Selasa, 20 Agustus 2019

Tim SAR Lanjutkan Pencarian 5 Korban Gempa Lombok di Area Longsor

LOMBOK UTARA - Tim Pencarian dan Pertolongan (SAR) gabungan masih mencari lima korban gempa yang belum ditemukan hingga Selasa (14/8/2018), sembilan hari setelah gempa bumi berkekuatan 7 skala Richter (SR) mengguncang wilayah Lombok pada 5 Agustus.
Koordinator Misi SAR I Nyoman Sidakarya di Lombok Utara mengatakan, korban yang dilaporkan belum ditemukan meliputi empat orang di Dusun Dompu Indah, Kecamatan Kayangan dan satu orang di Dusun Busur Timur, Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara.
Empat orang yang belum ditemukan di Dusun Dompu Indah diduga tertimbun longsoran tanah. Mereka terdiri atas seorang ayah dengan dua anaknya serta satu warga lainnya.
"Operasi SAR kembali dilakukan pagi ini dengan melibatkan dua tim yang menyebar di dua dusun tersebut. Ada juga Tim Alfa dan Bravo yang disiagakan untuk memberikan bantuan," katanya.
Update Dampak Gempa Lombok: 436 Orang Meninggal, Kerugian Lebih dari Rp5 Triliun
Anggota Tim Echo dan Foxtrot pimpinan Komandan Regu Kurais yang meliputi 42 orang dari Basarnas, Brimob, TNI dan potensi SAR akan melanjutkan pencarian di area tebing yang longsor di Dusun Dompu Indah.
Sementara Tim Charlie dan Delta, menurut Sidakarya, akan melanjutkan operasi pencarian warga bernama Saepul Bahri (30), yang juga diduga tertimbun longsoran, di Dusun Busur Timur.
Tim pimpinan Komandan Regu Tius tersebut juga beranggotakan 42 orang dari Basarnas, Brimob, TNI, dan potensi SAR.
Dilihat dari Udara, Begini Kerusakan Kawasan Terdampak Gempa 7 SR di Lombok
"Operasi pencarian menggunakan berbagai jenis alat seperti gergaji mesin, pompa hidrolik, ekskavator, genset, senter polarion, karmantel, K12, K9 dan alkon serta beberapa alat lain yang dibutuhkan," kata Sidakarya.
Menurut data sementara Badan Penanggulangan Bencana Nasional, jumlah korban jiwa akibat gempa bumi di Lombok sudah bertambah menjadi 436 orang hingga Senin (13/8).
Korban meninggal dunia paling banyak di Kabupaten Lombok Utara (374), disusul Kabupaten Lombok Barat (37), Kabupaten Lombok Timur (12), Kota Mataram (9), Kabupaten Lombok Tengah (2), dan Kota Denpasar, dan Bali (2).
Bencana alam tersebut juga menyebabkan 1.353 orang terluka, paling banyak di Lombok Utara (640).
(qlh)

Kisah Denda Cilinaya

Wilayah Kabupaten Lombok Utara yang lebih dikenal masyarakatnya dengan sebutan Dayan Gunung, ternyata memiliki banyak peninggalan sejarah masa lalu, baik berupa benda,tulisan,rekaman maupun yang berbentuk lisan.

Salah satu bukti peninggalan sejarah masa lampau yang masih terpelihara dengan baik hingga saat ini adalah makam Denda Cilinaya, yang terletak di Labuhan Carik Bayan. Denda Cilinaya di kisahkan mati terbunuh oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling.

Keberadaan makam Denda Cilinaya ini di kalangan masyarakat Dayan Gunung dan bahkan mungkin masyarakat sasak pada umumnya sudah banyak yang mengetahuinya. Sedangkan makam Patih Jero Tuek yang merupakan pembunuh Denda Cilinaya, yang keberadaannya tidak jauh dari makam Cilinaya, mungkin tidak banyak orang yang mengetahui.

Untuk bisa sampai ke lokasi makam Cilinaya, para pengunjung dihadapkan pada medan yang cukup melelahkan. Pasalnya, jarak makam dari pusat pemerintahan Kecamatan Bayan sekitar 1 km, dari Labuhan Carik kearah timur sekitar 350 meter. Para pengunjung yang menggunakan alat transportasi baik roda empat maupun roda dua, cukup di parkir di Labuhan Carik. Setelah itu, para pengunjung harus jalan kaki melewati pematang sawah dan sebuah kali yang membatasi lokasi makam dengan Labuhan Carik.

Menurut Raden Singanem (47), Situs makam Denda Cilinaya ini, untuk pertama kalinya di pelihara oleh mendiang orang tuanya Mangku Raden Singagrib (alm) sejak tahun 1977 silam. Setelah orang tuanya mangkat tahun 1980, dari sejak itulah dirinya aktif sebagai Mangku makam Denda Cilinaya ini.

Dikatakan Raden Singanem, dulu katanya, ketika dirinya masih kecil, lokasi makam ini masih gawah (hutan) yang di penuhi oleh tumbuhan ilalang. Waktu itu belum di ketahui bahwa di lokasi itu ada makam, seperti yang di kenal sekarang (Cilinaya).

Di lokasi itu ada makam Cilinaya, sekitar tahun 1977, berawal dari adanya warga Tanak Song Tanjung yang mendapatkan petunjuk dari paranormal dengan mendatangi lokasi itu untuk sebuah hajatan Ngurisan.

Dari paranormal yang mendapatkan wangsit dari pemilik makam inilah di ketahui bahwa di lokasi itu ada sebuah makam yang di kenal dengan makam Denda Cilinaya. Dari paranormal ini pula di ketahui bahwa yang menjadi Mangku atau yang menjadi penanggung jawab sebagai pemelihara makam itu harus yang lebih tua dari keluarga Raden Singagrib. Paranormal yang sudah di rasuki roh penghuni makam itu pula yang memerintahkan agar mencari Raden Singagrib dan Raden Singanem sebagai yang bertanggungjawab memelihara makam itu. Maka di putuskanlah Raden Singagrib yang memelihara pertama makam itu, karena menurut Paranormal yang sedang disanding roh makam itu, dia lebih tua. Setelah beliau mangkat tahun 1980, praktis Raden Singanem yang meneruskannya hingga sekarang.

Bagaimana kisah terbunuhnya putri Denda Cilinaya oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling dan bagaimana makamnya bisa berada di atas montong dekat Labuhan Carik Bayan, Mangku Raden Singanem, yang merupakan generasi kedua sekaligus juru kunci makam Denda Cilinaya, bersama wartawan media ini mengisahkannya dalam tulisan ini.

Konon, menurut Mangku Raden Singanem, pada jaman ireng di sekitar Bayan Beleq sekarang ini, terdapat dua buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Posisi persisnya, katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet timur Orong dan Kerajaan Keling berada di wet barat Orong.

Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.

Maka kedua bersaudara ini (Datu Daha dan Datu Keling) berencana akan melakukan tapa brata di sebuah bukit atau montong yang dipenuhi hutan belantara, memohon kepada yang kuasa agar keduanya diberikan putra sebagai calon penggantinya kelak ketika mereka sudah mangkat.

Pada waktu yang sudah di tentukan, maka berangkatlah Datu Daha Mas Mutering Sejagat dengan membawa perlengkapan secukupnya menuju ke sebuah tempat yang juga sudah di tentukan yaitu Montong Kayangan. Dalam waktu yang bersamaan, Datu Keling Mas Mutering Sejagat pun berangkat pula menuju ke tempat itu, untuk bersama-sama melakukan tapa brata. Dalam perjalanan menuju tempat tapa brata itu, Datu Daha dan Datu Keling bertemu di perempatan Geruk Gundem untuk selanjutnya bersama-sama menuju Montong Kayangan.

Setiba di tempat melakukan tapa brata, masing-masing menghaturkan sesuai dengan syarat dan niatnya untuk mendapatkan anak. Dimana Datu Daha dalam nazarnya berniat, jika sang penguasa jagat memberikan anak perempuan, maka kelak dirinya akan membayar kaul, dengan persyaratan membawa lekok buak,kerbau bertanduk emas, ber ekor sutera, mengkupak slaka (bertapak kaki slaka) dan mentete gangsa ( alat yang di gelar atau yang dibentangkan) sebagai pijakan waktu bayar nazar mulai dari Kerajaannya hingga ke lokasi Montong Kayangan. Begitu pula dengan Datu Keling, bernazar yang sama, dengan persyaratan yang sama, namun Datu Keling menginginkan anak yang laki.

Dalam tapa bratanya itu, diceritakan tidak di ketahui berapa lama berlangsung.Hanya konon ceritanya semua hajat dari kedua pembesar kerajaan itu dikabulkan. Ajaib memang, kedua permaisuri dari dua buah kerajaan yang ada di lereng Gunung Rinjani sebelah utara itu pun mengandung secara bersamaan. Sebagaimana adat kebiasaan di kalangan istana kerajaan terhadap yang mengandung, maka di adakan pula acara ritual selamatan tiga bulanan,tujuh bulanan dan upacara kelahiran.

Setelah tiba waktunya untuk melahirkan, maka kedua permaisuri, baik kerajaan Datu Daha maupun kerajaan Datu Keling pun melahirkan anak sesuai dengan keinginan Datu Daha yang menginginkan anak perempuan maupun Datu Keling yang menginginkan anak laki-laki.

Berselang satu tahun kemudian, tibalah saatnya untuk menunaikan nazar mereka masing-masing.Kedua Datu dari dua kerajaan besar yang melingkari Gunung Rinjani itu pun sepakat untuk membayar nazar (kaul) sesuai dengan apa yang pernah mereka janjikan. Di ceritakan bahwa yang bisa menunaikan nazarnya itu baru Datu Keling. Sementara Datu Daha akan menyusul kemudian.

Maka Datu Keling berangkatlah menuju Montong Kayangan dengan di iringi seluruh kaula balanya untuk menunaikan janjinya membayar nazar, dengan membawa persyaratan seperti yang pernah di terimanya melalui wangsit ketika melakukan tapa brata dulunya ditempat itu.

Suatu ketika Cilinaya sebagaimana kebiasaan anak kecil sebayanya setiap harinya selalu bermain di halaman istana kerajaan. Sedang asyiknya bermain, tiba-tiba menghilang begitu saja dari alam dunia. Dengan menghilangnya Cilinaya ini, seluruh kalangan istana kerajaan Daha kala itu kaget. Maka Datu Daha mengerahkan seluruh kaula balanya untuk mencari putri semata wayangnya itu ke seluruh negeri. Namun upaya pencarian itu pun gagal, sang putri tidak ditemukan.Maka pencarian pun di hentikan.

Sementara itu di pinggir hutan belantara masih dalam wilayah Kerajaan Datu Daha, hiduplah sepasang suami isteri yang bernama Amak Lokaq dan Inaq Lokaq (Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol).Suatu hari Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol pergi ke kebun miliknya untuk mencari sayuran.Tiba-tiba keduanya mendengar ada suara tangisan anak kecil. Setelah diselidiki ternyata benar tangisan anak kecil.Lalu di bawa pulang ke pondoknya yang reot beratapkan ilalang dan berpagar bedek itu.
Setiba di rumah keduanya berunding, apa yang pantas untuk diberikan namanya.Sebab kalau di lihat dari wajahnya memang anak tadi berparas cantik. Dari sinilah timbul ide dari Amak Bangkol untuk memberikan nama Cilinaya (Cili=kecil, naya= bagus,elok).Itulah sebabnya nama Cilinaya terkenal hingga sekarang khususnya di kalangan masyarakat suku sasak Lombok.

Diceritakan, Denda Cilinaya pun hiduplah bersama Amak Bangkol dan Inaq Bangkol di gubuq terpencil di pinggir hutan kerajaan Daha hingga menginjak remaja.Dalam kesehariannya, dikisahkan bahwa Denda Cilinaya ini pekerjaannya adalah menyesek atau menenun. Sebagai seorang gadis belia pekerjaan menenun itu sangat di gemari olehnya.Sehingga tidak heran pekerjaan itu terus di tekuninya setiap hari. Itulah sebabnya pekerjaan menenun ini hingga sekarang para gadis atau kaum hawa di daerah Bayan Beleq masih dapat di lihat. Keberadaan Cilinaya di gubuq ini tidak ada yang tahu selain kedua orang tua angkatnya itu.

Raden Mas Panji putra Datu Keling saat itu juga baru menginjak remaja. Sebagai putra mahkota kerajaan, kegiatan sehari-harinya selain berlatih bela diri juga hobinya berburu. Suatu ketika, Raden Mas Panji berkeinginan pergi berburu ke hutan di pinggir kerajaan Daha.Keinginan itu kemudian disampaikan kepada ayahandanya (mamiknya) Datu Keling. Raja Keling pun mengijinkan putranya untuk pergi berburu rusa dihutan tutupan di pinggir daerah kekuasaan kerajaan Datu Daha.

Tiba waktu yang telah ditentukan, Raden Mas Panji berangkatlah menuju hutan yang dimaksud untuk berburu rusa, dengan diiringi tiga orang pengasuhnya Raden Krude, Raden Kalang dan Raden Semar. Hutan tutupan yang di tuju Raden Mas Panji beserta tiga orang pengiringnya itu diperkirakan berada di sebelah timur Bayan Beleq sekarang.

Diceritakan, hutan tutupan yang di jadikan lokasi berburu Raden Mas Panji ini pada jaman itu banyak sekali di huni oleh binatang buruan seperti babi rusa,kijang, dan berbagai jenis burung. Sedang asyiknya berburu, tiba-tiba Raden Mas Panji merasa kehausan, kepingin minum.Maka di carilah mata air di sekitar hutan itu.Namun ketika sampai di dekat sebuah gubuq, Raden Mas Panji mendengar ada suara Jajak (alat tenun) sedang di mainkan. Lalu Raden Mas Panji berfikir kalau ada suara Jajak seperti itu, berarti ada orang penghuni gubuq itu. Dengan demikian berarti dapat minta air untuk sekedar melepas dahaga,pikirnya.Raden Mas Panji pun tanpa pikir panjang langsung menuju gubuq itu untuk minta air minum.Singkat cerita, Inaq Bangkollah yang memberikan air minum kepada Raden Mas Panji.Sementara Cilinaya sembunyi dalam rumah. Walau demikian, Cilinaya sempat juga dilihat oleh Raden Mas Panji.Seketika itu pula hati Raden Mas Panji tertutup untuk melanjutkan perburuannya. Akhirnya berburu pun gagal di lanjutkan.

