanaan Maulid secara Adat.
Ulama
Sayyid Anom, dalam penyampaian risalah atau ajaran agama Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw ini, menurut Piagam Sesait, bahwa Raja Sesait Demung
Melsi Jaya, berikut empat orang Patihnya bersama-sama menyebarkan agama
Islam pada awal abad ke 14 M.
E.
SITUS
PEMANDIAN EMPLENG BELELENG
Penelusuran
jejak situs-sistus sejarah Sesait tempo dulu yang tersebar diwilayah wet
Sesait, hingga kini terus dilakukan. Dalam penelusuran pencarian situs sejarah
Sesait ini, Agus Wahyudi, salah seorang tokoh Pemuda Sesait, mengatakan bahwa,
keberadaan situs-situs Sesait selama ini masih banyak yang belum ditemukan.
Sedangkan yang sudah ditemukan baru sebagian kecil saja.
”Situs-situs
sejarah Sesait yang sebagian besar tersebar diwilayah bagian timur KLU ini,
masih banyak yang belum ditemukan, baru sebagian kecil saja,”kata Agus Wahyudi,
yang biasa dipanggil Agus Engkang ini.
”Kami akan terus
mencoba menelusuri jejak situs sejarah Sesait yang merupakan peninggalan nenek
moyang Tau Lokaq Sesait yang pernah ada di zaman dulu, yang nyaris
terlupakan ini. Sehingga nantinya, penemuan kami ini akan menjadi bukti bahwa
peradaban Tau Lokak Sesait zaman dahulu betul-betul pernah ada dan jaya
dimasanya,”jelas Agus Engkang semangat.
Situs pemandian
Inaq Empleng Bleleng yaitu Situs Sumur Lokok Paok. Sekitar satu kilo meter ke
arah barat laut Kampung Sesait inilah lokasi situs Sumur Lokok Paok itu berada.
Keberadaan sumur ini, persis dilereng bukit gontoran Gunung Konoq, diatas Lokok
Saong sebelah timur Gubuq Setowek, yang
hingga kini keasliannya masih terpelihara rapi. Hanya saja, seiring
dengan perubahan zaman jutaan abad yang silam, penutup dari sumur ini sudah
raib ditelan waktu.
Sumur Inaq
Empleng Bleleng dan Batu lesung
Menurut cerita M.Ali salah seorang tokoh
masyarakat Sesait, menceritakan hal ihwal keberadaan sumur lokok paok tersebut.
Di ceritakannya bahwa, sumur lokok paok ini, dulu pada zaman ireng, sumur ini
diyakini sebagai sumur tempat pemandian Inaq Empleng Bleleng. Batu lesung yang
ada persis didekat sumur ini, diyakini sebagai wadah tempat menumbuk kelapa
atau sejenisnya sebagai alat untuk keramas. Kebiasaan orang tua zaman dahulu,
sebelum mandi, biasanya keramas terlebih dahulu, baru kemudian mandi ’melangeh’.
Tidak jauh dari
tempat batu lesung tadi, yaitu sekitar satu meter arah utara darinya terdapat
satu buah batu lesung lagi yang lubangnya ada lima. Ini, menurut M.Ali,
diyakini juga sebagai tempat Inaq Empleng Bleleng menaruh segala macam racikan
ramuan untuk dijadikan obat-obatan.
Lokok
Koloh dan Situs Empleng Beleleng yang sudah menjadi batu
Disamping situs
Sumur Lokok Paok, ada dua sumur lagi berderet disebelah utaranya, yaitu Sumur
Lokok Lengkak dan Sumur Lokok Koloh yang menyerupai
gua. Dari sumur Koloh yang menyerupai gua inilah hingga sekarang digunakan oleh
penduduk Sejongga, untuk mengambil air sebagai sumber kehidupan mereka.
Menurut legenda
yang berkembang secara turun- binurun dikalangan masyarakat Sesait, dari zaman
dahulu hingga sekarang, diceritakan bahwa; pada zaman ireng (zaman kegelapan)
atau mungkin juga pada zaman gletser jutaan tahun silam, hiduplah sepasang
keluarga yang bernama Empleng Bleleng. Keluarga ini hidup dan berkembang
membentuk sebuah komunitas yang oleh masyarakat setempat, diyakini mereka
tinggal di gontoran Sesait yang sekarang. Sebagaimana layaknya kehidupan
manusia zaman sekarang, kehidupan keluarga inipun yang pada zamannya, dalam
kesehariannya terus bekerja banting tulang diladang miliknya demi menghidupi
keluarganya.
Tempat
Empleng Beleleng Melangeh dan Sumur Lokok Paok
Dari hari
berganti hari, terus berlangsung sepanjang masa, kehidupan sepasang keluarga
Empleng Bleleng pun berubah menjadi masa paceklik. Pada masa ini kehidupan
keluarganya mengalami masa serba kekurangan. Tidak ada yang akan dimasak.
Keluarga ini berusaha semampunya untuk mendapatkan sekedar penyambung hidup
bagi keluarganya. Sehingga pada suatu ketika, sang ibu (Empleng Bleleng) sedang
menyajikan makanan sekedar pengganjal perut bagi anak-anaknya. Sedangkan sang
suami ketika itu sedang bekerja diladang.
Diceritakan
dalam legenda tersebut bahwa, ketika Inaq Empleng Bleleng menyajikan makanan
buat anak-anaknya, tiba-tiba anaknya nyeletuk mengatakan; ”Inaq, awas ’dowen
epe’ (punyamu ibu),”kata anaknya yang paling besar.
Tanpa pikir
panjang, ibunya langsung memukul anaknya yang berbicara tadi dengan menggunakan
sendok sayuran yang biasanya terbuat dari tempurung kelapa. Peristiwa pemukulan
Inaq Empleng Bleleng kepada anaknya ini, terdengar juga sampai diladang dimana
lokasi tempat sang suami bekerja. Kemudian sang Suami begitu melihat keadaan
anaknya yang berlumuran darah dari kepalanya, sang suami marah dan kalang
kabut. Saking marahnya, sehingga kemarahannya ini tidak bisa dibendung,
akhirnya sang suami kalap, dan menebas buah dada (payudara) sang isteri dengan
menggunakan parang. Akibat tebasan parang dari suaminya ini, Inaq Empleng
Bleleng lantas pergi ke tengah arungan (laut dangkal) guna merendam lukanya. Ini
dimaksudkan agar darah yang terus mengucur keluar dari lukanya itu bisa
dihentikan. Berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan, Inaq
Empleng Bleleng terus berendam.Karena terlalu lamanya berendam, anak yang
ditinggalkan dirumahnya bersama suami dan anaknya yang paling besar, menjadi
kewalahan. Pasalnya, anaknya yang bungsu masih membutuhkan air susu ibunya.
Dalam keadaan
penyesalan yang amat dalam, sang suami berharap agar sang istri bisa keluar
dari tengah arungan atau dari berendamnya. Namun, sang istri bersikukuh tidak
mau keluar, dia memilih tetap tinggal dalam arungan tersebut. Sang suami sudah
kehabisan akal membujuk istrinya, agar mau keluar menyusui anaknya yang masih
kecil tersebut. Tetapi, istrinya tetap tidak memperdulikannya. Langkah terakhir
yang ditempuh sang suami yaitu dengan menyuruh anaknya yang paling besar
menyusul ibunya. Dengan langkah yang tertatih-tatih sambil menggendong adiknya
yang sudah tidak kuat lagi menangis, lalu menyusul ke pantai, dengan harapan
adiknya dapat disusui ibunya.
Setibanya
dipinggir pantai, sambil berlarian kesana-kemari sambil memanggil-manggil nama ibunya,
agar keluar sebentar menyusui adiknya. Sementara adiknya sambil digendong terus
menangis tiada hentinya. Sampai-sampai suaranya tidak kedengaran lagi. Karena
ibunya tidak mau keluar, sang kakak juga ikut menangis sejadi-jadinya.
Akhirnya, mungkin karena naluri sang ibu muncul dihatinya,tidak tega melihat
nasib kedua anaknya terus menangis dipinggir pantai, lalu dipanggillah anaknya
agar ikut masuk ke tengah arungan menemui ibunya. Lalu kedua kakak beradik
inipun ikut masuk ke tengah arungan menemui ibunya.
Ajaib, setelah
ibu dan kedua anaknya bertemu saling melepas rindu, maka sang ibu tidak mau
lagi berpisah dengan kedua anaknya. Lalu dia memohon kepada Yang Kuasa agar
mereka dijadikan batu saja. Sehingga permohonan ibu yang malang ini, terkabulkan.
Sekarang batu penjelmaan dari Empleng Bleleng dan kedua anaknya ini,masih ada
terpelihara dengan baik ditanah milik almarhum Dabak Sesait di Gunung Konoq,
sekitar satu kilometer barat laut Kampung Sesait sekarang. Hingga saat ini, lubang
bekas luka tebasan pada dada Inaq Empleng Bleleng yang sudah membatu tersebut, lubangnya
tetap basah dan berisi air yang tidak pernah kering walau musim berganti sepanjang
sejarah.
F.
SITUS
LOKOK KREMEAN
Situs
Lokok Kremean,Sumur Jukung, Sumur Minyak, Batu Lesong dan Lokok Nampih. Menurut
penuturan Lakiep (48) yang sudah empat tahun menjaga situs ini, menjelaskan
bahwa, situs-situs ini ada keterkaitannya satu sama lain dan mengaku sebagai
penjaga situs tersebut berdasarkan Purusa (garis keturunan) dari Bapuk
Buntit-Amaq Sanggia (Marga Sanggia).
Sumur Lokok
Kremean dan Sumur Lokok Nampih
Diceritakan Lakiep, menurut cerita orang
tua dari jaman dahulu, bahwa sebelum pelaksanaan ritual Maulid Adat, ditempat
situs Sumur Lokok Kremean ini, Pare
(padi) bulu ditutu (ditumbuk), kemudian ditampik (dibersihkan), lalu
di Krem
(di rendam), yang selanjutnya nanti akan dibuat Jaja Pangan (sejenis
penganan), lalu di
goreng. Setelah semua persiapan ini sudah selesai, beras yang sudah direndam
tadi kemudian dibawa kembali menggunakan Jukung ke Kampu Sesait untuk proses
selanjutnya.
”Itulah
sebabnya ada situs Batu Lesong (digunakan untuk menumbuk padi), situs Lokok
Nampih (tempat Menampik/membersihkan beras), situs Lokok Kremean (tempat
merendam beras sebelum dibuat jaja pangan) dan situs Sumur Jukung (diyakini
sebagai sampan/rakit untuk membawa beras dan jaja pangan ke Kampu),”jelas
Lakiep (alm), yang diwawancari pada masa hidupnya saat Maulid Adat tahun 2011
silam.
G.
SUMUR
PEMANDIAN DATU SESAIT
Jalan setapak menuju areal
persawahan milik Dagul (55) dusun Sentul Desa Pendua Kecamatan Kayangan ini,
sangat menguras tenaga. Pasalnya, jalan yang menuju ke areal persawahan
tersebut penuh liku-liku dan berbukit terjal. Letak tanah persawahan milik
Dagul ini, berada sekitar 500 meter kearah tenggara dusun Sentul. Di ujung
selatan tanah sawah milik Dagul inilah lokasi Sumur yang menurut sejarah Sesait
dinamakan Sumur Lokok Kapuk.
Untuk sampai ke sumur ini,
bisa ditempuh dengan jalan kaki maupun menggunakan kendaraan roda dua, bisa
lewat desa Santong dan bisa juga lewat Sesait. Namun, bagi yang menggunakan
kendaraan cukup sampai di dusun Sentul bagian atas dan diteruskan jalan kaki
menuju lokasi dengan menyusuri pematang sawah.
Disekitar lokasi sumur Lokok
Kapuk ini ditumbuhi oleh pohon durian, pohon Jot dan pohon nangka. Sebelumnya,
disebelah timur sumur ini bertengger dengan angker pohon Kapuk (randu), yang
oleh masyarakat setempat diyakini berumur ratusan tahun. Itulah sebabnya sumur
yang memiliki sejarah sacral dijamannya ini, ketika ditemukan oleh masyarakat
secara turun – temurun, pohon randu atau kapuk itu sudah ada disekitar sumur
ini, sehingga oleh masyarakat setempat dinamakan Sumur Lokok Kapuk.
Sumur Pemandian Datu Sesait
Lokok Kapuk. Konon, menurut sejarah
Sesait, dimasa jayanya pemerintahan “Datu Sesait” atau yang lebih dikenal
oleh masyarakat Wet Sesait dengan sebutan “Tau Lokak Empat” (Pemusungan,
Penghulu, Mangku Gumi dan Jintaka), sumur lokok Kapuk ini adalah di yakini
sebagai tempat Pemandiannya.
Menurut cerita A.Kaimah (alm)
yang berkuasa di Kampu Sesait (1870) sebagai Raja Sesait yang ke-25 kala itu,
yang diceritakan kembali oleh Dagul dan Bukren, bahwa keberadaan Sumur Lokok
Kapuk ini, dulunya adalah sebagai induk dari seluruh mata air yang bermunculan
di gontoran Sentul hingga Gubug Setowek. Namun setelah Sumur Lokok Kapuk ini ditutup
oleh Tau Lokak Empat Sesait, maka sumur ini tidak lagi mengeluarkan air seperti
sedia kala atau sebesar sebagaimana keadaannya semula.
Sumur Pemandian Datu Sesait dan Alirannya
Sebagaimana diceritakan bahwa
diameter sumber mata air di sumur lokok Kapuk yang diyakini ditunggui oleh
seekor ikan Tuna Putih ini adalah sebesar batang pohon enau. Tidak bisa
dibayangkan, betapa besar air yang keluar dari sumur tersebut. Sehingga ketika
sumur ini belum ditutup dulu, aliran airnya membentuk sebuah kali besar. Namun
sekarang, bekas aliran kali tersebut sudah menjadi areal persawahan milik Dagul
Sentul.
Sumur ini ditutup oleh Tau
Lokak Empat Sesait, menggunakan Ijuk, pare bulu satu ikat, sebilah keris,
seekor ayam putih mulus dan daun sirih digulung kemudian dimasukkan dalam
kepeng bolong dalam sebuah upacara ritual adat, karena dikhawatirkan akan
menjadi rebutan penguasa Hindu yang sampai ke wet Sesait kala itu. Seandainya
sumur ini tidak ditutup, maka orang-orang Hindu pelarian Majapahit dari Jawa
abad 16 silam, akan bermukim dan menetap di lokasi sekitar sumur itu.
Kekhawatiran para sesepuh
Sesait kala itu, patut diacungi jempol. Karena berhasil menutup sumur yang
menjadi tempat pemandian para Datu yang memerintah di wet Sesait pada masanya itu. Sehingga dengan
ditutupnya sumur tersebut, penguasa Hindu yang datang ke Sesait yang merupakan
pelarian dari Majapahit karena terdesak dengan masuknya pengaruh Islam di Jawa masa itu, maka mereka tidak menemukan sumur yang
merupakan tempat pemandian para ‘Datu Sesait’ yang berkuasa secara
turun-binurun.
Sumur Lokok Kapuk ini, walau
sudah ditutup berabad-abad lamanya, namun airnya tetap mengalir meskipun tidak
sebesar aslinya dulu, hingga sekarang airnya dimanfaatkan sebagai sumber
kehidupan oleh warga sekitar Sentul atas dan bawah hingga Gubuk Setowek Desa
Pendua Kecamatan Kayangan Lombok Utara.
H.
SITUS MAKAM DATU SENTUL
‘SINOM’
Situs Makam Datu Sentul yang bernama ’Sinom’.
Makam ini tidak jauh dari jalan raya Sentul-Cempaka dan terletak dipinggir
telabah, sekitar 10 meter sebelah timur
rumah Masdan (43) di Sentul Desa Pendua Kecamatan Kayangan Lombok Utara.
Makam dan
Sumur Lokok Buyut Pemandian Datu Sentul
Keberadaan Makam
ini, yang oleh masyarakat setempat diyakini memilki Karomah tersendiri.
Misalnya saja, menurut salah seorang tokoh masyarakat Sentul yang tidak ingin
dipublikasikan namanya mengatakan, ketika ada anggota masyarakat yang secara
kebetulan duduk di atas makam Datu ini, maka seketika buah pelirnya terasa
membesar. Padahal kenyataannya tidak demikian. Hanya perasaannya saja yang
merasakan buah pelirnya membesar.
Menurut sejarah, ketika Datu Sinom ini
memerintah kerajaan Sentul ratusan abad silam, diceritakan bahwa pada masa
jayanya, Datu Sinom adalah satu – satunya Raja yang tidak memiliki musuh dengan
raja-raja yang berkuasa dilingkar utara gunung Rinjani kala itu. Termasuk
dengan Raja Sesait. Karena antara Raja Sentul dengan Raja Sesait berbesan.
Situs Makam Pande Merkani
Wilayah kerajaan
Sentul diyakini adalah hanya sebatas gontoran Sentul yang sekarang hingga Gubug
Setowek. Kerajaan ini memiliki rakyat termasuk Kaula Balanya sejumlah 144 KK.
Itulah sebabnya,
hingga sekarang, jumlah penduduk yang mendiami daerah Sentul yang menjadi
sebuah Dusun saat ini harus berjumlah 144 KK. Tidak boleh lebih dari itu. Kalau
lebih, menurut Bukren, harus pindah tempat tinggal diluar dari wet Sentul. Jika Hal itu
tidak diindahkan, maka penduduk yang mendiami wet tersebut ada saja kalanya
bisa berkurang, seperti sebab meninggal dunia dan lain sebagainya. Sehingga
jumlah penduduknya yang mendiami wet tersebut tetap harus berjumlah 144 KK.
Peninggalan Datu
Sinom diantaranya adalah Sumur Lokok Buyut. Sumur ini adalah tempat pemandian
Datu Sinom beserta keluarganya. Namun keberadaan keluarga maupun sampai kapan
memerintah, tidak banyak diketahui. Hanya, Datu sinom ini memiliki menantu yang
bernama Merkani. Dimana Merkani inipun,
selain mengawini putri Datu Sentul, juga mengawini putri dari Demung Melsi Jaya
Datu Sesait yakni Demung Musani. Sehingga antara Datu Sesait Demung Melsi Jaya
dan Datu Sentul Sinom berbesanan. Merkani (nama aslinya Syeh Sayyid Sa’id) inilah yang
menurunkan nenek moyang Bukren Klau di Sesait. Dan salah satu peninggalan Datu
Sentul Sinom yang sangat terkenal hingga kini masih dilestarikan oleh para
pembaca takepan lontar adalah ’Tembang Sinom’.
Dalam
menjalankan kehidupan dalam lingkungan kerajaan, Merkani hidup sebagai seorang
pande besi. Karena sebagian besar kaula bala kerajaan Sentul waktu itu, hidup
sebagai petani. Kehidupan para petani masa itu, berhuma diladang. Dimana,
seluruh gontoran Sentul ini dulunya penuh dengan hutan belantara. Sehingga
sebagian besar rakyatnya membuka hutan belantara untuk dijadikan ladang/huma.
Dalam mengelola ladang inilah para petani masa itu kebanyakan menggunakan alat
Susur terbuat dari galih kayu busur. Oleh Raja Sentul Sinom kala itu,
diperintahkanlah menantunya Merkani untuk membuat alat susur dari besi.
Sehingga oleh rakyat kerajaan Sentul masa itu, Merkani yang juga menantu Raja
Sinom ini, di kenal dengan sebutan Pande Merkani.
Hingga sekarang
makam Pande Merkani yang terletak tidak jauh dari makam Datu Sinom (mertuanya)
ini, tetap terpelihara dengan baik oleh keturunannya di Sentul. Salah satu
keturunannya adalah Bukren Klau.
Menurut rencana
dari pihak keturunan Pande Merkani Bukren Klau, kedua makam, baik makam Datu
Sinom maupun makam Pande Merkani yang asal Klungkung Bali ini, dalam waktu
dekat disekitar kompleks makam tersebut akan dibangun pagar pembatas. Hal ini
dilakukan, menurut Bukren adalah untuk menjaga kelestarian situs sejarah para
penguasa yang pernah ada dan jaya dimasanya.
I.
SITUS
TELAPAK KAKI DATU KELING
Situs telapak kaki Datu
Keling, yang terletak di tebing sungai
Cempogok Kayangan KLU, menyimpan sejarah nilai seni dan budaya dari kerajaan
Keling Hindu beberapa abad yang silam. Situs ini terletak beberapa meter
sebelah timur jalan raya Kayangan-Santong, yang bersebelahan dengan montong
Cempogok, tidak jauh dari pusat Pemerintahan Kantor Camat Kayangan KLU.
Sebelumnya
situs ini memang secara turun menurun sudah banyak warga masyarakat Kayangan
yang menemukannya. Namun pada saat penemuannya itu, biasa-biasa saja belum ada
yang berfikiran untuk mempublikasikannya. Hal ini disamping keterbatasan
pengetahuan masyarakat setempat kala itu, juga disebabkan tidak tahu bagaimana
caranya supaya banyak orang yang mengetahuinya.Lebih-lebih kala itu belum ada
media cetak maupun dunia maya seperti jaman sekarang.
Sebagaimana diceritakan secara
turun-temurun bahwa keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing
bebatuan diatas sungai Cempogok tersebut, adalah oleh masyarakat adat setempat
diyakini, itu bekas telapak kaki Datu Keling yang membekas ketika Datu Keling
berburu. Sehingga bukti keberadaan situs ini, dibenarkan dengan pernyataan Datu
Keling yang pernah berwasiat kepada kaula balanya (rakyatnya), bahwa jika suatu saat dia akan menghilang, maka dia
akan meninggalkan bekas telapak kakinya. Sangat besar kemungkinan, jika bekas telapak kaki ini adalah jejak
Datu Keling seperti yang diwasiatkan.
Pernyataan Datu Keling itu
pun juga dibenarkan oleh tokoh Adat KLU, Djekat S.Sos. yang juga anggota DPRD
KLU, bahwa bekas telapak kaki ini erat kaitannya dengan cerita rakyat atau
dongeng masyarakat Sesait, yaitu kisah perjalanan Teruna Keling (Datu Keling).
Situs Telapak Kaki Datu Keling dan Aliran Air Seninya
Hal ini juga, dibenarkan oleh Juru
Tulis Pembekel Adat Wet Sesait,Masidep. Ia menjelaskan bahwa kisah perjalanan Datu Keling diabadikan dalam cerita Cupak Gurantang. Konon ceritanya, Teruna Kling memiliki dua orang putra. Putra
pertamanya bernama Cupak yang berkarakter
rakus dan sombong sedangkan putra keduanya bernama Gurantang
adalah sosok yang lembut, baik hati, jujur dan patuh kepada orang tua. Sehingga
kisah cupak gurantang diabadikan dalam bentuk drama oleh masyarakat.
Situs Sumur Jembung dan Batu Bertutup
Disamping keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing
bebatuan sungai cempogok Kayangan tersebut, bukti yang lain memperkuat dugaan
bahwa, memang benar bekas telapak kaki Datu Keling yang diyakini pernah
berkuasa disekitar lereng gunung Rinjani pada masa pra aksara, juga tidak
jauh dari situs telapak kali ini,sekitar
dua ratus meter kea rah selatan, ditemukan pula situs Jukung (sampan/rakit),
Telapak Kaki Kuda dan situs dudukan serta situs aliran air seni dari Datu
Keling yang menempel disekitar bebatuan kelat lante Empak Mayong Kayangan.
Situs Bekas Telapak kaki Kuda Datu keling
Tidak
hanya itu saja, sebagai pendukung keberadaan situs telapak kaki ini, sekitar
500 meter kearah barat daya situs tersebut, ditemukan pula situs Sumur Jembung
dan situs Batu Dendeng Bertutup. Situs-situs yang ditemukan ini pula, yang oleh
masyarakat adat wet Sesait diyakini sebagai peninggalan dari Datu Keling yang
pernah ada dan jaya dimasanya.
Lokasi Situs-situs ini adalah dulunya
hutan Busur yang lebat, banyak dihuni ular-ular berbisa dan berbahaya.
Karenanya, waktu itu raja berinisiatif untuk meminta bantuan kepada kaula
balanya (rakyatnya), terutama para sesepuh kerajaan (pawang ular berbisa),
untuk bagaimana bisa bersahabat dengan
hutan yang menjadi lokasi daerah buruannya, guna mengusir binatang
berbisa itu.
Para Pawang sesepuh kerajaan Keling
tersebut, ternyata menggunakan sejumlah burung merak untuk mengusir ular-ular
dari hutan, tempat Datu Keling berburu dan beristirahat, sambil menunggu hasil
buruannya.
Jika mengunjungi situs-situs ini, baik
situs telapak kaki Datu Keling maupun situs-situs Datu Keling yang lainnya,
anda akan disuguhkan dengan pemandangan yang jauh dari kesan hingar bingar
kota. Suasana sejuk, hijau, dan alami akan menemani anda di tempat tersebut.
Oleh pemerintah daerah, khususnya Dinas Pariwisata KLU, hendaknya situs-situs
peninggalan budaya masa lampau yang banyak tersebar dan yang belum
ditemukan di daerah ini, dikemas sebagai
icon daerah tujuan wisata dimasa mendatang.
J.
SITUS MAKAM
KUBUR BELEQ
Ketika menyebut makam Kubur Beleq, sudah tidak asing
lagi bagi sebagian besar warga Sesait-Kayangan.
Mengingat perjalanan panjang sejarah penyebaran Islam di Sesait, sangat erat
kaitannya dengan keberadaan makam ini. Tidak sedikit mitos yang melingkari
keberadaan makam Kubur Beleq, sosok ulama yang dikabarkan sebagai mubaligh
berasal dari Bagdad ini, menyebarkan Islam sampai ke tanah Sesait, sekitar awal
abad ke 14 M. Oleh masyarakat komunitas Sesait – Kayangan dikenal dengan
sebutan Kubur Beleq.
Batu Plawangan Makam Kubur Beleq Sesait
Kini makamnya,
yang dalam komunitas Sesait – Kayangan dikenal dengan sebutan Kubur Beleq,
ziarahnya dilakukan dua kali setahun dan dilakukan setiap hari Jum’at. Di hari lebaran hingga
lebaran topat tiap tahun, makamnya banyak dikunjungi warga dari berbagai
wilayah di Lombok Utara maupun daerah lain untuk berziarah. Ritual ziarah
makam Kubur Beleq ini, oleh komunitas Sesait disebut ’Ngaturang Ulak Kaya’.
Makam Demung Titik Pati
”Ini
adalah sebagai bukti bentuk wujud syukur kita kepada Allah Swt. Sehingga kita
sebagai generasi penerus, jangan sampai makna Ngaturang Ulak Kaya dengan membawa dulang ke Kubur Beleq ini,
memberikan penafsiran yang berbeda. Ini murni bentuk wujud syukur kita kepada
Allah Swt,” urai Djekat dihadapan ratusan para peziarah suatu saat.
Disamping
itu, lanjut Djekat, bahwa Wali yang berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah
Sesait ini, sangat penting keberadaannya di komunitas Sesait pada zaman dahulu.
Karena memang, tanpa peran dan jasa ulama tersebut, mungkin ajaran Islam belum
sampai ke daerah ini. Sehingga berkat jasanya dalam penyebaran agama Islam di
gumi Sesait inilah, hingga kini makamnya memiliki makna spiritual yang luar
biasa.
Makam
Kubur Beleq, diyakini sebagai makam Titik Pati atau Syech Said Saleh yang
bergelar Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati I, adalah
salah satu penyebar Islam pertama di tanah Sesait selain Syech Abdul Kadir
Jaelani, Syech Sayyid Rahmad dan Syech Sayyid Anom awal abad 14 silam.
Makam ini terletak sekitar 300 meter arah utara dusun Sesait Desa Sesait
Kecamatan Kayangan Lombok Utara.
Untuk
sampai ke tempat makam Kubur Beleq ini, tidak harus menguras tenaga yang besar.
Cukup jalan kaki beberapa menit, sudah sampai dilokasi. Begitu tiba
dilokasi makam, kita akan singgah dulu dimakam Titik Pati yang lokasinya persis
didekat pintu masuk.
Para
peziarah yang akan melakukan ziarah ke makam Kubur Beleq, terlebih dahulu harus
melakukan zikir di makam Titik Pati ini. Karena diyakini bahwa makam ini adalah
makam dari ayahanda dari Kanjeng Pangeran Sangapati. Jadi sebelum ziarah ke
makam Kanjeng, harus ke makam ayahandanya terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan
untuk minta ijin tentang hajatan datang ke makam tersebut.
”Makam Titik
Pati ini diyakini oleh masyarakat adat Sesait bahwa, inilah makam para penyebar
ajaran Islam di tanah Sesait yang pertama kali menganut Islam, tetapi belum
sunnat,”jelas pembekel adat Sesait Masidep. Dijelaskannya juga bahwa, setelah
selesai zikir/minta ijin di makam Titik Pati, lalu dilanjutkan ke makam Kanjeng
Pangeran Sangupati, yang lokasinya tidak jauh dari tempat itu. Hanya beberapa
meter saja.
Makam Daman
Makam Kanjeng
Pangeran Sangapati, yang menurut komunitas Sesait dikenal dengan sebutan Kubur
Beleq, disekelilingnya terdapat empat makam kecil-kecil, yang diyakini
juga sebagai makam para pendampingnya. Empat orang pendamping Kanjeng dalam
rangka syiar Islam ditanah Sesait ini, yang oleh orang Sesait dikenal sebagai patih/panglima perang. Keempat patih ini
adalah Daman, Jumanah, Rafikah dan Rafi’ah.
Makam Jumanah
Dalam
masa hayatnya, Kanjeng Pangeran Sangupati mendedikasikan dirinya untuk
menyerukan kepada warga masyarakat Sesait agar menganut Islam, maka peran para
patih inilah yang sangat penting dalam membantu syiarnya ajaran Islam saat itu.
Namun peran wali ini dalam
menyiarkan ajaran Islam di Sesait, belum sepenuhnya tuntas memberikan
pencerahan terhadap warga. Karena sang
wali terlebih dahulu mangkat. Sehingga sinkretisme (paham agama yang melibatkan
unsur tahayul) dan animisme, bercampur aduk dengan ajaran yang diajarkan. Maka
lahirlah pemahaman Islam waktu telu dan praktek keagamaan lainnya yang jauh
dari ajaran Islam.
Makam Rafikah dan Rafi’ah
Menurut
Djekat salah seorang tokoh adat Sesait mengatakan bahwa, wali yang membawa dan
menyebarkan ajaran Islam di tanah Sesait yang dimakamkan disini adalah Titik
Pati. Ziarah ini dilakukan dua kali setahun, dengan maksud menapak tilas
perjalanan sejarah penyebaran Islam di tanah Sesait.
K.
SITUS GONG BENGEL, GENDERANG PERANG
DATU SESAIT
Penelusuran
jejak situs-sistus sejarah Sesait tempo dulu yang tersebar diwilayah wet
Sesait, hingga kini terus dilakukan. Dalam penelusuran pencarian situs sejarah
Sesait ini, Agus Wahyudi, salah seorang tokoh Pemuda Sesait, mengatakan bahwa,
keberadaan situs-situs Sesait selama ini masih banyak yang belum ditemukan.
Sedangkan yang sudah ditemukan baru sebagian kecil saja.
”Situs-situs
sejarah Sesait yang sebagian besar tersebar diwilayah bagian timur KLU ini,
masih banyak yang belum ditemukan, baru sebagian kecil saja,”kata Agus Wahyudi,
yang biasa dipanggil Agus Engkang ini.
”Kami akan terus
mencoba menelusuri jejak situs sejarah Sesait yang merupakan peninggalan nenek
moyang Tau Lokaq Sesait yang pernah ada di zaman dulu, yang nyaris
terlupakan ini. Sehingga nantinya, penemuan kami ini akan menjadi bukti bahwa
peradaban Tau Lokak Sesait zaman dahulu betul-betul pernah ada dan jaya
dimasanya,”jelas Agus Engkang semangat.
Perjalanan panjang yang penuh
lika-liku menguras waktu dan tenaga dalam pencarian jejak-jejak masa lalu,
tentang keberadaan kehidupan para pendahulu penghuni gumi Sesait yang pernah
jaya dimasanya ini, membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Gong Bengel diapit oleh A.Kelap,Kayanah dan Eko
Diantara peninggalan sejarah
Sesait di masa lalu yang masih terpelihara dan lestari oleh keturunannya hingga
saat ini banyak mengandung kekuatan magis. Misalnya sebut saja Batu Sait Pati
dan Gong Bengel.
Batu Sait Pati dan Gong
Bengel ini merupakan salah satu peninggalan Datu Sesait masa lalu, yang
keberadaannya hingga kini masih ada dan meninggalkan secuil kisah yang patut di
kenang oleh generasi berikutnya. Keberadaan kedua peninggalan ini tidak jauh
dari Mesjid Kuno Sesait sekitar 15 m kearah barat daya. Gong Bengel ini di
simpan oleh Kelap (70) bersama sebilah
keris yang kemunculannya hanya suara saja setiap malam Kamis. Sedangkan Batu
Sait Pati letaknya sekitar 10 m kearah
selatan dari Gong Bengel ini. Antara Batu Sait Pati dan Gong Bengel itu,
keberadaannya terdapat keterkaitan satu sama lain dalam perjalanan sejarahnya.