Dengan bersusah payah, ketiga pengiring itu mengajak Raden Mas Panji pulang kembali ke istana kerajaan.Namun Raden Mas Panji tidak menghiraukan ajakan ketiga pengiringnya itu.Akhirnya, Raden Mas Panji ditinggal.

Setiba di istana kerajaan, pengiring Raden Mas Panji itu melapor kepada Mamiknya Datu Keling. Mendengar laporan itu, maka Datu Keling murka.

Keadaan inilah yang membuat Raden Mas Panji betah tinggal di gubuq itu selama 3 tahun. Hingga akhirnya Raden Mas Panji menikah dengan Denda Cilinaya dan di karuniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Megatsih.

Tiga tahun telah berlalu,kemurkaan Datu Keling belum sirna begitu saja atas kelakuan dan perbuatan putra satu-satunya sebagai harapan penggantinya kelak, rela tinggal di sebuah gubuq dipinggir hutan. Maka Datu Keling mengumpulkan para punggawa kerajaan untuk musyawarah. Dalam musyawarah tersebut, atas titah raja telah disepakati untuk menjemput Raden Mas Panji yang sudah lama tinggal di gubuq pinggir hutan kawasan kerajaan Daha.

Konon ceritanya seluruh punggawa dan kaula bala kerajaan Keling di kerahkan untuk menjemput putra mahkota Raden Mas Panji, dibawah pimpinan kedua maha patih Jero Tuek dan Adipati (Mangkubumi dan Mangkunegaran).

Alasan Datu Keling menjemput anaknya ini adalah dikatakan dirinya kepingin makan hati menjangan. Agar putra satu-satunya inilah yang berburu untuknya.Padahal dalam hatinya sebenarnya ingin memisahkan Cilinaya dengan anaknya Raden Mas Panji. Karena menurutnya, tidak pantaslah seorang putra mahkota (Pangeran) kerajaan kawin dengan orang kebanyakan.Padahal seandainya Datu Keling mengetahuinya, sebenarnya Cilinaya itu adalah putri saudaranya Datu Daha yang dikabarkan sempat hilang 20 tahun silam.Tapi karena Datu Keling sama sekali tidak mengetahuinya, maka hal itulah yang dilakukannya.

Datu Keling salah kaprah, karena dianggapnya anaknya Raden Mas Panji kawin dengan anaknya Amaq Bangkol itu tidak sederajat. Itulah sebabnya di utus patih dalam (Mangkubumi-Jero Tuek) dan patih luar (Mangkunegaran-Adipati) untuk menjemput putranya Raden Mas Panji pulang, dengan alasan Mamiknya Datu Keling sakit keras dan ingin makan hati menjangan putih.

Maha Patih Jero Tuek dan Maha Patih Adipati pun berangkatlah menuju hutan dimana Raden Mas Panji tinggal bersama isterinya Cilinaya. Raden Mas Panji ketika mendengar kabar itu, lalu minta ijin pada isterinya untuk memenuhi keinginan dan permintaan ayahandanya Datu Keling.Cilinaya pun mengijinkan suaminya berangkat berburu memenuhi pesan Datu Keling. Namun sebelum suaminya Raden Mas Panji berangkat, Cilinaya memberikan sebuah cincin sambil berpesan pada suaminya, apabila cincin ini gugur (hancur) dari jarinya, berarti dirinya sudah tidak ada di dunia ini.

Dikisahkan, usai memberikan cincin pada suaminya itu, maka Cilinaya dan suaminya Raden Mas Panji berpisahlah. Mas Panji bersama pengiringnya yang lain, selain Patih Jero Tuek dan Adipati, berangkatlah menuju hutan untuk berburu demi memenuhi permintaan ayahandanya Datu Keling yang kepingin makan hati menjangan putih.Sementara Jero Tuek dan Adipati tetap tinggal di gubuq tempat Cilinaya berada bersama keluarganya.

Kemudian setelah kira-kira jarak 1 km Raden Mas Panji pergi masuk hutan berburu, maka Patih Jero Tuek dan Patih Adipati menjalankan maksud sebenarnya mereka berada di tempat itu, yaitu ingin melenyapkan Cilinaya dari muka bumi. Namun sebelum niat kedua maha patih itu dilaksanakan, Cilinaya mengajak keduanya ke kebun miliknya di pinggir pantai bawah pohon ketapang, yang menurut Mangku Raden Singanem, lokasi yang dimaksud oleh Cilinaya ketika itu adalah pantai sekitar 200 meter kearah timur laut dari makam Cilinaya yang sekarang.”Di lokasi inilah Cilinaya dibunuh oleh patih Jero Tuek,”kata Raden Singanem.

Sebelum dibunuh, Cilinaya berpesan kepada patih Jero Tuek, “Mun tetu aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi berbau, kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit taik sengeh,”(Kalau benar saya ini anak rakyat jelata, agar darah saya muncrat keluar menetes ke bumi berbau busuk dan kalau benar saya ini keturunan raja, agar darah saya keluar muncrat dari tubuh saya berbau harum).

Patih Jero Tuek pun usai Cilinaya menyampaikan pesannya itu melakukan tugasnya untuk melenyapkan keberadaan Cilinaya dari atas bumi. Patih Jero Tuek terkejut dan kaget, ternyata darah Cilinaya muncrat keatas bumi dibarengi dengan bau harum mewangi. Pikirnya ternyata ucapan Cilinaya itu benar bahwa dirinya adalah keturunan raja yang tidak lain adalah putri Datu Daha yang dikabarkan hilang 20 tahun silam.Penyesalan pun tiada guna nasi sudah menjadi bubur.

Setelah Cilinaya mangkat, kemudian anaknya Raden Megatsih yang kira-kira kala itu baru berumur 2 tahun, kemudian dilangkepkan diatas jasad ibunya untuk di susui. Amak Bangkol dan Inaq Bangkol yang membawa Raden Megatsih kala itu tidak kuasa melihat kenyataan di depan matanya.Lalu Raden Megatsih di bawa pulang kembali ke gubuqnya oleh Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol untuk dipelihara. Sementara jasad Cilinaya ketika itu masih terkapar di atas bumi.

Dengan bersusah payah Patih Jero Tuek dan Patih Adipati mempersiapkan tablak (peti) sebagai tempat menaruh jasad Cilinaya, termasuk tenandan (tali) dari perdu untuk mengikat tablak itu juga dipersiapkan.Setelah seluruh persiapan sudah lengkap dan jasad Cilinaya juga sudah ditempatkan dalam tablak, maka tablak yang berisi jasad Cilinaya itu di hanyutkan ke tengah lautan luas hingga tidak terlihat kearah mana tablak itu terbawa arus.

Sementara di tempat terbunuhnya Cilinaya, keadaan semakin mencekam. Tiba-tiba datanglah angin pusut disertai hujan lebat dan halilintar menyambar setiap benda yang dilaluinya.Patih Jero Tuek maupun Patih Adipati sempoyongan sambil jatuh bangun akibat terjangan bencana tersebut. Sehingga dengan peristiwa tersebut Patih Jero Tuek akhirnya mangkat dan jasadnya dimakamkan di Tete Bukal, sekitar 200 meter kearah selatan dari lokasi terbunuhnya Cilinaya. Makamnya hingga saat ini masih ada dan tetap terpelihara tidak jauh dari makam Cilinaya.

Patih Adipati kemudian kembali ke istana kerajaan Datu Keling untuk melaporkan bahwa tugasnya sudah dilaksanakan serta peristiwa dan kejadian yang menimpa Patih Jero Tuek.Usai melaporkan itu, tiba-tiba Patih Adipati pun juga mangkat seketika ditempat. Makam Patih Adipati ini pun hingga sekarang masih ada dan tetap terpelihara di utara Bayan Beleq (Tempos).

Konon ceritanya, setelah berselang 8 tahun kemudian, Datu Daha berniat mengadakan acara rekreasi ke pantai “segara meneng” dengan mengajak seluruh kaula balanya. Setelah tiba waktunya keluarga besar kerajaan itu pun berangkatlah menuju pantai. Dari kejauhan Datu Daha melihat sebatang pohon terapung diatas lautan.Disaat memperhatikan batang kayu itu, tiba-tiba Datu Daha melihat burung gagak hinggap di batang itu lalu terbang kembali. Datu Daha kala itu tidak memiliki firasat apa-apa terhadap keadaan yang dilihatnya.

Batang kayu itu pun semakin lama semakin mendekat, ternyata yang tadinya di kira batang kayu oleh Datu Daha, melainkan sebuah peti yang isinya belum diketahui. Setelah agak dekat, kira-kira dalam air laut kala itu sepinggang orang dewasa, maka Raja Daha mengerahkan seluruh kaula balanya untuk mengangkat dan membuka peti itu. Namun peti itu tidak bisa diangkat, apalagi membukanya.Maka Datu Daha sendirilah yang mengambil dan membukanya dengan disaksikan oleh seluruh kaula balanya serta para pembesar istana.

Betapa terkejutnya Datu Daha ketika membuka peti itu. Ternyata di dalam peti itu adalah terdapat putrinya sendiri Cilinaya sedang duduk. Kabar tentang ditemukannya putri Cilinaya masih hidup itu, cepat tersebar ke seantero negeri kerajaan Daha maupun kerajaan Keling.

Kabar Cilinaya masih hidup ini pun sampailah ke telinga Raden Mas Panji suaminya.Maka Raden Mas Panji pun tanpa pikir panjang berangkatlah menuju istana kerajaan Daha untuk memastikan dengan membawa anak mereka Raden Megatsih. Pertemuan sepasang suami isteri dan anak ini pun berlangsung sangat memilukan. Karena mereka berpisah dulunya tidak dengan sewajarnya.

Atas pertemuan tersebut, maka kedua belah keluarga besar kerajaan mengadakan pesta syukuran selama 8 hari 8 malam.Datu Daha bersyukur karena bertemu lagi dengan putrinya Cilinaya beserta cucunya, sementara Datu Keling bersyukur karena putranya bisa kembali lagi ke istana. Kemudian kedua kerajaan, baik Kerajaan Daha maupun Kerajaan Keling dapat dipersatukan menjadi satu kerajaan yaitu Kerajaan Bayan. Karena adanya ikatan tali perkawinan antara Cilinaya putri Datu Daha dan Raden Mas Panji putra Datu Keling itulah, sehingga kerajaan Bayan itu berdiri.(Eko). 

www.suarakomunitas.net

Sejarah Asal Usul Nama Lombok

Pulau Lombok luasnya sepertiga dari luas Pulau Sumbawa. Namun, penduduk Nusa Tenggara Barat yang berjumlah lebih dari tiga juta, dua pertiganya tinggal di Pulau Lombok. Hal ini terjadi karena Pulau Lombok lebih subur dari Pulau Sumbawa. Penduduk Pulau Lombok adalah orang Sasak. Mereka sebagian besar memeluk agama Islam.
pulau lombok
 
Lombok dan Sasak adalah dua nama yang tidak bisa dipisahkan. Nama Lombok untuk sebutan pulaunya, nama Sasak untuk sebutan suku bangsanya. Lombok berasal dari bahasa Sasak; “lombo,” artinya “lurus”. Sasak sebenarnya berasal dari “sak-sak” yang artinya “perahu bercadik”.

Namun, banyak orang yang salah mengerti. Lombok diartikan “cabe” sehingga ada yang mengartikan pulau Lombok sebagai “pulau pedas”. Padahal cabe dalam bahasa Sasak adalah “sebia” (dibaca “sebie”)

 Cerita di bawah ini akan menjelaskan asal usul mengapa disebut Lombok dan Sasak. Nama Lombok dalam berbagai cerita lisan maupun tertulis dalam takepan lontar adalah salah satu nama dari Pulau Lombok. Nama lain yang sering disebut adalah pulau “Meneng” yang berarti “sepi”. Ada yang menyebut “Gumi Sasak”, ada yang menyebut “Gumi (bumi) Selaparang”, sesuai dengan nama salah satu kerajaan yang terkenal di Lombok pada zaman dulu, yaitu kerajaan Selaparang.
  
Pulau Lombok sejak zaman kerajaan Majapahit sudah terkenal. Hal ini terbukti dengan disebutnya dalam buku Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca. Negarakertagama ditemukan juga di Lombok.
  
Legenda masyarakat Sasak menceritakan bahwa pada zaman dahulu kala, kerajaan Mataram Lama di Jawa Tengah dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Pramudawardhani yang kawin dengan Rakai Pikatan. Konon sang Permaisuri adalah seorang ahli pemerintahan, sedangkan sang suami ahli peperangan. Kekuasaannya ke barat sampai ke Pulau Sumatra, ke timur sampai ke Pulau Flores. Ketika itulah banyak rakyat Mataram pergi berlayar ke arah timur melalui Laut Jawa menggunakan perahu bercadik.
 
Tujuan mereka berlayar tidak diketahui secara pasti. Apakah untuk memperluas kekuasaan atau menghindari kerja berat, karena pada saat itu Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Kalasan sedang dibangun oleh sang raja.

Demikianlah mereka berlayar lurus ke timur dan mendarat di sebuah pelabuhan. Pelabuhan itu diberi nama Lomboq (lurus), untuk mengenang perjalanan panjang.

Mereka lurus ke timur tersebut. Selanjutnya, Lomboq kini tidak hanya menjadi nama pelabuhan tempat perahu itu mendarat, tetapi juga menjadi nama pulau Lomboq yang kemudian berubah menjadi Lombok. Mereka berlayar menggunakan perahu bercadik yang disebut “sak-sak”, dan jadilah mereka dinamakan orang Sak-Sak Yang berarti orang yang datang menggunakan perahu. Kemudian, mereka membaur dengan penduduk asli. Pada waktu itu, di Pulau Lombok telah ada kerajaan yang disebut kerajaan Kedarao (mungkin sekarang Sembalun dan Sambelia). 

Mereka kemudian mendirikan kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok sekarang. Kerajaan Lombok menjadi besar, berkembang dalam lima abad, hingga dikenal di seluruh Nusantara, sebagai pelabuhan yang dikunjungi oleh para pedagang dari Tuban, Gresik, Makasar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, bahkan Malaka. Jika datang ke Lombok, orang Malaka membeli beras, tarum, dan kayu sepang.

Kerajaan Lombok kemudian dikalahkan oleh kerajaan Majapahit. Raja dan permaisurinya lari ke gunung dan mendirikan kerajaan baru Yang diberi nama Watuparang yang kemudian terkenal dengan nama kerajaan Selaparang.

Kapan nama Lomboq berubah menjadi Lombok, dan nama Sak-Sak berubah menjadi Sasak tidak diketahui secara pasti. Yang jelas sekarang pulaunya terkenal dengan nama Pulau Lombok dan suku bangsanya terkenal dengan nama suku Sasak. Nama Selaparang Sudah diabadikan menjadi nama sebuah jalan protokol dan nama lapangan terbang di Mataram, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat.

Sumber : Blog Kanak Sasak

GUMI PAER SESAIT DALAM SEJARAH

GUMI PAER SESAIT DALAM SEJARAH

BAB I
P E N D A H U L U A N

A.   PENGHUNI GONTORAN SESAIT
***Era Pra Sejarah, keberadaan tanah Lombok belum jelas, karena sampai saat ini belum ada data-data dari para ahli serta bukti yang dapat menunjang tentang masa pra sejarah tanah Lombok ini. Suku Sasak temasuk dalam ras tipe Melayu yang konon telah tinggal di Lombok selama 2.000 tahun yang lalu dan diperkirakan telah menduduki daerah pesisir pantai sejak 4.000 tahun yang lalu.
Berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku Sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI Masehi. Begitu pula dengan nenek moyang penduduk yang pertama kali menghuni gontoran gumi paer Sesait saat ini.

MKM SAYYID BUDIMAN SYAIH ABD. KADIR JAELANI.jpgMenurut penuturan A.Rahini (60) yang merupakan keturunan Datu Sesait ke 27 ini mengatakan, Berawal dari sebuah kampung kecil di Gawah Pedaleman (sekarang Sesait), sekitar abad ke 14, hiduplah  seorang manusia bernama Tumenggung Dalem. Pada masa kehidupan Tumenggung Dalem ini, tidak banyak diketahui keberadaannya. Hanya saja menurut A.Rahini yang dikutip dari Piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) diterangkan bahwa, pada masa kehidupan Tumenggung Dalem di Gawah Pedaleman (hutan belantara) ini, datanglah seorang Syeh yang berasal dari Bagdad (Irak) bernama Syeh Abdul Kadir Jaelani untuk menyebarkan Islam.

Syeh Abdul Kadir Jaelani, setibanya di Gawah/Pawang Pedaleman yang dihuni Tumenggung Dalem, kemudian ia tinggal dan menetap ditempat itu sampai akhir hayatnya.
Makamnya sampai sekarang, oleh masyarakat Wet Sesait dikenal dengan nama makam Syeh Sayyid Budiman (Syeh Abdul Kadir Jaelani). Makam ini sampai sekarang masih tetap terpelihara oleh masyarakat Santong Asli.
Menurut penuturan A.Rahini (59) berdasarkan isi Kitab Muhtadi’ yang pernah dibacanya menerangkan, Tumenggung Dalem ini adalah diyakini sebagai orang yang pertama penghuni gontor Sesait yang sekarang. Sehingga, oleh karena Tumenggung Dalem ini diyakini sebagai orang yang pertama mendiami wet tersebut, maka Tumenggung Dalem ini juga diyakini sebagai Raja Sesait yang Pertama.
Sepeninggal Tumenggung Dalem (Datu Sesait I), berabad-abad kemudian, wilayah Pawang Pedaleman lambat laun, seiring dengan perubahan zaman, dari waktu ke waktu, penduduk yang menghuni wilayah dimana Tumenggung Dalem bermukim, sudah menjadi ramai. Generasi ke generasi pun silih berganti. Begitu juga dengan penguasa masa itu, pun silih berganti, hingga muncul marga yang berkuasa bernama Demung.
Marga Demung yang muncul dan berkuasa ini pun tidak banyak diketahui, hanya saja yang terkenal adalah Demung Titik Pati. Pada saat berkuasanya Demung Titi Pati inilah muncul sinar yang saban hari berguling dari arah selatan Kampung Sesait tepatnya di Oman Rot menuju arah utara hingga tiba di dekat mimbar Mesjid Kuno lalu berhenti pada saat waktu asyar tiba. Setelah itu terus berguling kearah utara hingga memasuki hutan Pedewak Sesait,  yang akhirnya ditempat itu muncullah seorang bayi, yang kelak dalam perjalanan panjang sejarah Sesait bayi tersebut dinamakan Mak Beleq. Dimana Mak Beleq ini nantinya setelah menjadi Datu Bayan menggantikan Datu Bayan sebelumnya Emban Sereak akan berubah nama menjadi Sayyid Anom. Perubahan sebutan nama ini, karena memang Mak Beleq yang sudah menjadi Datu Bayan, ketika memulai mengamar syiar Agama Islam berubah nama menjadi Sayyid Anom.
Disebutkan, Demung Titik Pati memiliki seorang putra bernama Demung Melsi Jaya. Maka sepeninggal Demung Titik Pati (Datu Sesait II), praktis yang berkuasa di Gumi Paer Sesait pada periode selanjutnya adalah Demung Melsi Jaya dan keturunannya, dimana Demung Melsi Jaya sendiri memiliki empat orang anak, diantaranya adalah Demung Waji, Demung Musani, Demung Nulik, dan Demung Sukar.
Keempat Demung bersaudara ini, yang salah satunya perempuan (Demung Musani) secara bersama-sama menjalankan roda Pemerintahan Kerajaan. Namun diantara keempat Demung bersaudara ini, Demung Musanilah yang dipercaya untuk menjadi Raja Sesait yang sehari-harinya tinggal di dalam istana (Kampu). Sedangkan ketiga saudaranya (Demung Waji,Demung Nulik Demung Sukar) berada diluar istana membantu jalannya Pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Demung Melsi Jaya, Demung pernah berdo’a kepada yang Kuasa agar didatangkan ahli pembuat senjata, karena Sesait waktu itu adalah sebuah kerajaan, maka perlu melengkapi kaula balanya dengan perlengkapan perang. Karena senjata pada waktu itu sangat dibutuhkan sekali untuk keperluan perang.
Konon, berdasarkan kitab Kontara Sesait diceritakan bahwa pada masa jayanya Demung Melsi Jaya, seiring dengan perjalanan waktu, sekitar abad ke 14 M datanglah seorang pemuda ahli pembuat senjata yang berasal dari Klungkung Bali yang bernama Merkani, yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Pande Merkani (masa Kerajaan Datu Sentul).
Pada perkembangan sejarah berikutnya,Merkani (nama aslinya Syeh Sayyid Sa’id) ini semasa tinggal di Bali, sebelum datang ke Lombok (Sesait), diyakini pernah mendirikan sebuah Mesjid di daerah Serean Denpasar, yang hingga kini masih ada berdiri kokoh. Setiba di Lombok, Merkani yang aslinya berasal dari Timur Tengah tepatnya Hadralmaut (Yaman Utara) ini, kemudian tinggal menetap di Kerajaan Sesait. Karena saking lamanya Merkani ini tinggal di Sesait, menurut Kontara Sesait, diceritakan hingga mengawini Demung Musani, putri Datu Sesait Demung Melsi Jaya.
Dalam sejarah Sesait, Demung Melsi Jaya inilah yang menjadi Raja Sesait yang Ketiga. Singgasananya sampai sekarang masih dilestarikan dan dipelihara, oleh masyarakat wet Sesait dikenal dengan sebutan Kampu.
Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya, Demung Musani (Datu Sesait IV) adalah penguasa berikutnya setelah Demung Melsi Jaya (Datu Sesait III). Demung Musani dan keturunannya, inilah yang berkuasa berabad-abad kemudian, terus–menerus hingga sekarang yang berkuasa Bapuk Barudin (Puk Bar) keturunan yang ke 29. Dengan demikian Puk Bar ini adalah Raja Sesait yang ke 29 dengan gelar Demung Musani ke XXIX.
Sebelum Puk Bar berkuasa, yang berkuasa sebelumnya ada 12 orang  yang diketahui yaitu Raja Sesait ke 16 Pemban Banah, Raja Sesait ke 17 Rebadi, Raja Sesait ke 18 Lengguk (1882 M), Raja Sesait ke 19 Sriagan, Raja Sesait ke 20 Surawang, Raja Sesait ke 21 Ebeh, Raja Sesait ke 22 Tapa, Raja Sesait ke 23 Enep, Raja Sesait ke 24 Retam, Raja Sesait ke 25 Kaimah, Raja Sesait ke 26 Medan, Raja Sesait ke 27 Pa’at, Raja Sesait ke 28 Maidi (Kenaul) dan Raja Sesait ke 29 Puk Barudin (11 Februari 2016 - sekarang).
Raja-raja Sesait ke 5 hingga ke 15 tidak diketahui keberadaannya. Sedangkan gelar  yang digunakan oleh para Raja Sesait ini adalah Demung Musani. Namun sebutan untuk Raja di Sesait setelah Orde Baru berkuasa digunakan nama Mangkubumi hingga sekarang.    