Bagaimana sejarah Batu Sait
Pati dan Gong Bengel itu ada, wartawan media ini bersama Papuk Kayanah alias
Amaq Sutarsah (90) menceritakan sejarahnya dalam tulisan berikut ini.
Konon ceritanya, sekitar abad
ke-17 M, keberadaan Batu Sait Pati dan Gong Bengel yang hingga kini tersimpan
dengan baik oleh Purusanya itu, memiliki andil yang cukup penting dalam kancah
peperangan antar negeri tetangga pada masa berkuasanya Datu Sesait kala itu.
Dimana menurut A.Sutar, Batu Sait Pati itu adalah sebagai wadah mengusap atau
membersihkan darah yang menempel pada tangan,pedang/keris/tombak ataupun yang
menempel pada pakaian kebesaran perang dan senjata lainnya yang di gunakan oleh
Datu Sesait maupun punggawa kerajaan lainnya yang baru kembali dari medan
perang.Sedangkan Gong Bengel ini di gunakan sebagai genderang perang atau
sebagai pertanda akan ada bahaya atau huru-hara atau peristiwa perang yang
bakalan terjadi.
Gong itu akan berbunyi sendiri tanpa
harus di pukul. Itulah sebabnya Gong tersebut di namakan Gong Bengel. Karena
biarpun di pukul, baik menggunakan alat pemukul ataupun tidak, tetap tidak
berbunyi.
Gong Bengel diapit A.Kelap,Kayanah dan Pembekel Masidep,S.Pd
Di ceritakan oleh Amaq Sutar
alias Kayanah, Gong Bengel atau biasa di sebut ‘Tambur Perang’ oleh masyarakat
adat wet Sesait ini, keberadaannya tidak sendiri. Namun di tunggui oleh sebilah
keris, dimana keris tersebut keberadaannya hanya suaranya saja dan keris itu
hanya muncul pada setiap malam Kamis.
Sebenarnya menurut Balok Kaimah (alm)
yang diceritakan kembali oleh Kayanah, Gong Bengel (Tambur Perang) tersebut
dulunya ada dua buah, ditambah sebuah Al-Qur’an dan sebilah Keris.
BATU SAYID PATI
Namun karena sang pemilik
bersaudara yaitu Sayid Dina (kakak) dan Sayid Tumekar Sari (adik) kala itu
sama-sama ingin berkuasa dan tidak ada yang mengalah, maka oleh orang tuanya di
pisah. Agar sama-sama bisa berkuasa nantinya, yang besar Sayid Dina tetap tinggal dan berkuasa di
Kedatuan Sesait dengan diberikan sebuah Gong dan sebilah keris.
Sedangkan yang kecil Sayid
Tumekar Sari harus rela meninggalkan gumi paer Sesait untuk merantau ke daerah
Pejanggik dengan diberikan sebuah Gong dan sebuah Al-Qur’an.
Sepeninggal Sayid Tumekar
Sari dari gumi Paer Sesait, maka Sayid Dina terus berkuasa di Sesait hingga
akhir hayatnya. Keturunan Sayid Dina inilah yang menurunkan generasi berikutnya
yang berkuasa di Kedatuan Sesait (Kampu Sesait), hingga akhirnya beberapa abad
kemudian muncullah bangsa Demung. Kemunculan bangsa Demung ini sangat penting
artinya bagi keberlangsungan keberadaan pemegang kekuasaan di kerajaan Sesait
kala itu. Buktinya hingga sekarang yang berkuasa di Singgasana Kerajaan Sesait
(sekarang Kampu Sesait) adalah bangsa Demung yang disebut Mangkubumi. Sedangkan
Sayid Tumekar Sari dikabarkan setiba di Pejanggik, ia juga berkuasa dan
menurunkan bangsa Menak (Bangsawan). Keturunannya hingga sekarang sebagian besar mendiami daerah Lombok Bagian Selatan.
Keberadaan Gong Bengel dengan ukuran diameter 50 cm
dan terbuat dari tembaga tersebut, baik yang ada di Sesait maupun yang ada di
Pejanggik, ketika ada huru-hara atau bahaya yang akan di hadapi Pemerintah kala
itu, pasti sama-sama berbunyi. Namun bunyinya tidak kedengaran oleh masyarakat
di sekitar Gong itu, tetapi bunyinya akan terdengar dari daerah lain yang
sangat jauh.
Gong Bengel
Peninggalan Datu Sesait Abad 17 M
“Kalau sudah bunyi Gong yang ada di Sesait
ini, maka Gong yang satunya lagi yang ada di Pejanggik, pasti akan bunyi, namun
tidak ada yang mendengar bunyinya, kecuali bagi orang yang berada di daerah
lain yang sangat jauh (bisa antar benua),”terang Kayanah meyakinkan.
Menurut Kelap (70) yang
menyimpan Gong ini, jika di bunyikan, orang luar yang dengar. Dirinya mengaku,
walau sebagai penyimpan benda bertuah dan bersejarah tersebut, tidak pernah
mendengar bunyinya. Hanya saja katanya, bunyi keris itu saja yang sering
di dengarnya pada setiap malam jumat. Hal itu menandakan keris itu minta diberi
makan. Sehingga Kelap mengaku bahwa setiap malam jumat ia terus melakukan
ritual tersebut dengan menghaturkan sesaji seperlunya.
Menurut cerita Bapuk Kaimah
(alm) yang diceritakan kembali oleh Kayanah (A.Sutar), bahwa konon katanya,
untuk memelihara gumi paer Sesait berdasarkan hitungan tahun jango bangar, maka
peran Tau Lokak Empat yang di isi oleh Papuk Kaimah,Papuk Ekor,Papuk Lipa dan
Papuk Anci, sangat penting keberadaannya waktu itu.
Dalam setiap melakukan ritual pembicaraan penting terkait
keamanan gumi paer Sesait kala itu, maka sebelumnya mereka menggelar kain putih
terlebih
dahulu sebagai
alas mereka untuk bermusyawarah. Karena yang di musyawarahkan nantinya bersifat
suci, maka tempatnya pun harus suci dan harus berada dalam rumah. Setelah mereka
sepakat menelurkan sebuah kesepakatan, barulah mereka mengumumkan kepada para
pembekel untuk melaksanakan sebuah acara ritual sesuai dengan apa yang menjadi
hajatan yang harus digelar. Termasuk melibatkan para mangku sesuai tuntutan
pekerjaan masing-masing purusanya dalam
menyukseskan gelaran adat yang dihajatkan.#
BAB VI
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI GUMI SESAIT
A. PARA PENYEBAR ISLAM DI GUMI PAER SESAIT
Nama dan
istilah Sesait berasal dari bahasa Arab, yaitu Sayyid, sebagai istilah untuk
memberi gelar kepada para pemimpin agama atau orang yang memiliki pengetahuan
luas dibidang agama Islam.
Kata
Sayyid, juga digunakan untuk menunjuk seseorang yang memiliki gelar keturunan
atau sahabat Nabi Muhammad Saw yang menyebarkan agama Islam.
Konon,
berawal dari sebuah kampung kecil bernama Sesait, yang merupakan sebuah dusun
tertua dan tradisional, bahwa pada zaman jelma ireng (zaman gelap/Kecikol
Kondoq), datanglah seorang ulama muda dari Timur Tengah (Bagdad) bernama Sayyid
Rahmat atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat untuk menyebarkan agama Islam pada awal abad ke 14 M.
Di
kampung kecil inilah si Sayyid tinggal untuk menetap dan menyebarkan ajaran
agama Islam. Menurut
Kontara Sesait Sayyid Rahmad pernah menulis pesan kepada seluruh masyarakat
Sesait kala itu, bahwa dirinya akan pergi ke Ampel Denta Surabaya untuk
mendirikan Pesantren. Pesannya yang ditulis dengan tangannya sendiri itu, kini
masih tersimpan lestari di Kampu Sesait dengan menggunakan bahasa jawa kawi.
Dalam terjemahan bahasa
Sesait yang artinya : “Aku Sayyid Rahmad ku lalo ngamar pak gumi
jawa dwipa ampel denta surabaya = “Saya Sayyid Rahmad akan pergi ke bumi jawa
dwipa yaitu di daerah Ampel Denta Surabaya untuk menyiarkan agama Islam ). Sayyid Rahmad menulis
pesannya tersebut pada lembaran daun Lontar pada tahun 1413 M.
Sepeninggal Sayyid Rahmad, namanya sering disebut dengan sebutan Si
Sayyid (Sesait), yang kemudian diabadikan untuk memberi nama kampung
tempat tinggalnya itu, yang sampai saat ini disebut Sesait.
Mesjid Kuno Tanak Umbara
Sesait dan Al-Qur’an Tulis Tangan
Dusun Sesait merupakan dusun tertua dan
tradisional diwilayah Desa Sesait, yang lazim disebut dusun adat. Karena di
dusun inilah terdapat benda-benda bersejarah peninggalan Sayyid Anom dalam
kiprahnya menyebarkan agama Islam. Seperti Al-Qur’an tulis tangan pada kulit
onta, yang usianya menurut Piagam Sesait sekitar 580 tahun yang lalu. Disamping
itu, ada juga peninggalannya yang lain, seperti Mesjid Kuno, Tongkat khutbah yang
terbuat dari hati pohon pisang (galih) dan Balai Agung Adat
(Singgasana Raja) yang disebut Kampu.
Ajaran-ajaran
yang dibawa oleh ulama Sayyid Anom ini adalah Fiqh Ushul dan Tasawuf.
Dalam praktek syiarnya, metode yang dilakukan adalah tidak bertentangan dengan
adat istiadat setempat. Sehingga dalam perayaan hari-hari besar Islam, seperti
Maulid Nabi Muhammad Saw ketika itu,
dilaksanakan secara adat. Hingga kini, ritual Maulid adat di kampung yang
namanya Sesait ini, tetap lestari pelaksanaan Maulid secara Adat.
Ulama
Sayyid Anom, dalam penyampaian risalah atau ajaran agama Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw ini, menurut Piagam Sesait, bahwa Raja Sesait Demung
Melsi Jaya, berikut empat orang Patihnya bersama-sama menyebarkan Islam
pada awal abad ke 14 M.
B. MENGENAL SOSOK SYECH SAID SALEH
PEDALEMAN SANGAPATI
“Wali Penyebar Agama Islam Pertama di Gumi
Paer Sesait”
Berawal
dari sebuah kampung kecil pada Pertengahan abad 14 M, terbentuklah
tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang
kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum
kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer Sesait kala itu, masyarakat kampung tersebut sudah memiliki
keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam
Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima
(dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki
faham dan keyakinan yang sangat kuat.
Setelah kedatangan para Wali Allah (para
penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut,
maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.
Menurut
Djekat, salah seorang tokoh adat Sesait
mengatakan, pada sekitar abad 14 M, Sesait dijadikan
sebagai Pusat Penyebaran Islam
dan Pusat Pemerintahan Pertama diwilayah kekuasaan Sesait, karena berdasarkan atas keputusan para wali di Jawa, bahwa wali yang pertama
menginjakkan kakinya di gumi paer
Sasait adalah Kanjeng
Syech Said Saleh Pedaleman, berasal
dari Makkah Al-Mukarramah,
dan Kanjeng Said Rahmad atau
lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Bapuk Rahmad.
Kedua wali tersebut secara bersamaan datang ke
kampung tersebut. Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah
tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke
daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja
meninggalkan daerah ini. Maka mereka pun sepakat, siapa yang tetap tinggal dan
siapa yang akan melanjutkan perjalanan.
Sejarah
mencatat, bahwa yang tetap tinggal di
kampung tersebut adalah Kanjeng Syech
Said Saleh Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Pangeran
Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati atau lebih dikenal dengan nama Melsey
Jaya. Kanjeng Syech Said Saleh
Pedaleman Sangapati setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad,
tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya.
Kanjeng
Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati
inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat beliau dimakamkan di hutan
Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makam
beliau masih terpelihara hingga saat ini, yang oleh masyarakat Sesait di
sebutnya “Makam Kubur Beleq”.
Kanjeng Sayid Rahmad
setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju
tanah Jawa Dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan
bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini
tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Sayid Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat
beliau pertama kali menyebarkan Islam di tanah Sesait tersebut, beliau namakan
dengan sebutan kampung Si Sayid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu
berubah dari Si Sayid menjadi Sesait.
Disebutkan, adapun peninggalan –
peninggalan serta ajaran –ajaran Sayid Rahmat
yang hingga kini tersimpan di
Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) diantaranya, Kitab Suci Al Qur’an Cetakan
Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Sholawatan yang di tulis
tangan oleh beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580
tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati pohon Pisang.
Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid
Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf,
dimana metode yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya,
tidak pernah bertentangan dengan adat -
istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu
yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan
para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih
kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait.
“Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para
pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita
jumpai,”tandas Djekat.
C.
REFLEKSI
SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI SESAIT
Setiap kelompok umat manusia
atau setiap komunitas masyarakat memliki perjalanan sejarah asal usul
tersendiri yang menjadi latar belakang kehidupannya.
Hal ini tercermin dalam
tampilan budaya dan dicirikan oleh tatanan sosial serta keyakinan yang masih dipertahankan
sebagai identitas dan diyakini akan dapat memberikan manfaat bagi kelompoknya.
Demikian halnya dengan
masyarakat Adat Wet Sesait yang terdiri dari 4 wilayah Administratif
Pemerintahan Desa yaitu Desa Sesait sebagai pusat Pemerintahan Adat, Desa
Kayangan, Desa Pendua, Desa Santong Mulia dan Dusun Santong Asli (Desa
Santong).
Wet Sesait sebagai suatu
komunitas Masyarakat Adat tentunya memiliki sistem sosial dan sistem
kepercayaan yang bersumber dari nilai-nilai Agama Islam.
Adapun sistem sosialnya
adalah Merenten, sedangkan sistem kepercayaannya adalah monotheisme atau
meyakini adanya kekuasaan tunggal yaitu Allah Swt. Hal ini tercermin dalam tiap-tiap
prosesi budaya atau ritual-ritual adat yang dijalankan atas dasar persaudaraan
dan kebersamaan melalui gotong royong serta diyakini sebuah perwujudan tugas
dan fungsi ummat manusia sebagai subyek perintah Ilahiah dalam membangun
tatanan kehidupan sosial yang maju, damai dan berkeadilan di alam semesta.
Dalam rangka mewujudkan
tujuan dan hakekat kehidupan tesebut, sehingga sebagai upaya regenerasi
(menanamkan makna atau nilai-nilai sejarah kepada generasi muda sekaligus
sebagai upaya melestarikan ritual-ritual adat yang diyakini bersumber dari
nilai-nilai agama atau sebagai upaya penterjemahan nilai-nilai agama (Adat
Bersendikan Agama) maka dilaksanakanlah berbagai ritual adat.
Diantara ritual adat yang
tetap dilaksanakan tiap tahun, menurut sekjen pembekel adat wet Sesait Masidep
adalah Maulid Adat Nabi Besar Muhammada SAW., Aji Makam, ulak kaya dan masih
banyak lagi ritual Adat lainnya.
Salah satu ritual Adat yang
akan dilaksanakan, lanjut Masidep adalah Ritual Aji Makam. Ritual Aji Makam
akan dilaksanakan pada tiap pergantian musim dari musim kemarau ke musim Hujan
(Mangku Sesait). Prosesi ritual Aji Makam akan dilaksanakan pada setiap bulan
September tiap tahun, dengan Membaca Kitab Suci Al-Qur’an dari awal sampai
selesai (tamat) dalam satu malam.
Adapun Kitab Suci Al-Quran
yang akan dibaca adalah Kitab Suci Al-Qur’an yang dibawa oleh Alim Ulama’ yang
bernama Said Anom pertama kali dalam melaksanakan si’ar Agama Islam di tanah Sesait dan tertulis pada kulit onta.
Itulah sebabnya dalam rangka mengenang sejarah
masuknya Agama Islam dan mengenang Tokoh penyebar Agama Islam ke Tanah Sesait tersebut dilaksanaknlah Acara Aji
Makam. Kegiatan ini diawali dengan ritual memerikean (memperbaiki) Makam Tokoh
penyebar agama Islam yang diyakini sebagai Datu Bayan.
Untuk mengenang sejarah
penyebaran Agama Islam dan dalam rangka mempertahankan Aqidah Masyarakat Wet Sesait, maka para sesepuh adat
mengadakan berbagai usaha dalam memberikan dukungan baik berupa moril maupun
Materil demi suksesnya kegiatan dimaksud.
Menurut salah seorang sesepuh
adat wet Sesait Djekat, mengatakan, maksud diadakannya kegiatan ritual Aji
Makam ini adalah selain sebagai Upacara Ritual yang rutin dilaksanakan tiap
tahun, maka kegiatan semacam ini, diharapkan akan mampu dijadikan sebagai momen
refleksi atau sebagai upaya perenungan sekaligus mengenang sejarah masuknya
Ajaran Agama Islam di Tanah Sesait.
Sedangkan tujuan kegiatan ini
(ritual Aji Makam) adalah : sebagai sarana Da’wah dan menanamkan nilai-nilai
kebenaran yang bersumber dari Agama Islam, sebagai upaya membangun kader bangsa
yang memiliki loyalitas, militansi dan integratif yang tinggi. Sebagai upaya
menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, Ajang memperkuat
Sillaturrahmi, memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat dan sebagai sarana
menanamkan nilai-nilai Moral kepada generasi Muda, khususnya generasi muda
Sesait.
D.
ULAMA YANG ASINGKAN DIRI
KE GAWAH ALAS BANA
”Teguh Pertahankan Aqidah
dari Pengaruh Hindu”
Tersebarnya
ajaran Islam di Gumi Paer Sesait adalah tidak terlepas dari peran para wali
yang datang dari Timur Tengah (Bagdadh) sekitar abad 14 M hingga abad 17 M.
Para pembawa dan penyebar Islam ini sengaja
meninggalkan jazirah arab, dalam rangka membawa
amanah yang sangat mulia berupa risalah ajaran Islam yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk seluruh ummat manusia.
Para
penyebar Islam yang pernah singgah dan menetap di Gumi Paer Sesait ini, menurut
Piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) disebutkan yakni Syeh Abdul Kadir Jaelani,
Sayyid Rahmat dan Sayyid Anom.
Peran
para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di Gumi Paer Sesait ini, sangat
penting artinya bagi penduduk wet Sesait kala itu.
Makam Titi Sriangge
Sehingga
banyak bermunculan santri-santri yang ta’at beribadah. Karena ajaran-ajaran
yang dibawa oleh para wali ini sangat mudah difahami dan diamalkan.
Tidak jarang juga para santri
diantaranya yang terkenal bernama Demung Pemban Banah, selalu memperdalam
ajaran Islam jalan Tashawwuf. Jalan
Tashawwuf disini dimaksudkan adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt,
yang melalui beberapa pendakian dari satu tingkat ke tingkat lainnya yang lebih
tinggi, sebagaimana biasa dikerjakan para kaum shufi.
Menurut
H.Yamani (80), salah seorang tokoh agama
Sesait mengatakan, para santri yang belajar agama di Sesait ketika itu lebih
banyak memperdalam ajaran Islam jalan Tashawwuf. Hal tersebut dimaksudkan agar
mereka dapat mencapai tujuan utama bertashawwuf, yaitu ma’rifat billah dan
insan kamil.
Sepeninggal Demung Pemban Banah, kemudian
penyebaran ajaran Islam dilanjutkan oleh santri yang lain, bernama Sriagan,
yang juga saudara kandung dari Demung Pemban Banah. Wilayah penyebarannya
diyakini meliputi sekitar Gumi Paer Sesait (Wet Sesait).
Namun
dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan Demung Pemban Banah dan saudaranya
Sriagan ini, tidak banyak diketahui. Namun, dari keterangan beberapa tokoh
keturunan dari Sriagan, menceritakan kepada Penulis, bahwa Sriagan ini memiliki
5 orang anak, yang keberadaannya juga sangat penting dalam memperluas wilayah
syiar ajaran Islam kala itu.
Menurut Narimah (60)
keturunan ke-12 dari Sriagan mengatakan, ke-5 anak Sriagan ini, antara lain
Sriangge, Bading, Gubah, Oncok dan Goneng. ”Kelima anak dari Sriagan ini mempunyai andil yang cukup
besar dalam memperluas wilayah penyebaran Islam kala itu, ”sebut Narimah.
Kelima anak Sriangge ini,
sebut Narimah, mendapatkan tugas yang sama yakni untuk penyebaran Islam ke
beberapa wilayah, baik di seputar pulau Lombok maupun ke luar pulau Lombok.
Seperti Gubah, ia mendapat tugas ke Soloh dan ke Jawa Timur serta ke Betawi.
Sedangkan Bading ke Lombok Tengah, Goneng ke Bayan, Oncok di sekitar Barat Laut
wet Sesait dan Sriangge ke Beraringan dan sekitarnya.
Bagaimana
kiprah dan keberadaan dari para penyebar Islam putra asli dari Gumi Paer Sesait
ini, tidak banyak diketahui. Hanya yang dibahas dalam tulisan ini adalah
ketokohan Sriangge dan keteguhan imannya dalam mempertahankan ajaran Islam dari
pengaruh Hindu yang masuk ke wet Sesait kala itu.
Di
ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh
Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya
Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke tanah / gumi paer Sesait,
yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah. Sehingga,
ketika pengaruh Hindu ini masuk ke gumi paer Sesait, maka dari kalangan santri
yang ta’at beribadah ini, meninggalkan gumi paer Sesait untuk mengasingkan diri
dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan hutan yang belum pernah terjamah tangan manusia,
yang disebut Gawah Alas Bana.
Ulama Sriangge dan
istrinya, sebelum mengasingkan diri ke Gawah Alas Bana kala itu, dia bersama
keluarganya tinggal di sebelah utara Kampu Sesait. Pada masa itu, ia dikenal
taat dalam menjalankan ajaran Agama Islam. Sehingga, ketika penjajahan Hindu
merambah ke gumi paer Sesait kala itu, ia pun tetap memegang teguh aqidahnya.
Oleh karena keteguhan imannya yang tidak tergoyahkan dengan adanya pengaruh
Hindu yang masuk ke wilayah Sesait waktu itu, akhirnya ia bersama keluarganya
memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya.
Di Gawah
Alas Bana (diyakini sebelah barat Dusun Beraringan sekarang) inilah Santri yang
bernama Sriangge bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukan makamnya disekitar kaki Montong Gedeng sebelah timur. Makam ini sering di
kunjungi oleh keturunannya setiap selesai lebaran.
Dalam menjalani kehidupan
bersama keluarganya di gawah alas bana ini, Ulama Sriangge pun terus
menjalankan kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt dan meneruskan misi dakwahnya diwilayah
Beraringan, Rebakong, Lokok Rangan dan sekitarnya, hingga akhir hayatnya. Hal
ini dibuktikan dengan ditemukan makamnya disekitar kaki Montong Gedeng sebelah timur. Adapun benda-benda
peninggalannya yang masih disimpan oleh keturunannya, diantaranya Takepan Lahat
yang ditulis didaun lontar, Kitab Shalawatan dan Umbak Bayan.
Selain itu, peninggalan
lainnya yang juga yang hingga kini masih tersisa adalah pohon Kelor. Pohon
Kelor (remunggek) ini masih ada hingga sekarang, tidak jauh dari makamnya.
Pohon ini dulunya diyakini sengaja ditanam dekat tempayan (Ploncor) yang
digunakan sebagai wadah menyimpan air untuk wudu’. Makamnya hingga sekarang
masih tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunannya dan ramai dikunjungi para
peziarah terutama di hari lebaran.
Peninggalan Ulama Sriangge
(Gegandek berisi Kitab Lahat dan Shalawatan)
Ketika Sriangge mangkat, ajaib memang, secara
kebetulan mangkatnya juga secara bersama dengan istrinya Sriaji. Ketika itu
tidak ada orang yang akan memakamkannya. Karena ditempat tinggal mereka hanya
mereka berdua di gawah alas bana masa itu. Mayat mereka baunya harum. Sehingga
membuat para pelayar dari negeri jauh yang secara kebetulan lewat diperairan
utara Beraringan kala itu kehabisan persediaan air minum, mencium bau harum
tadi. Oleh nakhoda, lalu diperintahkan awak perahunya singgah untuk menyelidiki
sumber bau harum tadi, sambil mencari air sebagai tambahan persediaan dalam
perjalanan berlayar berikutnya.
Setelah
tiba di pesisir pantai utara Beraringan, bau harum terus menusuk hidung semakin
keras. Para awak perahu melihat dari kejauhan banyak sekali burung beterbangan
dari lembah sebelah timur dari kaki
bukit, yang menurut penduduk setempat dinamakan Montong Gedeng. Mereka menduga,
mungkin sumber bau harum tadi berasal dari lembah itu. Ternyata, dugaan mereka
benar.
Setiba
dilembah tadi, para awak perahu kaget. Begitu melihat sepasang mayat terbujur
kaku disebuah gubug. Lalu merekalah yang memakamkannya. Jadi, para pelayar
(oleh penduduk setempat disebut Tau Perahu) inilah yang mengurusi prosesi
pemakaman jenazah Sriangge bersama istrinya Sriaji hingga selesai. Di
ceritakan, batu-batu yang digunakan sebagai
batu nisannya itu, sudah disediakan memang dan sengaja diangkut dari Lokok
Muntur Bayan oleh Sriangge bersama isterinya Sriaji jauh-jauh sebelumnya. Makamnya
hingga sekarang masih tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunannya.
E. AL-QUR’AN TULIS TANGAN ABAD XV MASIH
TERSIMPAN
Kabupaten
Lombok Utara (KLU) banyak memiliki
warisan budaya dan benda-benda bersejarah yang tersebar dibeberapa desa adat.
Sayangnya, peninggalan sejarah itu belum banyak diperhatikan serius oleh
pemerintah. Contohnya Al-Qur’an tulisan tangan di kulit Onta yang tersimpan di
dalam Kampu (kompleks pusat pemerintahan raja Sesait zaman dulu) Desa Sesait
Kecamatan Kayangan.
Al-Qur’an
yang ditulis tangan itu hanya disimpan didalam kotak kaca yang bawahnya
dilapisi tripleks.Tidak ada penghangat didalam kotak kaca itu, sehingga sering
dalam kondisi lembab. Saat dikeluarkan dari dalam bangunan penyimpanan kotak
itu berembun.
Ada
tiga buah Al-Qur’an yang tersimpan di dalam Kampu Sesait itu.Satu buah
Al-Qur’an 30 juz yang ditulis tangan, 30 buah Al-Qur’an yang berisi
masing-masing satu juz, dan satu buah Al-Qur’an yang sudah di cetak dengan
sampul dari kulit Onta.
“Hasil
penelitian arkeologi yang pernah datang kesini sekitar tahun 1978 silam,
Al-Qur,an tulis tangan itu adalah peninggalan abad ke-XV,”kata tokoh adat
Sesait Djekat.
Dari hasil
penelitian arkeologi tahun 1978 itu juga diketahui jika Al-Qur’an yang
sampulnya dari kulit Onta itu berasal dari Pakistan.Para tokoh adat, tokoh
masyarakat adat Sesait tidak mengetahui secara detail bagaimana Al-Qur’an itu
ada di Sesait, yang hingga saat ini tersimpan dengan baik dalam Kampu Sesait
itu.
“Ini
salah satu bukti sejarah warisan peninggalan penyebar Agama Islam yang pertama
kali masuk Sesait,”kata Maedi selaku Mangku Gumi Sesait, yang sehari-harinya
sebagai penjaga Kampu Sesait.
Mangku
Gumi adalah salah satu jabatan tokoh adat.Dia tinggal didalam Kampu dan menjaga
Al-Qur’an itu. Di katakana Maedi, dulunya Al-Qur’an itu dibiarkan saja
tergeletak begitu saja di dalam bangunan Kampu.Belakangan ketika Bupati Lombok
Barat saat di jabat oleh Drs HL.Mudjitahid dan Departemen Agama tahun tentang
keberadaan Al-Qur’an tersebut, barulah ada perhatian terhadap Al-Qur’an
bersejarah yang sudah berabad-abad tersimpan didalam Kampu Sesait, barulah
diberikan kotak kaca yang ada saat ini.
Sejak
saat itu pula Al-Qur’an yang bernilai sejarah itu tidak lagi dikeluarkan dalam
berbagai kegiatan keagamaan/adat di Sesait.Dalam berbagai kegiatan agama/adat,
hanya Al-Qur’an bersampul kulit Onta itu saja yang dikeluarkan. Kondisi
Al-Qur’an yang bernilai sejarah itu pun tidak jauh lebih baik dibandingkan
Al-Qur’an tulis tangan. “Sudah banyak yang rusak,”kata Maedi.
“Dulu
Al-Qur’an yang satu juz itu disebar diseluruh kampong untuk dibaca bagi orang
yang ingin belajar ngaji. Dulu tidak ada istilah buku Iqro,”kata Djekat.
Belajar
menggunakan Al-Qur’an yang terbagi dalam 30 juz itu memang cukup sulit. Orang
langsung belajar membaca Al-Qur’an secara keseluruhan. Berbeda dengan sekarang,
orang belajar dari dasar (Iqro’), sehingga ketika faseh barulah naik membaca
Al-Qur’an yang 30 juz.
F. RITUAL NGAJI MAKAM DI MESJID KUNO SESAIT
Tradisi
Ngaji Makam dimasyarakat adat wet Sesait, berlangsung secara kebetulan
bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan pada tahun ini. Nuansa Ramadhan pun
sangat terasa dalam ritual yang digelar dalam ritual yang digelarkan setiap dua
kali setahun.
Ziarah
makam ke makam leluhur sudah menjadi kebiasaan masyarakat sasak muslim, bahkan
sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia.Ziarah makam itu biasanya
dilakukan pada hari-hari besar Islam. Paling banyak kunjungan Ramadhan,
Ziarah
makam itu biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu yaitu pada hari besar
Islam.Paling banyak kunjungan ke makam menjelang Ramadhan dan usai Idul
Fitri.Masyarakat yang memiliki hajatan tertentu juga kerap mengunjungi makam
yang dikenal ziarah makam.Tak heran kemudian makam-makam yang berada di Lombok
tidak pernah sepi dari pengunjung.
Termasuk
di masyarakat adat Sesait,Kecamatan Kayangan Lombok Utara.Tradisi ziarah makam
sudah menjadi tradisi masyarakat secara turun temurun. Menariknya dalam ziarah
makam di Sesait ini, masyarakat adat Sesait atau yang lebih dikenal dengan Wet
Sesait, melakukan ziarah makam itu, ke makam Sesait yang ada di Bayan.
“Ada
hubungan antara masyarakat adat di Bayan dengan di Sesait. Leluhur kami punya
makam dikompleks Mesjid Kuno Bayan,”kata Djekat salah seorang tokoh masyarakat
di Sesait.
Ziarah
makam itu dikenal dimasyarakat adat
Sesait, dengan sebutan Ngaji Makam. Di Bayan pun tradisi Ngaji Makam ini masih
hidup sampai sekarang dan kerap dilaksanakan. Pada tahun ini kebetulan ritual
Ngaji Makam masyarakat adat Sesait bertepatan dengan datangnya bulan Ramadhan. Selain
mengingatkan pada kematian, ritual Ngaji Makam yang digelar dua kali setahun
ini, ada kaitannya dengan siklus pertanian masyarakat adat Sesait.
Ngaji
Makam yang digelar pada bulan Agustus kali ini, yang bertepatan dengan tanggal
10 Ramadhan berkaitan dengan ritual syukuran atas hasil panen selama enam bulan
yang lalu.Ritual ini juga sebagai persiapan untuk menyambut datangnya musim
kemarau.
”Sistem
kalender masyarakat adat Sesait, menggunakan sisklus musim tanam. Disini kami
punya kalender yang disebut dengan Jangobangar, ”kata A.Rahini salah seorang tokoh
adat Sesait keturunan Demung Musani.
Pada
enam bulan kemudian, setelah musim kemarau lewat, akan digelar lagi Ngaji Makam
yang dikenal dengan Ngaji Lawat. Dalam Ngaji Lawat ini masyarakat adat Sesait
membaca Salawat atas Nabi Muhammad Saw.
Usai
melakukan ziarah makam ke Bayan, masyarakat adat Sesait kembali ke kampong
mereka untuk melanjutkan ritual selanjutnya. Dari namanya Ngaji Makam,maka
dalam kegiatan itu digelar Ngaji (membaca Al-Qur’an). Rentang waktu kegiatan
ziarah ke makam Bayan dengan mengaji itu
10 hari.
Dalam
kegiatan Ngaji itu, masyarakat adat Sesait melakukannya didalam Mesjid Kuno
Sesait. Jadi Mesji
Kuno Sesait itu sama seperti Masjid pada umumnya dari segi fungsi.
G. RITUAL NYEDEKAH PUASA MASYARAKAT ADAT
SESAIT
Masyarakat
Adat Sesait Kecamatan Kayangan memiliki tradisi unik saat bulan Ramadhan. Pada
pertengahan puasa mereka menggelar kegiatan nyedekah puasa.Ritual ini mirip
dengan kegiatan buka puasa.
Menyebut
masyarakat Adat Wet Sesait, maka sebutan itu bukan sekadar bagi masyarakat yang
mendiami Desa Sesait semata. Melainkan Wet Sesait itu meliputi masyarakat yang
ada di Desa Santong,Desa Sesait,Desa Pendua dan Desa Kayangan.Sebelum ada
desa-desa seperti saat ini, masyarakat adat itu berpayung dalam sebuah
komunitas besar.