B.   MISTERI MUNCULNYA SAYYID ANOM
Konon, sebagaimana diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat adat wet sesait, tentang misteri kemunculan seseorang yang bernama Sayyid Anom, yang sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Mak Beleq, yang nantinya dalam perjalanan sejarah dimasa mendatang adalah terkenal sebagai Datu Bayan.
Sumur Koloh Bandan Sesait.jpgDiceritakan oleh Masidep (48), bahwa di gontoran Gumi paer Sesait, dibulan Puasa/Ramadhan, tepatnya tanggal 17 Ramadhan, muncullah sebuah cahaya yang  berasal dari bawah pohon beringin besar yang ada di selatan kampung Sesait sekarang. Lokasi tersebut dulunya bernama Oman Rot.
Bermula dari bawah pohon beringin tersebut, muncul sebuah cahaya, terus menerus berguling kearah utara ditengah kampung Sesait. Cahaya tersebut, ketika sudah sampai disekitar mimbar Mesjid Kuno Sesait (waktu itu Mesjid ini sudah ada), lalu berhenti sejenak. Anehnya, cahaya itu selalu berhenti berguling ketika sudah ada waktu asyar. Melihat adanya cahaya yang berguling saban hari dari arah selatan hingga waktu asyar tersebut, masyarakat Sesait pun berhamburan keluar dari rumah masing-masing ingin melihat dari dekat, keberadaan cahaya itu.
FILE0176.JPGOleh karena cahaya tersebut dikerumuni oleh orang banyak, kemudian cahaya tadi terus berguling kearah utara hingga  masuk kawasan pawang adat alasbana (gawah bening) atau hutan belantara yang belum pernah dijamah tangan manusia. Gawah bening/pawang alasbana tempat cahaya tadi masuk, oleh masyarakat Sesait kala itu disebutnya sebagai Gawah Pedewak Sesait.
Masyarakat Sesait yang ingin mengetahui keberadaan cahaya itu, terus mengikuti. Cahaya tadi, ketika sudah sampai  di suatu lembah dalam hutan pedewak, lalu cahaya itu menghilang. Dengan menghilangnya cahaya itu, kemudian muncullah sesosok bayi laki-laki mungil. Masyarakat yang mengikuti cahaya tadi terperangah dan kaget, sembari sibuk mencari alat  untuk dijadikan wadah menampung air, untuk memandikan bayi tersebut. Alat yang digunakan memandikan bayi itu, disebut Bandan. Hingga sekarang tempat itu, oleh masyarakat sesait dikenal dengan sebutan Koloh Bandan. 
Seiring dengan berjalannya waktu, bayi yang sejak kemunculannya di koloh Bandan tersebut, kemudian dipelihara oleh Datu Sesait yang berkuasa saat itu bernama Demung Titik Pati. Maka sejak itu, bayi tersebut tinggallah bersama Datu Sesait dalam Kampu Sesait hingga Dewasa.
FILE0182.JPGSebagaimana lazimnya dalam ajaran Islam, bahwa seminggu kemudian dari sejak kelahiran bayi, diadakanlah aqiqah dan ngurisan. Maka bayi yang kemunculannya dari koloh bandan tersebut, oleh Datu Sesait di aqiqah dan dikuris (potong rambut). Hingga sekarang pun potongan rambut dari bayi tadi masih ada dan disimpan dalam suatu wadah yang disebut ‘Gandek’ di dalam Kampu Sesait.
Dalam perkembangan selanjutnya, bayi itupun tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan cerdas. Tidak lazimnya seperti proses pertumbuhan bayi pada umumnya sangat lambat. Tetapi yang terjadi pada pertumbuhan bayi ini malah sebaliknya. Mungkin menurut akal sehat manusia normal, proses pertumbuhan bayi ini boleh dibilang sangat aneh bin ajaib.
Pasalnya, setiap jam, setiap hari, setiap minggu dan bahkan setiap bulan pertumbuhannya sangat cepat berubah menjadi besar. Sehingga oleh komunitas masyarakat Sesait kala itu, melihat pertumbuhan badan anak tadi selalu berubah setiap saat, itulah sebabnya disebut dengan “Mak Beleq” (karena cepat besar).
Dalam interaksi sosial sehari-hari, anak itu tumbuh besar dilingkungan keluarga kerajaan, dibawah asuhan Datu Sesait Demung Titik Pati didalam Kampu Sesait. Anak ini dalam kehidupan sehari-hari memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak kebanyakan sebayanya. Dia cerdas, pintar, pandai, sopan santun dalam bergaul, memiliki tabiat yang baik, dan patuh pada orang tua.
Alkisah, Mak Beleq pun kini sudah dewasa. Suatu saat Datu Sesait Demung Titik Pati pernah menawarinya untuk menggantikan dirinya kelak menjadi Raja Sesait. Mak Beleq ketika mendengar tawaran tersebut, pada mulanya Dia  tidak siap. Tetapi dengan berbagai alasan yang bisa diterima oleh akalnya, akhirnya tawaran dari Datu Sesait tersebut diterimanya, dengan suatu syarat, yaitu sebelum dirinya memangku jabatan sebagai Raja Sesait menggantikannya kelak, ia berpesan agar membuatkan Berugak saka empat sebanyak 4 buah, yang nantinya harus ditempatkan di empat penjuru kerajaan Sesait (kampung Sesait sekarang). Berugak ini harus sudah selesai sebelum dirinya memangku jabatan.
Raja Sesait pun menyanggupinya. Namun sebelum memangku jabatan dan sebelum keempat berugak itu dibuat, maka Mak Beleq pun minta ijin pulang untuk mengambil pakaian kebesarannya. Maka Mak Beleq pun menghilang.
“Inilah yang menjadi misteri, yang hingga saat ini belum terungkap. Dia minta ijin untuk mengambil pakaian kebesaran kerajaan, lalu menghilang, “kata Masidep, Sekjen Perbekel Adat Sesait penuh keheranan.
“Dia pergi dan menghilang kemana serta muncul kembali, itu tidak ada yang mengetahuinya. Disinilah letak misterinya,”imbuhnya.
Dalam kontara Sesait (sejarah) diterangkan, suatu ketika, sesuai dengan janjinya, maka Mak Beleq pun kembali ke Sesait dengan membawa pakaian kebesarannya. Namun, apa yang terjadi? Ketika beliau kembali, berugak empat buah yang dijanjikan Datu Sesait dan harus sudah dibangun sebelum beliau memangku jabatan, serta berugak itu harus ditempatkan di empat penjuru mata angin diluar kerajaan Sesait, tetapi keempat berugak itu, belum bisa diwujudkan oleh Datu/Raja/Demung Sesait kala itu.
Diceritakan, sebenarnya Mak Beleq sudah siap menjadi Datu/Raja Sesait kala itu. Namun karena Datu Sesait tidak menepati janjinya, maka Mak Beleq urung menjadi Datu Sesait. Itulah sebabnya Mak Beleq dengan didampingi oleh Titik Kulem pergi ke Semboya untuk mencari daerah baru, sebagai lokasi mendirikan sebuah kerajaan baru nantinya.
Syahdan, Mak Beleq suatu ketika, dengan didampingi oleh Titik Kulem pun berangkatlah menuju Semboya. Mak Beleq dalam perjalanan menuju semboya tersebut, sempat beristirahat di Santong. Tempat istirahatnya ini, dari sejak itu hingga sekarang dibuatkan berugak “Pagalan”. Dimana berugak ini, sekarang keadaannya sangat memprihatinkan atau tidak terurus. “Ini membutuhkan keseriusan dalam menangani,memelihara dan merawat peninggalan sejarah masa lalu,”kata Bukren Klau suatu saat.
Dalam perjalanan menuju Semboya ini, Mak Beleq membawa sebuah alat untuk dijadikan sikap berupa sebilah keris dengan alasnya berupa perisai yang terbuat dari kayu Satuba. Alat penyikap ini, oleh Mak Beleq diberikan nama “Kulem”. Karena yang ikut berjasa mendampingi Mak Beleq dalam perjalanannya ke Semboya dalam rangka mencari daerah baru sebagai tempat mendirikan kerajaan baru nantinya bernama “Titik Kulem”. Itulah sebabnya alat tersebut dinamakan “Kulem.” Hingga sekarang alat ini masih tersimpan oleh keturunannya yang ke 58 (Masidep) di Dusun Sumur Pande Tengah Desa Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara (KLU).
Setibanya di Semboya, dengan menginjakkan kakinya pada sebuah batu besar, Maq Beleq pun mengarahkan pandangannya ke seluruh daerah sekitar utara gunung Rinjani. Mulai ujung barat hingga ujung timur, terus diperhatikannya. Dalam hatinya, Mak Beleq berkeyakinan bahwa daerah yang cocok dan tepat untuk dijadikan sebagai tempat mendirikan kerajaan baru nantinya adalah Bayan. Dimana Bayan kala itu, sedang diperintah atau masuk daerah kekuasaan Datu Emban Sereak. Batu besar tempat Maq Beleq menginjakkan kakinya pada saat itu, hingga kini masyarakat adat wet Sesait menyebutnya dengan sebutan ‘Batu Penginjakan’.
Setelah Mak Beleq memastikan, bahwa Bayanlah yang cocok sebagai lokasi letak kerajaan baru yang akan didirikannya nanti, maka Mak Beleq pun lekas-lekas kembali ke Sesait. Sambil berjalan pulang, Mak Beleq terus membayangkan dalam hatinya, kapan rencananya itu menjadi kenyataan. Maka untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, Mak Beleq pun secara diam-diam melakukan survey ke daerah Bayan.
Batu Penginjakan di Semboya
Dalam perjalanannya menuju Bayan, Maq Beleq sering singgah dibeberapa tempat, yang kelak dikemudian hari, setelah beliau berkuasa di Bayan, dijadikan daerah penyebaran Islam. Daerah yang sering disinggahinya diantaranya Dasan Beleq (Gumantar), Salut, Batu Gembung, Sembagek, (Sukadana), Semokan dan Anyar.
Sehingga tidak heran ditempat-tempat yang sering disinggahi oleh Maq Beleq kala itu, hingga sekarang situs Mesjid Kuno masih ada dan tetap terpelihara oleh penganutnya.
Juru Tulis Perbekel Adat Wet Sesait Masidep menceritakan, bahwa setibanya di Bayan, Maq Beleq tinggal dirumah salah seorang penduduk (tidak diketahui namanya…mungkin Amaq Bangkol) yang tinggal berdua bersama isterinya yang belum pernah dikaruniai seorang anak diladang miliknya dipinggir kerajaan. Pada saat survey ke daerah Bayan ini, secara kebetulan Raja Bayan (Emban Sereak) yang berkuasa saat itu, di Istana Kerajaan sedang berlangsung acara Gawe Beleq dalam rangka pernikahan putrinya (tidak diketahui namanya).
Sebagaimana lazimnya kebiasaan dikalangan istana, jika raja mengadakan gawe beleq/mengkarya besar-besaran, pasti berlangsung cukup lama, yaitu bisa tujuh hari tujuh malam dan bahkan bisa lebih dari itu. Acaranya pun disetiap gawe beleq seperti itu, peresean pasti tidak terlupakan, selain hiburan khas kerajaan lainnya. Begitu pula dengan Raja Bayan Emban Sereak kala itu, adakan gawe beleq tujuh hari tujuh malam dalam rangka menikahkan putrinya.
Nah, didalam acara gawe besar-besaran tersebut, Raja Emban Sereak mengundang dan mendatangkan para jawara-jawara (para Pepadu pilih tanding) dari seluruh negeri yang ada di Pulau Lombok dan ada pula yang berasal dari luar daerah kekuasaannya. Bahkan, para raja dan Pangeran atau Putra Mahkota dari seluruh negeri di Pulau Lombok maupun yang berasal dari pulau seberang pun didatangkan.
Oleh Maq Beleq, dari kejauhan terdengarlah sayup-sayup timbul tenggelam dibawa tiupan angin sepoi-poi basah bunyi gong gamelan bertalu-talu yang sedang ditabuh oleh para penabuh (sekaha) dari alun-alun kerajaan. Maq Beleq bertanya pada orang tua tempatnya tinggal itu, yang sudah dianggap sebagai neneknya, bunyi apakah itu. Neneknya mengatakan bahwa bunyi atau suara itu berasal dari kerajaan yang sedang menggelar Karya Besar (Gawe Beleq), yang didalamnya ada peresean.
Mendengar cerita neneknya itu, Maq Beleq pun merasa kegirangan. Sepontan denyut jantungnya berdetak keras. Kepingin cepat-cepat tiba dilokasi untuk melihat dari dekat acara dimaksud. Namun ke-inginannya itu tidak kesampaian, karena neneknya melarang pergi ketempat keramaian, dengan alasan, mereka adalah orang biasa, orang pedusunan alias orang udik. Lebih-lebih tidak sembarang orang yang bisa menghadirinya.
 “Mana mungkin kita bisa hadir ditempat seperti itu. Lebih-lebih gawe tersebut, Raja yang mengadakan,”kata neneknya suatu saat.
Selain Maq Beleq masih terlalu muda untuk hadir ditempat keramaian seperti itu, bahkan tidak jelas asal-usulnya. Hal itulah yang menyebabkan neneknya melarangnya untuk hadir. Sebab yang hadir ditempat itu, disamping hanya dari kalangan istana, juga dihadiri oleh para raja dan para Pangeran atau putra mahkota dari kerajaan tetangga seluruh negeri.
Perasaan geger bercampur penasaran ingin melihat dari dekat, terus berkecamuk didalam hati Mak Beleq. Secara pelan-pelan, penuh hiba, Maq Beleq terus memohon kepada neneknya agar mau mengantarkan dirinya ketempat acara gawe tersebut, walau hanya nonton dari kejauhan. Melihat kemauan yang keras pada diri Mak Beleq yang sudah dianggap cucunya itu, akhirnya pada malam terakhir dari puncak acara gawe itu, neneknya pun mau mengantarkannya, dengan syarat biar nonton dari kejauhan.
Diceritakan, setelah Maq Beleq diijinkan, dengan didampingi oleh kakek- neneknya, maka Maq Beleq pun berangkatlah menuju istana dimana acara gawe beleq tersebut berlangsung.
Mesjid Kuno Bayan1.JPG Makam Sesait di Bayan.JPG
Dalam perjalanan, perasaan gembira bercampur senang terus berkecamuk dalam hatinya, kepingin cepat sampai tujuan. Seberapa ramaikah acara itu. Hal inilah yang membuat hati Maq Beleq merasa senang dan bahagia. Sudah tidak bisa dibayangkan lagi, bagaimana cara mengungkapkan perasaan gembiranya.
Dengan langkah pasti sambil senyum sumringah, Maq Beleq yang didampingi kakek-neneknya dalam perjalanan menuju istana kerajaan dimana Raja sedang mengadakan gawe beleq itu, terus melangkahkan kakinya dengan penuh kegirangan.
Walau dengan bersusah payah, akhirnya Maq Beleq bersama kakek-neneknya, sampailah mereka di istana kerajaan. Setibanya di istana, mereka hanya bisa menyaksikan acara dari kejauhan. Berbagai kesenian khas kerajaan pun ditampilkan. Walau hanya nonton dari kejauhan, Maq Beleq pun merasa puas.
Malam pun semakin larut, namun tidak menyurutkan intensitas jumlah penonton, yang ingin menyaksikan gelaran tersebut. Bahkan kehadiran penonton terus saja mengalir bak aliran air yang mengalir membanjiri alun-alun istana. Di penghujung acara, oleh panitia hiburan kerajaan, ditampilkan acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh para jawara pilih tanding dari seluruh negeri yakni Perisean. Ketika tiba partai yang terakhir, tampillah calon menantu raja. Calon mantu raja ini yang oleh para pangeran yang hadir, dikenalnya sebagai jawara atau pepadu pilih tanding. Sehingga membuat kecut para pangeran yang hadir. Dengan tampilnya pepadu pilih tanding di arena, yang tidak lain adalah calon menantu raja yang berkuasa saat itu, sesekali melontarkan sesumbarnya.