Modernitas
memang sudah masuk ke dalam masyarakat adat Sesait itu. Di Sesait, tidak lagi
ditemukan pemukiman tradisional seperti yang ada di daerah lainnya. Tidak
ditemukan pula pemukiman yang masih mempertahankan bentuk ketradisional
rumahnya.
Pantangan-pantangan
seperti listrik,rumah batu dan fasilitas modern lainnya sudah menjadi tinggal
cerita lama di Sesait. Sesait dan desa-desa liannya sudah menjadi desa modern.
Malahan Mesjid Kuno Sesait yang menjadi symbol peninggalan tradisional itupun
nyaris menerima perubahan.
Hanya
Mesjid Kuno Sesait lah yang memasang pengeras suara dan listrik. Beda dengan
Mesjid-Mesjid Kuno lainnya.Karena memang Mesjid Kuno ini berada di
tengah-tengah perkampungan Sesait.
Sehingga
mau tidak mau mengalami perubahan. Namun, seiring dengan perubahan zaman,
Mesjid Kuno Sesait ini, akan dikembalikan ke bentuk aslinya.
Kampu
(pusat pemerintahan zaman dulu), memang masih mempertahankan bentuk bangunan
asli tardisionalnya, namun isinya sudah modern dengan masuknya listrik.Namun
ditempat ini, saat ini tidak sembarang orang bisa masuk kalau tidak ada
keperluan yang penting.Itupun harus melalui sebuah ritual baru boleh masuk ke
dalam Kampu Sesait ini.
“Dunia itu
berubahdan kami tidak anti dengan perubahan.Namun tradisi-tradisi para leluhur
kami masih mempertahankannya hingga saat ini,”kata tokoh masyarakat adat wet
Sesait Djekat.
Nyedekah
puasa adalah salah satu warisan leluhur yang masih dipegang kuat oleh
masyarakat adat Sesait. Malahan kegiatan ini, kini makin banyak dilakukan di
kampong-kampung, seiring dengan makin banyaknya penduduk dan pemukiman.Nyedekah
puasa ini sepintas mirip dengan berbuka puasa bersama. Warga kumpul didalam
halaman Kampu untuk berbuka bersama. Namun dibalik kegiatan buka puasa bersama
itu ada nilai luhur yang melatarbelakangi.
Sejak
Islam masuk ke Sesait sekitar abad 15 silam, masyarakat setempat menerima
ajaran Islam tersebut.Masyarakat Adat Wet Sesait identik dengan Islam.Ketika
bulan Ramadhan, masyarakat berpuasa dengan menyambut bulan itu dengan berbagai
kegiatan.Sholat Tarawih berjamaah dan Tadarusan adalah salah satu kegiatan yang
lumrah dilakukan.
Disaat
berpuasa itu, masyarakat adat wet Sesait merefleksikan diri sebagai bagian dari
masyarakat yang ada. Keadaan masyarakat inipun bermacam-macam.Ada yang serba
kecukupan dan ada pula yang kurang mampu.
Berpuasa
itu juga sebagai bagian merasakan penderitaan umat Islam yang masih banyak
merasakan lapar lantaran miskin.
Dalam
praktek sehari-hari itulah di gelar Nyedekah Puasa ini.Masyarakat menyediakan
makanan untuk diberikan pada masyarakat yang berpuasa.
“Tujuannya
memberikan kebahagiaan pada masyarakat yang berpuasa. Alangkah bahagianya
ketika berpuasa itu ada yang memberikan makanan,”kata Djekat.
Kegiatan
ini dilakukan pada pertengahan bulan puasa yang mana masyarakat yang
berkecukupan membawa dulang berisi makanan ke dalam Kampu Sesait untuk nantinya
akan dinikmati pada saat berbuka puasa. Acara inijuga lebih menekankan pada
silaturrahmi dan menikmati suasana puasa dalam kebersamaan. Semua tokoh adat
dan masyarakat setempat akan hadir menikmati suguhan sedekah Ramadhan ini.
“Pelajaran
berharga dan paling penting adalah bagaimana membentuk rasa kesetiakawanan sosial diantara masyarakat yang ada dilingkungan
tersebut, ”imbuh
Djekat.
H.
MASYARAKAT ADAT SESAIT GELAR RITUAL PIJER GUMI
Sudah menjadi tradisi
turun-temurun kegiatan ritual adat pijer gumi yang dilakukan masyarakat adat
wet Sesait hingga kini masih terus di lestarikan. Ritual pijer gumi yang
dilaksanakan masyarakat adat wet Sesait ini dimaksudkan untuk memelihara alam terutama
hutan dan air agar tetap utuh dan bisa di manfaatkan bagi kemaslahatan hidup
seluruh makhluk di alam ini. Jika hutan rusak, tentu air yang
menjadi kebutuhan makhluk hidup akan berkurang.
Itulah sebabnya, masyarakat adat wet
Sesait, Senin (04/11/2013) di Dam Santong menggelar ritual adat yang dikenal
dengan sebutan Pijer Gumi. Ritual Pijer Gumi semacam ini biasanya digelar
setiap 5 tahun sekali di hulu sungai atau di pintu pembagian air (bungas..bhs
Sesait) yaitu di Dam Santong. Mengapa hal ini harus dilaksanakan di tempat
tersebut, karena satu-satunya pintu pengambilan air untuk irigasi bagi 6 desa
(Santong, Sesait, Pendua, Kayangan, Dangiang, Gumantar) dalam wilayah Kecamatan
Kayangan selama ini adalah hanya dari tempat itu.
Menurut Murdan, tokoh adat
wet Sesait yang juga mantan Pemusungan Sesait yang kini aktif di lembaga adat
Sesait ini mengatakan, ritual adat Pijer Gumi yang di gelar saat ini memang
merupakan tindak lanjut ritual yang pernah di lakukan oleh masyarakat adat wet
Sesait secara turun-temurun dari jaman dulu.
Dikatakan, ritual pijer Gumi
ini awal mulai dilaksanakannya sejak kegagalan panen masyarakat adat wet Sesait
tahun 1958 silam. Memang pengerjaan pembangunan Dam Santong ini sudah dua kali
mengalami kegagalan karena banyak buruh pekerja saat itu yang menjadi korban
meninggal dunia.”Sejak pembangunan Dam Santong ini, sudah dua kali pemborong
gagal, karena buruh-buruh banyak yang menjadi korban, ”kenang Murdan.
Melihat phenomena peristiwa
tersebut, oleh Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu, Jintaka)
masyarakat adat wet Sesait menggelar ritual pijer Gumi (memadatkan bumi) untuk
memelihara alam ini agar airnya tidak hilang di telan bumi. Ritual pijer Gumi
tersebut dengan mempersembahkan hewan kurban berupa seekor kerbau. Hewan kurban
berupa seekor kerbau inipun tidak tanggung-tanggung untuk mendapatkannya yaitu
dengan syarat harus yang kembalik pokon (sesuai dengan persyaratan hewan yang
dijadikan kurban). Hewan kurban tersebut, lalu di sembelih di pintu pembagian
air (bungas) di Dam Santong ini.
Pada jaman pemborong yang
ketiga yang bernama Raden Suanda di mulailah pembangunan Dam Santong itu agar
airnya bisa naik. Namun sebelum memulai pembangunan, Raden Suanda meminta
pituah kepada Tau Lokaq Empat Sesait agar proses pembangunan Dam Santong
tersebut lancar dan sukses. Oleh Tau Lokaq Empat menyarankan agar sebelum
melaksanakan pembangunan harus di gelar terlebih dahulu ritual pijer Gumi.
Ritual inipun dilakukan oleh Tau Lokaq empat menurut hirarki di masyarakat adat
wet Sesait. Setelah itu, barulah kemudian di gelar syukuran seperti yang
dilaksanakan sekarang ini.
Sesudah semua ritual dan
syukuran telah dilaksanakan, maka Raden Suanda selaku pemborong yang ketiga
pembangunan tersebut memulai pembangunan Dam Santong yang sempat gagal selama
dua kali di borong oleh pemborong lain sebelum Raden Suanda.
Menurut Pembekel Adat Wet
Sesait Masidep,S.Pd mengatakan, ritual pijer Gumi yang rutin dilaksanakan
setiap 5 tahun sekali ini adalah dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya erosi agar
air tetap utuh dalam DAS (Daerah Aliran Sungai). Selain itu,katanya, ritual
pijer gumi ini dilakukan adalah untuk melindungi pori-pori bumi agar tetap
padat dan utuh sehingga air tidak hilang dan berkurang meresap ke dalam bumi.
Selaku Pembekel Adat Masyarakat
Wet Sesait, Masidep berharap, mudah-mudahan dengan di gelarnya ritual pijer
Gumi yang rutin di gelar setiap 5 tahun sekali ini, airnya tetap utuh dan
bahkan bertambah.Selain itu, dengan ritual pijer Gumi tentu akan mengurangi
peresapan air ke pori-pori bumi yang lebih besar sehingga petani bisa menikmati
air secara merata.
Kepada P3A dan para pekasih
di se-antero wet Sesait (8 desa = Santong, Sesait, Pendua, Santong Mulia, Pansor,
Dangiang, Kayangan dan Gumantar) dalam wilayah Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara, agar kegiatan serupa pada masa
mendatang ketika
sudah tiba waktunya untuk digelar, untuk ikut secara bersama-sama mendukung
sepenuhnya demi kemaslahatan umat manusia selaku khalifah di muka bumi ini. Karena bagaimana pun ritual
pijer Gumi yang di gelar para tetua adat di gumi paer adat wet sesait secara
turun-temurun ini tetap utuh dan tetap lestari sepanjang masa.
I. BUPATI APRESIASI RITUAL ADAT PIJER GUMI
Buapti KLU H.Djohan Sjamsu,SH
dalam sambutannya memberikan apresiasi yang luar biasa kepada masyarakat adat
wet Sesait atas di gelarnya upacara adat Pijer Gumi yang dilaksanakan, Senin
(04/11/2013) di Dam Santong.
Kejayaan
suatu masyarakat adat dalam mempertahankan tradisi lokal
leluhur mereka tergantung kuatnya masyarakat adat itu sendiri untuk tetap teguh
dan taat dalam melestarikan tradisi lokal yang pernah ada pada jamannya.
Tradisi lokal yang di gelar para leluhur ternyata membawa dampak yang
signifikan terhadap keberlangsungan hidup generasi sesudahnya. Hal itu bisa di buktikan dengan tetap lestarinya budaya
lokal yang pernah ada pada jaman leluhur yang hingga kini masih ada dan bahkan
tetap di lakukan oleh generasi berikutnya, seperti upacara adat Pijer Gumi yang
di gelar masyarakat adat wet Sesait di Dam Santong kali ini. Hal ini membuktikan betapa kuatnya tradisi lokal masa
lalu yang di yakini oleh para penganutnya.
Bupati KLU
H.Djohan Sjamsu,SH berharap agar ritual adat Pijer Gumi yang dilakukan oleh
masyarakat adat wet Sesait tersebut akan mampu memberikan warna harapan baru bagi
keberlangsungan hidup akan kebutuhan air irigasi di delapan desa yang menjadi wilayah pengampu di
bagian timur KLU ini. “Ini patut terus di pertahankan agar tradisi yang sudah berurat-berakar di kalangan masyarakat adat wet Sesait ini tetap
lestari sepanjang masa,”tandas Bupati..
Dihadapan ratusan sesepuh adat yang
hadir dan tamu undangan lainnya dalam acara syukuran ritual adat Pijer Gumi
oleh masyarakat adat wet Sesait di Dam Santong tersebut, Bupati mengajak untuk
selalu menjaga alam ini terutama dari kerusakan hutan akibat ulah tangan
manusia yang tidak bertanggung jawab. Sebab dengan tetap terpeliharanya hutan
di Santong ini, tentu air pun akan tetap besar, sehingga kebutuhan hajat hidup
orang banyak akan tetap terpenuhi.
Ritual adat Pijer Gumi yang di gelar masyarakat adat
wet Sesait ini perlu terus di pertahankan agar keberadaannya tetap lestari
sepanjang zaman.Kepada para sesepuh adat terutama Tau Lokaq Empat Sesait,
(Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu dan Jintaka), Bupati sangat mengapresiasi kegiatan
yang jika di kelola dengan baik dan rutin ini tentu akan memiliki daya tarik
untuk tujuan wisata di daerah ini.
J. PROSESI RITUAL PIJER GUMI
Sejak pagi hari Dam Santong terlihat
ramai oleh warga komunitas Sesait berpakaian adat.Tidak seperti hari-hari
biasa, Dam ini sepi pengunjung. Jika pun ada warga yang datang, itu pun jika
mereka memiliki keperluan dan atau hanya sekedar rekreasi bersama keluarga atau
hanya sekedar mandi dan nyuci.
Ramainya Dam Santong hari
itu, karena memang ada prosesi ritual adat Pijer Gumi oleh masyarakat adat
Sesait. Ritual Pijer Gumi tersebut diselenggarakan dengan hajatan
untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan kemaslahatan umat manusia. Dimana
oleh masyarakat adat Sesait, ritual seperti itu di yakini akan membawa
kebaikan. Pesan moral kegiatan ini sangatlah mendalam, ada norma-norma
pengikat warga adat yang menjadi pandu tindak laku. Misalnya, warga tidak boleh
berlaku sewenang-wenang terhadap hutan, tidak boleh menggunduli hutan serta
aktivitas lainnya yang tidak terpuji.
Keseimbangan antara alam
lingkungan dan kehidupan manusia harus terjaga. Keduanya harus diikat dalam hubungan mutual
simbiosis demi takdir bumi yang lebih baik. Itulah tujuan ritual adat
Pijer Gumi yang di gelar komunitas adat Sesait di Dam Santong Kecamatan
Kayangan Kabupaten Lombok Utara, Senin (04/11/2013) silam.
Bagi warga adat Sesait, jika
semena-mena terhadap alam akan berdampak buruk bagi keseimbangan lingkungan.
Bahkan, manusia bisa dijadikan tumbal bila tidak memelihara alam dan hutan. ”Kita bisa mengalami krisis
air, misalnya, kalau sampai menggunduli hutan,”kata Murdan yang juga mantan
Pemusungan
Sesait ini meyakinkan.
Pijer Gumi, katanya,
merupakan ritual adat yang di gelar sekali dalam lima tahun. Karena rentangnya yang
panjang, masyarakat adat Sesait sangat antusias merayakannya. Dimana masyarakat
adat sesait bukan tanpa alasan menggelar ritual Pijer Gumi di Dam Santong ini. Sesuai
fungsinya, Dam Santong ini merupakan sumber air irigasi pertanian warga
di delapan desa. Kedelapan desa itu meliputi Desa
Santong, Desa Sesait, Desa Pendua, Desa Santong Mulia, Desa Pansor, Desa Dangiang, Desa Gumantar
dan Desa Kayangan.
Dikatakan Murdan, ritual adat
Pijer Gumi yang di gelar saat ini memang merupakan tindak lanjut ritual yang
pernah di gelar oleh masyarakat adat Sesait secara turun-temurun dari jaman
dulu.
Ritual adat Pijer Gumi ini
mulai dilaksanakannya sejak kegagalan panen masyarakat adat Sesait tahun 1958
silam.
Konon pengerjaan pembangunan
Dam Santong sudah dua kali mengalami kegagalan karena banyak buruh pekerja saat
itu yang menjadi korban meninggal dunia. Sehingga makamnya hingga saat ini
masih ada tidak jauh dari lokasi Dam Santong yang dijadikan sebagai tempat
pelaksanaan ritual adat Pijer Gumi lima tahunan ini.
Melihat phenomena peristiwa
tersebut, oleh Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu, Jintaka)
masyarakat adat wet Sesait menggelar ritual pijer Gumi (memadatkan bumi) untuk
memelihara alam ini agar airnya tidak hilang di telan bumi. Ritual pijer Gumi
tersebut dengan mempersembahkan hewan kurban berupa seekor kerbau. Hewan kurban
berupa seekor kerbau inipun tidak tanggung-tanggung untuk mendapatkannya yaitu
dengan syarat harus yang kembalik pokon (sesuai dengan persyaratan hewan yang
dijadikan kurban). Hewan kurban tersebut, lalu di sembelih di pintu pembagian
air (bungas) di Dam Santong ini.
Pada jaman pemborong yang
ketiga yang bernama Raden Suanda di mulailah pembangunan Dam Santong itu agar
airnya bisa naik. Namun sebelum memulai pembangunan, Raden Suanda meminta
pituah kepada Tau Lokaq Empat Sesait agar proses pembangunan Dam Santong
tersebut lancar dan sukses. Oleh Tau Lokaq Empat menyarankan agar sebelum
melaksanakan pembangunan harus di gelar terlebih dahulu ritual pijer Gumi.
Ritual inipun dilakukan oleh Tau Lokaq empat menurut hirarki di masyarakat adat
wet Sesait. Setelah itu, barulah kemudian di gelar syukuran seperti yang
dilaksanakan sekarang ini.
Sesudah semua ritual dan
syukuran telah dilaksanakan, maka Raden Suanda selaku pemborong yang ketiga pembangunan
tersebut memulai pembangunan Dam Santong yang sempat gagal selama dua kali di
borong oleh pemborong lain sebelum Raden Suanda.
Menurut Pembekel Adat Wet
Sesait Masidep,S.Pd mengatakan, ritual pijer Gumi yang rutin dilaksanakan
setiap 5 tahun sekali ini adalah dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya erosi
agar air tetap utuh dalam DAS (Daerah Aliran Sungai). Selain itu,katanya,
ritual pijer gumi ini dilakukan adalah untuk melindungi pori-pori bumi agar
tetap padat dan utuh sehingga air tidak hilang dan berkurang meresap ke dalam
bumi.
Selaku Pembekel Adat
Masyarakat Wet Sesait, Masidep berharap, mudah-mudahan dengan di gelarnya
ritual pijer Gumi yang rutin di gelar setiap 5 tahun sekali ini, airnya tetap
utuh dan bahkan bertambah.Selain itu, dengan ritual pijer Gumi tentu akan
mengurangi peresapan air ke pori-pori bumi yang lebih besar sehingga petani
bisa menikmati air secara merata.
Kepada P3A dan para pekasih
di se-antero wet Sesait (6 desa, yakni Santong, Sesait, Dangiang, Kayangan,
Gumantar dan Selengen) wilayah Kecamatan Kayangan, agar kegiatan serupa ketika
sudah tiba waktunya untuk di gelar, untuk ikut bersama-sama mendukung
sepenuhnya demi kemaslahatan umat manusia selaku khalifah di muka bumi
ini.Karena bagaimana pun ritual pijer Gumi yang di gelar para tetua adat di
gumi paer adat wet sesait secara turun-temurun ini tetap utuh dan tetap lestari
sepanjang masa.
BAB VII
GUMI PAER SESAIT
DALAM SEJARAH
A.
WALI PENYEBAR AGAMA ISLAM PERTAMA
Berawal
dari sebuah kampung kecil pada
Pertengahan abad 14
M, terbentuklah
tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang
kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum
kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer Sesait kala itu, masyarakat kampung tersebut sudah memiliki
keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam
Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima
(dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki
faham dan keyakinan yang sangat kuat.
Setelah kedatangan para Wali Allah (para
penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut,
maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.
Menurut Piagam
Sesait yang di namakan Kitab Muhtadi’, pada abad 14
M kala itu, Sesait dijadikan sebagai Pusat
Penyebaran Islam dan Pusat
Pemerintahan Pertama yang
mencakup wilayah kekuasaan Sesait
, karena berdasarkan atas keputusan para wali di Jawa, bahwa wali yang pertama
mengijakkan kakinya di gumi
Sasait adalah Kanjeng
Syeh Said Saleh Pedaleman, berasal
dari Makkah Al-Mukarramah,
dan Kanjeng Said Rahmad atau lebih
dikenal oleh masyarakat setempat dengan
sebutan Bapuk Rahmad. Kedua wali
tersebut secara bersamaan datang ke kampung tersebut. Mereka berdua secara
bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun
kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil,
lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa.
Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka sepakat siapa yang tetap tinggal
dan yang akan melanjutkan perjalanan.
Sejarah
mencatat, bahwa yang tetap tinggal di kampung tersebut adalah Kanjeng Syeh Said Saleh Pedaleman dan
beliau sebagai Mangku Gumi yang pertama di
Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran Sangapati atau lebih dikenal
dengan
nama Melsey
Jaya. Kanjeng Syeh Said Saleh
Pedaleman setelah ditinggal rekannya Kanjeng
Said Rahmad, tugas misi suci itu
terus dilakukannya hingga akhir hayatnya.
Kanjeng Syeh Said Saleh Pedaleman inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat tahun
1413 M, beliau dimakamkan di hutan
Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makamnya
hingga saat ini masih terpelihara,
yang oleh masyarakat Sesait menyebutnya “Makam Kubur Beleq”.
B.
STRUKTUR PEMERINTAHAN LOKAL KERAJAAN
SESAIT
Kanjeng Sayyid Rahmad
setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju
tanah Jawa dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan
bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini
tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Said Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau
pertama kali menyebarkan Islam di tanah Sesait tersebut, beliau namakan dengan
sebutan kampung Si Sayid, (untuk mengenang
jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si
Sayid menjadi Sesait.
Inilah awal mula kampung
tersebut diberikan nama Kampung Sesait hingga sekarang. Sesuai dengan nama
beliau sendiri Sayid Rahmat yang artinya dalam bahasa arab keselamatan.
Adapun peninggalan – peninggalan serta
ajaran –ajaran Sayid Rahmat yang
masih ada yang kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) seperti,
Kitab Suci Al Qur’an Cetakan Turki
Pertama tahun 1433 M, Kitab Sholawatan tulisan tangan beliau sendiri, yang
umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang
terbuat dari Hati Pisang.
Selain peninggalan Sayid
Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran
yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana metode yang digunakan dalam
menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan adat - istiadat atau budaya lokal yang
berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait.
Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala
itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan
pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. Hingga sekarang pemahaman
jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun
tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai.
Sepeninggal Kanjeng Said Rahmad berlayar ke gumi jawa Dwipa kala itu,
lalu beliau menempatkan kampung Said (Sesait) sebagai pusat penyebaran agama
Islam dan sekaligus dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Sesait.
Adapun wilayah Kerajaan
Sesait yang dijadikan sebagai pusat Pemerintahan kala itu menjadi satu wilayah. Namun sekarang sudah
berubah menjadi beberapa buah desa yang berdiri sendiri, yaitu Desa Pendua, Desa
Santong (Khusus Dusun Santong Asli), Desa Kayangan, Desa Santong Mulia dan Desa Sesait sendiri. Walau
wet Sesait ini sudah masuk menjadi bagian desa lain dan di pisahkan secara
administrasi, namun wet adatnya masih tetap satu yaitu Wet Adat Gumi Paer Sesait. Kampu Sesait yang oleh Sayid Rahmat dijadikan sebagai keratonnya dan dalam setruktur Pemerintahan di bentuklah
lembaga pemerintahan yang di sebut Tau Lokaq Empat, yaitu Mangku Gumi sekaligus sebagai Raja,
Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan, Jintaka sebagai Pengatur pola tanam dibidang perekonomian dan
Penghulu membidangi di bidang Agama yang mencakup wilayah kekuasaan Kerajaan
Sesait.
Selanjutnya
dalam Kitab Muhtadi’ yang menjadi sumber tertulis Sejarah Sesait menyebutkan,
Pengangkatan Raja Pertama Sesait kala itu dijalankan berdasarkan atas keputusan
keluarga Kerajaan dan bukan memakai sistem Demokrasi seperti yang berlaku di
Negara yang menganut paham demokrasi. Hal tersebut dilakukan karena ini masalah
urusan Trah Kerajaan dan itu juga di setujui oleh para Wali penyebar agama
Islam (Sayid
Rahmat) ketika itu, sekitar pertengahan abad 14 M silam. Pengangkatan Raja pertama Sesait
dengan gelar Pangeran Mangku Gumi (Satu) sesuai dengan silsilah keturunan yang
sudah tertulis di dalam Piagam Sesait (Kitab Kontara dan Kitab Muhtadi’), dan
inilah yang menjadi pedoman keluarga Kerajaan dalam hal pengangkatan Raja, dari
pertama terbentuk sampai saat ini dan
itu tidak bisa di intervensi oleh
siapapun, karena itu mutlak keputusan Trah keluarga Kerajaan (sesuai Purusa)
yang sudah baku sejak pertamanya terbentuk.
Setelah terbentuknya Mangku Gumi, barulah
Mangku Gumi mengangkat Pemusungan sebagai Kepala
Pemerintahan pada waktu itu, kemudian Penghulu dan Jintaka. Untuk
membantu dalam menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangku Gumi, juga
mengangkat seorang Senopati Perang
yaitu Senopati Anggura Paksa
dan empat orang Patih sekaligus, yaitu Daman,Jumanah, Rapiqah dan Raqiah.
Konon ke-empat orang patih ini adalah bersaudara dan
khusus di datangkan dari Negeri Iraq Bagdad. Di ceritakan dalam piagam
Sesait, ketika Sayid Rahmat
meninggalkan kampung Sesait untuk berlayar melanjutkan perjalanannya ke
Jawa Dwipa, namun sebelum sampai ke Jawadwipa, beliau sempat singgah di Serean
Karang Asem dan Klungkung Bali, setelah itu baru kemudiam beliau melanjutkan
perjalanan ke tanah Jawadwipa. Sesuai dengan wasiat beliau, kisah perjalanan Sayid
Rahmat dari Sesait ke Pulau Jawa tepatnya di Ampel Denta
Surabaya, di tulis oleh Lebe
Seriaji (santri beliau sendiri), hingga saat ini tulisan beliau masih
tersimpan dengan baik di Kampu Sesait.
C.
MISTERI MUNCULNYA PANGERAN SAYID ANOM
Kurun
waktu dua abad lebih lamanya, Sesait mengalami masa kejayaannya. Pada masa
Pemeintahan Layur tahun 1725-1755
M. Pada zaman itu terjadi peristiwa yang
hingga saat ini masih melegenda pada rakyat Sesait, yaitu cerita tentang
munculnya buah sondak (sejenis labu) diatas langit Sesait, yang kemudian buah Sondak itu berubah menjadi
seorang bayi dan bayi inilah kelak menjadi
ulama besar yang bergelar Pangeran Said Anom. Di bawah asuhan
ulama besar inilah sehingga Islam pada
zaman itu berjaya di gumi paer Sesait.
Tidak heran banyak santri yang menimba ilmu di daerah ini, yang rata-rata
mengambil aliran jalan tassauf.
Gumi
paer Sesait pada saat itu mempunyai wilayah kekuasaan yang cukup luas,
bahkan sekitar 200 tahun lebih kejayaan
Datu Sesait masih kuat bertahan. Sebelum kedatangan Pangeran Said Anom ke Gumi
paer Sesait, pada saat itu Kerajaan Sesait pernah di singgahi oleh
beberapa ulama – ulama besar, seperti Said Rahmat, Kanjeng Syech Said Saleh.
Diceritakan,
Sayid Rahmat yang berkedudukan di Ampel Denta Surabaya pernah datang ke daerah
Dayan Gunung khususnya di tanah Sesait, di buktikan dengan banyaknya bukti
sejarah peninggalan beliau yang masih tersimpan di dalam Kampu
Sesait, seperti Kitab Suci Al-Qur’an yang tertulis pada kulit Onta, tongkat
khutbah yang terbuat dari hati pohon pisang. Ini membuktikan bahwa Kanjeng Said
Rahmat pernah singgah dan mengajarkan
Agama Islam kepada penduduk Kampung Sesait, pada sekitar pertengahan abad 15 M.
Kemudian Kanjeng Syeh Said Saleh, yang
ahkirnya menjadi Mangku Gumi Pertama Kerajaan Sesait. Kedua Wali Allah tersebut secara bersamaan datang ke
kampung Sesait.
Menurut
keterangan sesepuh adat Sesait Djekat mengatakan, Layur adalah Raja Sesait
ke 16 dengan Gelar Pangeran
Mangku Gumi. Dalam struktur Pemerintahan Tau Lokaq Empat
menjalankan roda Pemerintahannya dengan baik, sehingga ia di cintai oleh
segenap lapisan masyarakatnya.
Dalam
sejarah Sesait, kedatangan Said Anom ke Gumi Sesait penuh misteri yang
membutuhkan pikiran sehat dan rasional untuk
memaknainya. Dikisahkan, pada suatu
malam, pertengahan abad 15 M langit
gelap diatas Sesait, selama tiga hari tiga malam. Dalam keadaan seperti itu,
masyarakat yang hidup masa itu menjadi heran bercampur takut, tidak biasanya
terjadi, jangan-jangan akan terjadi kiamat, pikir mereka. Berselang beberapa
waktu kemudian, langit yang tadinya gelap, tiba- tiba terang kembali, seperti tidak pernah terjadi
apa-apa.
Begitu
langit terang, masyarakat Sesait yang pada saat itu di liputi rasa takut dan
kebingungan, kemudian melihat ada buah sondak (sejenis labu) sudah berada di
oman rot selatan kampung Sesait yang sekarang, mengeluarkan sinar terus-menerus
tanpa henti. Rupanya buah sondak inilah yang membawa sinar di atas langit Sesait selama
tiga hari tiga malam masa itu.
Di
ceritakan, selanjutnya buah sondak yang tadinya berada di bawah pohon beringin
Oman Rot selatan kampung Sesait yang sekarang, kemudian bergelinding sendiri ke
arah utara, ketika waktu asar tiba, buah sondak itu berhenti di samping masjid kuno Sesait (mesjid Tanak
Umbara).
Setelah waktu
asar habis, buah sondak itu kembali
bergelinding ke arah utara memasuki gawah pedewak Sesait (gawah dris/gawah alas
bana=belum terjamah tangan manusia) hingga di koloh bandan. “Anehnya,
buah Sondak ini terus saja menggelinding arah utara-selatan dan ketika tiba di
lokasi tempat Mesjid Kuno Sesait berdiri saat ini sudah masuk waktu sholat.
Begitu pula setrusnya. Itulah sebabnya Mesjid Kuno Sesait yang dikenal dengan
Mesjid Tanak Umbara itu dibangun,”jelas A.Rahini.
Pangeran
Mangku Gumi Layur (yang berkuasa saat itu) langsung memerintahkan abdi dalamnya
untuk mengecek keberadaan buah sondak itu. Setelah abdi dalam yang di perintah
itu sampai di koloh bandan dengan di
saksikan masyarakat setempat, buah sondak tersebut tiba – tiba meledak dengan
mengeluarkan suara seperti guntur menyambar. Anehnya dari dalam buah Sondak
tadi muncullah seorang bayi laki-laki mungil.
Sontak
saja abdi dalam dan masyarakat yang menyaksikan kejadian itu kaget. Lalu oleh
abdi dalam dan masyarakat sekitarnya berusaha mencari sebuah wadah bernama
Bandan untuk dijadikan tempat menampung air untuk memandikan bayi tersebut.
Hingga sekarang nama tempat munculnya bayi itu, oleh masyarakat adat Sesait
secara turun-temurun disebutnya Koloh Bandan. Usai dibandikan dan memakaikan
perlengkapan bayi pada umumnya, maka bayi itu kemudian di bawa langsung
menghadap Raja. Singkat cerita, Raja Sesait pun langsung menerima bayi
tersebut, dan berjanji akan merawat dan membesarkannya. Dalam perkembangan
selanjutnya, konon bayi laki-laki mungil itu semakin hari pertumbuhannya
semakin cepat besar, tidak seperti bayi biasa yang pertumbuhannya lambat.
Sehingga di kalangan istana memberikan nama anak itu dengan sebutan ‘Mak
Beleq’.
Seiring
dengan berjalanya waktu, bayi itupun tumbuh besar menjadi seorang pemuda,
dimana pemuda inilah yang di kemudian hari menjadi ulama besar yang di kenal
dengan sebutan Sayid Anom dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran Sayid Anom, yang
telah mengajarkan Agama Islam keseluruh
wilayah kekuasaan kerajaan Sesait hingga
Islam berjaya pada masa itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan
pesatnya perkembangan Islam di gumi Sesait kala itu, maka Diah Kanjeng Pangeran
Sayid Anom mengambil inisiatif untuk hijrah dari Sesait ke Bayan dan memperluas
syiar Islam di sana hingga akhir hayatnya. Bukti - bukti sejarah peninggalan
beliau di Bayan, diantaranya, Masjid
Kuno Bayan Beleq dan makamnya yang terletak di Desa Bayan Beleq, Kecamatan
Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Makam
Diah Kanjeng Pangeran Sayid Anom yang letaknya di samping Masjid kuno Bayan
Beleq itu, hingga saat ini banyak di kunjungi para peziarah baik lokal,
regional maupun internasional. Hal ini sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa
beliau dalam menyebarkan Agama Islam di wilayah Sesait dan Bayan.
D. MELETUSNYA
PERISTIWA BERDARAH BAGEK KEMBAR
Seiring dengan berjalannya waktu, Sesait
menjadi wilayah kerajaan yang berdaulat hingga satu abad lamanya hingga meletus Perang Pageh Praya pada tahun 1882 M. Dalam Perang Pageh
Praya tersebut, kerajaan Sesait juga
ikut andil di dalamnya, yaitu dengan mengirim bantuan pasukan dan bergabung
dengan pasukan di Praya untuk melawan
Pasukan Anak Agung yang ingin
menguasai Lombok. Di bawah pimpinan Titik Pantok, maka pasukan kerajaan Sesait
berangkatlah menuju Praya.