Namun, dari seluruh pangeran yang hadir maupun dari kalangan rakyat biasa, tidak ada yang berani tampil melawan calon mantu raja. Bahkan tidak ada yang berani mengeluarkan suara sepatah kata pun. Dalam keheningan malam yang semakin larut itu, ditambah dengan rasa ketakutan yang mencekam, maka tiba-tiba muncullah seorang pemuda ke tengah arena menyatakan kesiapannya untuk beradu tanding dengan pepadu yang sekaligus calon mantu raja itu, yang terlebih dahulu berada di tengah arena. Pemuda itu tiada lain adalah Maq Beleq sendiri.
Dikisahkan, tanpa pikir panjang mantu raja yang tak pernah terkalahkan tersebut, langsung meladeni pemuda tadi (Maq Beleq). Awalnya pada ronde-ronde permulaan, Maq Beleq tidak melawan atau membalas pukulan demi pukulan yang dilontarkan lawannya. Begitu pula dengan ronde berikutnya, Maq Beleq tetap tidak mau membalas pukulannya. Mak Beleq hanya menghindar sambil  melindungi tubuhnya dari setiap serangan yang dilancarkan oleh musuhnya dibawah ende atau perisai  miliknya.
Para pangeran yang hadir menyaksikan peristiwa itu, merasa keheranan. Tidak mungkin seorang lawan tidak membalas pukulan dari musuhnya. Lebih-lebih yang dilawan itu adalah pepadu pilih tanding yang tidak pernah terkalahkan di seantero Lombok kala itu. ”Disinilah letak misterinya. Tidak mungkin seorang pepadu jika berlaga melawan pepadu pilih tanding tidak membalasnya,”terang Masidep, yang juga pekembar peresean di daerah KLU ini.
Diceritakan, bahwa pada ronde terakhir, barulah Maq Beleq meladeni atau membalas pukulan lawannya (calon mantu raja), dengan tiga pukulan, yaitu satu pukulan ditelinga kiri, satu pukulan ditelinga kanan dan satu pukulan di kepala. Tak ayal lagi, pepadu pilih tanding tersebut bocor dan jatuh pingsan. Melihat musuhnya bocor dan tak sadarkan diri, Maq Beleq takut, sementara penonton ribut, karena pepadu idola mereka yang tidak lain calon mantu raja kalah. Maka sambil membuang tameng / perisainya, Maq Beleq langsung kabur. Dengan bantuan kakek-neneknya, maka Maq Beleq lari, sehingga selamat dan terhindar dari perhatian kalangan istana.
Sementara itu, dikalangan istana sibuk mencari siapa dan dari mana pemuda tadi yang mengalahkan calon menantu raja, karena raja bertanya tentang hal ihwal kejadian tersebut. Para punggawa kerajaan pun melapor kepada raja, bahwa ada seorang pemuda yang mampu mengalahkan calon menantunya.
Raja Emban Sereak, setelah mendapatkan laporan tersebut, segera menitahkan para punggawa dan seluruh bala tentara kerajaan untuk mencari dan menyelidiki keberadaan orang yang telah mengalahkan calon menantunya itu. Dengan menyusuri seluruh daerah kerajaan, dengan bantuan para penduduk setempat, maka usaha para punggawa dan seluruh bala tentara kerajaan tersebut pun, tidak sia-sia. Mereka mendapatkan sebuah petunjuk yang mengarah kepada pemuda yang sedang mereka cari. Ketika mereka sampai di pojok kampung dipinggir daerah kekuasaan kerajaan, mereka mendapatkan berita bahwa ada yang melihat keberadaan  pemuda itu, ketika menghadiri acara gawe yang diselenggarakan pihak kerajaan.
Setelah mendapatkan informasi keberadaan pemuda tadi, maka raja pun mengutus utusannya untuk mencari orang yang dianggap pernah bersama dengan pemuda yang mengalahkan calon menantunya itu. Para utusan kerajaan itu pun berangkatlah menuju sebuah pedusunan yang terletak dipinggir kerajaan, sekitar lereng gunung Sangkareang Rinjani.
Setiba disana, para punggawa atau para utusan kerajaan tadi bertanya tentang keberadaan pemuda yang pernah melawan dan mengalahkan pepadu kerajaan beberapa waktu lalu, yang hingga saat itu belum sadarkan diri selama tiga hari tiga malam. Disamping ingin mengetahui secara detail tentang siapa sebenarnya pemuda itu, yang bisa mengalahkan pepadu kerajaan yang sudah terkenal tak terkalahkan diseantero jagad masa itu. Mungkinkah, pemuda itu bisa mengobatinya. Karena pepadu yang dikalahkannya itu adalah calon menantu Raja yang sudah tiga hari tiga malam belum sadarkan diri.
Pada saat bersamaan, tersiarlah kabar keseluruh pelosok kerajaan dikalangan rakyat Bayan, tentang kekalahan pepadu kerajaan oleh seorang pemuda yang tidak dikenal. Isu itu sudah menjadi buah bibir dari seluruh rakyat kerajaan kala itu.
Amaq Bangkol (orang tua tempat tinggal pemuda itu) mengatakan bahwa, memang ada seorang pemuda yang tinggal bersamanya. Namun Amaq Bangkol mengaku keberadaan pemuda tadi hanya tinggal bersamanya selama tiga hari saja. Setelah itu menghilang dan muncul kembali setelah tiga hari kemudian. Keadaan ini berlangsung terus-menerus hingga peristiwa kekalahan pepadu kerajaan olehnya itu terjadi.
Disinilah letak misterinya. Keberadaan pemuda yang tinggal bersama Amaq Bangkol itu, tiga hari ada dan tiga hari menghilang. Dan menghilangnya pun tidak diketahui, dia menghilang kemana, Amaq Bangkol sendiri tidak mengetahuinya. Hanya saja pemuda itu pernah mengatakan bahwa dirinya mengaku berasal dari “Sesait”.
Amaq Bangkol juga mengaku tidak tahu namanya. Karena memang pemuda itu tidak pernah menceritakan siapa sebenarnya dirinya. Hanya saja dia menyebut dirinya berasal dari Sesait. Utusan kerajaan pun hanya berpesan kepada Amaq Bangkol, jika pemuda itu datang lagi, agar dia diajak ke istana menghadap raja. Saat yang ditunggu pun tiba. Berselang tiga hari kemudian, sebagaimana yang pernah diceritakan Amaq Bangkol kepada utusan kerajaan sebelumnya, maka pemuda itu pun muncul lagi di Bayan.
Dikisahkan, begitu pemuda tadi sudah ada di rumahnya, maka secara diam-diam Amaq Bangkol berangkatlah ke istana kerajaan untuk melaporkan, bahwa pemuda yang dimaksud sudah ada dirumahnya.
Lalu Raja segera mengutus punggawanya untuk menjemput pemuda yang dimaksud (Amaq Beleq). Maka pemuda itu pun setuju dijemput, dengan syarat Amaq Bangkol diikutkan juga ke istana. Para utusan raja pun menyetujuinya. Maka berangkatlah mereka menuju istana kerajaan dengan menggunakan pengawalan pasukan berkuda yang ketat.
Setiba di istana kerajaan, maka pemuda tadi dipersilahkan duduk di atas singgasana yang sudah dipersiapkan disamping singgasana raja. Namun pemuda tadi menolak dan memilih duduk dibawah, bersama-sama dengan para bangsawan kalangan istana lainnya.
Rajapun bertanya tentang identitas siapa sebenarnya pemuda itu. Nama, asal-usulnya serta orangtuanya. Pemuda itu menjawab, ”Menurut orang Sesait, mereka memberikan aku nama Amaq Beleq, asalku dari Sesait dan orang tuaku, aku sendiri tidak tahu. Apakah Demung Titik Pati (Datu Sesait yang sedang berkuasa saat itu) tempat aku dibesarkan sebagai orang tuaku atau bukan, hal itupun aku tidak tahu. Yang jelas aku diberi nama Amaq Beleq,”terangnya.
Setelah Raja mengetahui identitas pemuda itu, maka raja berfikir bahwa pemuda inilah yang pantas menggantikan posisinya sebagai raja Bayan. Atas penawaran Raja ini, Amaq Beleq menolak dengan alasan dia masih kecil, belum pantas  memegang amanah dan belum berpengalaman serta dirinya juga bukan dari keturunan bangsawan dari trah keluarga kerajaan Bayan dan bahkan tidak jelas asal usulnya.
Berbagai upaya dan usaha yang dilancarkan Raja untuk meyakinkan Mak Beleq agar bersedia untuk duduk di singgasana menggantikan dirinya. Setelah didesak Raja, akhirnya Maq Beleq pun menyanggupinya dengan satu syarat, yaitu ketika Maq Beleq diangkat menjadi Raja Bayan menggantikan posisi Raja Emban Sereak, maka Maq Beleq minta dijemputkan isterinya di Gunung Rinjani.
Disini juga letak misterinya. Pemuda tadi mengaku asalnya dari Sesait, dia tinggal dengan Datu Sesait. Tetapi setelah ditawari jadi Raja Bayan menggatikan raja emban Sereak, dia setuju, asalkan dijemputkan isterinya di Gunung Rinjani.
Raja Emban Serak pun menyanggupinya. Maka diperintahkanlah para punggawa dan para prajurit kerajaan sejumlah 400 orang untuk pergi ke gunung Rinjani, guna menjemput isteri Maq Beleq yang katanya berada di Gunung Rinjani.
Namun diceritakan bahwa, dalam perjalanan menuju ke gunung Rinjani tersebut, para utusan kerajaan yang diberangkatkan dengan kekuatan sejumlah 400 orang tersebut, yang sampai tujuan hanya tinggal 20 orang. Yang lainnya, tidak mampu naik melanjutkan perjalanan dan bahkan diantara para prajurit utusan tersebut, banyak yang meninggal. Selain itu, banyak diantara para prajurit yang di utus ada yang percaya dan ada pula yang tidak percaya.
”Mustahil seorang pemuda dari udik yang tidak tahu asal usulnya dan yang akan dijadikan raja di Bayan, katanya memiliki istri di gunung Rinjani lagi, ”kata sebagian prajurit yang tidak percaya itu.
Dikisahkan, para utusan yang jumlahnya hanya 20 orang yang sampai tujuan ke gunung Rinjani dalam rangka menjemput istri Maq Beleq tersebut, terperangah dan kaget. Ketika mereka tiba di gunung Rinjani, ternyata isteri Maq Beleq (Nenek Bini) yang dimaksud, sudah bersiap-siap akan berangkat, lengkap dengan kereta ‘Juli Jempana’ (tandu pengantin) miliknya.
Akhirnya, isteri Amaq Beleq Nenek Bini dengan di arak keliling di sekitar gunung Rinjani itu pun berhasil dibawa pulang oleh 20 orang prajurit ke kerajaan Bayan. Sejak saat itu, Amaq Beleq diangkat sebagai Raja Bayan menggantikan Raja sebelumnya Emban Sereak, dengan sebutan ”Datu Bayan.”
Setelah Maq Beleq resmi memangku jabatan sebagai Raja Bayan (Datu Bayan), maka misi utama yang akan dilakukan Datu Bayan kala itu adalah menggiatkan penanaman Tauhid dan Syareat Agama Islam, dengan tidak meninggalkan budaya yang berkembang dan berlaku sebelumnya di daerah Bayan. Ini berarti, agama jalan dan adat pun jalan seiring. Inilah misi utama Datu Bayan.
Selain misi itu, ada misi yang paling besar dalam menyebarkan ajaran Islam, yaitu, Datu Bayan berkeinginan mengislamkan orang Jawa, Madura, Bali, Surabaya dan seluruh kawasan pulau Lombok. Sehingga daerah-daerah yang ada di Jawa, yang pernah di kunjunginya dalam misi penyebaran agama Islam oleh para utusan Datu Bayan kala itu antara lain, seperti Betawi, Banten, Surabaya, Jombang dan Sumenep.
Dalam perjalanan pulang, para utusan Datu Bayan ini, pernah singgah di Bali yaitu di daerah Singaraja dan Karangasem. Namun, sebelum para utusan ini diberangkatkan dalam misi penyebaran Agama Islam tersebut, ada sebuah kesepakatan antara Datu Bayan dengan para utusan yaitu sebelum misi selesai penyebaran Islam di pulau Jawa, Madura dan Bali, maka para utusan tidak boleh kembali. Setelah misi tersebut sudah selesai baru penyebaran Islam di pusatkan di pulau Lombok.
Tetapi, kesepakatan tersebut tidak di patuhi oleh para ulama yang ada di Lombok. Artinya, para ulama yang ada di Lombok menginginkan agar penyebaran Islam di Lombok dilakukan bersamaan dengan para utusan yang ke pulau Jawa.
Dengan melanggar kesepakatan tersebut, ada seorang ahli nujum yang menghadap Raja, melaporkan bahwa ada musuh kerajaan yang asalnya dari pulau Bali bernama “Nengah Subagan”.
21072010144.jpgRaja bertanya kepada ahli Nujum tersebut, tentang siapa sebenarnya Nengah Subagan itu. Ahli Nujum mengatakan bahwa keberadaan Nengah Subagan saat itu, masih dalam kandungan ibunya yang baru berusia 3 bulan.
Sementara itu, penyebaran Islam di pulau Lombok khususnya di daerah utara gunung Rinjani, yang lebih dikenal dengan sebutan “Paer Daya” itu terus berlangsung. Sehingga dalam misi penyebaran Islam di Paer Daya dibeberapa daerah utara gunung Rinjani, diberikan hak otonomi untuk mendirikan Mesjid/langgar sebagai tempat ibadah dalam menjalankan syareat Islam.
Itulah sebabnya, hingga saat ini beberapa peninggalan Mesjid Kuno di daerah utara gunung Rinjani masih ada dan tetap terpelihara. Daerah-daerah tersebut antara lain, Mesjid Borok Sokong Tanjung, Mesjid Soloh Rempek, Mesjid Sesait, Mesjid Salut, Mesjid Gumantar, Mesjid Anyar, Mesjid Bayan, Mesjid Loloan, Mesjid Barung Birak, Mesjid Sukadana, Mesjid Sembagek, Mesjid Batu Gembung Embar-embar dan lain-lain.
Dalam misi penyebaran Islam dengan memberikan hak otonom tersebut, maka Datu Bayan berfatwa yang terakhir di Mesjid Kuno Bayan, “Bahwa seluruh ulama dan tokoh adat penyebar Islam di undang untuk mendengarkan Fatwa terakhir Datu Bayan”.
Isi Fatwa Datu Bayan : “Saya sampai disini misi saya dalam penyebaran Islam. Silahkan dilanjutkan dan pertahankan penyebaran Islam di seluruh pelosok daerah otonom masing-masing.”
Pada saat berlangsungnya Fatwa Datu Bayan tersebut, secara fisik memang keberadaannya sudah tidak kelihatan, hanya suaranya saja (maerat) yang didengar oleh seluruh undangan yang hadir mendengarkan fatwanya yang terakhir itu.
Sehingga Datu Bayan, saat memberikan fatwa terakhir, berpesan dan mengingatkan kepada seluruh ulama dan tokoh adat yang hadir, bahwa barang siapa yang ingat kepada dirinya (Datu Bayan), maka datanglah ke tempat itu (Mesjid Kuno Bayan), dia pasti ada disitu (Mesjid Kuno Bayan).
Masing-masing orang/ulama yang mendengar suara fatwa terakhir Datu Bayan itu, dimana sumber suara tersebut, lalu diberi tanda dengan batu. Sehingga sampai saat ini, masyarakat mengenalnya dengan jirat Makam Bayan, Makam Sesait, Makam Karang Salah, Makam Semokan, Makam Loloan dan makam-makam lainnya, yang semuanya itu terletak dilingkungan Mesjid Kuno Bayan.
Khusus di Sesait, untuk mengenang jasa Maq Beleq, karena untuk pertama kalinya dia muncul di Sesait (Koloh Bandan), ternyata Maq Beleq itu adalah seorang Sayyid keturunan Nabi Muhammad Saw, yang oleh orang Sesait dikenalnya dengan nama Si Sayyid (Sayyid Anom), sehingga untuk mengenangnya diabadikan dengan nama sebuah kampung, yang hingga saat ini bernama Sesait.
C.    SEJARAH DESA SESAIT SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN ISLAM DAN PEMERINTAHAN PERTAMA