Dalam
perang Pageh Praya melawan Pasukan Anak Agung ini, Titik Pantok gugur sebagai kusuma bangsa (Syahid) di medan
perang dan jasadnya di bawa pulang dan
dimakamkan di utara kampung Sesait yang sekarang.
Agar Pasukan Sesait tidak kehilangan kendali di medan Perang, maka Mangku Gumi
mengangkat Rebos Bin Alaya sebagai Pimpinan Pasukan menggantikan Titik Pantok yang telah gugur
ketika terjadi perang melawan pasukan Anak Agung di Praya Lombok Tengah tahun
1882 M. Rebos Bin Alaya ini, tidak lain adalah misan Mangku Gumi
sendiri. Mangku Gumi pada waktu itu di pegang oleh Lengguk Bin Rebadi, beliau adalah Mangku Gumi
ke 19 di dalam hirarki Kerajaan Sesait.
Kurun waktu
65 tahun kemudian (1882-1945), dari sejak perang Pageh Praya, maka berkecamuklah perang dunia kedua. Di daerah teritorial Kerajaan
Sesait pada tanggal 02 juni 1945, timbullah peristiwa berdarah yang menewaskan
Komandan kompi Nippon Jepang bernama
“Tani Guci” di Bagek Kembar oleh pejuang Sesait. Sehingga peristiwa berdarah
itu yang oleh masyarakat Sesait disebut Peristiwa Berdarah Bagek Kembar.
Karena
rakyat Sesait dan bahkan siapapun yang tinggal di dunia ini, tidak rela dijajah
dalam bentuk apapun. Itulah sebabnya
rakyat Sesait dalam menegakkan kedaulatan hirarki kerajaan, termasuk di
dalamnya adat budaya yang masih kuat dan ini merupakan bagian dari
perjuangan mempertahankan kemerdekaan
dalam mengusir penjajah dari Ibu pertiwi tercinta ini. Maka hal tersebut patut
di apresiasi dengan memberikan penghargaan yang luar biasa, karena semangat
patriotisme yang terpatri dalam diri para pejuang tak terkalahkan.
Menurut
keterangan saksi sejarah yang masih hidup hingga sekarang seperti Papuk Antek,
Papuk Jamiah, Amaq Bardi dan lain-lainnya, mereka rata-rata mengaku ketika
terjadinya peristiwa Bagek Kembar Berdarah itu mereka masih usia remaja dan
menuturkan kronologis atau sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.
Di
tuturkan, sebagaimana di ketahui bahwa penjajahan Jepang semakin leluasa memperluas wilayah kekuasaannya dalam
Perang Asia Timur Raya. Ekspansi Jepang yang didasari semangat Hakko Ichiu dengan
cepat merambah Asia Tenggara dan masuk ke Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1942,
Ter Porteen (Panglima Tentara Hindia Belanda) harus menyerah tanpa syarat
kepada bala tentara Jepang di Kalijati. Maka, mulailah periode pendudukan
Jepang di Indonesia.
Kehidupan rakyat pada masa
pendudukan Jepang sungguh sangat menyedihkan. Lahan-lahan pertanian
dieksploitasi sehingga menimbulkan krisis bahan pangan, krisis ekonomi, sumber
daya alam, dan tingginya angka kematian. Hal itu diperparah dengan pengerahan
tenaga kerja rakyat dalam bentuk kinrohoshi atau kerja bakti dan romusha
atau kerja paksa. Pengerahan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Jepang
akan pembuatan kubu-kubu pertahanan, lapangan terbang, gudang bawah tanah,
jalan raya, dan jembatan. Proyek itu tidak hanya berada di Indonesia tetapi
juga Birma, Muangthai, Vietnam, dan Malaysia. Dampaknya adalah ribuan orang
terbunuh sementara para gadis dijadikan jughun ianfu atau wanita
penghibur. Kita tidak bisa membayangkan
bagaimana kondisi rakyat Indonesia pada waktu itu. Begitu pula dengan di Lombok
terutama di gumi paer Sesait.
Amaq Bardi
Menurut
cerita Amaq Bardi yang di benarkan oleh Papuk Antek dan Papuk Jamiah,
kronologis terjadinya peristiwa berdarah bagek kembar yang menewaskan Tani
Guchi seorang komandan tentara Jepang yang pada saat itu bertugas di wilayah
gumi paer Sesait-Kayangan. Suatu ketika Tani Guci sebagaimana biasanya selalu
turun ke lapangan mengawasi para petani tanaman kapas di wilayah Santong
Korang, Bagek Kembar hingga di lendang galuh montong cempogok Lokok Rangan.
Dalam menjalankan tugasnya ini, oleh Tuan Tani Guchi dan pasukannya selalu
bertindak kasar dan main hakim sendiri. Tidak perduli orang itu sakit atau
alasan lainnya. Yang penting yang ada di pikirannya semua rakyat harus keluar
untuk bekerja menuntaskan pekerjaannya saat itu. Sehingga ada dua orang pejuang
Sesait yang di bunuhnya karena tidak keluar menanam kapas dikarenakan mereka
sakit.
Amaq
Akon, salah seorang korban yang di bunuh oleh Tuan Tani Guchi di kediamannya di
Sesait (sekitar 50 meter sebelah timur Kampu) bersimbah darah segar dari
sekujur tubuhnya. Terbunuhnya Amaq Akon ini dikarenakan tidak ikut pergi
menanam kapas yang ditanam diwilayah Santong Korang sampai Bagek Kembar. Namun
ketidak ikutan Amaq Akon itu, bukan tanpa alasan yang jelas. Ia saat itu dalam
keadaan sakit. Sehingga Amaq Akon pada hari itu tidak keluar bekerja.
Sebelumnya memang Amaq Akon telah permakluman kepada teman-teman
seperjuangannya bahwa pada hari itu, ia tidak bisa ikut bekerja menanam kapas
sebagaimana yang dilakukannya setiap hari, dikarenakan Amaq Akon sedang sakit
perut sehingga dia tidur di rumah kumuh
sederhana miliknya sebelah timur Kampu Sesait yang berjarak kurang lebih 50 m
itu.
Rupanya Tuan Tani Guchi tidak memperdulikannya.
Lalu Tuan Tani Guchi mencari Amaq Akon
langsung ke rumahnya dan membunuhnya. Melihat kejadian sadis yang di lakukan
oleh penjajah Jepang terhadap rakyat Sesait waktu itu, maka lima dari Sembilan
belas pahlawan Sesait menjadi murka. Mereka tampil membela pahlawan Sesait yang
telah di bunuh oleh Tuan Tani Guchi tersebut. Saking marahnya melihat kejadian
sadis tersebut, maka kelima pahlawan Sesait (Amaq Rera,Amaq Rumpat, Amaq
Baris,Amaq Ideh dan Amaq Benjang ) kala itu, murka dan ikut pula membunuh
pasukan pengawalnya. Setelah berhasil membunuh beberapa pasukan Jepang itu,
mereka berencana untuk membunuh komandannya Tuan Tani Guchi.
Papuk Jamiah
Di
ceritakan, setelah Guci selesai menyiksa dan membunuh Amaq Akon, di lihatnya
masyarakat banyak yang berdatangan sambil membunyikan Beduk di Masjid Kuno
Sesait, Guci pun pergi. Kemudian Mangku Gumi mengambil inisiatip mengumpulkan
tokoh-tokoh bertempat di Kampu untuk
bermusyawarah menyusun rencana membunuh
Guci. Setelah sepakat, dibawah pimpinan
Mangku Gumi Lengguk sendiri dan putranya Rumpat, mereka mengatur siasat untuk
bisa melumpuhkan Tuan Tani Guchi komandan Jepang yang sombong dan selalu
bertindak anarkis tersebut.
Dalam
strategi perang itu, mereka membagi menjadi dua jalur pengejaran yaitu jalur
barat di pimpin Mangku Gumi Lengguk, mulai dari Sesait terus ke utara melalui
sejongga, mengambil arah memutar untuk mendahului Guci yang akan pulang ke Pos
penjagaannya di Amor-amor, dimana Tuan Tani Guchi ini ketika akan pulang melalui
jalan Mpak Mayong. Sedangkan jalur timur di pimpin oleh Rumpat putra Mangku
Gumi sendiri, dari Sesait terus ke utara menyusuri Tukak Bendu, Santong Korang,
Bagek Kembar hingga Empak Mayong.
Mangku Gumi beserta Pejuang lainnya dapat
mendahului Guci di selatan
Mpak Mayong (sekarang Dusun Bagek Kembar), Lokaq Ebeh langsung menghunus
pedangnya dan mengarahkan ke tubuh Guci, namun Guci sempat berkelit, sehingga
pedang lokaq Ebeh kala itu terpental hingga nyaris mengenai leher kuda yang di
tunggangi oleh Guci. Berselang beberapa detik setelah itu, secara bersamaan
dari arah selatan dari atas kudanya Rumpat menghujamkan tombaknya tepat kedada
Guci. Guci pun terpental jatuh dari atas kudanya sambil bersimbah darah. Guci
berusaha untuk bangun, namun malang bagi Guci secara serentak pejuang Sesait
dibawah pimpinan Mangku Gumi Lengguk dan Rumpat secara bersamaan menghujamkan senjata pedang dan tombak serta
keris yang mereka bawa secara bertubi-tubi
ke tubuh Guci, hingga tubuh Guci tidak bisa di kenali.
Menurut keterangan saksi sejarah yang masih hidup
seperti Amaq Bardi (Bat Pawang), Amaq Jamiah (Tukak Bendu) dan Papuk Antek
(Lendang Lego) menceritakan, setelah terbunuhnya Guci tersebut lalu mayatnya di
mutilasi menjadi tiga bagian lalu di kubur terpisah di sekitar tempat kejadian
perkara (TKP). Hal itu di maksudkan
untuk menghilangkan jejak. Sementara Kuda tunggangan Tuan Tani Guci saat
itu lari terus ke selatan hingga ke Lokok Bakak. Kemudian bagaimana cerita
selanjutnya tentang Kuda tunggangan Tuan Tani Guci yang mereka bantai itu,
rata-rata saksi sejarah yang masih hidup tersebut mengaku tidak mengetahuinya.
Mereka hanya mendengar kabar bahwa kuda tunggangan Tuan Tani Guci lari ke
selatan hingga ke Lokok Bakak, tanpa berusaha mengejarnya. Karena pada saat itu,
yang ada dalam pikiran mereka adalah kebanggaan karena telah berhasil membunuh
Tuan Tani Guci. Sehingga kuda sebagai tunggangan Tuan Tani Guci mereka anggap
tidak terlalu penting untuk di kejar.
Peristiwa
terbunuhnya Tuan Tani Guci itu terjadi tanggal, 02 Juni 1945 di Bagek Kembar,
yang sekarang masuk dalam wilayah Dusun Bagek Kembar Desa Kayangan Kecamatan
Kayangan Kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara Barat. Untuk mengenang para
pejuang atau pahlawan Sesait yang berhasil membunuh Komandan tentara Jepang
waktu itu, maka peristiwa tersebut hingga kini terkenal dengan nama Peristiwa
Berdarah Bagek Kembar.
E.
MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN MASA PENDUDUKAN
JEPANG
Berita tentang terbunuhnya Komandan Kompi
Nippon Jepang bernama “Tani Guchi” di
Bagek Kembar oleh pejuang Sesait pada tanggal 02 juni 1945, sampailah ketelinga
tentara jepang yang ada di Mataram, sehingga Jepang mengirim satu kompi pasukan
untuk menyerang Sesait. Upaya damaipun sudah berkali-kali dilakukan melalu meja
perundingan, namun upaya itu pun kandas tidak menemukan titik temu. Selain itu,
persenjataan yang dimiliki rakyat Sesait
kala itu tidak sebanding dengan persenjataan yang dimiliki Pasukan
Jepang.
Menurut saksi sejarah Amaq Antek (80) yang ketika itu bertugas
sebagai sinendan Pasukan Jepang yang sekarang di sebut Hansip (Linmas)
menuturkan, ketika Pasukan Jepang datang ke Sesait untuk mencari Lokak Ebeh dan
lainnya yang di duga sebagai pembunuh Komandan Kompi Nippon Jepang Tuan Tani
Guchi di Bagek Kembar pada tanggal 02 Juni 1945 itu, mereka bertindak beringas.
Papuk Antek
Mereka
menodongkan senjata ke arah anak-anak yang tidak berdosa, sambil mengancam
untuk di bunuh, jika tidak mau buka mulut menginformasikan keberadaan Pejuang
Sesait Lokaq Ebeh dan kawan - kawan yang tidak mau menyerahkan diri.
Selanjutnya
Amaq Antek menceritakan, para pejuang Sesait yang selama itu teguh pada
pendirian bahwa mereka anti pada penjajah, dengan berjiwa kesatria dan penuh
pertimbangan, lalu mereka keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri,
ketimbang Anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban keganasan Pasukan
Jepang.
Pada
awalnya, hanya ada empat orang yang
menyerahkan diri. Mereka adalah 1.Ebeh (Mangku Gumi yang ke 20 dalam hirarki
Sesait), 2.Rumpat (Putra Mangku Gumi Ebeh), 3.Surawang ( Penghulu Mesjid
Kuno Sesait pada waktu itu, sekaligus misan dari Mangku Gumi sendiri), 4.Baris
(Putra Surawang). Namun karena ada antek-antek Jepang (orang Pribumi sendiri) yang
memberitaukan tentang nama-nama siapa saja yang ikut terlibat membunuh Tuan
Tani Guci kepada Pasukan jepang.
Akhirnya pasukan Jepang menangkap 30 orang pejuang Sesait dan di bawa ke
Mataram. Diantara 30 orang yang di tangkap tersebut, menurut tutur Amaq Antek,
yang di ketahui namanya ada 22 orang, yaitu 1 Ebeh, (Mangku Gumi ) 2. Surawang, 3. Aik, 4. Arip,
5.Baris, 6. Kecu, 7. Benjang, 8. Cangkir, 9. Pina, 10. Aliap, 11. Bikik, 12.
Ideh, 13. Rumpat, 14. Sebab, 15. Rera, 16. Gantut, 17. Niar, 18. Sedin,
19.Sahadin, 20.Rarun, 21.Rasidah, 22.Tahim.
Sebelum
mereka di bawa, Para Pejuang Sesait
mengucapkan ikrar di hadapan rakyat Sesait dan di saksikan oleh Pasukan Jepang.
Mereka berikrar dengan bahasa Sesait (Lalongku Jalan Perang, Ulekku Jalan Perang ).
Ikrar mereka ini menunjukkan bahwa,
betapa perjuangan mereka dalam mengusir Penjajah tidak bisa di patahkan,
meskipun jasad mereka terkubur, namun semangat kepahlawanan mereka selalu
tertanam pada diri setiap anak cucu
keturunannya dan seluruh lapisan masyarakat Sesait.
Setelah
tiba di markas Jepang di Mataram, para Pejuang Sesait itu, kemudian di mintai
keterangan satu persatu. Jika ada yang terbukti membunuh Komandan Daenipon
Jepang Tani Guci di wilayah utara (Dayan Gunung) itu, mereka akan di hokum dan
di penjarakan. Dan jika tidak terbukti, mereka akan di bebaskan dan di
pulangkan.
Dari
hasil penyidikan, diantara 22 orang pejuang sesait yang ditawan itu, hanya
Sembilan belas orang yang terbukti
terlibat membunuh dan yang lainnya di pulangkan. Seluruh tawanan yang terbukti
tersebut, lalu di jebloskan ke penjara. Berapa lama mereka berada dalam
penjara, itu tidak di ketahui dan bahkan ada yang meninggal dunia.
Ada
empat orang yang di ketahui makamnya, mereka adalah 1.Ebeh 2.Surawang, 3.Akon. dan 4. Rera. Mereka
meninggal di Penjara, mereka di makamkan di Pekuburan Umum Karang Medain Mataram,
dan yang lainnya tidak di ketahui nasib dan keberadaannya, hingga menyerahnya
Jepang kepada Sekutu pada tahun 1945.
Setelah
pengeboman Hirosima dan Naga Saki, Jepang menarik mundur Pasukannya dan
khabar mengenai Pejuang Sesait yang masih tersisa dalam penjara saat itu,
tidak di ketahui rimbanya hingga saat ini. Mungkinkah mereka (keturunannya)
akan kembali ke tanah kelahirannya di Sesait pada saat terjadinya perang
kembali, sebagaimana ikrar yang telah mereka ucapkan sebelum mereka di tangkap
dan di penjarakan? Semua itu, kembali kepada diri kita masing-masing untuk
memaknainya.
Itulah
wujud perlawanan Pejuang Sesait dalam mengusir Penjajah, mempertahankan
kemerdekaan, walau hanya dengan senjata apa adanya. Ini membuktikan bahwa
rakyat Sesait di masa lalu tidak
mau di jajah dalam bentuk apapun, terbukti dengan terbunuhnya Tani Guci selaku
Komandan Daenipon Jepang wilayah utara
(Dayan Gunung) saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa perlawanan rakyat Sesait dalam mengusir
Penjajah dari bumi pertiwi ini patut di Perhitungkan dalam deretan sejarah pahlawan kemerdekaan Indonesia.
F.
MUHALIP,
SOSOK ULAMA YANG MENGASINGKAN DIRI
Di
ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh
Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya
Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke Lombok termasuk di gumi paer
Sesait, yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah.
Sehingga, ketika pengaruh Hindu ini masuk ke daerah ini, maka dari kalangan
santri yang ta’at beribadah ini, meninggalkan daerah kelahirannya untuk
mengasingkan diri dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan Gawah
Alas Bana sebelah utara lereng Gunung Rinjani yang belum pernah terjamah tangan manusia.
Di Gawah Alas
Bana (diyakini menjadi sebuah kampung Pansor yang sekarang) inilah Santri yang
bernama Muhalip bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya.
Makam
Muhalip alias Dulinep
Siapakah
Muhalip atau yang lebih di kenal dengan sebutan Papuk Dulinep ini? Berikut penulis
menuturkannya kembali bersama Amaq Tiasih penunggu atau juru kunci makamnya
yang ada di Pansor Lauk Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU. Muhalip lahir di
Ampenan tahun 1692.
Beliau
adalah putra dari seorang Kepala Kampung di Ampenan.Tidak tahan dengan
kekejaman Kerajaan Karang Asem Bali yang menguasai dan menyerang Lombok pada
tahun 1691-1894 M, maka keluarga Muhalip mengasingkan diri ke hutan Alas Bana
utara lereng Gunung Rinjani di Dayan Gunung tepatnya disekitar kampung Pansor
yang sekarang.
Menurut
H.Zkan yang memugar makam Muhalip (Papuk Dulinep) mengatakan, TGH.Mustafa Kamal
Sidik dari Sesela, pada tahun 1992 pernah datang ke Pansor dimana Muhalip
(Papuk Dulinep) tinggal. Berdasarkan pengakuan Muhalip (Papuk Dulinep),
katanya, ketika pada saat kerajaan Hindu Karang Asem menyerang Lombok melalui
Ampenan pada tahun 1691 M, dirinya mengaku sudah usia remaja. Secara kebetulan
orang tuanya kala itu menjabat sebagai Kepala Kampung di Ampenan.
Di
Ampenan, umat Islam terdesak oleh Kerajaan Hindu Karang Asem Bali. Muhalip
(Papuk Dulinep) yang tidk tahan dengan kekejaman ini, lalu menyingkir bersama
keluarganya ke Lombok Utara dan menetap di hutan Dayan Gunung sekitar Pansor
yang sekarang hingga wafatnya hari Jum’at tanggal 11 Mei 1995 M.
Dalam
menjalani kehidupan bersama keluarganya di gawah alas bana ini, Muhalip (Papuk
Dulinep) terus menjalankan kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt,
hingga akhir hayatnya.
Makamnya
sudah di pugar beberapa waktu lalu oleh H.Zkan dari Ampenan. Kemungkinan H.Zkan
ini merupakan ketrurunan dari Muhalip (Papuk Dulinep) yang berasal dari
Ampenan.
Dalam menjalankan rutinitas kehidupannya sehari-hari, Muhalip
(Papuk Dulinep) hidup sederhana bersama keluarganya. Muhalip (Papuk Dulinep)
memiliki tiga orang putri dari dua orang isteri. Namun yang satu orang
meninggal ketika masih kecil dan dimakamkan jauh dari wilayah Pansor di
pemakamam umum, yang satunya lagi meninggal sudah usia dewasa dan di makamkan
dekat pusara Muhalip (Papuk Dulinep) serta yang satunya hingga kini masih hidup.
Masyarakat setempat tidak
mengetahui keberadaan Muhalip/Papuk Dulinep atau yang di kenal dengan
sebutan Syech Maulana Ali Akbar
Rijalallah ini hingga wafatnya. Baru mereka mengetahui ketika makamnya mau di
pugar oleh H.Zkan dari Ampenan tahun 2000 silam. Setelah itu barulah masyarakat
sekitar bahkan seantero dayan gunung mengetahuinya bahwa beliau adalah sosok
seorang ulama yang asingkan diri dan dedikasikan hidup sederhana jauh dari
pengaruh hindu hingga akhir hayatnya. Menurut A.Tiasih juru kunci makam tersebut mengatakan,
dengan telah di pugarnya makam ulama Muhalip atau Papuk Dulinep atau Syech
Maulana Ali Akbar Rijalallah ini, maka banyak pula masyarakat dari berbagai
wilayah pulau Lombok ini yang datang berziarah.
Wasiat-wasiat alm Muhalip (Papuk
Dulinep) yang di tulis di pusaranya diantaranya;
1).”Kita hidup diantara yang hidup,
karena hidup itu satu. Hidup ini tidak laki-laki, tidak perempuan,tidak tua,
tidak muda, tidak besar, pun tidak kecil. Hidup tetap hidup, tetapi wadahnya
yang berbeda-beda, wadahnya yang laki dan perempuan, yang tua dan yang muda,
yang kecil dan yang besar, apa saja yang hidup adalah bersaudara.”
2).Bila mau berumur panjang,
jangan terlalu banyak kemauan (tentang urusan duniawi), makanlah yang sederhana,
perbanyaklah sayur-sayuran dan jangan mau tahu urusan orang, lebih-lebih yang
ada kaitannya dengan diri kita.
G.
TRADISI ”TAIQ LAUQ” DI
KALANGAN MASYARAKAT ADAT WET SESAIT KUNO
Adat
adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan
kehidupan bagi masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu
hingga sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia
dengan alam sekitar dan manusia dengan sang penciptanya.
Menurut
Pembekel Adat Sesait Masidep, mengatakan adat sering dipertentangkan dengan
agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa transisi dari istilah ”gama
telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam). Justeru agama
mengakui keberadaan adat sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan
beragama.
Dikatakan
Masidep, umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas adat wet
Sesait, dikenal istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum
adat sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma
agama, ”jelasnya.
Dengan
istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya, lanjut Masidep,
yang juga tokoh adat berpengaruh ini berpendapat bahwa, perintah-perintah agama
harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat
adat wet Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan
senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti
upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara ruwah
tanaman, upacara kelahiran,upacara kematian, upacara ngurisan,upacara sunatan,
perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat dan lain-lain.
Pada
zaman dahulu secara turun-temurun sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan
ajaran Islam di gumi paer Sesait, upacara-upacara adat tradisi lokal yang
sering di lakukan masyarakat adat wet Sesait seperti upacara Mempayone Gunung
Kenawan, mempayone Lande dan mempayone Gunung Gedeng (taek lauq). Tetapi
sejalan dengan datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer
adat wet Sesait, segala bentuk ritual adat yang bertentangan dengan ajaran
Islam di hentikan atau di larang.
Maka sejak tahun
1968 segala bentuk ritual tersebut di larang untuk dilakukan.Kecuali ritual
adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap dilakukan, bahkan hingga
kini ritual tersebut masih dilestarikan, seperti ziarah ke makam penyebar agama
Islam di Sesait yang di kenal dengan sebutan ’Kubur Beleq’ (Kanjeng Pangeran
Sangupati), ziarah ke makam Sesait di Bayan (Datu Bayan) dan upacara peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw yang dilaksanakan secara adat di Sesait.
Upacara
adat Taeq Lauq (upacara pemujaan) yang pernah dilaksanakan oleh masyarakat adat
Sesait Lama ke Gunung Gedeng (Gunung Khayangan) yang letaknya sekitar 2 km
kearah barat dari Kantor Desa Kayangan sekarang, sebelum tahun 1966 kebawah itu
para pemujanya masih memeluk Islam Wettu Telu.
Gunung
Khayangan, dulunya ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara
pemujaan sekali dalam setahun dengan membawa sesajian dan membunyikan
tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional berupa gong dua yang jumlahnya tidak
kurang dari 10 s/d 15 grup kesenian.
Acara
pemujaan yang di kenal dengan upacara Taeq Lauq ke Gunung Khayangan tersebut
adalah untuk mempayone petilasan Panji Mas Kolo yang ada di puncaknya. Acara pemujaannya
pun dilaksanakan mulai sore hari sekitar pukul 15,00 hingga pukul 05,00 pagi
keesokan harinya.
Dalam
tulisan ini, penulis mencoba untuk sekedar mengulas kilas balik dari prosesi
adat ”Taek Lauq” yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait Lama
sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam ke gumi paer Sesait
tahun 1966 silam.
Menurut Inaq Ijin (76) salah seorang tokoh keturunan
Mangku Gedeng yang kini tinggal di Lokok Tujan Desa Sesait Kecamatan Kayangan
KLU menuturkan kepada penulis tentang rangkaian prosesi ritual upacara adat
”Taek Lauq” hingga akhir pelaksanaannya.
Di
tuturkannya, ritual adat taek lauq yang secara turun-temurun dilakukan
purusanya dari sejak zaman ireng (zaman kegelapan) adalah salah satu sarana
untuk memohon kepada yang kuasa atas penomena alam, seperti musim kemarau yang
berkepanjangan, sehingga hal ini sangat merugikan bagi masyarakat yang pada saat itu membutuhkan air
hujan untuk segala kebutuhan hidup. Karena satu-satunya yang diharapkan pada
saat itu adalah hanya air hujan.Belum ada air irigasi seperti yang ada sekarang
ini.
Maka
untuk mengatasi hal tersebut, lanjut Inak Ijin, sebagai yang bertanggung jawab
untuk semua itu adalah Mangku Gedeng. Melihat kejadian ini, lalu Mangku Gedeng
(Papuk Nanom,Papuk Jumedah,Puk Narek) tidak tinggal diam, bagaimana mengatasi
permasalahan yang di hadapi masyarakatnya kala itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, selaku Mangku Gedeng pada
masa di jabat oleh Papuk Nanom (abad 18 M), Papuk Jumedah (abad 19 M), Papuk
Narek (abad 20) dan Puk Surya (abad 21), pertama yang dilakukannya adalah
mengadakan rapat (sangkep) dengan ”Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan,
Jintaka dan Penghulu) ” bagaimana langkah-langkah mengatasi yang sedang menimpa
masyarakat gumi paer Sesait Kuno kala itu. Oleh Tau Lokaq Empat bersama Mangku
Gedeng sepakat untuk menggelar upacara
adat ”Taeq Lauq” ke Montong Gedeng (gunung Khayangan yang sekarang),
dimana di Montong Gedeng ini terdapat petilasan seorang tokoh spiritual bernama
Panji Mas Kolo yang mengaku saudara kandung dari Datu Bayan.
Diceritakan Inaq Ijin, setelah sepakat untuk menggelar
upacara adat Taeq Lauq tersebut dan ketika sudah tiba waktunya, maka pelaksanaannya pun segera di gelar selama 3
hari 2 malam, yaitu setiap tanggal 12,13 dan 14 Syawal tiap tahun. Namun
sebelum pelaksanaan itu di gelar, Mangku Gedeng di bantu oleh para pelingsirnya
melakukan berbagai persiapan, seperti melakukan bersih-bersih dilokasi sekitar
petilasan Panji Mas Kolo yang dijadikan tempat ritual nantinya termasuk membuat
berugak saka empat disekitar petilasan.
Adapun segala persiapan untuk perabotan kayu Salinguru,
tales diambil dari pawang adat utara Sesait, termasuk atap berugak yang terbuat
dari Santek dilapisi Ijuk (dibuat di Karang Lande Lokok Rangan yang sekarang).
Itulah sebabnya pada zaman dahulu, juga pernah di adakan ritual ”Mempayone
Lande”, tetapi sekarang sudah menjadi perkampungan Karang Lande Lokok Rangan.
Pada hari pertama ritual ”Taeq Lauq” yaitu pada tanggal
12 Syawal, gong dua di turunkan dari peraduannya (dari rumah adat Mangku Gedeng
Papuk Jumedah).Setelah itu barulah masyarakat adat wet Sesait berdatangan untuk
merembun ke rumah Mangku Gedeng yang dulu terletak di utara Mesjid Kuno Sesait.
Sementara tari-tarian pun terus berlangsung tanpa henti mengiringi ritual
merembun tersebut hingga malam hari.
Keesokan harinya yaitu tanggal 13 Syawal, Mangku Gedeng
”Tun Melauk” (turun ke Montong Gedeng duluan). Dalam perjalanan Mangku Gedeng
ini pun tidak boleh ada orang yang mengetahui, termasuk tidak boleh berbicara,
jika dia makan tidak boleh mengajak orang berbicara, tidak boleh bertemu dengan
praja Taeq Lauq. Hal ini dimaksudkan agar segala bangsa hewan dan unggas tidak
buas. ”Pokoknya tidak boleh ngomong kepada siapa saja alias diam seribu bahasa,”jelas
Inak Ijin dengan mimik serius.
Kemudian pada hari ketiga yaitu puncaknya tanggal 14
syawal, masyarakat wet Sesait Kuno mulai berdatangan ke Sesait dengan membawa
segala macam kelengkapan sajian makanan yang di kemas di atas dulang adat,
termasuk gong gambelan (gong dua) dari segala penjuru pun di datangkan untuk
mengiringi. Termasuk mempersiapkan para gadis untuk dirias sebagai Praja Taek
Lauq. Masing-masing kampung kala itu pun mengeluarkan seorang gadis untuk
dijadikan praja.Sehingga nyaris masyarakat dari berbagai kampung yang mengikuti
pemujaan itu beradu dan berlomba saling memperebutkan praja dari kampung
manakah yang paling cantik.Sambil melakukan tari-tarian bebas dan lepas.
Setelah semuanya telah siap, maka iring-iringan pun di
gelar dengan posisi praja Taeq Lauq berada paling depan diapit dan di iringi
para pelingsir adat, dibelakangnya diikuti oleh para pengiring pasukan tombak
muda-mudi, lalu di belakangnya barisan pembawa dulang saji adat, baru kemudian
di belakangnya lagi diiringi gong dua dan gong gambelan lainnya. Setelah itu
baru diikuti oleh masyarakat umum.
Perjalanan
ritual Taeq Lauq menuju Montong Gedeng
pun di lakukan pada sore hari sekitar pukul 15,00 waktu setempat dan menyusuri hutan belantara
(pawang adat pedewak Sesait). Tiba di kaki Montong Gedeng sebelah selatan
menjelang Maghrib.
Mangku Gedeng Inaq Ijin didepan
Petilasan Panji Mas Kolo
Lalu di lanjutkan dengan ritual penyembelihan kerbau berbulu putih yang belum
dewasa. Penyembelihan ini pun dilakukan di kaki Montong Gedeng sebelah selatan.
Ritual ini pun terus di iringi tari-tarian bebas dan lepas oleh penari-penari
yang terpilih dan memang sudah disiapkan sebelumnya. Kemudian pada pukul
18,00-20,00 acara istirahat sambil mempersiapkan acara selanjutnya.
Ketika segala sesuatunya sudah siap, sajiannya lalu di bawa naik ke atas dimana
petilasan Panji Mas Kolo berada dengan di iringi gong dua. Sementara masyarakat
pengiring termasuk praja Taeq Lauq dan gong gamelan lainnya tetap tinggal di
bawah.Tari-tarian pun terus berlangsung hingga Mangku Gedeng selesai
melaksanakan tugasnya di atas.
Tari-tarian dengan di iringi gong dua ini bisa berlangsung hingga pajar
menyingsing. Namun yang perlu di ingat pada ritual pemujaan yang melibatkan
kaum hawa sebagai penari bebas itu pun tidak boleh bercampur dengan kaum
laki-laki dalam melakukan tarian bebas itu. Karena Puncak acara dari pemujaan
Taeq Lauq itu adalah tidak bercampurnya kaum laki-laki dan kaum wanita dalam
melakukan tari-tarian bebas dan lepas. Hal itu, karena disamping mereka yang
menari itu merasa mendapat penghargaan, juga merupakan pelepas lelah setelah
setahun bekerja dan berkarya.
Setelah Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di
atas, maka Mangku Gedeng pun turun
diringi gong dua dan di sambut oleh Praja Taek Lauq, para pelingsir adat, gong
gamelan lainnya serta masyarakat kebanyakan yang sejak sorenya menunggu.
Sambil bersorak sorai kegirangan yang tak terbendung dari
masyarakat menyambut turunnya Mangku Gedeng yang telah selesai melaksanakan
tugasnya.Tari-tarian pun terus di gelar hingga tiba waktunya untuk berangkat
pulang kembali ke rumah sesuai dengan asal masing-masing, yang dari Sesait
kembali ke Sesait, yang dari Luk kembali ke Luk, dari Kelongkong kembali ke
Kelongkong, dari Rempek kembali ke Rempek dan lain sebagainya. Iring-iringan
pulang pun berlangsung penuh kegirangan sambil terus menari.