Desa Sesait adalah desa tertua dari 8 desa yang ada di wilayah Kecamatan Kayangan. Pasalnya, sebelum berdiri 7 desa lainya, Desa Sesait sudah ada. Pemberian nama Sesait, tidak terlepas dari peran para wali yang memang sengaja datang dari Timur Tengah (Bagdad) dalam misi penyebaran Agama Islam di daerah itu.

Nama dan istilah Sesait berasal dari bahasa Arab, yaitu Sayyid, sebagai istilah untuk memberi gelar kepada para pemimpin agama atau orang yang memiliki pengetahuan luas dibidang agama Islam. Kata Sayyid, juga digunakan untuk menunjuk seseorang yang memiliki gelar keturunan atau sahabat Nabi Muhammad Saw yang menyebarkan agama Islam.
Berawal dari sebuah kampung kecil pada awal abad 14 M, terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer  Sesait kala itu,  masyarakat kampung tersebut sudah memiliki keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima (dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki faham dan keyakinan yang  sangat kuat. Setelah kedatangan  para Wali Allah (para penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut, maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.


 
Konon menurut  Piagam Sesait  Kitab Muhtadi’,  pada abad 14 M, Sesait  dijadikan  sebagai Pusat  Penyebaran  Islam  dan Pusat  Pemerintahan  Pertama  yang  mencakup  wilayah kekuasaan Sesait, karena  berdasarkan atas keputusan  para  wali di Jawa,  bahwa wali yang  pertama  mengijakkan  kakinya di gumi Sesait kala itu ada dua orang yaitu Syech Sayyid Saleh Pedaleman, asal Makkah Al-Mukarramah dan Syech Sayyid Rahmad.
Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka sepakat siapa yang tetap tinggal dan yang akan melanjutkan perjalanan.
Sejarah mencatat, bahwa yang tetap tinggal   di kampung tersebut adalah Syech Sayyid Saleh Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran Sangapati  atau lebih dikenal dengan nama Melsey Jaya. Kanjeng Syeh Sayyid Saleh Pedaleman setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya. Syeh Sayyid Saleh Pedaleman inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat tahun 1413 M., beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makamnya hingga saat ini, yang oleh masyarakat Sesait menyebutnya “Makam Kubur Beleq”.
Kanjeng Sayyid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Said Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam itu, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayyid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si Sayyid menjadi Sesait
Inilah awal mula kampung tersebut diberikan nama Kampung Sesait hingga sekarang. Sesuai dengan nama beliau sendiri Sayyid Rahmat yang artinya dalam bahasa arab keselamatan. Adapun  peninggalan – peninggalan  serta  ajaran - ajaran  Sayyid Rahmat yang masih ada yang kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) seperti, Kitab Suci Al Qur’an  Cetakan Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Slawatan yang di  tulis  tangan oleh beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati Pisang. Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana  metode  yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan  adat - istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai.
Sepeninggal Kanjeng Said Rahmad berlayar ke gumi jawa Dwipa kala itu, lalu beliau menempatkan kampung Si Sayyid (Sesait) sebagai pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus di jadikan sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Sesait. Adapun wilayah Kerajaan Sesait yang di jadikan sebagai pusat Pemerintahan kala itu  menjadi satu wilayah. Namun sekarang sudah berubah menjadi beberapa buah desa yang berdiri sendiri, yaitu Desa Pendua, Dusun Santong Asli Desa Santong, Desa Kayangan dan  Desa Sesait sendiri. Walau wet Sesait ini sudah masuk menjadi bagian desa lain dan di pisahkan secara administrasi, namun wet adatnya masih tetap satu yaitu wet adat gumi paer Sesait.  Kampu Sesait yang oleh Sayid Rahmat  dijadikan sebagai keratonnya dan  dalam struktur Pemerintahan di bentuklah lembaga pemerintahan yang di sebut Tau Lokaq Empat, yaitu  Mangku Gumi sekaligus sebagai Raja, Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan, Jintaka sebagai Pengatur pola tanam di bidang perekonomian  dan Penghulu  membidangi di bidang Agama yang mencakup wilayah kekuasaan Kerajaan Sesait.
Selanjutnya dalam Kitab Muhtadi’  yang menjadi sumber tertulis Sejarah Sesait menyebutkan, Pengangkatan Raja Pertama Sesait kala itu dijalankan berdasarkan atas keputusan keluarga Kerajaan dan bukan memakai sistem Demokrasi seperti yang berlaku di Negara yang menganut paham demokrasi. Hal tersebut dilakukan karena ini masalah urusan Trah Kerajaan dan itu juga di setujui oleh para Wali penyebar agama Islam (Sayid Rahmat) ketika itu, sekitar  pertengahan abad 15 M silam. Pengangkatan Raja pertama Sesait dengan gelar Pangeran Mangku Gumi (Satu) sesuai dengan silsilah keturunan yang sudah tertulis di dalam Piagam Sesait (Kitab Kontara dan Kitab Muhtadi’), dan inilah yang menjadi pedoman keluarga Kerajaan dalam hal pengangkatan Raja, dari pertama terbentuk  sampai saat ini dan itu tidak bisa di interfensi oleh siapapun, karena itu mutlak keputusan Trah keluarga Kerajaan (sesuai Purusa) yang sudah baku sejak pertamanya terbentuk.
Setelah terbentuknya Mangku Gumi, barulah Mangku Gumi mengangkat  Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan pada waktu itu, kemudian Penghulu dan Jintaka. Untuk membantu dalam menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangku Gumi, juga mengangkat Seorang Senopati Perang  yaitu  Senopati Anggura Paksa dan empat orang Patih sekaligus, yaitu Daman, Jumanah, Rapiqah dan Raqiah. Konon ke-empat orang patih ini adalah bersaudara  dan  khusus  di datangkan dari  Negeri  Iraq Bagdad. Di ceritakan dalam piagam Sesait,  ketika Said Rahmat  meninggalkan kampung Sesait untuk berlayar melanjutkan perjalanannya ke Jawa Dwipa, namun sebelum sampai ke Jawadwipa, beliau sempat singgah di Serean Karang Asem dan Klungkung Bali, setelah itu baru kemudiam beliau melanjutkan perjalanan ke tanah Jawadwipa. Sesuai dengan wasiat beliau, kisah  perjalanan Said Rahmat  dari Sesait ke Pulau Jawa  tepatnya di Ampel  Denta  Surabaya, di tulis oleh Lebe Seriaji ( santri beliau sendiri), hingga saat ini tulisan beliau masih tersimpan  dengan baik di Kampu Sesait.
Kurun waktu dua abad lebih lamanya, Sesait mengalami masa kejayaannya. Pada masa Pemeintahan Layur tahun 1725-1755 M. Pada zaman itu terjadi peristiwa  yang hingga saat ini masih melegenda pada rakyat Sesait, yaitu cerita tentang munculnya seorang bayi yang dikemudian hari menjadi  ulama besar yang bergelar Pangeran Sayyid Anom. Di bawah asuhan ulama besar inilah sehingga  Islam pada zaman itu berjaya di  gumi paer Sesait. Tidak heran banyak santri yang menimba ilmu di daerah ini, yang rata-rata mengambil aliran jalan tassawuf.
Dalam perjalanan sejarah beberapa abad kemudian, Sesait yang dulunya sebuah kampung lambat laun berubah menjadi sebuah desa. Menurut Djekat salah seorang sesepuh yang dituakan di gumi paer Sesait mengatakan, Desa Sesait sudah ada sejak tahun 1895 dengan Pemusungan (Kades) yang pertama bernama Murdip (asal Lekok) dengan pusat pemerintahannya di Amor-Amor.  Kemudian pada masa Mardawati tahun 1928, Desa Sesait dipindahkan ke Lokok Rangan. Dengan pindahnya Desa Sesait tersebut ke Lokok Rangan maka berdirilah Desa Selengen tahun 1929 dengan Kepala Desa Pertamanya Redip.
Ketika pusat pemerintahannya di Lokok Rangan, Desa Sesait telah diperintah oleh 3 orang pemusungan, yaitu Amaq Aliah (1928-1945), Amaq Muliamah (1945-1958) dan Jumais tahun 1958 hingga tahun 1966 saat desa tersebut di pindahkan ke Santong. Dengan pindahnya Desa Sesait ke Santong, maka berdirilah Desa Kayangan dengan Kepala Desa pertamanya Israil Ismail DM tanggal 26 Agustus 1966. 
Sejak Desa Sesait di pindahkan ke Santong tanggal 26 Agustus 1966 hingga tahun 2006, Pemusungan Sesait yang memerintah secara berurutan antara lain, Amaq Saharim (1966-1967), Amaq Raidin (1967), Medip (1968-1970), Dahlan (1970-1974), Seta Antadirja (1974-1979), Djekat (1979-1987), Satriadi (1987-1988), Djekat (1988-2006) dan pada tahun 1997, Desa Sesait kembali di pindahkan ke Sumur Pande dengan Pemusungan masih di jabat Djekat.
Dengan pindahnya kembali Desa Sesait ke Sumur Pande pada tahun 1997 tersebut, maka berdirilah Desa Santong dengan Kepala Desa pertamanya Artim Yahya (1997). Setelah lengser pada tahun 2006, Djekat diganti oleh Sidep (2006-2007), lalu Murdan (2007-2012) dan terakhir Airman,S.Pd (2013-sekarang).
Sejak berdirinya hingga saat ini, Desa Sesait tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarahnya. Desa dengan motto Merenten (bersaudara) yang dijadikan maskot semangat seluruh masyarakatnya dalam bekerja yang sebagian besar hidup dari hasil pertanian ini, telah mampu menunjukkan hasil yang patut di banggakan. Seperti dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan. Ketiga sektor inilah yang dijadikan prioritas unggulan yang dihasilkan desa ini.
Pemusungan Sesait sejak di jabat oleh Djekat semangat Merenten itu terus di galakkan dan di budayakan hingga pemerintahan Airman yang sekarang. Semangat Merenten inilah yang dianut tatkala akan memulai suatu pekerjaan. Lebih-lebih di setiap akan memulai suatu program yang direncanakan. Acapkali semangat inilah yang selalu di kedepankan dalam setiap pengambil kebijakan. Termasuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam setiap menjalankan program pembangunan, baik dalam bidang pemerintahan, pembangunan maupun dalam bidang kemasyarakatan.
Sejalan dengan berjalannya waktu, Desa Sesait yang memiliki luas 17.100 Ha dengan jumlah penduduk 10.127 jiwa, 2.792 KK serta kepadatan penduduknya 0,592 /km tersebut pun pada awal tahun 2015, berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Lombok Utara Nomor 15 tahun 2015 tanggal 11 Mei 2015, kemudian melahirkan Desa Santong Mulia dengan Penjabat Kepala Desa pertamanya Eko Sekiadim,S.Sos (SK.Bupati No.268/28/Pem/ 2015 tgl.11 Juni 2015) asal Lokok Sutrang dan Desa Sesait sendiri sebagai Desa Induk.
Desa Santong Mulia dengan luas wilayah 223,26 Ha, dan jumlah penduduk 2.560 jiwa, yang terdiri dari Laki-laki 1.354 dan Perempuan 1.206 serta 588 KK tersebut, membawahi enam dusun, yakni Dusun Tukak Bendu dengan Kepala Dusun Sukarti, Dusun Lokok Sutrang dengan Kepala Dusun Asrudin, Dusun Mula Gati dengan Kepala Dusun Amudin, Dusun Santong Mulia dengan Kepala Dusun Iswandi, Dusun Sumur Jiri dengan Kepala Dusun Munawar dan Dusun Lokok Rauk dengan Kepala Dusun Kamarudin ini, berbatasan langsung dengan Desa Kayangan di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Gumantar dan Desa Dangiang, sebelah barat dengan Desa Sesait dan Desa Pendua dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sesait (Induk).****