Seluruh rombongan yang ikut ambil bagian dalam ritual
Taek Lauq ini, ketika kembali dan
sebelum memasuki pintu gerbang masuk ke kampung Sesait, maka oleh Tau Lokak
Empat, mereka di sembek terlebih dahulu baru boleh masuk di tanah Sesait. Hal
ini dilakukan karena ritual yang dilakukan pada jaman itu, di anggap keluar
dari aqidah ajaran Islam.
Setelah
tahun 1966, kegiatan pemujaan ke Gunung Khayangan itu sudah tidak kelihatan
lagi. Namun sisa-sisa keturunan Mangku Gedeng yang hingga kini masih hidup,
tetap melakukannya walau hanya sebatas ruwah biasa.(#)
H.
KISAH CILINAYA, YANG MELEGENDA DI KALANGAN
MASYARAKAT
Wilayah Kabupaten Lombok Utara yang lebih dikenal masyarakatnya dengan
sebutan Dayan Gunung, ternyata memiliki banyak peninggalan sejarah masa lalu,
baik berupa benda, tulisan,rekaman maupun yang berbentuk lisan.
Salah satu bukti peninggalan
sejarah masa lampau yang masih terpelihara dengan baik hingga saat ini adalah
makam Denda Cilinaya, yang terletak di Labuhan Carik Bayan. Denda Cilinaya di
kisahkan mati terbunuh oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling.
Keberadaan makam Denda
Cilinaya ini di kalangan masyarakat Dayan Gunung dan bahkan mungkin masyarakat
sasak pada umumnya sudah banyak yang mengetahuinya. Sedangkan makam Patih Jero
Tuek yang merupakan pembunuh Denda Cilinaya, yang keberadaannya tidak jauh dari
makam Cilinaya, mungkin tidak banyak orang yang mengetahui.
Untuk bisa sampai ke lokasi
makam Cilinaya, para pengunjung dihadapkan pada medan yang cukup melelahkan.
Pasalnya, jarak makam dari pusat pemerintahan Kecamatan Bayan sekitar 1 km,
dari Labuhan Carik kearah timur sekitar 350 meter. Para pengunjung yang
menggunakan alat transportasi baik roda empat maupun roda dua, cukup di parkir
di Labuhan Carik. Setelah itu, para pengunjung harus jalan kaki melewati
pematang sawah dan sebuah kali yang membatasi lokasi makam dengan Labuhan
Carik.
Menurut Raden Singanem (47), Situs
makam Denda Cilinaya ini, untuk pertama kalinya di pelihara oleh mendiang orang
tuanya Mangku Raden Singagrib (alm) sejak tahun 1977 silam. Setelah orang
tuanya mangkat tahun 1980, dari sejak itulah dirinya aktif sebagai Mangku makam
Denda Cilinaya ini.
Makam Cilinaya
Dikatakan Raden Singanem, dulu katanya, ketika
dirinya masih kecil, lokasi makam ini masih gawah (hutan) yang di penuhi oleh
tumbuhan ilalang. Waktu itu belum di ketahui bahwa di lokasi itu ada makam,
seperti yang di kenal sekarang (Cilinaya).
Di lokasi itu ada makam
Cilinaya, sekitar tahun 1977, berawal dari adanya warga Tanak Song Tanjung yang
mendapatkan petunjuk dari paranormal dengan mendatangi lokasi itu untuk sebuah
hajatan Ngurisan.
Dari paranormal yang
mendapatkan wangsit dari pemilik makam inilah di ketahui bahwa di lokasi itu
ada sebuah makam yang di kenal dengan
makam Denda Cilinaya. Dari paranormal ini pula di ketahui bahwa yang
menjadi Mangku atau yang menjadi penanggung jawab sebagai pemelihara makam itu
harus yang lebih tua dari keluarga Raden Singagrib. Paranormal yang sudah di
rasuki roh penghuni makam itu pula yang memerintahkan agar mencari Raden
Singagrib dan Raden Singanem sebagai yang bertanggungjawab memelihara makam
itu. Maka di putuskanlah Raden Singagrib yang memelihara pertama makam itu,
karena menurut Paranormal yang sedang disanding roh makam itu, dia lebih tua.
Setelah beliau mangkat tahun 1980, praktis Raden Singanem yang
meneruskannya hingga sekarang.
Bagaimana kisah terbunuhnya
putri Denda Cilinaya oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling dan
bagaimana makamnya bisa berada di atas montong dekat Labuhan Carik Bayan,
Mangku Raden Singanem, yang merupakan generasi kedua sekaligus juru kunci makam
Denda Cilinaya, bersama wartawan media ini mengisahkannya dalam tulisan ini.
Konon, menurut Mangku Raden
Singanem, pada jaman ireng di sekitar Bayan Beleq sekarang ini, terdapat dua
buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Posisi persisnya,
katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet timur Orong dan Kerajaan Keling
berada di wet barat Orong.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha
dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di
kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini
belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda
akan di karuniai putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.
Maka kedua bersaudara ini
(Datu Daha dan Datu Keling) berencana akan melakukan tapa brata di sebuah bukit
atau montong yang dipenuhi hutan belantara, memohon kepada yang kuasa agar
keduanya diberikan putra sebagai calon penggantinya kelak ketika mereka sudah
mangkat.
Makam
Cilinaya dilihat dari arah selatan
Pada waktu yang sudah di
tentukan, maka berangkatlah Datu Daha Mas Mutering Sejagat dengan membawa
perlengkapan secukupnya menuju ke sebuah tempat yang juga sudah di tentukan
yaitu Montong Kayangan. Dalam waktu yang bersamaan, Datu Keling Mas Mutering
Sejagat pun berangkat pula menuju ke tempat itu, untuk bersama-sama melakukan
tapa brata. Dalam perjalanan menuju tempat tapa brata itu, Datu Daha dan Datu
Keling bertemu di perempatan Geruk Gundem untuk selanjutnya bersama-sama menuju
Montong Kayangan.
Setiba di tempat melakukan
tapa brata, masing-masing menghaturkan sesuai dengan syarat dan niatnya untuk
mendapatkan anak. Dimana Datu Daha dalam nazarnya berniat, jika sang penguasa
jagat memberikan anak perempuan, maka kelak dirinya akan membayar kaul, dengan
persyaratan membawa lekok buak,kerbau bertanduk emas, ber ekor sutera,
mengkupak slaka (bertapak kaki slaka) dan mentete gangsa ( alat yang di gelar
atau yang dibentangkan) sebagai pijakan waktu bayar nazar mulai dari
Kerajaannya hingga ke lokasi Montong Kayangan. Begitu pula dengan Datu Keling,
bernazar yang sama, dengan persyaratan yang sama, namun Datu Keling
menginginkan anak yang laki.
Dalam tapa bratanya itu,
diceritakan tidak di ketahui berapa lama berlangsung.Hanya konon ceritanya
semua hajat dari kedua pembesar kerajaan itu dikabulkan. Ajaib memang, kedua
permaisuri dari dua buah kerajaan yang ada di lereng Gunung Rinjani sebelah
utara itu pun mengandung secara bersamaan. Sebagaimana adat kebiasaan di
kalangan istana kerajaan terhadap yang mengandung, maka di adakan pula acara
ritual selamatan tiga bulanan,tujuh bulanan dan upacara kelahiran.
Setelah tiba waktunya untuk
melahirkan, maka kedua permaisuri, baik kerajaan Datu Daha maupun kerajaan Datu
Keling pun melahirkan anak sesuai dengan keinginan Datu Daha yang menginginkan
anak perempuan maupun Datu Keling yang menginginkan anak laki-laki.
Berselang satu tahun kemudian,
tibalah saatnya untuk menunaikan nazar mereka masing-masing.Kedua Datu dari dua
kerajaan besar yang melingkari Gunung Rinjani itu pun sepakat untuk membayar
nazar (kaul) sesuai dengan apa yang pernah mereka janjikan. Di ceritakan bahwa
yang bisa menunaikan nazarnya itu baru Datu Keling. Sementara Datu Daha akan
menyusul kemudian.
Mangku Makam Cilinaya R.Singanem bersama penulis
Maka Datu Keling berangkatlah
menuju Montong Kayangan dengan di iringi seluruh kaula balanya untuk menunaikan
janjinya membayar nazar, dengan membawa persyaratan seperti yang pernah di
terimanya melalui wangsit ketika melakukan tapa brata dulunya ditempat itu.
Suatu ketika Cilinaya
sebagaimana kebiasaan anak kecil sebayanya setiap harinya selalu bermain di
halaman istana kerajaan. Sedang asyiknya bermain, tiba-tiba menghilang begitu
saja dari alam dunia.
Dengan menghilangnya Cilinaya
ini, seluruh kalangan istana kerajaan Daha kala itu kaget. Maka Datu Daha
mengerahkan seluruh kaula balanya untuk mencari putri semata wayangnya itu ke
seluruh negeri. Namun upaya pencarian itu pun gagal, sang putri tidak
ditemukan.Maka pencarian pun di hentikan.
Sementara itu di pinggir hutan
belantara masih dalam wilayah Kerajaan Datu Daha, hiduplah sepasang suami
isteri yang bernama Amak Lokaq dan Inaq Lokaq (Amaq Bangkol dan Inaq
Bangkol).Suatu hari Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol pergi ke kebun miliknya untuk
mencari sayuran.Tiba-tiba keduanya mendengar ada suara tangisan anak kecil.
Setelah diselidiki ternyata benar tangisan anak kecil.Lalu di bawa pulang ke
pondoknya yang reot beratapkan ilalang dan berpagar bedek itu.
Setiba di rumah keduanya
berunding, apa yang pantas untuk diberikan namanya.Sebab kalau di lihat dari
wajahnya memang anak tadi berparas cantik. Dari sinilah timbul ide dari Amak
Bangkol untuk memberikan nama Cilinaya (Cili=kecil, naya= bagus,elok). Itulah sebabnya nama Cilinaya
terkenal hingga sekarang khususnya di kalangan masyarakat suku sasak Lombok.
Diceritakan, Denda Cilinaya
pun hiduplah bersama Amak Bangkol dan Inaq Bangkol di gubuq terpencil di
pinggir hutan kerajaan Daha hingga menginjak remaja.Dalam kesehariannya,
dikisahkan bahwa Denda Cilinaya ini pekerjaannya adalah menyesek atau menenun.
Sebagai seorang gadis belia pekerjaan menenun itu sangat di gemari
olehnya.Sehingga tidak heran pekerjaan itu terus di tekuninya setiap hari.
Itulah sebabnya pekerjaan menenun ini hingga sekarang para gadis atau kaum hawa
di daerah Bayan Beleq masih dapat di lihat. Keberadaan Cilinaya di gubuq ini
tidak ada yang tahu selain kedua orang tua angkatnya itu.
Raden Mas Panji putra Datu
Keling saat itu juga baru menginjak remaja. Sebagai putra mahkota kerajaan,
kegiatan sehari-harinya selain berlatih bela diri juga hobinya berburu. Suatu
ketika, Raden Mas Panji berkeinginan pergi berburu ke hutan di pinggir kerajaan
Daha.Keinginan itu kemudian disampaikan kepada ayahandanya (mamiknya) Datu
Keling. Raja Keling pun mengijinkan putranya untuk pergi berburu rusa dihutan
tutupan di pinggir daerah kekuasaan kerajaan Datu Daha.
Tiba waktu yang telah
ditentukan, Raden Mas Panji berangkatlah
menuju hutan yang dimaksud untuk berburu rusa, dengan diiringi tiga orang
pengasuhnya Raden Krude, Raden Kalang dan Raden Semar. Hutan tutupan yang di
tuju Raden Mas Panji beserta tiga orang pengiringnya itu diperkirakan berada di
sebelah timur Bayan Beleq sekarang.
Diceritakan, hutan tutupan yang di
jadikan lokasi berburu Raden Mas Panji ini pada jaman itu banyak sekali di huni
oleh binatang buruan seperti babi rusa,kijang, dan berbagai jenis burung.
Sedang asyiknya berburu, tiba-tiba Raden Mas Panji merasa kehausan, kepingin
minum.Maka di carilah mata air di sekitar hutan itu.Namun ketika sampai di
dekat sebuah gubuq, Raden Mas Panji mendengar ada suara Jajak (alat tenun)
sedang di mainkan. Lalu Raden Mas Panji berfikir kalau ada suara Jajak seperti
itu, berarti ada orang penghuni gubuq itu. Dengan demikian berarti dapat minta
air untuk sekedar melepas dahaga,pikirnya.Raden Mas Panji pun tanpa pikir
panjang langsung menuju gubuq itu untuk minta air minum.Singkat cerita, Inaq
Bangkollah yang memberikan air minum kepada Raden Mas Panji.Sementara Cilinaya
sembunyi dalam rumah. Walau demikian, Cilinaya sempat juga dilihat oleh Raden
Mas Panji.Seketika itu pula hati Raden Mas Panji tertutup untuk melanjutkan
perburuannya. Akhirnya berburu pun gagal di lanjutkan.
Makam Patih Jero Tuek,Yang membunuh
Cilinaya
Dengan bersusah payah, ketiga
pengiring itu mengajak Raden Mas Panji pulang kembali ke istana kerajaan.Namun
Raden Mas Panji tidak menghiraukan ajakan ketiga pengiringnya itu.Akhirnya,
Raden Mas Panji ditinggal.
Setiba di istana kerajaan,
pengiring Raden Mas Panji itu melapor kepada Mamiknya Datu Keling. Mendengar
laporan itu, maka Datu Keling murka. Keadaan inilah yang membuat Raden Mas
Panji betah tinggal di gubuq itu selama 3 tahun. Hingga akhirnya Raden Mas
Panji menikah dengan Denda Cilinaya dan di karuniai seorang anak laki-laki yang
diberi nama Raden Megatsih.
Tiga tahun telah berlalu, kemurkaan Datu Keling belum
sirna begitu saja atas kelakuan dan perbuatan putra satu-satunya sebagai
harapan penggantinya kelak, rela tinggal di sebuah gubuq dipinggir hutan. Maka
Datu Keling mengumpulkan para punggawa kerajaan untuk musyawarah. Dalam
musyawarah tersebut, atas titah raja telah disepakati untuk menjemput Raden Mas
Panji yang sudah lama tinggal di gubuq pinggir hutan kawasan kerajaan Daha.
Rombongan para peziarah makam Cilinaya
dari Sesait
Konon ceritanya seluruh
punggawa dan kaula bala kerajaan Keling
di kerahkan untuk menjemput putra mahkota Raden Mas Panji, dibawah pimpinan
kedua maha patih Jero Tuek dan Adipati (Mangkubumi dan Mangkunegaran).
Alasan Datu Keling menjemput
anaknya ini adalah dikatakan dirinya kepingin makan hati menjangan. Agar putra
satu-satunya inilah yang berburu untuknya.Padahal dalam hatinya sebenarnya
ingin memisahkan Cilinaya dengan anaknya Raden Mas Panji. Karena menurutnya,
tidak pantaslah seorang putra mahkota (Pangeran) kerajaan kawin dengan orang
kebanyakan. Padahal seandainya Datu Keling mengetahuinya, sebenarnya
Cilinaya itu adalah putri saudaranya Datu Daha yang dikabarkan sempat hilang 20
tahun silam.Tapi karena Datu Keling sama sekali tidak mengetahuinya, maka hal
itulah yang dilakukannya.
Datu Keling salah kaprah,
karena dianggapnya anaknya Raden Mas Panji kawin dengan anaknya Amaq Bangkol
itu tidak sederajat. Itulah sebabnya di utus patih dalam (Mangkubumi-Jero Tuek)
dan patih luar (Mangkunegaran-Adipati) untuk menjemput putranya Raden Mas Panji
pulang, dengan alasan Mamiknya Datu Keling sakit keras dan ingin makan hati
menjangan putih.
Maha Patih Jero Tuek dan Maha
Patih Adipati pun berangkatlah menuju hutan dimana Raden Mas Panji tinggal
bersama isterinya Cilinaya. Raden Mas Panji ketika mendengar kabar itu, lalu
minta ijin pada isterinya untuk memenuhi keinginan dan permintaan ayahandanya
Datu Keling.
Cilinaya pun mengijinkan
suaminya berangkat berburu memenuhi pesan Datu Keling. Namun sebelum suaminya
Raden Mas Panji berangkat, Cilinaya memberikan sebuah cincin sambil berpesan
pada suaminya, apabila cincin ini gugur (hancur) dari jarinya, berarti dirinya
sudah tidak ada di dunia ini.
Dikisahkan, usai memberikan
cincin pada suaminya itu, maka Cilinaya dan suaminya Raden Mas Panji
berpisahlah. Mas Panji bersama pengiringnya yang lain, selain Patih Jero Tuek
dan Adipati, berangkatlah menuju hutan untuk berburu demi memenuhi permintaan
ayahandanya Datu Keling yang kepingin makan hati menjangan putih.Sementara Jero
Tuek dan Adipati tetap tinggal di gubuq tempat Cilinaya berada bersama
keluarganya.
Kemudian setelah kira-kira
jarak 1 km Raden Mas Panji pergi masuk hutan berburu, maka Patih Jero Tuek dan
Patih Adipati menjalankan maksud sebenarnya mereka berada di tempat itu, yaitu
ingin melenyapkan Cilinaya dari muka bumi. Namun sebelum niat kedua maha patih
itu dilaksanakan, Cilinaya mengajak keduanya ke kebun miliknya di pinggir
pantai bawah pohon ketapang, yang menurut Mangku Raden Singanem, lokasi yang dimaksud
oleh Cilinaya ketika itu adalah pantai sekitar 200 meter kearah timur laut dari
makam Cilinaya yang sekarang.”Di lokasi inilah Cilinaya dibunuh oleh patih Jero
Tuek,”kata Raden Singanem.
Sebelum dibunuh, Cilinaya berpesan kepada
patih Jero Tuek, “Mun tetu aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi
berbau, kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit
taik sengeh,”(Kalau benar saya ini anak rakyat jelata, agar darah saya
muncrat keluar menetes ke bumi berbau busuk dan kalau benar saya ini keturunan
raja, agar darah saya keluar muncrat dari tubuh saya berbau harum).
Patih Jero Tuek pun usai
Cilinaya menyampaikan pesannya itu melakukan tugasnya untuk melenyapkan
keberadaan Cilinaya dari atas bumi. Patih Jero Tuek terkejut dan kaget,
ternyata darah Cilinaya muncrat keatas bumi dibarengi dengan bau harum mewangi.
Pikirnya ternyata ucapan Cilinaya itu benar bahwa dirinya adalah keturunan raja
yang tidak lain adalah putri Datu Daha yang dikabarkan hilang 20 tahun silam.Penyesalan
pun tiada guna nasi sudah menjadi bubur.
Setelah Cilinaya mangkat,
kemudian anaknya Raden Megatsih yang kira-kira kala itu baru berumur 2 tahun,
kemudian dilangkepkan diatas jasad ibunya untuk di susui. Amak Bangkol dan Inaq
Bangkol yang membawa Raden Megatsih kala itu tidak kuasa melihat kenyataan di
depan matanya.Lalu Raden Megatsih di bawa pulang kembali ke gubuqnya oleh Amaq
Bangkol dan Inaq Bangkol untuk dipelihara. Sementara jasad Cilinaya ketika itu
masih terkapar di atas bumi.
Dengan bersusah payah Patih
Jero Tuek dan Patih Adipati mempersiapkan tablak (peti) sebagai tempat menaruh
jasad Cilinaya, termasuk tenandan (tali) dari perdu untuk mengikat tablak itu
juga dipersiapkan.Setelah seluruh persiapan sudah lengkap dan jasad Cilinaya juga
sudah ditempatkan dalam tablak, maka tablak yang berisi jasad Cilinaya itu di
hanyutkan ke tengah lautan luas hingga tidak terlihat kearah mana tablak itu
terbawa arus.
Sementara di tempat
terbunuhnya Cilinaya, keadaan semakin mencekam. Tiba-tiba datanglah angin pusut
disertai hujan lebat dan halilintar menyambar setiap benda yang
dilaluinya.Patih Jero Tuek maupun Patih Adipati sempoyongan sambil jatuh bangun
akibat terjangan bencana tersebut. Sehingga dengan peristiwa tersebut Patih
Jero Tuek akhirnya mangkat dan jasadnya dimakamkan di Tete Bukal, sekitar 200
meter kearah selatan dari lokasi terbunuhnya Cilinaya. Makamnya hingga saat ini
masih ada dan tetap terpelihara tidak jauh dari makam Cilinaya.
Patih Adipati kemudian
kembali ke istana kerajaan Datu Keling untuk melaporkan bahwa tugasnya sudah
dilaksanakan serta peristiwa dan kejadian yang menimpa Patih Jero Tuek.Usai
melaporkan itu, tiba-tiba Patih Adipati pun juga mangkat seketika ditempat.
Makam Patih Adipati ini pun hingga sekarang masih ada dan tetap terpelihara di
utara Bayan Beleq (Tempos).
Konon ceritanya, setelah
berselang 8 tahun kemudian, Datu Daha berniat mengadakan acara rekreasi ke
pantai “segara meneng” dengan mengajak seluruh kaula balanya. Setelah
tiba waktunya keluarga besar kerajaan itu pun berangkatlah menuju pantai. Dari
kejauhan Datu Daha melihat sebatang pohon terapung diatas lautan.Disaat
memperhatikan batang kayu itu, tiba-tiba Datu Daha melihat burung gagak hinggap
di batang itu lalu terbang kembali. Datu Daha kala itu tidak memiliki firasat
apa-apa terhadap keadaan yang dilihatnya.
Batang kayu itu pun semakin
lama semakin mendekat, ternyata yang tadinya di kira batang kayu oleh Datu
Daha, melainkan sebuah peti yang isinya
belum diketahui. Setelah agak dekat, kira-kira dalam air laut kala itu
sepinggang orang dewasa, maka Raja Daha mengerahkan seluruh kaula balanya untuk
mengangkat dan membuka peti itu. Namun
peti itu tidak bisa diangkat, apalagi membukanya. Maka Datu Daha sendirilah
yang mengambil dan membukanya dengan disaksikan oleh seluruh kaula balanya
serta para pembesar istana.
Betapa terkejutnya Datu Daha
ketika membuka peti itu. Ternyata di dalam peti itu adalah terdapat putrinya
sendiri Cilinaya sedang duduk. Kabar tentang ditemukannya putri Cilinaya masih
hidup itu, cepat tersebar ke seantero negeri kerajaan Daha maupun kerajaan
Keling.
Kabar Cilinaya masih hidup ini pun sampailah
ke telinga Raden Mas Panji suaminya.Maka Raden Mas Panji pun tanpa pikir
panjang berangkatlah menuju istana kerajaan Daha untuk memastikan dengan
membawa anak mereka Raden Megatsih. Pertemuan sepasang suami isteri dan anak
ini pun berlangsung sangat memilukan. Karena mereka berpisah dulunya tidak
dengan sewajarnya.
Atas pertemuan tersebut, maka
kedua belah keluarga besar kerajaan mengadakan pesta syukuran selama 8 hari 8
malam.Datu Daha bersyukur karena bertemu lagi dengan putrinya Cilinaya beserta
cucunya, sementara Datu Keling bersyukur karena putranya bisa kembali lagi ke
istana. Kemudian kedua kerajaan, baik Kerajaan Daha maupun Kerajaan Keling
dapat dipersatukan menjadi satu kerajaan yaitu Kerajaan Bayan. Karena adanya
ikatan tali perkawinan antara Cilinaya putri Datu Daha dan Raden Mas Panji
putra Datu Keling itulah, sehingga kerajaan Bayan itu berdiri.
I.
MITOS YANG MELINGKARI MASYARAKAT TERHADAP
MAKAM CILINAYA
Setiap suku bangsa yang hidup
dengan kebudayaannya masing-masing selalu memiliki mitos atau cerita rakyat
yang berupa folklor ataupun babad dan dongeng suci mengenai penciptaan alam
semesta, tokoh-tokoh yang dianggap suci, dan cerita-cerita rakyat yang dianngap
memiliki nilai-nilai luhur dalam sebuah budaya dianut dan lakukan secara
berkelangsungan dan turun temurun.
Cerita rakyat biasanya penuh
dengan keajaiban-keajaiban atau nilai-nilai mistis yang tidak bisa dikaji dan
bahkan sulit untuk dipercayai dengan nalar, namun demikian, para pendukung dari
cerita rakyat ini selalu percaya dan menerimanya sebagai suatu hal yang
bernilai luhur bahkan lebih dari itu, mereka senantiasa mengagung-agungkan
cerita rakyat yang berkembang di daerah mereka masing-masing.
Di pulau Lombok sendiri terdapat banyak sekali
cerita rakyat yang berkembang dan tetap hidup hingga sekarang. Diantara sekian
banyak cerita rakyat yang berkembang di pulau Lombok, ada beberapa cerita
rakyat yang sangat terkenal dan bahkan tersebar hingga ke luar pulau Lombok.
Cerita-cerita dimaksud adalah cerita rakyat
Dewi Anjani, cerita rakyat Cupak Gurantang, cerita rakyat Denda Cilinaya,
cerita rakyat Putri Nyale, cerita rakyat Doyan Neda, dan cerita rakyat Batara
Guru.
Cerita rakyat yang telah disebut tadi, hampir
tersebar di seluruh wilyah pulau Lombok dan dikenal oleh semua masyarakatnya,
sebab cerita tersebut telah tersebar dari mulut ke mulut dan dari masa ke masa.
Pada bagian ini, penulis hanya membahas
mengenai cerita rakyat Denda Cilinaya yang disebut juga dengan nama Bibi Cili.
Cerita rakyat Denda Cilinaya ini tersebar hampir di seluruh penjuru pulau
Lombok, dan setiap daerah mengklaim bahwa di daerah merekalah Denda Cilinaya
tersebut hidup pada masa lampau.
Makam
Cilinaya dilihat dri arah selatan
Misalnya masyarakat Lombok Timur menganggap
bahwa Denda Cilinaya adalah cerita rakyat yang asli dari Lombok Timur, demikian
juga dengan masyarakat Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Utara. Namun
selama ini belum ada bukti yang pasti sebagai bukti bahwa Denda Cilinaya atau
Bibi Cili itu memang benar-benar hidup di Lombok Timur, Lombok Tengah, ataupun
Lombok Barat pada masa lampau.
Berbeda dengan di Lombok Utara yang memiliki
bukti autentik tentang keberadaan Denda Cilinaya pada masa lampau. Bukti
keberadaan Denda Cilinaya di Lombok Utara adalah adanya makam Denda Cilinaya
atau Bibi Cili di Desa Anyar Kecamatan Bayan yang tepatnya berada di Bangket
Montong milik Raden Singanem yang sekaligus juru kunci dan mangku dari makam
tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pantai Labuhan Carik. Makam Bibi Cili
terletak sekitar 350 meter kearah timur dari tepi pantai Labuhan Carik, makam
ini merupakan suatu bukti yang autentik mengenai keberadaan Denda Cilinaya pada
masa silam.
Makam Bibi Cili berada di
daerah persawahan masyarakat Desa Anyar, makam ini berada lebih tinggi dari
pada daerah sekitarnya, oleh sebab itulah makam ini juga sering disebut dengan
makam Montong yang berarti
tinggi.
Ketinggian
tempat makam ini kurang lebih 40 meter dengan luas sekitar 6 x 4 meter dengan
bentuk semakin ke atas semakin lancip, layaknya sebuah anak bukit.
Di sebelah barat makam terdapat sebatang pohon beringin tua yang
usianya diperkirakan sekitar ratusan tahun, di sebelah timur makam terdapat
pohon mengkasar yang usianya juga diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun, di
sebelah selatan makam terhampar sawah dan sekitar 50 meter kearah tenggara
makam juga terdapat sebuah makam patih Jero Tuek yang membunuh Cilinaya dan di
sebelah utaranya juga terdapat persawahan dan pantai.
Mangku
Montong Makam Dende Cilinaya,R.Singanem
Sekitar 50 meter ke arah selatan terdapat
sumur yang disebut dengan nama Sumur Tada yang konom
sumur tesebut adalah tempat Raden Mas Panji mengambil air minum saat berburu
bersama maha patih yang mengawalnya dan dari sanalah Raden Mas Panji pertama
kali melihat Denda Cilinaya.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Anyar
Sukarsah, mengatakan bahwa: “…Pada zaman dahulu di gumi Bayan ini pernah
terjadi suatu pristiwa besar, yaitu dibunuhnya Denda Cilinaya oleh patih yang
diutus oleh Datu Keling. Pembunuhan tersebut
terjadi di sekitar Tanjung Poros Mua yang sekarang disebut dengan Tanjung Menangis,
yang letaknya di sekitar pantai Labuhan Carik.
Pada masa itu bumi Bayan ini masih berupa
hutan belantara, namun sebagai pengingat peristiwa itu di pinggir pantai masih
terdapat Pohon Ketapang dan tidak jauh dari sana terdapat Memontong (dataran tinggi) yang di atasnya terdapat
Makam Denda Cilinaya.
Pada bagian sebelah selatan terdapat Sumur Tada yang merupakan sumur tempat Raden Mas Panji
mengambil air minum pada saat ia berburu bersama tiga orang patih yang
mengawalnya, patih itu adalah Raden Gerude, Raden Tokok dan Raden Semar.
“Dari sumur itulah Raden Panji pertama kali
melihat Denda Cilinaya, sehingga ia jatuh cinta dan akhirnya ia mumutuskan
untuk tinggal di rumah pengasuh Denda Cilinaya,”cerita Sukarsah.
Berbicara mengenai cerita rakyat Denda
Cilinaya atau yang disebut juga dengan Bibi Cili, maka kita harus membahas
siapa sebenarnya Denda Cilinaya dan dari mana asal usul sehingga makamnya
terdapat di Memontong.
Di daerah Bayan memang terdapat sebuah lontar
yang menceritakan asal usul Denda Cilinaya, namun lontar tersebut hingga
sekarang masih disimpan di Bencingah Agung Bayan Timur dan orang yang boleh
membacanyapun memiliki keturunan tersendiri.
Keturunan yang boleh membuka dan membaca
lontar tersebut adalah keturunan dari Pemangku Mandalika yaitu
keturunan dari orang yang memelihara Makam Denda Cilinaya. Oleh karena itu
penulis mencari keterangan dari Pemangku Mandalika terkait
dengan asal muasal Denda Cilinaya dan makamnya.
Setelah mencari informasi dari para tokoh adat
dan tokoh masyarakat Anyar, maka penulis mendapatkan informasi bahwa yang
mengetahui tentang asal muasal Makam Bibi Cili adalah keturunan dari Pemangku Mandalika atau disebut juga dengan Amaq Lokaq Mandalika.
Berikut ini penulis sajikan cerita Denda
Cilinaya yang merupakan hasil wawancara dengan Amak
Lokak Mandalika, yang juga juru kunci sekaligus Mangku Makam Denda Cilinaya
(Raden Singanem), secara runtut sesuai dengan apa yang tertera di
dalam Lontar Cilinaya.
Konon, menurut Mangku Raden Singanem, pada
zaman dahulu sekitar Bayan Beleq sekarang ini, yaitu pada abad ke 8 M di bumi
Bayan berkembang dua buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan
Keling. Posisi persisnya, katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet timur
Orong dan Kerajaan Keling berada di wet barat Orong.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu
Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya
dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup
merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai
putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.
Konon kedua orang raja ini sulit sekali
memiliki keturunan, sehingga pada suatu hari mereka berdua berencana untuk
pergi bertapa di Montong Kayangan, dengan
tujuan keduanya ingin meminta atau bertafakur di sana supaya Sang Hiyang
Tunggal memberi mereka berdua keturunan.
Keesokan harinya mereka berdua pergi bertapa,
dalam pertapaannya Datu Keling memohon kepada Sanghiyang Tunggal supaya ia
mendapatkan anak laki-laki, sedangkan Datu Daha memohon supaya ia mendapatkan
seoramg anak perempuan.
Datu Keling berjanji jika kelak ia
mendapatkan anak laki-laki maka ia akan kembali ke Montong
Kayangan untuk membayar Kaul atau nazar berupa
sirih pinang dan sesajen secukupnya. Pada kesempatan yang sama Datu Daha juga
berjanji, kelak jika ia benar-bernar mendapatkan anak perempuan, maka ia akan
kembali ke Montong Kayangan untuk membayar Kaul dengan membawa pinang sirih, sesajen
selengkapnya, ia juga berjanji akan membawa seekor kerbau bertanduk emas,
berkuku permata, berekor sutra, dan permadani.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu,
bulan berganti bulan, dikisahkan istri Datu Daha dan Datu Keling pun hamil,
kemudian mereka melahirkan. Istri Datu Keling melahirkan anak Laki-laki yang
diberi nama Raden Mas Panji. Begitu juga dengan istri Datu Daha beberapa minggu
kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Tidak diceritakan dalam lontar
Cilinaya itu siapa nama anak dari Datu Daha yang baru lahir itu.
Begitu
anaknya lahir, Konon Datu Keling langsung pergi untuk membayar nazarnya ke
Montong Kayangan dengan membawa apa yang diucapkan pada saat melakukan
permohonan ketika melakukan tapa bratanya. Berbeda dengan Datu Daha, ia lupa
akan apa yang pernah diucapkannya saat beliau bertapa untuk meminta anak
perempuan itu. Diceritakan Datu Daha sangat bahagia dengan kehadiran putrinya,
sehingga dengan kebahagiaan tersebut, beliau terlena dan lupa untuk membayar
janjinya ke Montong Kayangan.