BAB II
PRANATA LOKAL ADAT WET SESAIT
A.   KONDISI PRANATA LOKAL SESAIT
Beberapa temuan dalam intervensi pranata lokal pada wet Sesait (Persekutuan Adat Sesait), fungsi dan eksistensinya di masyarakat wet Sesait yang membawahi 4 Desa dan satu dusun yakni Desa Kayangan, Desa Sesait, Desa Santong Mulia, Desa Pendua dan Desa Santong (khusus Dusun Santong Asli) sampai saat ini sangat kuat.
Tidak jarang institusi (pranata) ini masih efektif dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan dan konflik horisontal serta mampu mengajukan perubahan struktur pemerintahan desa berikut tugas dan fungsi tanggung jawabnya.
Menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menjelaskan bahwa institusi pranata lokal dan unsur-unsur yang mampu bertahan dan ada yang diaktifkan kembali dalam sistem  Pemerintahan Desa pada era otonomi luas saat ini, diantaranya, sebut saja Banjar, Lang-lang, Merebot, Kyai, Penghulu, Calak, Pembayun, Mangku, Belian, Pemusungan, Juru Tulis, Keliang, Jintaka, Anakoda, Pengancang, Nyawen dan lain-lain.
Keberadaan institusi dan pranata lokal di Sesait ini, lanjut Masidep, tetap bertahan dari zaman ke zaman dan eksistensinya tetap kuat untuk di jalankan, baik dari segi tugas, fungsi maupun tanggung jawabnya.
Selanjutnya temuan hasil inventarisasi beberapa institusi dan pranata lokal, baik yang masih tetap dipakai oleh Pemerintah setempat dan masyarakat, namun harus dikembalikan dahulu, maupun yang masih kuat keberadaannya ditengah-tengah masyarakat, serta menjabarkan peran, fungsi dan tanggung jawabnya dari satuan-satuan pemerintahan desa.
Menurut pemerhati Adat Wet Sesait, Abidin Tuarita,B.Sc  mengatakan bahwa, institusi dan pranata lokal yang sampai saat ini diberdayakan kembali, diantaranya adalah Pemusungan, Keliang, Juru Tulis, Juru Arah, Lang-lang, Mangku Gumi, Penghulu,Toak Lokaq, Jintaka, Aji Makam, Anakoda dan lain-lain.
160220111330.jpg
Selanjutnya Abidin Tuarita juga menjelaskan bahwa institusi dan pranata lokal yang kembali diberdayakan di Sesait ini, adalah merupakan hak-hak masyarakat adat yang selama era pemerintahan orde baru telah dikebiri bahkan dibekukan.
Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada masa pemerintahan orde baru, benar-benar mengalami internalisasi setelah keluarnya UU No.5 Tahun 1979. Keluarnya produk Undang-undang ini memberi arti yang cukup mendalam bagi tenggelamnya hak-hak masyarakat adat atas kelembagaan sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Undang-undang Pemerintahan Desa yang berbau monolitik ini, lanjut Abidin, memberlakukan penyeragaman struktur pemerintahan desa yang sebelumnya memiliki struktur kelembagaan pemerintahan masyarakat adat yang plural.
”Hak-hak masyarakat adat meliputi tiga hal mendasar, yaitu, pertama; mengacu pada hak-hak atas sumber kehidupan/hak ulayat yang berada diwet geografis mereka, kedua; pengakuan hak-hak masyarakat adat didasarkan pada tradisi dan hukum yang mengatur masyarakat adatnya sendiri; dan yang ketiga adalah pengakuan pada sistem dan kelembagaan sosial, budaya, ekonomi dan politik, ”urai Abidin Tuarita.
B.   POLA PEMERINTAHAN DESA DI SESAIT
Untuk mewujudkan otonomi masyarakat desa pada era otonomi luas saat ini, di Sesait selama beberapa tahun terakhir ini (sejak tahun  2001), telah membangun pola pemerintahan kolektif dengan mengefektifkan dan memfungsikan peran Pemusungan, Penghulu dan Mangku (tiga basis ketokohan).
Membangun tiga basis ketokohan ini, menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menjelaskan bahwa secara struktural merupakan perubahan yang sangat fundamental dan strategis dalam menyelenggarakan pola pemerintahan di tingkat desa.
Pola Pemerintahan Kolektif dengan tiga kekuatan tokoh adat ini, disebut ”Wettu Telu” atau menurut Tau (orang) Sesait lazimnya disebut ”Waktu Telu”.
Istilah Wettu Telu sejak zaman dahulu, lanjut Masidep, bahwa hal itu sering digunakan pada sebuah pemerintahan kolektif karena memiliki akar budaya yang sangat kuat dengan nuansa agama yang sangat relevan yaitu ”adat luwir gama” (pelaksanaan adat bersendikan agama).
”Pola pemerintahan kolektif dengan kekuatan Wettu Telu ini, wet artinya wilayah, Tu/Tau artinya orang/tokoh dan Telu artinya tiga,”jelas Masidep.
”Dengan demikian, tiga wet atau wilayah masing-masing memiliki pemimpin tersendiri, yaitu Wet Pemerintah dipimpin oleh Pemusungan; Wet Agama dimpin oleh Penghulu dan Wet Adat Budaya dipimpin oleh Mangku Gumi,”tandasnya lagi.
160220111262.jpgMenurut tokoh adat  Sesait yang juga anggota DPRD KLU Djekat Demung Waji, mengatakan bahwa kembalinya nilai pranata lokal melalui pola kepemimpinan kolektif (Wettu Telu), dalam upaya menghilangkan indikasi ’penguasa tunggal’ atau dominasi Kepala Desa dengan memfungsikan lembaga yang memang sudah ada sejak dahulu.
Misalnya, sebut saja seperti di Desa Sesait ini, bahwa sistem pengambilan keputusan; seorang Pemusungan selalu mengacu pada kekuatan agama dan adat, sehingga dalam pengambilan keputusan selalu melibatkan kepemimpinan kolektif  yang terdiri atas Pemusungan, Penghulu dan Mangku Gumi (Perbekel Adat), yang merupakan figur publik, dimana masing-masing tokoh ini memiliki keahlian dibidangnya.
Selanjutnya papar Djekat, ”bila pada era orde baru terjadi dominasi kekuasaan oleh Kepala Desa dalam arti penguasa tunggal di desa, maka mau bilang apa, sebab UU No.5 Tahun 1979 membentuk karakter itu, ”katanya.
Disamping itu, jelas Djekat DW, bahwa pola pemerintahan yang dahulu memiliki hirarkis yang sangat kuat, jadi ada sistem komando. Saat ini era reformasi sudah bergulir dan kran demokrasi sudah dibuka, maka sebaiknya para Kepala Desa harus meresponnya untuk membentuk pola pemerintahan lokal dengan melibatkan semua unsur di desa, sebagai satu kesatuan.
Menyimak pernyataan Djekat DW ini, maka sudah dapat dipastikan bahwa, hukum berupa UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, telah melakukan pendekatan sentralistik dan berbau monolitik (kekuasaan tunggal), hingga menghilangkan hak-hak masyarakat adat dan menyumbat Grass Root Democraty.
”Dengan adanya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka memberikan ruang gerak bagi pranata lokal untuk dimunculkan kembali dalam Pemerintahan Desa,”jelas Djekat.
Pola Pemerintahan di Desa Sesait telah menyatukan semua elemen sebagai satu kesatuan hukum untuk mewujudkan hak politik, demokrasi dan partisipasi masyarakat, yaitu hak berpendapat, hak memilih dan dipilih, serta hak pengawasan. Disamping itu, pola hubungan pada sistem pemerintahan ini memiliki pola hubungan konsultatif, koordinatif, kontrol dan fasilitatif.
C.   KONDISI KELEMBAGAAN ADAT WET SESAIT
Dijadikannya sistem Kelembagaan Adat Wet Sesait sebagai Pilot Projeck (Proyek Percontohan) oleh Bank Dunia dalam hal sistem tata kelembagaan Adat. Hal itu berdasarkan hasil pantauan dan penelitian awal terhadap keberadaan dan fungsi sosialnya yang masih utuh serta masih diakui oleh Komunitas Masyarakat wet Adat Sesait. 
Hal ini diakui oleh Juru Tulis Pembekel Adat Sesait, Masidep, saat ditemui di Bale Pesanggrahannya di Dusun Sumur Pande Tengah Desa Sesait tahun 2011 lalu mengatakan, keinginan Bank Dunia untuk menjadikan Kelembagaan Adat Wet Sesait sebagai Pilot Projeck telah disampaikan beberapa kali kepada pihaknya, bahkan dalam rangka itu pihaknya juga pernah di undang dalam kegiatan-kegiatan seminar maupun work shop di Hotel Lombok Raya Mataram.
Ia juga menjelaskan tentang beberapa hal yang menjadi fokus kajian Bank Dunia terkait pranata Adat dan pranata sosial budaya gumi paer Sesait, diantaranya sistem sosial Komunitas Masyarakat Adat Sesait, Sistem Kelembagaan Adat dan Awik-awik (aturan hukum) baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Untuk diketahui, ada beberapa Norma Adat yang dijadikan pedoman hidup Komunitas Masyarakat Adat Sesait, yaitu pertama, Adat Luir Gama (Norma Agama) sebagai Sumber Pedoman Utama. Kedua, Adat Tata Krama yang di dalamnya juga mengatur tentang Aji Krama atau Adat Pemulangan (Pernikahan). Ketiga, Adat Tapsila atau Norma Sopan Santun dan Kesusilaan.
Ketiga norma Adat tesebut menganut hubungan Hirarkis yang merupakan satu kesatuan utuh, tidak bisa terpisahkan satu dengan lainnya dalam penanganan ataupun penyelesaian persoalan yang ada. Ketiga Norma Adat tersebut masing-masing terdiri dari beberapa bagian dengan Dosa Angkatan dan lambang tersendiri baik itu yang berkaitan dengan kasus Pidana maupun perdata.
Untuk dimaklumi, butuh waktu satu bulan untuk mengupas sebagian dari sistem sosial dan kelembagaan adat komunitas masyarakat Sesait ini, ”tandas Masidep.
Ketua Pembekel Adat Amaq Suniarni yang juga akrab disapa Amaq Degoh ini membenarkan apa yang dikatakan Juru Tulisnya bahwa Bank Dunia sedang menjajaki Komunitas-komunitas Adat untuk dijadikan proyek percontohan. Terkait dengan Komunitas Adat Sesait sebagai pilot projek untuk saat ini belum ada kesepakatan yang jelas dengan pihak Bank Dunia.
Kampu (Singgasana Raja Sesait).jpgMenurut Bank Dunia yang di tuturkan kembali oleh Amaq Degoh, dalam hal adat istiadat Sesait memang paling layak untuk dijadikan sebagai pilot projek, mengingat Komunitas Masyarakat Adat Sesait masih mengakui dan mempertahankan tradisi leluhur. Setiap pelaksanan Ritual Adat yang dipusatkan di Kampu Sesait dan Masjid Kuno, masyarakat dari berbagai penjuru berbondong-bondong mengikuti pelaksanaan Ritual adat.
Ia juga menjelaskan Luas wilayah Sesait berdasarkan Kara-Kara (Sejarah) memiliki batas-batas yaitu batas sebelah barat laut adalah Dangar Teduh (Pohon Kayu Dangar) yang berada di Tanak Song Desa Jenggala Kecamatan Tanjung. Batas Sebelah Timur laut adalah Ketapang Sejolo Dusun Tampes Desa Selengen Kecamatan Kayangan. Batas sebelah tenggara adalah Lokok Tangkok areal Hutan Lindung dan Hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan sebelah Barat Daya adalah Punikan sebelah utara Kecamatan Lingsar Lombok Barat.
Namun, Amaq Degoh berpandangan bahwa, seiring perkembangan Zaman dan pada era Orde Baru muncul kebijakan Penyeragaman sistem Pemerintahan Desa yang mengakibatkan terjadinya pemecahan wilayah Komunitas Adat menjadi tiga bagian wilayah adat dan beberapa Desa.
Untuk saat ini, ada empat Desa yang tetap memusatkan pelaksanaan Ritual   Adat di pusat budaya (Kampu Sesait) yaitu : Desa Sesait sebagai Desa Induk dengan kepala Pemerintahan bergelar Pemusungan, Desa Pendua dengan kepala Pemerintahan adalah Kepala Desa, Desa Kayangan dengan Kepala Pemerintahan adalah Kepala Desa dan Desa Santong dengan Kepala Pemerintahan adalah Kepala Desa, dimana keempat Desa tersebut berada di Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
Menurut Amaq Degoh, semua kegiatan-kegiatan Ritual adat yang dilaksanakan di wet Sesait selalu berpedoman kepada ajaran Agama Islam, misalnya pada saat pelaksanaan ritual Aji Makam “Pulek Taon Lakok Balit (pergantian musim Hujan ke Kemarau) dan Pulek Balit Lakok Taon, semua prosesi bernuansa keagamaan seperti mengaji sampai namatang (tamat) sebungkul (30 Jus) Al-Quran  di Masjid Lokak yang dipimpin oleh Lokak Empat (Empat Orang Tua dalam Sistem Kelembagaan Adat Sesait)  yaitu Mangku Bumi, Pemusungan, Penghulu dan Jintaka.
Demikian pula dalam Ritual Adat lainnya, misalnya dalam pelaksanaan Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW selama empat hari tiga malam juga dipusatkan di dalam Kampu dan Masjid Lokak (Kuno).
Sementara itu tokoh Masyarakat Adat Lombok Utara Djekat Demung Waji, menyambut baik keinginan Bank Dunia untuk menjadikan Sesait sebagai Pilot Projeck dalam hal tata kelembagaan adat. Tokoh kharismatik yang juga Pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini mengungkapkan bahwa kepercayaan Bank Dunia adalah moment penting untuk menjelaskan tentang keberadaan Masyarakat Adat yang sesungguhnya karena selama ini muncul stigma yang kurang bersahabat terhadap keberadaan komunitas masyarakat adat.
Misalnya, sebut Djekat, istilah Waktu Telu yang sering disalah pahami oleh sebagian orang. “Waktu telu sering dikonotasikan dengan ajaran sesat dan menyimpang dari ajaran agama Islam, padahal tidak demikian, buktinya kami memiliki Kitab Al-Quran cetakan pertama pada zaman Turki Usmani dan masih banyak lagi benda-benda bersejarah peninggalan Para Wali yang kini tersimpan di dalam Kampu Sesait,” ungkap Djekat.
D.   NILAI KEARIFAN LOKAL MERENTEN SEBAGAI FALSAFAH
Merujuk pada dinamika kehidupan modern saat ini, dapat di saksikan warna kehidupan yang didominasi oleh sikap dan prilaku yang merupakan buah transformasi budaya  Barat sebagai pengaruh langsung Globalisasi.
Sikap dan prilaku tersebut adalah cerminan dari mindsite berpikir yang tidak lazim dimiliki oleh masyarakat Dunia Timur. Kerangka pikir Dunia Barat tersebut dimotori oleh paham Kapitalisme yang lahir dari filsafat materialisme dan filsafat Dialektika.
Filsafat materialisme memandang kehudupan ini sebagai suatu sistem mekanistik yang  akan terus berjalan dan akan menghasilkan materi baru sebagai hasil perubahan dari materi itu sendiri.
Masyarakat Barat memandang bahwa materi adalah realitas kehidupan sehingga setiap aktivitasnya harus menghasilkan materi walaupun jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana dianut masyarakat Dunia Timur.
120220111185.jpgStrategi atau upaya untuk menghasilkan materi adalah dengan membangun sistem kapitalistik, dimana penguasaan terhadap modal (uang, bahan baku industri, energi dan lain-lain) merupakan tujuan dalam rangka mencapai kepuasan hidup. Untuk menjamin berjalannya sistem kapitalis maka dikombinasikan dengan faham liberal (paham Kebebasan individual). Kebebasan tanpa batas dan tanpa kendali Agama sebagai sumber Moral.
Masyarakat barat selain memandang materi adalah realitas kehidupan dan penguasaan terhadap materi secara bebas merupakan keharusan, mereka juga meyakini bahwa dalam dinamika kehidupan ummat manusia tidak lepas dari peristiwa konflik.  Jadi mereka meyakini bahwa konflik adalah keniscayaan (paham dialektika).
Paham dialektika memandang bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih baik harus melalui peristiwa konflik. Paham inilah yang menjadi sumber malapetaka dalam kehidupan umat manusia. Paham ini memicu setiap orang untuk berusaha sekuat mungkin dalam memperoleh atau menguasai sumber-sumber kehidupan demi kepentingan pribadi melalui persaingan tidak sehat.
Dalam persaingan harus ada yang dikalahkan atau harus ada sebagai pemenang dengan pengakuan sebagai orang terkuat layaknya kehidupan rimba. Mengacu pada realitas tersebut tidak mengherankan jika kita sering menyaksikan terjadinya konflik dimana-mana dalam Negara kita atau di sekitar lingkungan kita sendiri terutama konflik yang didominasi oleh kaum muda. Hal ini adalah akibat dari perubahan cara berpikir dan perilaku yang cenderung kebarat-baratan.
Contoh yang lebih nyata dalam konteks sosial budaya lokal masyarakat Lombok Utara, (KLU) yang notabene-nya dianggap sebagai masyarakat yang kental dengan nilai-nilai adat istiadatnya justru sebaliknya kering, bagaikan musik tanpa makna.
Masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudaya seperti hilangnya solidaritas sosial, tenggang rasa, gotong royong dan rasa kekeluargaan. Realitas ini timbul sebagai akibat dari arus perubahan cara berpikir pragmatis-praktis dipengaruhi oleh globalisasi dengan kendali kaum-kaum kapitalisme dan imperialisme barat yang memandang bahwa materi adalah tujuan hidup dan manusia tidak ada bedanya dengan binatang, siapa kuat ia menang (eloknya seperti hukum rimba).
Menyimak realitas tersebut,  tentu kita perihatin sebagai anak bangsa yang meyakini bahwa kita adalah bangsa yang besar dan beradab atau bangsa yang memiliki budaya dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dengan menganggap orang lain adalah saudara (renten) dan kawan bukan lawan atau pesaing.
120220111193.jpgNamun demikian membangun prinsip dan konsep hidup tersebut tidaklah mudah karna harus memiliki landasan yang kuat sebagai sumber moral dan sumber kaedah-kaedah dalam kehidupan. Artinya suatu komunitas masyarakat tertentu yang memiliki latar belakang sejarah dan sumber moral adalah sangat potensial dalam mempengaruhi dinamika kehidupan global baik secara langsung maupun tidak (membangun kader-kader muda yang cerdas dan bermoral), misalnya seperti Komunitas Masyarakat Adat Wet Sesait.
Masyarakat wet Sesait dalam wilayah Kabupaten Lombok Utara merupakan masyarakat yang masih mengakui dan terikat dengan nilai-nilai adat istiadat (Lokal Genuine). Salah satu indikatornya adalah semboyan Merenten (Persaudaraan). Walaupun demikian tidak dipungkiri terjadinya pergeseran nilai akibat kebijakan pariwisata dengan tidak mengindahkan nilai-nilai kearifan lokal.
Semboyan Merenten tidak lahir begitu saja, tetapi semboyan Merenten merupakan hasil atau bentuk dari kemurnian nilai-nilai adat istiadat dan budaya berdasarkan keyakinan keagamaan.
Secara harfiah Merenten berasal dari kata dasar Renten yang artinya saudara dan imbuhan me- yang menyebabkan kata benda berubah menjadi kata kerja me-renten yang maknanya bersaudara. Melihat bentuk kata dari semboyan merenten maka dapat disimpulkan bahwa para leluhur masyarakat wet sesait menghendaki semboyan merenten tidak sekedar sebagai simbol belaka tapi lebih menekankan kepada penerapan atau pelaksanaan nilai-nilai merenten dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sosiokultural masyarakat wet Sesait merupakan masyarakat adat/tradisi sekaligus juga masyarakat yang religius. Masyarakat wet Sesait berkeyakinan bahwa antara adat istiadat dan agama tidak bisa dipisahkan, agama adalah ruh dari adat istiadat itu sendiri. Hal ini bisa terlihat dari struktur kelembagaan adat yang terdiri dari pemusungan adat, pemangku adat, Kiyai, dan mangku bumi.
Kondisi sosiokultural masyarakat Wet Sesait dipengaruhi cara pandang atau falsafah hidup masyarakatnya. Mereka memandang kehidupan ini sebagai sebuah anugrah Tuhan sekaligus juga amanah Tuhan yang harus dijalani dan dipelihara. Kehidupan dunia merupakan tanggung jawab kekhalifahan dimana setiap orang merupakan pelaksana dari tanggung jawab tersebut maupun dengan berkelompok.
Pandangan hidup masyarakat wet Sesait mempengaruhi pola interaksi baik pola interaksi antar sesama manusia/relasi sosial, pola interaksi dengan alam maupun cara berhubungan dengan Tuhan dan selanjutnya sangat mempengaruhi model struktur kelembagaan adat.
DSC09498.JPGCara pandang  tentang alam semesta tersebut mempengaruhi pola Interaksi atau relasi masyarakat dengan alam misalnya dalam memanfaatkan hasil hutan atau ekosistem lainnya. Prinsip hidup dalam memanfaatkan alam bagi masyarakat adalah “Aik Meneng Empak Bau Tunjung Tilah dan Bau Besi Bau Asak (Oleh Kamardi).
Makna dari falsafah ini adalah bahwa dalam setiap aktivitas memanfaatkan alam tidak boleh berlebihan atau dengan tanpa merusak ekosistem/alam itu sendiri, kelestarian lingkungan tetap terjaga, sedangkan bau Besi bau asak bermakna bahwa setiap sesuatu yang diambil dari alam tidak boleh berlebihan sehingga menjadi mubazir. Oleh karena itu barang tersebut harus di olah terlebih dahulu sehingga menjadi sesuatu yang berdaya guna.
Masyarakat memandang alam semesta adalah anugrah Tuhan yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya karena mereka memandang alam juga adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki ruh dan merupakan titipan Ilahi yang harus diperlakukan sama. Sehingga dalam memanfaatkan alam, masyarakat tradisi, tidak boleh mengambil secara berlebihan dan disertai tanggung jawab untuk memulihkan kembali sesuatu dari alam yang dimanfatkan.
Untuk lebih menjamin prinsip atau nilai-nilai hidup bisa menjadi standar interaksi dengan alam atau menjadi kesadaran kolektif yang melekat pada masing-masing individu dalam kehidupn sehari-hari, masyarkat tradisi membuat awik-awik yang merupakan hasil consensus bersama melalui musyawarah.
Sedangkan dalam pola interaksi dengan sesama/relasi sosial masyarakat tradisi menjadikan merenten sebagai semboyan dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang dalam wilayah wet adalah bagian dari keluarga besar yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dari hasil kajian awal tentang pranata social yang ada di msyarakat wet sesait dan kajian literature budaya nusantara menunjukkan bahwa budaya nusantara dengan segala keanekaragamannya merupakan potensi yang harus tetap dipelihara dan dikembangkan sebagai identitas bangsa dalan rangka menumbuhkan kepercayaan diri sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain untuk mewujudkan perdamian abadi di dunia.





