Dikisahkan pada saat putri Datu Daha berusia
sekitar tiga tahun, anak tersebut hilang tanpa jejak, ia hilang saat bermain di
halaman istana kerajaan. Konon anak perempuan tersebut dibawa oleh angin dan
pada akhirnya putri tersebut terdampar di kebun milik Inaq Bangkol dan Amaq
Bangkol.
Tidak lama berselang semenjak putri tersebut
terdampar, Inaq Bangkol yang sedang mencari pakis mendengar suara tangisan dari
semak-semak belukar di kebunnya, mendengar suara bayi tersebut Inaq Bangkol
terkejut, lalu mencari dari mana terdengarnya tangisan bayi tersebut, setelah
beberapa lama mencari di semak-semak belukar yang dicurigainya, maka Inaq
Bangkol pun menemukan seorang anak kecil mungil di tengah-tengah semak belukar
yang tidak jauh dari sumurnya yang nantinya di sebut Sumur Tada itu.
Melihat anak mungil tersebut, Inaq Bangkol terkejut
dan belum berani mengambilnya, maka Inaq Bangkol segera memanggil suaminya Amaq
Bangkol. Setelah mereka berunding maka Inaq Bangkol langsung mengangkat dan
menggendong anak tersebut, selanjutnya mereka bawa ke dalam rumah.
Sesampainya di rumah mereka (Inaq Bangkol dan
Amaq Bangkol) berunding untuk memberikan anak tersebut nama. Pada saat itu Amaq
Bangkol langsung mengusulkan supaya anak itu diberi nama Cilinaya, di mana Cili
berarti kecil mungil dan Naya berarti Cantik Jelita. Setelah itu maka anak tersebut
dipanggil dengan nama Cilinaya, mereka mengasuh dan membesarkan anak tersebut
dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya sebagai anak mereka sendiri. Hingga
Denda Cilinaya berusia kurang lebih 25 tahun.
Sementara itu di kerajaan Keling, Raden Mas
Panji (Putra Datu Keling) juga sudah dewasa, ia juga berumur 25 tahun sama
dengan Denda Cilinaya. pada suatu hari Raden Mas Panji tiba-tiba berniat untuk
pergi berburu ke Pawang Bening (hutan belantara).
Lalu Raden Mas Panji meminta izin kepada ayahandanya (Datu Keling). Datu Keling
memberi izin kepada putranya untuk pergi berburu dengan dikawal oleh tiga orang
patih, yaitu Raden Gerude, Raden Tokok, dan Raden Semar.
Keesokan harinya mereka berempat berangkat
dengan membawa bekal dan alat-alat untuk melakukan perburuan di hutan
belantara. Dalam perjalannaya mencari hewan buruan mereka terus menyusuri hutan
belantara. Semenatara haru sudah mau beranjak sore, mereka belum menemukan
satupun hewan buruan, sedangkan persiapan air yang di bawa dari kerajaan sudah
habis. Karena merasa haus maka Raden Mas Panji mengajak ketiga pengawalnya
untuk mencari air minum sambil menusuri hutan belantara.
Dalam perjalanan mencari air minum mereka
mendengar suara Jajak yaitu suara orang menenun.
Mendengar suara tersebut mereka langsung mencari sumber suara, sebab mereka
yakin di tempat itu pasti terdapat sumur untuk mengambil air minum.
Tidak lama berselang, mereka menemukan rumah
Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol, sesampai di sana mereka disambut oleh Inaq
Bangkol dan merekapun langsung menyatakan keinginan mereka untuk meminta air
minum, setelah itu Inaq Bangkol memberikan Ceret (kendi) yang berisi
air kepada Raden Mas Panji dan merekapun minum untuk melepas dahaga yang mereka
rasakan sejak tadi siang.
Singkat cerita, mereka beristirahat dan
berbincang-bincang dengan Ianq Bangkol dan Amaq Bangkol. Raden Mas Panji
menanyakan tentang situasai dan kehidupan Inaq Bangkol dan suaminya. Saat
berbincang-bincang itu, tidak sengaja Raden Mas Panji melihat Denda Cilinaya
yang sedang menenun di dalam rumah, lalu dari sela-sela pagar yang bolong Raden
Mas Panji terus saja mengawasi Denda Cilinaya. Karena penasaran ingin melihat
Denda Cilinaya lebih jelas maka Raden Mas Panji terus saja duduk bersama Inaq
Bangkol dan Amaq Bangkol.
Sementara itu, ketiga patih yang mengawalnya
mengajak Raden Mas Panji untuk segera pulang ke isatana sebab hari sudah sore,
beberapa kali mereka mengajak Raden Mas Panji untuk pulang, namun Raden Mas
Panji tidak bergeming dari tempat duduknya. Akhirnya ke tiga orang patih itu
memutuskan untuk pulang dan Raden Mas Panji memutuskan untuk tinggal bersama
Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol digubuk yang sederhana itu.
Sesampainya di istana, ketiga patih tersebut
langsung melaporkan keberadaan Raden Mas Panji yang tidak mau diajak pulang dan
memutuskan untuk tinggal bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol di gubuk yang
sederhana di tengah hutan.
Mendengar laporan tersebut Datu Keling sangat
murka, sebab putra mahkotanya lebih memilih tinggal di rumah orang miskin
karena jatuh cinta kepada anak dari orang kebanyakan tersebut. Ia merasa
putranya tidak layak untuk tinggal dan menjalin cinta kasih bersama anak orang
miskin seperti Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol sebagaimana yang diceritakan oleh
ketiga patih tersebut.
Sementara itu Raden Mas Panji yang berada di
gubuq Inaq Bangkol semakin terpikat dengan kecantikan Denda Cilinaya, akhirnya
mereka menjalin cinta kasih. Setelah kurang lebih 6 tahun tinggal di sana,
Raden Mas Panji memutuskan untuk menikah dengan Denda Cilinaya. dari hasil
pernikahan tersebut mereka mendapatkan seorang putra yang sangat mungil, yang
kelak dikenal dengan nama Raden Megatsih. Mereka hidup dengan bahagia meskipun
dalam keadaan yang sangat sederhana.
Ketika anak mereka bisa merangkak (kurang
lebih 6 bulan), Datu Keling mendengar kabar bahwa putranya menikah dengan anak
Amaq bangkol, mendengar kabar tersebut Datu Keling semakin murka sebab Raden
Mas Panji sudah mau tujuh tahun tidak pernah pulang ke istana. Akhirnya Datu
Keling mengutus dua orang maha patihnya Raden Adipati dan Raden Tokok, yang
juga lebih dikenal dengan sebutan patih Jero Tuek, untuk mengajak Raden Mas
Panji pulang dengan siasat bahwa Datu Keling sedang sakit keras, dan setelah
itu mereka akan membunuh istri Raden Mas Panji.
Sesampainya di gubuq Inaq Bangkol, kedua maha
patih tersebut menjelaskan tujuan kedatangan mereka kepada Raden Mas Panji
bahwa mereka diutus oleh Datu Keling untuk menyampaikan kabar bahwa Datu Keling
sedang dalam keadaan sakit keras dan Raden Mas Panji harus mencarikannya obat
yaitu hati menjangan putih. Itulah siasat mereka supaya Raden Mas Panji mau
meninggalkan istrinya.
Mendengar hal tersebut, Raden Mas Panji
berunding dengan istrinya Denda Cilinaya. Raden Mas Panji menceritakan maksud
kedatangan kedua patih itu kepada Denda Cilinaya, mendengar penjelasan itu
Denda Cilinaya langsung memiliki pirasat tidak baik terhadap kedatangan kedua
orang patih tersebut, namun ia tidak berani mengatakannya kepada suaminya.
Sebelum Raden Mas Panji berangkat untuk
mencari hati menjangan putih, Denda Cilinaya meberinya sebuah cincin. Sewaktu
memberikan cicin tersebut Denda Cilinaya berkata,
“Kanda pakailah cincin ini, jika ditengah perjalanan mata cincin
ini gugur maka itu pertanda bahwa aku telah tiada dan jika mata cincin ini
tidak apa-apa maka itu berarti tidak terjadi apaun terhadap aku dan anak mu”.
Mendengar perkataan istrinya, Raden Mas Panji
curiga, namun kedua patih itu terus mendesaknya untuk segera pergi mencarikan
Datu Keling obat. Akhirnya Raden Mas Panji berangkat dengan membawa peralatan
untuk berburu. Sedangkan kedua patih juga pergi dari rumah Ianq bangkol, namun
mereka tidak langsung pulang ke istana, melainkan mereka bersembunyi, menunggu
Raden Mas Panji pergi jauh kemudian melaksanakan tugas mereka untuk membunuh
Denda Cilinaya.
Setelah kira-kira Raden Mas Panji berjalan
sekitar 1 Km, kedua patih itu kembali ke rumah Inaq Bangkol untuk membunuh
Denda Cilinaya. Sesampainya di sana, Adipati dan Tokok (Jero Tuek) menjelaskan
maksud kedatangannya kepada Denda Cilinaya, bahwa ia akan membunuh Denda
Cilinaya dan membumi hanguskan rumah Inaq Bangkol, sebab Denda Cilinaya yang
merupakan anak hina, anak dari orang miskin telah lancang menikah dengan putra
raja.
Mendengar penjelasan dari kedua patih
tersebut, Denda Cilinaya yang pada saat itu sedang menggendong putranya
berkata, “Kalau memang tujuan kalian akan membunuhku,
maka aku tidak bisa berbuat apa-apa, silahkan kalian lakukan”.Denda Cilinaya
berucap dengan logat dan bahasa Bayan yang pasih, “Mun
tetu aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi berbau amis,
kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit taik
sengeh,”(jika aku benar-benar anak orang miskin
dan kebanyakan seperti yang kalian katakan, maka biarlah darahku akan tertumpah
ke tanah dan berbau amis, sedangkan jika aku adalah keturunan dari seorang raja
atau anak orang mulia maka darahku akan muncrat ke atas dan berbau harum”.
Setelah perkataan Denda Cilinaya terebut
mereka dengarkan, mereka hanya tertawa terbahak-bahak dan Patih Tokok (Jero
Tuek) langsung menancapkan pedangnya di hulu hati Denda Cilinaya.
Konon darah Denda Cilinaya muncrat ke atas dan
membasahi daun ketapang yang berada di pinggir pantai tempat dilakukannya pembunuhan
tersebut, darahnya juga berbau harum. Setelah itu Denda Cilinaya jatuh terkapar
di bawah pohon ketapang tepatnya di pinggir pantai Labuhan Carik, sekitar 200
meter kearah timur laut dari makamnya sekarang, sedangkan putranya masih
memeluknya sambil menangis.
Tidak lama berselang angin badai pun datang
menerjang kedua patih tersebut. Di ceritakan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung
mati terkapar tidak jauh dari mayat Denda Cilinya, dan makamnya hingga sekarang
masih ada, tempatnya sekitar 50 meter kearah tenggara dari makam Cilinaya,
sedangkan Adipati bisa pulang sampai istana dengan keadaan yang mengenaskan.
Sesampai di istana Adipati melaporkan bahwa mereka telah berhasil membunuh
Denda Cilinya, setelah laporannya selesai, maka Adipati itupun mati bersimbah
darah di depan Datu Keling. Makamnya sekarang masih ada di Tempos Bayan
Beleq.Melihat hal tersebut Datu Keling heran dan merasa takut.
Makam
Patih Jero Tuek,Yang membunuh Cilinaya
Sementara itu, Raden Mas Panji yang sedang
berjalan menyusuri hutan untuk mencari menjangan putih mendapatkan pirasat,
cincin yang diberikan oleh istrinya Denda Cilinaya gugur. Melihat hal itu, ia
memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia pun langsung pulang, sesampai di rumah ia
melihat rumahnya sudah rata dengan tanah, ia langsung mencari istri dan anaknya
dan akhirnya Raden Mas Panji menemukan istrinya sudah terkapar di Memontong tepatnya di bawah pohon ketapang, pada saat
di temukan putranya sedang menyusu sambil mendekap tubuh ibunya yang sudah terkapar.
Melihat
hal itu, Raden Mas Panji sangat sedih, ia langsung mengambil putranya, lalu
membuatkan istrinya peti mati. Setelah peti mati itu jadi maka mayat Denda
Cilinaya dimasukkan dan kemudian diapungkan dan di hanyutkan di lautan, dimana
peti itu diikatkan di pohon beringin yang ada di Memontong
(tempat makam Cilinaya dikenal sekarang).
Diceritakan, tidak lama kemudian tali pengikat peti mati
tersebut putus dan akhirnya peti mati itu terapung dan dibawa arus entah
kemana. Pada saat itulah Raden Mas Panji memberi anaknya nama “Raden
Megatsih” yang artinya terputusnya tali kasih.
Selanjutnya untuk mengenang istrinya, Raden
Mas Panji membuatkan pertanda di Memontong, disana ia
membuatkan istrinya makam yang hingga sekarang dikenal dengan sebutan makam
Denda Cilinaya itu.
Dikisahkan, delapan tahun setelah kejadian itu
Datu Daha mengajak kaula balanya berekreasi ke pantai Labuhan Carik, pada saat
itu Raden Megatsih juga berusia delapan tahun. Sesampainya di pantai Datu Daha
berjalan-jalan di pinggir laut sambilm melihat-lihat keadaan lautan. Pada saat
itu Datu Daha melihat sebuah Tabla (peti mayat)
terapung dari kejauhan dan terus menuju ke pinggir lautan. Setelah peti mayat
berada sekitar beberapa meter dari pantai, Datu Daha langsung memerintahakan
rakyatnya untuk mengangkat peti mati tersebut dan membawanya ke luar dari
lautan. Namun tidak satupun dari mereka yang dapat mengeluarkan peti tersebut
dari lautan, akhirnya Datu Daha sendirilah yang langsung mengambilnya dan
barulah peti itu bisa dikeluarkan dari lautan.
Sesampainya di pantai, Datu Daha langsung
membuka peti mayat dan betapa terkejutnya Datu Daha saat melihat isi dari peti
mayat tersebut. Di dalam peti mayat itu Denda Cilinaya duduk tenang dalam
keadaan yang masih cantik jelita. Setelah itu Denda Cilinaya mengaku bahwa dirinya
adalah putri pertama dari Datu Daha, di sana Datu Daha sangat bersyukur sebab
anaknya yang sudah hilang puluhan tahun lamanya sekarang telah ia temukan.
Sebagai ungkapan rasa syukurnya kehadirat Yang
Maha Tunggal, maka Datu Daha pergi membayar nazarnya ke Montong Kayangan.
Setelah itu Datu Daha melakukan selamatan selama delapan hari delapan malam
yang disebut dengan Gawe Pelentungan.
Pada saat dilaksanakannya gawe Pelentungan
tersebut, Datu Daha mementaskan berbagai kesenian pada setiap malamnya, seperti
Gendang Beleq dan Perisean. Pada saat
pementasan kesenian tersebut, Raden Megatsih selalu menonton, melihat Raden
Megatsih yang selalu menonton tanpa dibarengi oleh kedua orang tuanya, maka
Datu Daha curiga dan menyelidiki siapa sebenarnya bocah tersebut. Setelah itu
beberapa orang punggawa kerajaan Daha diutus untuk mencari dan membawanya ke
istana.
Akhirnya Raden Megatsih ditemukan di Memontong (dimakam ibundanya) dan kemudian ia di bawa
ke istana Datu Daha, di sana Denda Cilinya langsung mengenali anaknya sebab di
jari tangan Raden Megatsih terdapat cincin yang diberikan olehnya. Akhirnya
Denda Cilinaya menyuruh punggawa kerajaan untuk menjemput Raden Mas Panji
supaya mereka bersama-sama tinggal di istana Datu Daha. Akhir cerita Denda
Cilinaya hidup bahagia bersama keluarganya di istana Kerajaan Daha.
Berdasarkan cerita lontar Cilinaya tersebut,
maka dapat di ketahui bahwa nama asli dari Bibi Cili adalah Denda Cilinaya yang
merupakan putri bungsu dari Datu Daha yang memimpin kerajaan Budha Daha pada sekitar
abad ke-VIII Masehi.
Namun nama Bibi Cili juga tidak kalah tenarnya
di kalangan masyarakat suku Sasak, tetapi jika
mendengar nama Bibi Cili maka yang dimaksud adalah Denda Cilinaya.
Mengenai asal usul nama Bibi Cili, memang
tidak terdapat lontar atau bukti-bukti
yang menjelaskan mengapa Denda Cilinaya di sebut dengan panggilan Bibi Cili.
Memang di dalam lontar Cilinaya disebutkan bahwa putri pertama Datu Daha
bernama Denda Cilinaya, tidak disebutkan ada
nama Bibi Cili. Namun dalam kalangan masyarakat ramai nama Bibi Cili
mungkin lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.
Menurut Raden Setia Wati, nama asli Bibi Cili
adalah Denda Cilinaya, sebagaimana yang diceritakan di dalam Lontar Cilinaya.Di
dalam lontar tersebut tidak terdapat atau tidak pernah disebutkan nama Bibi
Cili, tetapi dalam kalangan masyarakat Anyar,Bayan dan sekitarnya, nama Bibi
Cili lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.
“Namun dari cerita yang pernah kami dengar
dari para leluhur kami, nama Bibi Cili merupakan suatu penghormatan bagi Denda
Cilinaya. Konon keturunan Denda Cilinaya inilah yang berkembang menjadi
masyarakat Bayan dan sekitarnya hingga sekarang. Oleh sebab itulah kami di
Anyar ini lebih mengenal Denda Cilinaya dengan sebutan Bibi Cili, di mana Bibi
berarti Ibu atau nenek moyang dan Cili berarti kecil, oleh karena itu
sebenarnya nama Bibi Cili merupakan suatu penghargaan terhadap Denda
Cilinaya,”cerita Raden Setia Wati.
Dari keterangan di atas, maka dapat diketahui
bawa nama Bibi Cili merupakan suatu penghormatan kepada Denda Cilinaya, nama
Bibi Cili juga sebagai peringatan bahwa Denda Cilinaya adalah nenek moyang
masyarakat Bayan dan sekitarnya. Oleh sebab itulah ia disebut dengan nama Bibi
Cili yang berarti ibu atau nenek moyang yang cantik dan mungil.
Dari kisah yang telah terpapar di atas juga
dapat kita ketahui bahwa Makam Bibi Cili yang bisa di lihat dan saksikan
sekarang ini merupakan suatu pertanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi
peristiwa besar, dimana Memontong (tempat Makam
Bibi Cili) merupakan tempat dibunuhnya Bibi Cili oleh Patih Tokok (Jero Tuek)
dan di sana juga merupakan tempat terakhir Raden Mas Panji melihat Bibi Cili
yang kemudian hanyut dibawa arus bersama peti mayatnya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa
Bibi Cili adalah seorang putri raja yang hidup sekitar abad ke-VIII Masehi,
dimana pada saat itu di bumi Bayan masih berkembang agama Budha.
Bibi Cili merupakan keturunan dari Datu Daha
yang pada saat itu adalah penganut agama Budha, sehingga kerajaannya dikenal
dengan sebutan Budha Daha dan saudaranya memimpin kerajaan Budha Keling.
Jadi
dari cerita rakyat Bayan ini tentang Bibi Cili itu, kita bisa banyak mengetahui
tentang keberadaan kerajaan Budha pada masa itu. Oleh karena itu cerita rakyat
Bibi Cili bisa dijadikan sebagai suatu acuan atau referensi mengenai keberadaan
atau perkembangan agama Budha di daerah Bayan masa itu. Keberadaan ini pula
yang memperkuat bahwa ada patung kepala di baon gontor Senaru. Patung kepala
ini mirip dengan patung Budha. Sehingga sisa peninggalan penduduknya hingga
sekarang ada dan berkembang di Torean Bayan, dusun Baru dan Lenek di Desa
Bentek Gangga serta Tebango di Desa Pemenang Barat Kecamatan Pemenang.
Terkait dengan mitos Makam Bibi Cili yang
keberadaannya hingga sekarang masih terpelihara dan lestari oleh keturunannya
itu, dapat diketahui adalah karena terjadinya peristiwa pembunuhan Denda
Cilinaya oleh Patih Tokok (Jero Tuek) dan Adipati di pinggir pantai Labuhan
Carik tepatnya di Memontong. Di tempat
tersebut Raden Masa Panji membuatkan istrinya makam sebagai pertanda bahwa di
tempat itulah istrinya menghembuskan napas terakhir dan di tempat itulah
terakhir kali ia melihat istrinya.
“Jadi makam Bibi Cili ini bukanlah kuburan
melainkan sebuah tempat yang mengingatkan masyarakat bahwa di tempat tersebut
Denda Cilinaya hilang atau moksa,”jelas Raden Setiawati.
Makam Cilinaya dilihat dari arah timur
Untuk
itu perlu dipahami bahwa makam adalah suatu tempat yang pernah disinggahi oleh
orang-orang yang dianggap memiliki karomah, kemudian tempat tersebut dibuatkan
sebuah bangunan berupa kuburan sebagai pertanda bahwa tempat itu pernah
dikunjungi atau pernah dijadikan sebagai tempat istirahat atau tempat terakhir
orang melihat tokoh yang dikaromahkan. Sebagaimana juga tentang keberadaan
beberapa makam yang dianggap memiliki karomah lainnya,seperti makam Sesait di
Bayan,makam mas penghulu, makam kubur beleq di Sesait,makam sayid budiman,makam
titi sama guna dan lain sebagainya.
Makam Bibi Cili yang ada di Bangket Memontong Desa Anyar itu bukanlah kuburan yang
berisi mayat atau jasad Bibi Cili atau Cilinaya, melainkan hanya sekedar
gundukan tanah yang dibuat seperti kuburan sebagai pertanda bahwa di tempat itu
pernah terjadi peristiwa pembunuhan Bibi Cili dan ditempat itu pula sosok Bibi
Cili hilang dibawa oleh arus bersama Tabla yang dibuatkan oleh
suaminya Raden Mas Panji putra Datu Keling. Jadi, Makam Bibi Cili bukanlah
sebuah kuburan, namun makam tersebut sangat dikeramatkan oleh warga Desa Anyar
dan sekitarnya sebab menurut kepercayaan mereka,
Makam Bibi Cili menyimpan nilai mistis yang tinggi.(net).
J.
GUNUNG KAYANGAN MINIATUR BOROBUDUR LOMBOK UTARA
Kabupaten Lombok Utara (KLU) dengan semboyan
Tioq Tata Tunaq banyak memiliki tradisi lama yang masih kuat dipegang
masyarakat penganutnya hingga saat ini.
Montong
Gedeng yang kerap dijadikan sebagai lokasi tujuan pelaksanaan ritual adat oleh
masyarakat penganutnya pada jaman dulu, kini keadaannya banyak ditumbuhi
tanaman liar yang mengering. Meski sekilas tak ada yang tampak istimewa,
keberadaannya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah di timur bumi Tioq Tata
Tunaq.
Nilai-nilai peninggalan nenek moyang
berupa ritual adat masih berpengaruh kuat sebagai pola hidup
masyarakatnya.Seperti ritual buka tanah sebelum mulai membuka areal untuk pola
tanam. Ritual adat ini diwariskan nenek moyang masyarakat wet (gontoran) Sesait Kecamatan Kayangan
Kabupaten Lombok Utara.
Sebelum
memulai pola tanam masyarakat wet (gontoran) Sesait selalu menggelar perayaan adat yang jatuh
pada tiap bulan lima setiap tahun. Perayaan rutin ini diperingati secara
turun-temurun oleh masyarakat adat wet (gontoran) Sesait dan dikenal
dengan Perayaan Adat Taiq Daya dan Taiq Lauq.
Taiq
Daya dilakukan masyarakat komunitas adat Santong Asli. Prosesi ritualnya
dilakukan dengan naik ke Bale Penginjakan di Pawang Semboya yang terletak di
lereng utara gunung Rinjani. Waktu pelaksanaannya setelah pagelaran ritual Taiq
Lauq. Sementara Taiq Lauq dilaksanakan mengenang sejarah nenek moyang
masyarakat adat Sesait yang kala itu naik ke Montong Gedeng untuk melaksanakan
ritualnya. Montong Gedeng itu sendiri tidak lain adalah Gunung Kayangan saat
ini, terletak sekitar 200 meter ke arah timur
Kampung Cangkring Dusun Sidutan Desa Kayangan Kecamatan Kayangan
Kabupaten Lombok Utara.
Menurut
tokoh adat Wet Sesait, Djekat, menuturkan berdasarkan sejarah perayaan adat
Taeq Daya maupun Taeq Lauq, asal-muasal perayaan ini berawal dari kebiasaan
orang tua Sesait lama yang dikenal dengan sebutan Tau Lokaq Empat, yang terdiri
dari Penghulu, Pemusungan, Mangkubumi, dan Jintaka.
Dikatakan, kebiasaan para sesepuh
Sesait lama kala itu, sebelum melaksanakan suatu kegiatan yang berlaku
menyeluruh bagi masyarakatnya, mereka selalu menggelar sangkep atau musyawarah
di Bale Adat yang berada di lereng selatan Montong Gedeng. Hal-hal yang
biasanya dibicarakan adalah terkait waktu dimulainya membuka tanah dan waktu
dimulainya musim pola tanam. Itulah sebabnya, sebut Djekat, warga Sesait lama
tidak akan berani memulai pelaksanaan pola tanam sebelum Tau Lokaq Empat
selesai menggelar rapat tersebut. Pasalnya, mereka patuh dan taat pada aturan
adat yang diwariskan secara turun-temurun. “Jadi, orang Sesait lama sejak jaman
dulu sudah mengenal yang namanya aturan pola tanam,” kata Djekat.
Djekat
menyebut, kegiatan ritual adat yang digelar, Minggu (14/09) lalu adalah sebagai
bentuk revitalisasi ritual adat yang memang pernah dilakukan oleh masyarakat
Sesait lama pada jamannya. Namun semenjak tahun 1968 ritual adat ini hilang
atau praktis tidak dilakukan oleh warga. Pasalnya, pada saat itu terjadi perombakan ajaran Islam dari wettu
telu ke ajaran Islam waktu lima. Karena pada saat itu penduduk Sesait lama dan
sekitarnya masih menganut Islam Wettu Telu. “Jadi sudah 46 tahun silam ritual
Taiq Lauq tersebut tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sesait lama,”jelasnya.
Pada zaman dahulu dibawah tahun 1965, Montong
Gedeng atau gunung Khayangan ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut
acara pemujaan kepada para Dewa yang bersemayam di tempat itu. Menurut
kepercayaan masyarakat Sesait Lama, bahwa di gunung Khayangan tersebut di
yakini sebagai tempat petilasan Panji Mas Kolo. Itulah sebabnya, setiap tahun
sebelum tahun 1965 kebawah, tempat itu ramai di kunjungi oleh masyarakat
penganutnya untuk Ngaturang Ulak Kaya.
Pada saat acara Ngaturang Ulak Kaya
(terkenal dengan sebutan “Taeq Lauq”)
itu, masyarakat penganutnya membawa makanan, sesaji dan Praja Taeq Lauq
(para gadis yang di rias layaknya pengantin) sambil membunyikan tabuh-tabuhan
atau kesenian tradisional rakyat yang jumlahnya tidak kurang dari 10 hingga 15
grup.
Praktis sejak tahun 1966 acara
pemujaan di Gunung Khayangan itu sudah tidak kedengaran lagi, tinggal Gunung
Khyangan yang masih tetap utuh tegak berdiri yang merupakan peninggalan
bersejarah bagi Desa Kayangan, sehingga namanya diabadikan sebagai lambang dan
nama Desa Kayangan saat ini.
Sehingga perayaan adat yang dilakukan
masyarakat Sesait Kayangan minggu lalu untuk mengajak masyarakat setempat
merevitalisasi kembali ritual adat yang sejak puluhan tahun silam tidak pernah
lagi dilakukan oleh masyarakat penganutnya (Sesait lama). “Setidak-tidaknya itu
sebagai bentuk upaya generasi penerus untuk
menghargai apa yang telah dan pernah dilakukan oleh nenek moyang
masyarakat Sesait lama pada jamannya dulu. Spirit atau semangatnya itulah yang
perlu kita revitalisasi oleh kita sebagai generasi penerusnya,”tandas Djekat.
Sebagai destinasi daerah tujuan
wisata, maka Montong Gedeng yang dikenal sebagai Gunung Kayangan saat ini,
kedepannya akan ditata dan dibangun menyerupai sebuah candi yang mirip dengan
Candi Borobudur di Jawa Tengah. Sehingga tidak heran, oleh sosok tokoh adat
Sesait yang juga politisi di DPRD KLU ini memiliki impian besar agar Montong Gedeng (Gunung Kayangan)
tersebut, bisa kembali diangkat. Djekat pun berhajat ingin menata Montong
Gedeng agar ke depannya lebih menarik dan sangat potensial untuk dikembangkan.
”Saya menganggap dan berkeinginan besar agar kedepannya kawasan
Montong Gedeng ini dapat dijadikan sebagai Miniatur Borobudurnya Kabupaten Lombok Utara.
Karena memiliki nilai historis yang tinggi, khususnya bagi warga Kayangan dan
sekitarnya,” tandas Djekat.
BAB VIII
MISTERI
GUNUNG RINJANI
A. MITOS DEWI ANJANI
DEWI ANJANI, walau resminya adalah putri
sulung Begawan Gotama dari pertapaan Gratina, di Gunung Sukendra, ayah yang
sebenarnya adalah Batara Surya. Ibunya seorang bidadari bernama Dewi Indradi
atau Dewi Windradi. Adiknya dua, laki-laki semua. Namanya Subali alias Guwarsi,
dan Sugriwa alias Guwarsa. Keduanya sesungguhnya juga anak Batara Surya. Karena
peristiwa Cupumanik Astagina, Dewi Anjani yang semula seorang gadis cantik
berubah menjadi wanita berwajah kera. Peristiwanya adalah sebagai berikut:
Suatu hari Dewi Anjani memergoki
ibunya sedang bermain-main dengan Cupumanik Astagina, yakni sebuah alat yang
berkhasiat untuk melihat menikmati keindahan alam dunia. Dewi Anjani
menyaksikan, betapa ibunya asyik dengan Cupu Manik Astagina, yang dikiranya
alat permainan itu. Waktu Anjani meminta mainan itu, ibunya terpaksa
memberikannya karena takut putrinya itu akan mengadukan soal adanya Cupumanik
Astagina pada Begawan Gotama, suaminya. Dewi Indradi wanti-wanti berpesan agar
Dewi Anjani menyembunyikan dan senantiasa merahasiakan alat permainan itu.
"Jangan sampai ada orang yang
mengetahui adanya alat permainan itu", kata Dewi Indradi.
Namun Dewi Anjani ternyata tidak
mematuhi pesan ibunya. la justru memamerkan Cupumanik Astagina pada kedua
adiknya. Segera terjadilah keributan di antara mereka. Ketiga bersaudara itu
saling memperebutkan Cupumanik Astagina.
Keributan karena pertengkaran itu
akhirnya mengganggu Begawan Gotama yang sedang samadi. Ia mendatangi ketiga
anaknya dan melihat apa yang mereka perebutkan. Betapa terkejutnya Begawan
Gotama ketika tabu bahwa yang diperebutkan anak-anaknya adalah Cupumanik
Astagina, yang diketahuinya sebagai milik Batara Surya. Dewi Indradi pun segera
dipanggil dan ditanya mengenai asal usul Cupumanik Astagina. Karena takut, Dewi
Indradi bungkam, tak berani menjawab. Begawan Gotama marah dan cupu itu
dilemparkannya jauh-jauh. Kepada ketiga anaknya is berkata, siapa yang dapat
menemukan cupu itu, maka ia boleh memilikinya.
Kepada Dewi Indradi yang diam saja
waktu ditanya, ia pun berkata: "Ditanya kok diam saja, seperti tugu
..." Kesaktian Begawan Gotama menyebabkan kata-katanya bertuah, dan
seketika itu juga Dewi Indradi berubah ujud menjadi tugu.
Cupumanik Astagina yang dilemparkan
Begawan Gotama jatuh di Telaga Mandirda (di pewayangan disebut Telaga Sumala,
"mala" artinya cacat, penyakit, dosa, atau kesalahan; "su"
berarti banyak atau sangat, sedangkan Telaga Nirmala artinya bebas dari
penyakit, karena "nir" berarti bebas atau tidak terkena). Guwarsa dan
Guwarsi yang larinya lebih cepat dibandingkan Dewi Anjani, sampai ke telaga itu
lebih dahulu. Kedua kakak beradik itu segera terjun dan menyelam ke dalam air
telaga mencari Cupumanik Astagina. Dewi Anjani yang datang lebih lambat, sampai
ke telaga itu dalam keadaan lelah. la segera membungkuk dan mencuci muka dengan
air telaga itu untuk menghilangkan lelahnya. Sementara itu, dua orang pengasuh
Guwarsa dan Guwarsi yaitu Menda dan Jembawan, berlarian pula mengikuti anak
asuhannya. Mereka pun ikut terjun ke telaga.
Terjadilah keajaiban. Begitu muncul
kembali ke permukaan telaga, Sugriwa dan Subali (atau Guwarsa dan Guwarsi)
telah berubah ujud menjadi kera. Sedangkan Dewi Anjani, hanya wajahnya saja
yang berubah ujud menjadi kera, tetapi tubuhnya tetap manusia biasa. Wajah
keranya, tidak mengurangi keindahan tubuh Dewi Anjani yang masih remaja itu.
Menda dan Jembawan, yang juga berubah ujud menjadi kera, selanjutnya disebut
Kapi Menda dan Kapi Jembawan. Kapi berarti kera.
Ketiga anak Begawan Gotama menyesal
sekali atas kejadian yang mereka alarm itu. Mereka lalu kembali ke pertapaan.
Begawan Gotama menyarankan agar anak-anaknya mau menerima takdir. Selain itu ia
juga mengganti nama mereka. Guwarsa diganti namanya menjadi Subali, sedangkan
Guwarsi menjadi Sugriwa. Keduanya lalu disuruh pergi ke tengah hutan untuk
bertapa.
Dewi Anjani pun melakukan hal yang
serupa. la bertapa nyantoka, yaitu bertelanjang, membenamkan tubuhnya, hanya
kepalanya saja yang menyembul di permukaan air Telaga Nirmala selama
berbulan-bulan. Selama bertapa itu Dewi Anjani hanya memakan apa saja yang
hanyut di permukaan air telaga itu.
Pada suatu ketika, Batara Guru sedang
melayang di angkasa mengendarai Lembu Andini. Saat itulah pemuka dewa itu
melihat seorang wanita tanpa busana berendam di Telaga Nirmala. Timbul birahi
Batara Guru menyaksikan keindahan tubuh wanita itu sehingga jatuhlah kama benih
(mani)nya menimpa setangkai daun asam muda, yang dalam bahasa Jawa disebut
sinom. Daun yang telah ternoda kama benih itu hanyut ke arah Dewi Anjani, yang
segera meraih dan memakannya. Betapa sedihnya Anjani ketika ia menyadari
tiba-tiba dirinya hamil, padahal merasa belum pernah tersentuh pria. Maka ia
pun protes kepada para dewa. Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang
nenemuinya, memberi penjelasan mengenai apa yang telah terjadi. Batara Guru
juga menyatakan bersedia mengaku, bahwa janin yang dikandung Dewi Anjani adalah
anaknya.
Ketika datang waktunya bersalin,
timbul huru hara dunia. Gunung meletus, banjir mengganas dan badai terjadi di
mana-mana. Setelah mengetahui penyebab bencana itu, Batara Guru mengutus
beberapa orang bidadari menolong Dewi Anjani. Setelah lahir, anak Dewi Anjani
itu diberi nama Anoman, berupa seekor kera berbulu putih mulus. Selanjutnya
Dewi Anjani diperkenankan masuk ke kahyangan dan kembali pada ujudnya semula,
seorang wanita cantik. Anaknya pun dibesarkan dan dididik di kahyangan. Kelak,
anak yang dilahirkan Anjani itu akan menjadi ksatria perkasa yang berumur
panjang, walaupun ia berujud kera. (Artikel ini diambil dari berbagai sumber).
B. BEBERAPA MITOS SEKITAR GUNUNG RINJANI
1.
Gunung Rinjani
Menurut
kepercayaan masyarakat Sasak merupakan singgasana Dewi Anjani yang merupakan
Ratu para Jin. Sebagian masyarakat lokal percaya bahwa Nama suku Sasak adalah
pemberian dari Dewi Anjani. Di Puncak gunung Rinjani diyakini oleh masyarakat
umum di lombok adalah Sebagai tempat bersemayamnya Raja Jin, penguasa Gunung
Rinjani bernama Dewi Anjani. dari puncah ke arah tenggara terdapat sebuah
lautan debu ( kaldera ) yang dinamakan Segara Muncar. pada saat saat tertentu,
dengan kasat mata dapat terlihat istana Ratu Jin. Pengikutnya merupakan
golongan Jin yang baik baik. alkisah Ratu Jin Dewi Anjani adalah seorang putri
Raja yang tidak di izinkan menikah dengan kekasih pilihannya. pada suatu tempat
mata air bernama Mandala sang Ratu Menghilang. ia berpindah tempat dari alam
nyata menuju alam gaib ( alam Jin ).
2. Danau Segara Anak.
Dari atas, danau segara
segara anak tampak luas meyerupai lautan. Dengan warna air yang mebiru, danau
ini bagaikan anak lautan, karena itulah disebut segara anak, danau segara anak menyimpan berbagai misteri dan kekuatan gaib,
itulah sebabnya manusia merasa betah tinggal lama di tempat ini. Disinilah
komunitas mahluk gaib yang disebut jin bermukim. Diyakini sekitar danau segara
anak di huni oleh komunitas bangsa jin yang sangat banyak, sebagai besar dari
mereka beragama islam. Keyakinan masyarakat, apabila Danau Segara ANak terlihat
luas menandakan bahwa umur orang yang melihat itu masih panjang. Sebaliknya
jika tampak sempit maka menandakan umur si pelihat pendek. Untuk itu agar tidak
menjadikan seseorang pesimis maka segera dilakukan bersih diri, artinya
bangkitkan semangat hidup dan harus berjiwa tenang. pandanglah kembali danau
sepuas puasnya. Pantangan ketika di sana, tidak boleh melakukan hubungan intim
suami istri, jangan mengeluh dan berkata kotor, harus tetap sabar dalam
menghadapi persoalan persoalan.
3.
Sandar
Nyawa / Bunga Abadi.
Jenis tanaman ini menurut kepercayaan terlarang di petik, karena
tanaman ini merupakan tanaman di dalam Taman Sari dari kerajaan Jin di alam
gaib. untuk memperoleh bunga ini masyarakat pada zaman dulu harus berani
mempertaruhkan nyawanya. itulah sebabnya bunga ini disebut bunga Sandar Nyawa.
bunga ini tak pernah layu, usianya sama dengan usia mahluk gaib.
4.
TNGR
Di Taman national Gunung Rinjani terdapat 3
goa yang terkenal yaitu Goa susu, goa payung dan goa manik, goa susu dapat di
jadikan media bercermin diri, sering di gunakan sebagai tempat bermeditasi.
orang-orang yang berhati kotor, dengki akan mendapat kesulitan untuk memasuki
goa susu. Lubangnya memang sempit namun sebaliknya, hanya orang-orang yang
berhati mulia, bersih lahir batinnya yang dapat memasukinya. dari dalam goa air
menetes dari ujung bebatuan yang meyerupai punting susu, itulah sebabnya di
sebut goa susu. Rasa air yang menetes dari setiap puting tersebut berbeda beda.
Di dalam goa susu terasa suhu yang panas dan berasap bagaikan asap kukusan
sehingga pelakuan dalam proses ini di sebut mengukus dan terkadang orang
menyebutnya rontgen, dan sangat bagus untuk menyembuhkan segala macam penyakit
di badan.
5.
Putri
Mandalika
Putri Nyale
(Putri Mandalika) dikisahkan adalah seorang putri cantik jelita yang dicintai
oleh rakyatnya. Seorang Putri yang rela berkorban demi rakyatnya. dikisahkan
bahwa adanya dua orang pangeran dari negeri yang bebeda ingin melamar putri
Mandalika. mereka menggunakan segala cara agar dapat memiliki sang putri
termasuk mengancam akan membuat kerajaan tersebut sengsara. Akan timbul bencana
bagi rakyatnya manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang
pangeran. "Wahai ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat
negeri Tojang Biru yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku
untuk kamu semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini
takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati
bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut".
Kira-kira seperti itulah kata-kata terakhir sang putri sebelum menceburkan diri
kelaut dan berubah menjadi nyale. Setiap tanggal duapuluh bulan kesepuluh dalam
penanggalan Sasak atau lima hari setelah bulan purnama, menjelang fajar di
pantai Seger Kabupaten Lombok Tengah selalu berlangsung acara menarik yang
dikunjungi banyak orang termasuk wisatawan. Acara yang menarik itu bernama Bau
Nyale. Bau dari bahasa Sasak artinya menangkap. Sedangkan Nyale, sejenis cacing
laut yang hidup di lubang - lubang batu karang di bawah permukaan laut.
Penduduk setempat mempercayai Nyale memiliki tuah yang dapat mendatangkan
kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat bagi orang yang meremehkannya.
6.
Air Awet
Muda Narmada
Air Awet Muda di Taman
Narmada dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai air yang dapat membuat orang
yang meminumnya awet muda. Memasuki gerbang masuk Taman Narmada yang
berarsitektur Hindu ini, mata Anda akan langsung disuguhi sebuah pemandangan
taman yang hijau dan asri. Taman Narmada terletak di Kabupaten Lombok Barat,
sekitar 10-15 kilometer sebelah timur Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Taman seluas dua hektare ini
dibangun pada 1727 oleh Raja Mataram Lombok Anak Agung Ngurah Karang Asem. Nama
Narmada sendiri diambil dari nama anak Sungai Gangga di India, yang bernama
Narmadanadi. Dalam kawasan Taman Narmada terdapat pancuran sembilan (siwak)
yang letaknya di atas Segara Anak. Bangunan ini termasuk bangunan sakral bagi
penganut Hindu Dharma maupun penganut Waktu Tilu.
Selain keindahan taman yang
tertata apik dan asri ini, daya tarik utama taman ini adalah terdapatnya sebuah
Balai Petirtaan yang sumber mataairnya berasal dari Gunung Rinjani. Balai
Petirtaan merupakan tempat pertemuan tiga sumber air, yakni Suranadi, Lingsar,
dan Narmada. Mata airnya yang berasal dari Gunung Rinjani sekaligus sebagai
tempat pertemuan tiga sumber mata air lainnya, air yang ada di Balai Petirtaan
dipercaya berkhasiat dapat menjadikan orang yang meminum dan membasuh mukanya
dengan air di situ akan awet muda. Sebelum mendapatkan air suci ini, pengunjung
harus mengikuti tatacara yang dipandu seorang juru kunci penjaga (kuncen )
dalam balai petirtaan. Bersama sang kuncen, pengunjung mengikuti ritual
pengambilan air. Sang kuncen kemudian meminta pengunjung berdoa menurut
keyakinan masing-masing. Setelah, melalui serangkaian ritual tersebut barulah
para pengunjung dapat menikmati dengan membasuh ke muka atau dengan meminumnya.
Perlu juga diketahui ada larangan bagi wanita yang sedang datang bulan dilarang
untuk masuk dalam balai petirtaan ini.
C. KISAH DEWI ANJANI
Pada satu masa di dekat negri Alengka (tempat para raksasa),
tersebutlah sebuah pertapaan yang disebut dengan Gunung Sukendra. Pertapaan itu
dihuni oleh Resi Gotama dan keluarganya. Resi Gotama adalah keturunan Bathara
Ismaya, putra Prabu Heriya dari Mahespati. Resi Gotama memiliki seorang kakak
bernama Prabu Kartawirya yang kelak akan menurunkan Prabu Arjunasasrabahu. Atas
jasa-jasa dan baktinya kepada para dewa, Resi Gotama dianugrahi seorang
bidadari kahyangan bernama Dewi Windradi. Dari hasil perkawinannya mereka
dikaruniai tiga orang anak Dewi Anjani, Guwarsa (Subali) dan GuwaResi
(Sugriwa).
Tahun berganti tahun, Dewi Windradi yang selalu dalam
kesepian karena bersuamikan seorang brahmana tua, akhirnya tergoda oleh panah
asmara Bhatara Surya (dewa Matahari). Terjadi saat sang dewi sering berjemur
telanjang mandi sinar matahari di pagi hari. Terjalinlah hubungan asmara secara
rahasia sedemikian rapih sehingga sampai bertahun-tahun tidak diketahui oleh
Resi Gotama, maupun oleh ketiga putranya yang sudah menginjak dewasa. Akibat
suatu kesalahan kecil yang dilakukan oleh Dewi Anjani, jalinan kasih yang sudah
berlangsung cukup lama itu, akhirnya terbongkar dan membawa akibat yang sangat buruk
bagi keluarga Resi Gotama.
Karena rasa cintanya yang begitu besar pada Dewi Anjani,
Dewi Windradi mengabaikan pesan Bhatara Surya, memberikan pusaka kedewataan
Cupumanik Astagina kepada Anjani. Padahal ketika memberikan Cupumanik Astagina
kepada Dewi Windradi, Bhatara Surya telah berwanti-wanti untuk jangan
sekah-kali benda kedewatan itu ditunjukkan apalagi diberikan orang lain, walau
itu putranya sendiri. Kalau pesan itu sampai terlanggar, sesuatu kejadian yang
tak diharapkan akan terjadi.
Cupumanik
Astagina adalah pusaka kadewatan yang menurut ketentuan dewata tidak boleh
dillhat atau dimiliki oleh manusia lumrah. Larangan ini disebabkan karena
Cupumanik Astagina disamping memiliki khasiat kesaktian yang luar biasa, juga
didalamnya mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam kesuragaan. Dengan
membuka Cupumanik Astagina, melalui mangkoknya kita akan dapat melihat dengan
nyata dan jelas gambaran surga yang serba polos, suci dan penuh kenikmatan.
Sedangkan dari tutupnya akan dapat dilihat dengan jelas seluruh kehidupan semua
makluk yang ada di jagad raya. Sedangkan khasiat kesaktian yang dimiliki
Cupumanik Astagina ialah dapat memenuhi semua apa yang diminta dan menjadi
keinginan pemiliknya. Bagi masyarakat hindu, cupu ini
merupakan suatu wadah berbentuk bundar berukuran kecil terbuat dari kayu atau
logam. Manik=permata, melambangkan sesuatu yang indah.
Asthagina=delapan macarn sifat yang harus dimiliki oleh
seorang brahmana:
1. daya sarwa buthesu (belas kasih kepada sekalian makluk),
2. ksatim (suka memaafkan, sabar),
3. anasunyah ( tidak kecewa atau menyesal),
4. saucam (suci lahir batin),
5. anayasah (tidak mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan.
Jawa; nyengka, ngaya),
6. manggalam (beritikad baik),
7.akarpanyah (tidak merasa miskin baik dalam hal batiniah
maupun lahiriah, begitu pula dalam hal
budi),
8. asprebah (tidak berkeinginan atau bahwa nafsu duniawi)]
Namun dorongan rasa cinta terhadap putri tunggaInya telah
melupakan pesan Bhatara Surya. Dewi Windradi memberikan Cupumanik Astagina
kepada Anjani, disertai pesan agar tidak menunjukkan benda tersebut baik kepada
ayahnya maupun kepada kedua adiknya.
Suatu kesalahan dilakukan oleh Anjani. Suatu hari ketika ia
akan mencoba kesaktian Cupumanik Astagina, kedua adiknya, Guwarsa dan Guwarsi
melihatnya. Terjadilah keributan diantara mereka, saling berebut Cupumanik
Astagina. Anjani menangis melapor pada ibunya, sementara Guwarsa dan Guwarsi
mengadu pada ayahnya. Bahkan secara emosi Guwarsa dan Guwarsi menuduh ayahnya,
Resi Gotama telah berbuat tidak adil dengan menganak emaskan Anjani. Suatu
tindakan yang menyimpang dari sifat seorang resi.
Tuduhan
kedua putranya membuat hati Resi Gotama sedih dan prihatin, sebab ia merasa
tidak pernah berbuat seperti itu. Segera ia memerintahkan Jembawan, pembantu
setianya untuk memanggil Dewi Anjani dan Dewi Windradi. Karena rasa takut dan
hormat kepada ayahnya, Dewi Anjani menyerahkan Cupumanik Astagina kepada
ayahnya. Anjani berterus terang, bahwaa benda itu pemberian dari ibunya.
Sementara Dewi Windradi bersikap diam membisu tidak berani berterus terang dari
mana ia mendapatkan benda kadewatan tersebut. Dewi Windradi seperti dihadapkan
pada buah simalakama. Berterus terang, akan memebongkar hubungan gelapnya
dengan Bhatara Surya. Bersikap diam, sama saja artinya dengan tidak menghormati
suaminya. Sikap membisu Dewi Windradi membuat Resi Gotama marah, dan
mengutuknya menjadi patung batu, yang dengan kesaktiannya, dilemparkannya
melayang, dan jatuh di taman Argasoka kerajaan Alengka disertai kutukan, kelak
akan memjelma kembali menjadi manusia setelah dihantamkan ke kepala raksasa.
Demi keadilan, Resi Gotama melemparkan Cupumanik Astagina ke
udara. Siapapun yang menemukan benda tersebut, dialah pemiliknya. Karena
dorongan nafsu, Dewi Anjani, GuwaResi Guwarsa dan Jembawan segera mengejar
benda kadewatan tersebut. Tetapi Cupumanik Astagina seolah-olah mempunyal
sayap. Sebentar saja telah melintas dibalik bukit. Cupu tersebut terbelah menjadi
dua bagian, jatuh ke tanah dan berubah wujud menjadi telaga. Bagian Cupu jatuh
di negara Ayodya menjadi Telaga Nirmala, sedangkan tutupnya jatuh di tengah
hutan menjadi telaga Sumala. Anjani, Guwarsi, Guwarsa dan Jembawan yang mengira
cupu jatuh kedalam telaga, langsung saja mendekati telaga dan meloncat masuk
kedalamnya. Suatu malapetaka terjadi, Guwarsa, Guwarsi dan Jembawan
masing-masing berubah wujud menjadi seekor manusia kera. Melihat ada seekor
kera dihadapannya, Guwarsa menyerang kera itu karena menganggap kera itu
menghalang-halangi perjalanannya.
Pertarungan tak pelak terjadi diantara mereka. Pertempuran seru dua saudara
yang sudah menjadi kera itu berlangsung seimbang. Keduanya saling cakar, saling pukul
untuk mengalahkan satu dengan lainnya. Sementara Jembawan yang memandang dari
kejauhan tampak heran melihat dua kera yang bertengkar namun segala tingkah
laku dan pengucapannya sama persis seperti junjungannya Guwarsa dan Guwarsi.
Dengan hati-hati Jembawan mendekat dan menyapa mereka. Merasa namanya dipanggil
mereka berhenti bertengkar. Barulah mereka sadar bahwa ketiganya telah berubah
wujud menjadi seekor kera. Dan merekapun saling berpelukan! menangisi kejadian yang
menimpa diri mereka.
Adapun Dewi Anjani yang berlari-lari
datang menyusul, karena merasa kepanasan, sesampainya di tepi telaga lalu
merendamkan kakinya serta membasuh mukanya, dan... wajah, tangan dan kakinya
berubah ujud menjadi wajah, tangan dan kaki kera. Setelah masing-masing
mengetahui adanya kutukan dahsyat yang menimpa mereka, dengan sedih dan ratap
tangis penyesalan, mereka kembali ke pertapaan.
Resi Gotama yang waskita dengan tenang
menerima kedatangan ketiga putranya yang telah berubah wujud menjadi
kera. Setelah memberi nasehat seperlunya, Resi Gotama menyuruh ketiga
putranya untuk pergi bertapa sebagai cara penebusan dosa dan memperoleh
anugerah Dewata.
Subali
'tapangalong' bergantungan di atas pepohonan seperti kalong (kelelawar besar)
layaknya. Sugriwa 'tapa ngidang' mengembara dalam hutan seperti kijang, sedang
Anjani 'tapa ngodhok' berendam di air seperti katak ulahnya di tepi telaga
Madirda. la tidak makan kalau tidak ada dedaunan atau apapun yang dapat dimakan
yang melayang jatuh di pangkuannya, dan untuk melepas rasa haus ia membasahi
mulutnya dengan air embun.
Beberapa tahun berialu, syahdan Batara Guru pada suatu waktu melanglang buana
dengan naik lembu Andininya. Ketika melewati telaga Madirda dilihatnya Anjani
bertapa berbadan kurus kering, timbul rasa belas kasihannya, maka dipetiknya
dedaunan sinom (daun muda pohon asam), dilemparkan ke arah telaga dan jatuh di
pangkuan Anjani. Anjanipun memakannya, dan ... iapun menjadi hamil karenanya.
Setelah tiba saatnya, bayi yang dikandungnya lahir dalam ujud kera berwarna
putih sekujur badannya. Bayi itu kemudian diberi nama Hanoman, mengacu kepada
daun sinom pemberian Batara Guru yang menyebabkan kehamilan Anjani. Dengan
demikian dituturkan bahwa Hanoman adalah putra Batara Guru dan Dewi
Anjani. (Diambil dari berbagai sumber.net)
BAB IX
HIKAYAT CUPAK GURANTANG
PUSAKA JATI SESAIT
A.
Hikayat Cupak Gurantang Pusaka Jati
Sesait, Kini Bangkit Kembali
Setelah 35
tahun terpuruk ditinggal pemeran utama Gurantangnya mengabdi sebagai TNI AD
pada awal dekade tahun 1980, kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati
Sesait yang sempat gulung tikar itu, kini bangkit kembali.
Kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait berdiri pada
tahun 1958 dengan para tokoh yang mempopulerkannya diantaranya, Sauban (Suling
dan Gurantang), A.Satar, A.Remait, A.Masi (Cupak), A.Ripen (Inaq
Bangkol),Supadi (Inaq Emban), A.Jeranjang, A.Kelas, A.Ris (A.Bangkol), Inak
Kinjep, Inaq Sengkor, Lintok, Inaq Canep, A.Asri, Jago,
Kredek dan Nasudin (Gurantang), Rekawi dan Rajip (Prabu Daha), A.Siradi
(Cupak), A.Lepak (Suling), Lentak, A,Israh (Raksasa), Napinah, Naskiah (putri),
Tayap, Kayanah (Mahapatih), A.Murni, Rentung (Panakawan).Sedangkan
pendukung lainnya yang tidak kalah penting keberadaannya diantaranya adalah Puk
Sardin, A.Aru, A.Mahlin, Jahip, A.Sumi,
A.Napinah dan Dauh.
Pada masa jayanya kesenian ini dengan di dukung oleh para tokoh
tersebut terus eksis, sehingga boleh di bilang tidak ada yang menandinginya,
yang walaupun ada beberapa Sanggar Seni sejenis lainnya yang se-zaman dengannya
bertebaran di lingkar utara gunung Rinjani kala itu.
Sejak kepergian pemeran utama Gurantangnya Nasudin merantau dan
bertugas sebagai Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di
perbatasan NTT dan Timor-Timur (kini Timor Leste) pada tahun 1980 silam, peran
utamanya di gantikan oleh adiknya Naskiah yang sebelumnya berperan sebagai
putri. Praktis ketenaran kesenian ini tetap bertahan hingga tahun 1985, setelah
peran Gurantang yang diperankan oleh Naskiah pindah mengikuti suaminya ke Bujak
Aik Mual Lombok Tengah.
Namun demikian, sewaktu-waktu di butuhkan bisa kembali lagi untuk
bergabung dan bermain bersama dengan para pemain yang lainnya. Hal inipun tidak
bertahan lama, karena orang tuanya (Sauban) sebagai tukang suling pulang
kerahmatullah pada tanggal 9 Januari 1991, sehingga praktis keberlangsungan
untuk tetap eksisnya di jajaran blantika kesenian tradisional yang ada di Dayan
Gunung kala itu seolah-olah kehilangan pamor, karena memang satu-satunya yang
menjadi andalan sebagai Gurantang pada masa itu adalah hanya kakak beradik
yaitu Nasudin dan Naskiah.
Pada perkembangan selanjutnya kendatipun tidak sepopuler pada masa
jayanya pada tahun 1970-an hingga 1980-an, keberadaannya tetap eksis hingga
tahun 1990-an, yang walaupun hanya
tampil sesaat, namun para tokoh yang terlibat di dalamnya terus mengadakan
pentas keliling pulau Lombok bagian utara menghadiri hajatan masyarakat yang mengundangnya
hingga tahun 1990-an.
Seiring
dengan berjalannya waktu, kesenian yang sempat populer di awal dekade tahun
1975-an itu, ditambah lagi dengan banyaknya para tokoh yang wafat sebagai
pendukung dari kesenian ini, maka mulailah ketenarannya memudar hingga
kembalinya sang pemeran utama Gurantangnya (Serka TNI AD Nasudin) dari rantauan
setelah bertugas selama 35 tahun di perbatasan NTT dan Timor-Timur (kini Negara
tetangga Timor Leste). Kembalinya pemeran Gurantang yang telah memasuki purna
tugas ini menambah semangat para sekaha yang telah lama menunggu. Kini kesenian
tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait telah bangkit kembali dan sudah
mulai eksis latihan setiap malam Kamis tiap minggu dan pentas setiap malam
minggu di Sekretariatnya Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait Kecamatan Kayangan
KLU.
Menurut budayawan Sesait Masidep,S.Pd sekaligus Ketua Sanggar ini
mengatakan bahwa ketokohan Cupak adalah sosok yang sangat rakus,banyak
akal,licik,perut buncit, wataknya buruk, suka mencuri dan berkhianat tapi
pandai bersandiwara penuh kepura-puraan. Jika berbicara manis dan memukau
sehingga banyak orang bersimpati kepadanya. Sedangkan Gurantang, lanjut
Masidep, adalah menggambarkan orang yang biasa saja, tidak ada yang menonjol
pada dirinya, karena memang dia tidak mau menonjolkan diri. Kata-katanya halus
dan jarang bicara. Disiplinya tinggi dan menjunjung kebenaran, ketulusan dalam
menjalankan tugas. Selain itu, Gurantang juga seorang yang pemaaf. Cerita ini
berakhir dengan pesan kuat, kebaikan atau kebaikan akan selalu menang melawan
keburukan atau kejahatan.
Untuk tetap lestarinya kesenian ini, Masidep berkeinginan agar kesenian
tradisional Cupak Gurantang ini tidak saja di kenal oleh masyarakat lokal, akan
tetapi juga bisa dikenal oleh masyarakat dunia dan eksis sepanjang masa. Karena
kesenian ini tumbuh dan berkembang dari masyarakat pecinta seni, sehingga
diharapkan akan mampu lebih dikenal dan tetap terpatri di dalam hati para
penggemarnya.
“Kami saat ini sedang menggarap film dokumenternya, sehingga nantinya
bagi masyarakat pecinta seni khususnya kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati
Sesait ini, bisa mengkoleksinya.Selain itu, film dokumenter Cupak Gurantang
yang di perankan oleh para tokoh yang memang pemainnya sejak dulu, akan di
arsipkan di Dikbudpora KLU, khususnya di bidang kebudayaan, ”jelas Masidep.
B.
Mengenal Pemeran Utama Gurantang
Pusaka Jati Sesait
Sejak berdirinya pada tahun 1958 silam,
kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait tidak terlepas dari
peran para tokoh legendaris pendirinya, seperti Sauban, Saharim, Yahep, Dahu,
Remait, Malon,Amak Kelas dan Puk Sardin.
Ketenaran kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait pada
zamannya itu, menjadikan kesenian tersebut lebih dikenal luas oleh masyarakat
seantero Dayan Gunung kala itu. Pada generasi pertama keberadaan kesenian yang
sempat membuat heboh masyarakat lokal pada zamannya itu, sebagai pemeran utama
Gurantangnya adalah Sauban. Sementara yang berperan sebagai Cupaknya adalah
Saharim dan Remait serta putrinya di perankan oleh Kilo. Ketenarannya pun
berakhir ketika posisi Gurantangnya di gantikan oleh putranya sendiri yaitu
Nasudin pada tahun 1975.
Praktis sejak Nasudin tampil sebagai pemeran Gurantang dan Naskiah
(adiknya) berperan sebagai putri, maka sejak saat itu ketenarannya pun kembali
memuncak hingga Nasudin sendiri meninggalkan kesenian yang sempat membesarkan
namanya itu, untuk mengabdi sebagai TNI AD di perbatasan NTT dan Timor Leste
pada tahun 1980.
Kepada penulis, Nasudin yang merupakan generasi ke tujuh dari Sauban
yang memerankan tokoh Gurantang kala itu mengatakan, dirinya tampil memerankan
tokoh Gurantang menggantikan ayahnya (Sauban) adalah karena orang tuanya
menginginkan adanya regenerasi.Ternyata keinginan dari orang tuanya pun
terwujud.Dengan tampilnya Nasudin sebagai pemeran Gurantang menggantikan posisi
orang tuanya, maka kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait kala itu semakin
tenar dan lebih di kenal dari kesenian sejenis yang pernah ada di KLU.
Dikatakan, ketenaran kesenian tradisional yang sempat jaya pada decade tahun 1980-an itu,
karena memang peran para tokoh pendukung saat itu sangat penting. Generasi
kedua, pemeran Gurantangnya Lainnya, Cupaknya Saharim dan putrinya Canep. Generasi ketiga, pemeran
Gurantangnya Nursep, Cupak (Remait, Siradi, Yahep, Malon) dan putrinya Kinjep.
Genrasi Keempat, pemeran gurantangnya Maharip, putrinya Senip. Sedangkan
Cupaknya tetap Yahep, Malon,Remait dan Siradi.Generasi Kelima, gurantangnya
Jago dan putrinya kredek,Cupaknya Remait,Siradi,Malon, Yahep.Kemudian generasi
keenam, gurantangnya Dugek dan putrinya Sidik, sedangkan Cupaknya
Siradi,Remait, Yahep.Generasi ketujuh, Gurantangnya Nasudin dan putrinya
Naskiah dan Cupaknya Remait,Yahep (A.Satar). Kemudian Generasi kedelapan, gurantangnya Naskiah,
putrinya Same, sedangkan Cupaknya Remait,Yahep, Malon.Pada geresai Sembilan,
Gurantangnya Murina dan putrinya Samina, sedangkan Cupaknya Remait, Yahep,
Pemeran utama Gurantang pada kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati
Sesait patut di banggakan. Karena dengan kembalinya ia ke kampung halamannya di
Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU setelah purna tugas
bulan Februari 2013 lalu, maka praktis kesenian yang sempat timbul tenggelam
selama 35 tahun selama ditinggalkannya itu, kini bangkit kembali.
Karena Nasudin bertekad dan berkeinginan agar kesenian yang pernah
membesarkan namanya itu kembali jaya sebagaimana pada masa dulunya. Lebih-lebih
para sekaha dan para pemain pendukungnya yang kini masih hidup antusias untuk
menghidupkan kembali kesenian ini. Sehingga sesuai dengan kesepakatan mereka
tetapkan jadual latihannya setiap malam Kamis dan pentasnya setiap malam Minggu
di sekretariatnya di Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait KLU.
“Film dokumenternya sudah dibuat, kini dalam tahap finishing.Masyarakat
yang ingin mengkoleksinya pun bisa memilikinya,”tandas Nasudin.
Film Cerita Cupak Gurantang
Pusaka Jati Sesait ini nantinya akan di arsipkan di bagian kebudayaan di
Dikbudpora KLU. Hal ini dilakukan agar kesenian tradisional tersebut tetap
lestari sepanjang masa.Disamping itu, Perhatian Pemerintah Daerah juga sangat diperlukan
terhadap tetap eksisnya keberlangsungan kesenian tradisional di daerah
ini.Tanpa dukungan dan peran serta Pemerintah Daerah melestarikan sejarah dan
nilai-nilai seni budaya lokal tentu semuanya itu hampa.
C.
Kiprah
Nasudin Membangkitkan Kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait
Di lingkungan masyarakat adat Sesait,
cerita Cupak Gurantang di kenal dengan sebutan Kayak. Cerita ini pun tidak
sembarang cerita, melainkan di sadur dari Kitab Takepan Lontar Kasmaran yang
hingga kini tersimpan di Kampu Sesait.
Menurut budayawan asal Sesait
Masidep,S.Pd mengatakan, sejak berdirinya pada bulan Agustus 1958 silam, para
tokoh penggagas sekaligus pemain seperti Sauban dan dibantu Malon, Remait,
Rekawi, Amaq Kelas, Gendek, Dranjang, Ripen,Amaq Musti, Amak Israh serta Amaq
Tami’in, keberadaan kesenian ini terus eksis. Selain itu, tokoh yang tidak
kalah penting ikut sebagai pendukung kesenian tersebut diantaranya Puk
Sardin,Puk Napinah,Puk Laku, Puk Sumenep,Puk Satar, Puk Saharim, Aca, Amaq Amaq
Lepak,Amaq Jamiah,Amaq Aru, Amaq Siradi dan lainnya.
Dikatakan, kesenian Cupak gurantang
Pusaka Jati Sesait yang kini mulai bangkit tersebut mengalami puncak kejayaan
pada masa yang pertama yaitu ketika Sauban berperan sebagai Gurantang dan Cupak
diperankan oleh Saharim dan putri diperankan oleh Kilo, yaitu dari sejak
berdirinya tahun 1958 hingga awal tahun 1970-an. Kemudian kesenian ini pun
mengalami puncak kejayaannya pada masa generasi kedua setelah Sauban yaitu pada
zamannya Nasudin sebagai Gurantang, Naskiah (adiknya) sebagai putri dan Amaq
Satar sebagai Cupak tahun 1972-1980-an. ”Kenapa kesenian ini mengalami puncak
kejayaannya berakhir hingga tahun 1980-an, karena Nasudin selaku pemeran utama
Gurantangnya kala itu mengabdi ke perbatasan NTT dan Timor Leste sebagai alat Negara
yaitu TNI AD,”jelas Masidep.
Namun diakui Masidep, ayah dari
Nasudin yang dulunya berperan sebagai Gurantang dan pada generasi kedua hanya
berperan sebagai peniup suling, walau pemeran utama gurantangnya tidak lagi
berperan karena bertugas sebagai seorang TNI AD di perbatasan NTT dan Timor
Leste, sehingga posisi gurantangnya di gantikan oleh adiknya Naskiah dan
ketenarannya pun terus berlanjut hingga tahun 1985. Setelah tahun itu,
ketenarannya sudah mulai redup karena sebagian pemain maupun sekaha pendukungnya
ada yang wafat. Seperti Sauban, Amaq Satar, Amaq Ripen, Amaq Lepak, Amak Israh,
Amak Kelas, Rekawi, Amak Deranjang dan lain sebagainya. Disamping itu ada
beberapa perlatannya yang dijual dan ada
pula yang lapuk di makan rayap karena saking lamanya tersimpan tidak pentas
lagi.
Bersyukurlah, setelah 35 tahun
kemudian, sekembalinya pemeran utama gurantang (Nasudin) dari rantauan pada
awal tahun 2013 lalu ke kampung halamannya di Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait
KLU, maka seluruh pemain dan sekaha yang pernah mendukung kesenian Cupak
Gurantang pada masa lalu terutamna yang masih hidup di hubunginya untuk
bagaimana kesenian yang pernah jaya dimasanya dulu dibangkitkan kembali.
Ternyata upaya ini di dukung oleh seluruh keluarga para sekaha dan pemain yang
masih hidup.Sehingga mulailah Nasudin dibantu oleh saudara-saudaranya seperti
Masidep, Eko, Jhon, Jinul, Asrudin, Rangga, Soadi dan lainnya menyusun kekuatan
dengan membentuk pengurus terlebih dahulu baru kemudian menata keadaan anggota
yang masih setia pada kesenian leluhur ini.
Dalam rapat pertama yang digelarnya
awal Januari 2013 lalu, disepakati untuk membentuk Pengurus dan calon sekaha
serta para pemain yang masih hidup semuanya didata.Sebagai Ketua Masidep,S.Pd,
Sekretaris Zaenulhadi, S.Pd, Bendahara Eko Sekiadim,S.Sos dan selaku Ketua Umum
Serka (Purn) TNI AD Nasudin.Disamping pengurus inti, terbetuk pula seksi-seksi
diantaranya seksi sekaha, seksi pentas, seksi Pewarah, seksi dokumentasi
dan seksi transportasi.
Disamping kepengurusan yang sudah terbentuk,
maka disepakati pula sebagai tempat Sekreatriat kesenian ini di Dusun Lokok
Sutrang Desa Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara
Barat.Jadual latihan pun disepakati setiap malam Kamis dan jadual pentasnya
setiap malam minggu di sekretariatnya Dusun Lokok Sutrang.(Eko)
D.
Cerita Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait
Oleh : Eko Sekiadim
Bagian
Pertama :
Di lingkungan masyarakat adat Sesait,
cerita Cupak Gurantang di kenal dengan sebutan Kayak. Cerita ini pun tidak
sembarang cerita, melainkan di sadur dari Kitab Takepan Lontar Kasmaran yang
hingga kini tersimpan di Kampu Sesait.
Menurut budayawan asal Sesait
Masidep,S.Pd mengatakan, sejak berdirinya pada bulan Agustus 1958 silam, para
tokoh penggagas sekaligus pemain seperti Sauban dan dibantu Malon, Remait,
Rekawi, Amaq Kelas, Gendek, Dranjang, Ripen, Amaq Musti, Amak Israh serta Amaq
Tami’in, keberadaan kesenian ini terus eksis. Selain itu, tokoh yang tidak
kalah penting ikut sebagai pendukung kesenian tersebut diantaranya Puk
Sardin,Puk Napinah,Puk Laku, Puk Sumenep, Puk Satar, Puk Saharim, Puk Aca, Amaq
Lepak, Amaq Jamiah, Amaq Aru, Amaq Siradi dan lainnya.
Diceritakan secara gamblang oleh
Masidep, berdasarkan Takepan Lontar Kasmaran tersebut, bahwa cerita Cupak
Gurantang konon lokasi keberadaan kisah ini berada di sekitar pesisir utara
pulau Lombok, tepatnya di Wet Sesait (Pawang Alas Bana) sekitar Semboya Cutakan
yang sekarang (suteran tempat berhuma berpindah-pindah).
Konon, dulunya di sekitar pesisir
utara pulau Lombok (Dayan Gunung) terdapat dua buah kerajaan kecil bernama
Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Di wilayah kekuasaan Raja Keling tersebut,
jauh di lereng gunung Rinjani sebelah utara, hiduplah sebuah keluarga kecil
bernama Keluarga Inaq Rangda. Keluarga kecil ini memiliki dua orang putra yang
tabi’at maupun karakternya jauh berbeda satu sama lain.Putranya yang sulung
bernama Montong Ulung (bahasa Sesait) atau yang lebih dikenal dengan nama
Cupak. Sedangkan anaknya yang paling
bungsu bernama Kasmaran yang lebih di kenal dengan nama Gurantang.
Diceritakan, Cupak adalah sosok yang sangat rakus, banyak akal, licik, perut buncit,
wataknya buruk, suka mencuri dan berkhianat tapi pandai bersandiwara penuh
kepura - puraan. Jika berbicara manis dan memukau sehingga banyak orang
bersimpati kepadanya. Sedangkan Gurantang adalah menggambarkan orang yang biasa
saja, tidak ada yang menonjol pada dirinya, karena memang dia tidak mau
menonjolkan diri. Kata-katanya halus dan jarang bicara. Disiplinnya tinggi dan
menjunjung kebenaran, ketulusan dalam menjalankan tugas. Selain itu, Gurantang
juga seorang yang pemaaf. Cerita ini berakhir dengan pesan kuat, kebaikan akan
selalu menang melawan keburukan atau kejahatan.
Menurut Takepan Lontar Kasmaran
tersebut, di ceritakan bahwa Cupak Gurantang ini adalah putra dari Raja Keling,
namun di sanepakan. Sehingga sepeninggal Raja Keling, maka Cupak Gurantang
(kakak beradik) tersebut di pelihara dan di asuh oleh Inaq Emban.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing
menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi.
Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya
kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai putra sebagai calon penerus
penguasa kerajaan. Maka kedua bersaudara ini (Datu Daha dan Datu Keling)
berencana akan melakukan tapa brata di sebuah bukit atau montong yang dipenuhi
hutan belantara, memohon kepada yang kuasa agar keduanya diberikan putra
sebagai calon penggantinya kelak ketika mereka sudah mangkat.
Pada waktu yang sudah di tentukan, maka berangkatlah Prabu Daha dengan
membawa perlengkapan secukupnya menuju ke sebuah tempat yang juga sudah di
tentukan yaitu Montong Kayangan. Dalam waktu yang bersamaan, Datu Keling pun
berangkat pula menuju ke tempat itu, untuk bersama-sama melakukan tapa brata.
Dalam perjalanan menuju tempat tapa brata itu, Datu Daha dan Datu Keling
bertemu di perempatan Geruk Gundem untuk selanjutnya bersama-sama menuju
Montong Kayangan.
Setiba di tempat melakukan tapa brata, masing-masing menghaturkan
sesuai dengan syarat dan niatnya untuk mendapatkan anak. Dalam tapa bratanya
itu, diceritakan tidak di ketahui berapa lama berlangsung.Hanya konon ceritanya
semua hajat dari kedua pembesar kerajaan itu dikabulkan. Ajaib memang, kedua
permaisuri dari dua buah kerajaan yang ada di lereng Gunung Rinjani sebelah
utara itu pun mengandung secara bersamaan. Sebagaimana adat kebiasaan di
kalangan istana kerajaan terhadap yang mengandung, maka di adakan pula acara
ritual selamatan tiga bulanan,tujuh bulanan dan upacara kelahiran.
Setelah tiba waktunya untuk melahirkan, maka kedua permaisuri, baik
kerajaan Datu Daha maupun kerajaan Datu Keling pun melahirkan anak sesuai
dengan keinginan Datu Daha yang menginginkan anak perempuan maupun Datu Keling
yang menginginkan anak laki-laki. Al hasil, Datu Daha memperoleh seorang putri
dan diberi nama Candra Wulan Sasih. Sedangkan Datu Keling memperoleh dua orang
putra sekaligus, yang sulung diberi nama Montong Ulung (Cupak) dan yang bungsu
diberi nama Kasmaran (Gurantang).
Bagian Kedua :
Putri Datu Daha di Culik Raksasa Kalimandaru
Dalam perkembangan sejarah berikutnya, diceritakan dalam takepan lontar
kasmaran tersebut, kocap cerita setelah besar, putri Prabu Daha yang bernama
Candra Wulan Sasih ingin bermain ke sebuah taman milik kerajaan ayahandanya.
Dengan diiringi inang pengasuhnya Inaq Emban dan kedua Mahapatih Mangkubumi dan
Mangkunegaran, sang putri berangkatlah menuju taman untuk bermain sebagaimana
biasanya.
Sedang asyiknya bermain, tiba-tiba datanglah makhluk aneh yang tinggi
besar serta muka yang menyeramkan. Makhluk aneh itu bernama Raksasa. Suaranya
bagaikan guntur menggelegar, pandangannya bagaikan halilintar menyambar membuat
bulu roma berdiri. Saking takutnya, baik putri Candra Wulan Sasih, Inaq Emban dan kedua Mahapatih yang
sedang berjaga di pojok taman menjadi kalang kabut bercampur gemetar dan
menggigil. Mereka melakukan perlawanan semampunya, namun makhluk aneh yang
disebut Raksasa itu tidak bisa terkalahkan.Putri pun di sambar dan di
larikannya.
Kedua Mahapatih Mangkubumi dan
Mangkunegaran dan Inaq Emban pun bersedih, beduka yang sangat mendalam
atas hilangnya sang Putri kesayangan sang Raja. Mereka takut, hukuman apa
gerangan yang di jatuhkan raja kepada mereka atas kelalaiannya menjaga sang
Putri. Sambil menangis sejadi-jadinya, kedua Mahapatih dan Inaq Emban kembali
ke istana guna melaporkan kejadian yang menimpa putri semata wayang sang Raja
Daha.
Begitu mendapat laporan dari para abdinya tentang putri semata
wayangnya menghilang di culik Raksasa, Prabu Daha pun murka. Dalam suasana
berduka tersebut sang Prabu memerintahkan kepada kedua Mahapatihnya untuk
mengumumkan sebuah sayembara yang telah dibuatnya. Sayembara tersebut berisi,
”Barang siapa yang menemukan Putri Candra Wulan Sasih hidup atau pun mati, jika
ia laki-laki, maka akan di kawinkan dengan putrinya dan jika ia perempuan maka
ia akan di angkat sebagai saudara sang putri.”
Seiring dengan berjalannya waktu, kedua Maha patih Mangkubumi dan
Mangkunegaran pun menyebarkan pengumuman berupa sayembara tersebut ke seluruh
pelosok negeri Kerajaan Daha. Disamping membawa dan menyebarkan pengumuman
sayembara itu, kedua Mahapatih pun di titahkan oleh sang Prabu Daha untuk
mencari orang berani (pendekar) yang mampu melawan dan membunuh raksasa sang
penculik putri.
Kocap cerita, maka berangkatlah kedua Mahapatih menuju hutan tarik
(pawang alas bana) untuk melaksanakan titah sang prabu. Dengan menyusuri
lembah, mendaki bukit, masuk hutan, masuk kampung, menuruni jalan curam dan medan
yang melelahkan, kedua Mahapatih jalankan tanpa mengenal lelah dan putus asa.
Tiba di suatu tempat, merekapun istirahat.
Bagian Ketiga :
Cupak dan Gurantang Menerima Tugas Berat
Selanjutnya dalam Takepan Lontar Kasmaran itu diceritakan, tersebutlah
dua orang bersaudara kakak – beradik yang tidak lain adalah Montong Ulung dan
Kasmaran yang lebih dikenal dengan sebutan Cupak - Gurantang, dimana dalam
menjalani kehidupan masing-masing memiliki karakter yang berbeda, sehingga
Kasmaran prustasi dengan sikap kakaknya karena tidak konsekuen dalam kehidupan.
Akhirnya Kasmaran pergi nglalu (mengembara) entah kemana tanpa arah tujuan.
Montong Ulung kakaknya pun menyesal berbuat seperti itu. Maka di susullah
adiknya agar selalu bersama, susah maupun senang ditanggung bersama. Setelah
menemukan adiknya, maka merekapun mengembara bersama-sama.
Dalam
perjalanan mengembara tersebut, kedua kakak-beradik ini bertemu dengan makhluk
asing yang memiliki tanduk. Makhluk asing yang ditemukan itu tiada lain adalah
Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegaran yang sedang menjalankan tugas rajanya
untuk mencari putri yang hilang di culik Raksasa sekaligus mencari orang
pemberani (pendekar) yang mampu mengalahkannya dan membawa sang putri pulang
kembali ke kerajaan Daha.
Setelah saling adu argumen antara kedua belah pihak, maka Cupak pun
menyanggupinya bahwa dirinyalah yang akan membunuh raksasa yang menculik sang
putri. Mendengar kesanggupan Cupak tersebut, kedua Mahapatih merasa lega dan
selanjutnya membawa Cupak bersama adiknya Gurantang menuju istana Kerajaan Daha
untuk di hadapkan kepada baginda Prabu Daha.
Tiba di depan istana, Cupak menyuruh adiknya menunggu di luar tembok
pintu gerbang istana, sementara dirinya masuk ke istana menghadap Prabu Daha.
Dihadapan sang Prabu, Cupak berjanji dan
sanggup mencari sang putri yang hilang dan membunuh raksasa yang menculiknya.
Dasar Cupak yang banyak akal tanpa pikir panjang, dia mengumbar janji, hanya
yang terbersit dalam pikirannya adalah yang penting bagaimana dia dapat makan.
Mendengar kesanggupan Cupak ini, maka Prabu Daha pun memberikan
perbekalan secukupnya pada sang pemberani Cupak
termasuk memberikan Keris Pusaka leluhur Kerajaan Daha dan menjamunya
dengan berbagai macam hidangan sebelum Cupak berangkat melaksanakan tugas berat
yang menunggunya. Usai dijamu, maka berangkatlah Cupak bersama adiknya yang
sejak tadi menunggu di luar istana untuk mencari dan membunuh raksasa yang
menculik putri Datu Daha.
Perjalanan mencari raksasa pun sangat melelahkan bagi sang Cupak. Dalam
keadaan seperti itu, sempat terlintas dalam hati sang Cupak ingin mengajak
adiknya mengurungkan niatnya untuk mencari raksasa sesuai dengan janjinya
kepada sang Prabu. Namun adiknya mengatakan, teruskan saja, karena terlanjur
sudah berjanji. Jadi pantang mundur, kata adiknya.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan menyusuri hutan, lembah, naik-turun
jurang dan perbukitan yang penuh dengan tantangan. Ketika mereka merapat
dan mendekati sebuah gua, yang dijumpai
pertama kali adalah bekas telapak kakinya sebesar Mayang Pinang. Cupak pun
takut melihat bekas telapak kakinya itu. Bagaimana besar makhluknya, jika bekas
telapak kakinya saja seperti itu, pikir Cupak pada adiknya.
Lalu Cupak terus membujuk adiknya agar mengurungkan niat untuk mencari
raksasa itu.Tetapi adiknya terus bersikeras untuk tetap melanjutkan perjalanan
mencari raksasa Kalimandaru, meskipun harus mati sebagai taruhannya, karena
untuk menepati janji kepada Prabu Daha. Bagi Gurantang, janji itu harus di
tepati, pantang ingkar janji.
Pada perjalanan lanjutan, kembali kakak beradik ini menemukan hal
serupa seperti yang pernah di temukan sebelumnya ketika mereka menemukan lagi
bekas kencingnya seperti bekas kubangan kerbau, bekas kotorannya seperti bukit,
kemudian menemukan jurang dan di jurang inilah di yakini sebagai tempat gua
tempat tinggalnya raksasa yang mereka cari.
Oleh adiknya, Cupak di suruh duluan masuk ke dalam gua untuk perang
melawan raksasa dengan membawa keris pusaka leluhur kerajaan daha. Baru
mendengar suara raksasa berdehem saja, Cupak lari tunggang langgang, dia
mengira suara Guntur. Lalu Cupak
menyuruh adiknya gurantang saja yang masuk ke gua dan perang melawan raksasa. Maka
Gurantangpun menyanggupinya. Dengan langkah pasti, maka gurantang pun masuk ke
dalam gua raksasa tersebut. Dari dalam gua terdengar suara gaduh dan
menggelegar bak gempa bumi yang menggetarkan perut bumi. Dari mulut gua
tersebut sesekali terlihat mengeluarkan cahaya kilatan bagaikan kilatan
halilintar menyambar mangsanya. Rupanya cahaya itu merupakan cahaya kilatan
yang berasal dari keris pusaka kerajaan yang digunakan gurantang perang melwan
raksasa itu. Di kejauhan dari atas pohon besar, Cupak pun terus menyaksikan
bagaimana adiknya berperang melawan Raksasa di dalam gua itu. Tidak diketahui
berapa lama berlangsungnya. Perang pun terus berlanjut hingga di luar gua.
Akhirnya, raksasa pun bisa di kalahkan oleh gurantang.
Cupak mencoba turun ke dalam gua untuk mencari sang putri. Namun sang
Cupak hanya turun hingga pertengahan gua. Lalu kembali naik ke atas, karena
Cupak khawatir jangan-jangan masih ada raksasa lainnya yang ada di dalam.
Kemudian Cupak menyuruh adiknya saja yang turun ke gua mencari dan
menyelamatkan sang putri. Pendek cerita akhirnya sang putri ditemukan di dalam
gua raksasa itu, lalu di bawa naik oleh gurantang.
Bagian Ke- Empat :
Cupak Kecewa di Tolak Putri Candra Wulan Sasih
Hingga Menzholimi Adiknya Gurantang
Dalam perjalanan pulang, Cupak membujuk sang putri, ketika nanti di
tanya oleh Prabu Daha (ayahandanya) agar mengatakan Raden Cupaklah yang membunuh
Raksasa itu. Berbagai bujuk dan rayu yang lancarkan sang Cupak. Disamping itu,
Cupak juga merayu sang putri agar dia mau di kawinkan dengannya, namun putri
Candra Wulan Sasih tidak mau dan tetap bungkam. Akhirnya Cupak kehabisan akal.
Berbagai strategi telah dilakukannya, namun sang putri tetap pada pendiriannya,
karena memang bertentangan dengan kenyataan yang dilihatnya, bahwa bukan Cupak
yang membunuh raksasa yang menculiknya melainkan Gurantang.
Dengan kondisi tersebut, lalu Cupak berpura-pura memanggil raksasa agar
sang putri di ambil lagi. Hal ini dilakukan Cupak, karena dirinya berfikir
sudah tidak mungkin ada raksasa lain lagi yang masih berkeliaran sedang mencari
mangsanya yang belum kembali. Sebab raksasa yang menculik sang putri sudah
mati. Dugaan Cupak inipun meleset. Ternyata masih ada satu lagi yang masih
berkeliaran. Maka sang putri pun di sambar lagi dari tangan sang Cupak dan di
larikan ke dalam guanya.
Maka dengan rasa penyesalan yang sangat mendalam, Cupak pun bersama
adiknya Gurantang kembali ke gua tersebut. Singkat cerita, maka raksasa pun
berhasil dibunuh oleh Gurantang. Sang Putri berhasil di selamatkan kembali.
Namun setelah putri berhasil keluar dari dalam gua dengan menggunakan tali
laso, Gurantang tertinggal dalam gua, karena ketika giliran Gurantang diangkat,
tali laso terputus, karena memang sengaja di putuskan oleh Cupak. Jadilah
Gurantang seorang diri dalam gua, yang keberadaannya tidak diketahui berapa
lama tinggal di dalam gua yang gelap dan berbau amis itu.
Dalam takepan lontar kasmaran tersebut di ceritakan, setelah raksasa
berhasil di bunuh oleh Gurantang dan sang putri juga berhasil di selamatkan,
oleh Cupak kemudian mengajak sang putri pulang kembali ke istana menghadap
Prabu Daha (ayahanda sang putri) untuk menepati janjinya. Dihadapan Prabu Daha
Cupak pun menagih janji untuk segera di kawinkan dengan putri Candra Wulan
Sasih.
Setibanya di istana, Cupak
diterima langsung oleh Prabu Daha sendiri yang didampingi para pembesar
kerajaan, termasuk kedua Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegaran. Di hadapan
Datu Daha dan para pembesar kerajaan itu, Cupak kembali berpesan, jika ada
orang yang kurus kerempeng yang datang dan berkeliaran di luar istana dan
mengaku dirinya gurantang adiknya, maka di bunuh saja, itu musuh kerajaan, kata
Cupak. Hal ini tiada lain adalah akal licik Cupak supaya tidak ada penghalang
baginya untuk dapat mempersunting putri Datu Daha Candra Wulan Sasih.
Bagian
Kelima :
Kasmaran di
Bunuh dan di Pungut Keluarga Amaq Bangkol
Kocap cerita, di sebuah gubuq kecil nun jauh di pinggir
hutan alas bana, tinggallah sepasang suami isteri yang sudah berpuluh-puluh
tahun tinggal bersama belum juga di karuniai seorang anak. Sepasang suami
isteri ini, tidak lain adalah Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol. Disebut demikian karena
memang kedua-duanya mandul. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari,Inaq Bangkol
dan Amaq Bangkol bekerja dan berprofesi sebagai petani ladang. Itulah yang
dikerjakannya bertahun-tahun, sehingga tidak terasa rambut pun sudah mulai
memutih, badan mulai bongkok, berjalan menggunakan tongkat serta gigi pun sudah
mulai rontok. Suatu hari, tersebutlah kedua Mahapatih kerajaan Daha yaitu Mangkubumi
dan Mangkunegaran berpatroli hingga memasuki hutan alas bana (hutan tarik)
pinggir wilayah kekuasaan kerajaan Daha dimana Inaq Bangkol dan Amaq Bagkol
tinggal.
Di lain tempat, di ceritakan,
Kasmaran yang sudah lama tinggal di dalam gua, akibat akal licik kakaknya
Montong Ulung, suatu saat dengan menggunakan tulang rusuk atau taring raksasa
yang berhasil di bunuhnya, ia memanjat tebing gua tersebut berusaha keluar.
Dengan berusaha sekuat tenaga walau tubuhnya kurus kerempeng tinggal kulit
pembalut tulang, akhirnya berhasil keluar dari dalam gua itu. Dia berusaha
bangkit dan berjalan tertatih-tatih menyusuri tebing, lembah, keluar hutan, masuk
kampung, itu semua di laluinya. Hingga akhirnya tiba di sekitar halaman istana Kerajaan Daha dimana kakaknya Montong
Ulung berada.
Di saat kedua Mahapatih
Mangkubumi dan Mangkunegara berpatroli di sekitar istana, tiba-tiba di lihatnya
sesosok bayangan manusia yang kurus kerempeng tinggal kulit pembalut tulang
memasuki lingkungan istana kerajaan. Lalu kedua Mahapatih itu mencegat dan
menangkapnya. Karena mereka pikir bahwa itulah musuh kerajaan sesuai dengan
pesan Montong Ulung (Cupak) di hadapan para pembesar kerajaan Daha pada saat
berhasil menyelamatkan sang putri Candra Wulan Sasih dari cengkraman raksasa
yang telah di bunuhnya beberapa waktu lalu.
Maka sesosok bayangan manusia
itu pun setelah ditangkap, lalu dibawa
ke pinggir hutan dadapan untuk di bunuh dan mayatnya di buang ke kali. Namun
apa yang terjadi kemudian dan berapa lama mayat Kasmaran berada di kali itu?
Dalam kitab takepan lontar kasmaran di ceritakan, bahwa setelah Kasmaran di
bunuh oleh kedua Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegaran, lalu di buang ke kali
yang ada di tengah hutan dadapan (hutan tarik), itu tidak di ketahui.
Sebenarnya, maksud dan tujuan
Kasmaran datang ke istana Kerajaan Daha kala itu adalah disamping mencari
kakaknya, juga sekaligus ingin melaporkan hal ikhwal sebenarnya terjadi,
sehingga nasibnya seperti itu. Namun apa pun alasannya, kedua Mahapatih itu
tidak menggubrisnya. Malah Kasmaran di adili, di usir dan mereka bunuh serta
mayatnya di buang di kali Sampururang (perbatasan Bayan-Sesait) yang ada di
tengah hutan tutupan (dadapan= tarik= alas bana).
Sementara itu, di tepi hutan
alas bana dimana Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol bertempat tinggal dan bercocok
tanam. Mereka bekerja berhuma di ladang miliknya sudah berpuluh-puluh tahun
lamanya. Dalam menjalani rotasi kehidupan sepasang keluarga yang tidak memiliki
keturunan ini, sebagaimana biasanya di setiap mulai bekerja di ladang milik
mereka, saban hari Amaq Bangkol selalu mengganggu Inaq Bangkol. Walau usia
mereka sudah tidak semuda dulunya, namun mereka tetap hidup bahagia meskipun
Amaq Bangkol sering menjahili Inaq Bangkol..Itupun tidak terlalu lama, mereka
akur kembali.
Di ceritakan, sampai pada
suatu saat, sementara menunggu hasil panen di huma mereka, Inaq Bangkol ngidam
kepingin makan udang merah ekor. Mendengar keinginan Inaq Bangkol ini, Amaq
Bangkolpun sangat bahagia mendengarnya. Lalu ia merespon dengan mengajak Inaq
Bangkol pergi ke kali (Lokok) Sampururang untuk mencari dan menangkap udang
yang dimaksud.
Dengan perasaan lega bercampur
bahagia, keduanya pun berangkatlah menuju kali yang dimaksud dengan membawa
peralatan penangkap udang (kodong). Sesampainya di kali tersebut, maka mulailah
Amaq Bangkol memasang kodong di sela-sela bebatuan di tengah kali itu. Selain
memasang alat perangkap, Amaq Bangkol pun mencari dan menangkap udang dengan
menggunakan sorok yang di sosoh dan di susupkan di sela-sela bebatuan yang ada
di kali itu. Berkali-kali Amaq Bangkol selalu gagal mendapatkan udang.
Jangankan udang yang di dapatkan, malah yang tertangkap adalah kayu, sandal
bekas dan lain sebagainya. Amak Bangkol pun hampir putus asa. Namun karena
selalu di hibur oleh Inaq Bangkol bahwa itu merupakan ujian kesabaran, maka di
sarankan agar mencoba kembali siapa tahu ada rejeki nomplok. Maka Amaq Bangkol
pun mencoba menyorok kembali di sela-sela bebatuan itu, sementara Inaq Bangkol
mengikut di belakang. Tiba-tiba sorok Amaq Bangkol nyangkut di salah satu
kubangan yang ada disekitar batu besar yang ada di kali itu. Setelah diangkat
dan di bawa ke pinggir, betapa terkejutnya kedua insan yang sudah lama
mendambakan keturunan ini. Ternyata yang mereka tangkap adalah sesosok anak
manusia.
Akhirnya, niat Inaq Bangkol
ingin makan udang merah ekor menjadi urung, karena saking bahagianya
mendapatkan seorang anak manusia, lalu mereka membawanya pulang. Dengan senyum
sumringah bercampur bahagia, Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol bergegas ingin cepat
sampai di gubuq reotnya. Dalam hati mereka timbul rasa syukur terhadap Yang
Maha Kuasa atas anugerah yang telah di berikan kepada hamba-Nya yang sudah
berpuluh-puluh tahun lamanya menunggu kehadiran seorang anak. Maka anak manusia
yang ditemukan itu pun di rawat dan besarkannya serta di berikan nama Kasmaran.
Bagian Ke-Enam :
Kebenaran
Selalu Menang Diatas Kejahatan
Kocap cerita, tersebutlah di kalangan istana Kerajaan
Daha kala itu sedang berlangsung pesta besar 7 hari 7 malam. Pesta besar dan
meriah ini dilakukan adalah dalam rangka memenuhi janji Prabu Daha untuk
mengawinkan putrinya dengan Raden Cupak sang penyelamat putri Daha dari
cengkeraman Raksasa Kalimandaru yang telah menculiknya serta berhasil
membunuhnya. Itulah sebabnya Prabu Daha mengkarya 7 hari 7 malam dengan
menghadirkan seluruh kaula balanya (rakyatnya). Tidak ketinggalan para pepadu
pilih tanding dari berbagai negeri pun di undang. Sehingga semua pepadu yang
hadir itu berkesempatan untuk saling menjajal kekuatan kanuragan masing-masing.
Namun di ceritakan dalam takepan lontar kasmaran itu, semua pepadu yang hadir
tidak mampu menandingi atau melawan Raden Cupak yang nota bene nantinya akan
menjadi menantu Prabu Daha.
Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol
yang walau tinggal jauh dari pusat kerajaan, namun suara bunyi-bunyian
terdengar sayup-sayupnya dari kejauhan. Kasmaran yang tinggal bersama Inaq
Bangkol dan Amaq Bangkol pun mendengar bahwa Prabu Daha mengadakan pesta besar
itu adalah dalam rangka memenuhi janjinya kepada Raden Cupak untuk mengawinkan
putrinya karena berhasil membunuh raksasa dan menyelamatkannya.
Mendengar berita tersebut,
Kasmaran yang di hianati oleh kakaknya sendiri merasa geram bercampur marah
yang tidak bisa di bendung. Maka Kasmaran pun mengajak Inaq Bangkol dan Amaq
Bangkol pergi ke istana untuk sekedar menonton. Kasmaran juga tidak pernah
menceritakan nasib sebenarnya yang telah menimpa dirinya. Siapa sebenarnya
dirinya, itupun tidak pernah di ceritakan kepada siapapun, termasuk kepada Inaq
Bangkol dan Amaq Bangkol sendiri. Setiba di alun-alun istana, mereka mengambil
tempat di pojok timur laut dari arena hiburan. Bermacam-macam hiburan ditampilkan,
mulai dari kesenian sireh, baris, legong, joget dan kesenian khas kerajaan
lainnya ikut pula meramaikan malam puncak pesta Datu Daha itu.
Setelah agak lama menunggu,
maka acara yang sangat di tunggu-tunggu oleh para penonton pun dimulai, yakni
tampilnya para pepadu atau jawara-jawara pilih tanding dari berbagai negeri.
Para jawara ini akan mengadu kesaktian ketangkasan dalam Prisean. Dimana
prisean ini adalah kesenian trdisional yang memang membutuhkan nyali besar
untuk bisa mencobanya.Tidak tanggung-tanggung alat yang di gunakan dalam
prisean adalah rotan yang diberi balutan di ujungnya menggunakan besi atau
sejenisnya sebagai alat pemukul dan kulit kambing atau kerbau sebagai ende atau
perisainya. Adapun para pepadu yang akan bertanding dalam prisean di haruskan
membuka baju atau telanjang dada dan mereka akan beradu dalam beberapa ronde
(biasanya 5 ronde) yang di pimpin seorang pekembar (wasit).
Diceritakan, setelah seluruh
jawara atau para pepadu pilih tanding sudah tampil dan semuanya kalah oleh
pepadu calon mantu raja yaitu Raden Cupak sendiri. Maka Raden Cupak pun
sesumbar di tengah arena bahkan menantang siapa saja dari para penonton yang
berani melawannya, dipersilahkan maju. Raden Gurantang yang sejak tadi sudah
berada di tengah-tengah kerumunan para penonton menjadi geram. Sepontan saja
dirinya berdiri dan tampil di tengah arena sembari membalas tantangan Raden
Cupak yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
Raden Cupak begitu melihat
yang tampil, menjadi terkejut dan keder. Ternyata adiknya masih hidup. Dirinya
sangat menyesal telah menyia-nyiakan serta memperdaya adiknya di dalam gua.
Sekarang, sudah kepalang tanggung, mau mundur, takut ketahuan belangnya. Dalam
keadaan terpaksa, Cupak pun melawan adiknya sendiri.
Putri Candra Wulan Sasih yang
sejak tadi duduk di tribun istana sambil memperhatikan para jawara bertarung,
pandangannya kosong, yang difikirkannya adalah siapa gerangan yang telah berani
membunuh dan masuk ke gua raksasa untuk menolongnya. Namun pada saat masih di
dalam gua, dirinya sempat memberikan sebuah cincin permata kepada Kasmaran
sebagai kenangan agar suatu saat dapat mengenali penolongnya.
Kocap
cerita, ketika Kasmaran mulai mengangkat
perisainya, Putri pun melihat Cincin yang di pakai pemuda itu. Putri berfikir
mungkinkah Pemuda itu yang pernah menyelamatkan dirinya ketika masih di dalam
gua dulu. Dimana sang Putri pernah memberikan sebuah cincin kepadanya sebagai
bentuk syukur dirinya di selamatkan dari raksasa. Ternyata mereka sudah saling
mengenal satu sama lainnya. Pertarungan
prisean antara Raden Cupak dan Raden Gurantang pun di gelar dan di
saksikan oleh seluruh pembesar kerajaan, termasuk Prabu Daha sendiri dan
seluruh rakyat kerajaan Daha. Dalam pertarungan prisean tersebut di menangkan
oleh Raden Gurantang. Lalu sang Putri memanggil pemuda tadi yang tidak lain
adalah Raden Gurantang dan di perkenalkan kepada Prabu Daha bahwa inilah pemuda
yang pernah menolongnya dari gua raksasa dan bukan Raden Cupak.
Akhirnya, perkawinan antara
Putri Candra Wulan Sasih yang seharusnya dengan Montong Ulung, batal dilakukan
dan putri selanjutkan dikawinkan dengan Kasmaran. Montong Ulung, saking malunya
karena batal kawin, lalu pihak kerajaan mengusirnya dan pergi ke Pulau Jawa (Betawi).
Akhir cerita, kebenaran selalu menang diatas kejahatan.(eko)