BAB III
KONDISI PRANATA LOKAL ADAT WET SESAIT
A.    KOMUNITAS ADAT DIPISAH OLEH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
170220111352.jpgDalam pelaksanaan Maulid adat Wet Sesait Kecamatan Kayangan, ada empat desa yang merupakan satu kesatuan yang terlibat yaitu Desa Sesait, Pendua, Santong dan Kayangan. Masyarakat empat desa ini adalah satu, hanya seiring dengan perubahan waktu, dipisahkan secara administratif oleh lembaga yang disebut desa.
Sejak hari pertama dimulainya Maulid Adat wet Sesait ini, seluruh masyarakat yang tergabung dalam wet Sesait berkolaborasi membaur jadi satu dalam mempersiapkan segala sesuatu terkait pelaksanaan Maulid Adat. Tak terkecuali remaja gadis juga ikut ambil bagian dalam kegiatan yang digelar tahunan ini.
Hari pertama, dimulai sejak pagi hari prosesi awal dilakukan Menutu (menumbuk padi) bulu di Kampu oleh Praja Nina (Praja Mulud), kemudian terus berlanjut hingga malam hari yang diikuti oleh kaum hawa yang ada dirumah masing-masing. Sebelum itu, didahului dengan menguluh padi bulu dari Sambi (lumbung) yang memang sudah ada di sekitar kompleks Kampu. Menguluh ini dilakukan oleh Toak Lokak Mangkubumi dengan segenap ritualnya.
Pare bulu (padi yang berbulu) terus ditumbuk menggunakan wadah sederhana yang oleh masyarakat Sesait disebut Lesong (lesung) dengan penumbuk kayu. Beras inilah yang nantinya akan dibawa oleh Praja Mulud pada proses Bisoq Menik (cuci beras) ke sebuah sumur yang di sebut Lokok Kremean, yang jaraknya sekitar 1,5 km kearah barat daya Kampung Sesait dan dilakukan secara turun-temurun  terus digunakan.
Hari Kedua dilakukan Merembun, yang dilakukan oleh ribuan masyarakat yang tergabung dalam wet Sesait menggunakan pakaian tradisional, dengan membawa  hasil bumi berupa beras, pisang, aneka kue, kelapa, kayu bakar dan lain secukupnya. Bahan-bahan ini kemudian dikumpulkan menjadi satu dalam ruangan khusus kompleks Kampu.
“Kegiatan merembun ini mencerminkan semangat gotong royong, yang merupakan adat istiadat asli bangsa Indonesia. Merembun bisa juga diartikan berkumpulnya seluruh masyarakat komunitas Sesait, yaitu berkumpulnya di Kampu ini,”jelas Djekat.
Dalam prosesi Merembun ini, seluruh Komunitas yang masuk dalam wet Sesait datang untuk membawa bahan-bahan yang digunakan dalam prosesi Maulid adat. Mereka datang dari Desa Pendua, Santong, dan Desa Kayangan. Keempat desa ini dulunya satu desa, tetapi seiring dengan perubahan waktu, desa-desa tersebut saat ini hanya dipisahkan oleh administrasi Pemerintahannya saja.
B.    PEMAHAMAN ADAT VERSI KOMUNITAS SESAIT
160220111234.jpgAdat adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan bagi masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia dengan alam sekitar, dan manusia dengan sang penciptanya.
Pembekel Adat Sesait Masidep mengatakan, adat sering dipertentangkan dengan agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa transisi dari istilah ”gama telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam). Justeru agama mengakui keberadaan adat sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan beragama.
Dijelaskannya, umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas Sesait, dikenal istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum adat sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama,”jelas Masidep.
Dengan istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya, lanjut Masidep, bahwa perintah-perintah agama harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan  dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat adat Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti sebut saja upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara ruwah tanaman, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat dan lain-lain.
160220111256.jpgKegiatan – kegiatan ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu oleh pranata adat dan agama yang memiliki kepribadian tinggi terhadap nilai-nilai agama Islam.Sehingga sudah merupakan agenda budaya yang tetap dipertahankan dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
Sementara itu salah seorang tokoh adat Sesait Djekat mengatakan, kata adat dari segi hukum mengandung pengertian norma atau aturan yang merupakan kebiasaan tidak tertulis. Walaupun sifatnya tidak tertulis, tetapi mengandung unsur nilai yang dihormati dan disepakati oleh seluruh masyarakat adat Sesait.
Sedangkan unsur nilai adat pada umumnya ,menurut Djekat menjelaskan, ada dua hal, pertama, hal-hal yang bersifat anjuran atau keharusan yang patut dikerjakan, kedua,hal-hal yang bersifat larangan atau menurut adat bersifat ”Maliq” (Pemalik) untuk dikerjakan. ”Khusus untuk unsur yang kedua, apabila dilanggar akan mendapat sanksi moral berupa ejekan, celaan, cemoohan dari warga persekutuan adat Sesait,”katanya.
C.      STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT SESAIT
 Secara historis, munculnya adat di Sesait memiliki empat komponen Petinggi Adat yang sudah diakui secara turun - temurun.
Menurut Djekat, tokoh adat Sesait mengatakan, petinggi adat yang kalau di komunitas Sesait dikenal dengan ’Tau Lokaq Empat,’ yaitu, Pertama, Pemusungan Adat, adalah sebagai pimpinan pemerintahan desa, Kedua, Penghulu Adat, adalah tokoh agama sebagai pemegang, penegak dan pengatur masalah hukum serta norma-norma agama dan adat. Ketiga, Jintaka, yaitu sebagai pemberi dan pelaksana izin/hajat yang diminta masyarakat, dan yang Keempat yaitu Mangku Bumi, yaitu sebagai perumus dan penentu awiq-awiq dan sanksi-sanksi adat.
Djekat menjelaskan, empat komponen tadi merupakan jabatan dalam struktur kelembagaan Adat Wet Sesait bersifat baku. Artinya apapun yang terjadi, rezim manapun yang berkuasa di negara ini, serta bagaimanapun perubahan zaman, komunitas adat Sesait tetap menghormati dan menjunjung tinggi keberadaan dan eksistensinya.
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa pada puncak pemerintahan orde baru dengan berbagai kebijakannya yang berdampak pada penggembosan pranata lokal dan institusi adat, tetapi di Sesait, lembaga adat dan keempat komponennya itu tetap utuh dan kokoh.
Menurut perbekel adat Sesait Masidep, mengatakan bahwa, sebagai Petinggi Adat dengan jabatan dan tugasnya masing-masing, keempat tokoh Tau Lokaq Empat ini memiliki kepribadian yang mencerminkan kemuliaan dan keikhlasan terhadap tugas-tugas yang di embannya serta perlambangan untuk keempat tokoh ini lebih bernuansa Islam.
Dijelaskan, perlambangan dari keempat tokoh Tau Lokaq Empat ini dengan bernuansa Islam yang kental. Pertama, Pemusungan Adat, dilambangkan dengan warna ’merah’, artinya keberanian, yaitu berani mengambil sikap, keputusan dan kendali terhadap segala permasalahan yang dihadapi. Apapun yang terjadi harus berani bertanggungjawab, baik internal maupun eksternal. Sosok ini menggambarkan watak dan kepribadian sahabat Nabi Muhammad Saw yang bernama ’Sayyidina Ali’,ra.
Kedua, Penghulu Adat, dilambangkan dengan warna’putih’ artinya kesucian, yaitu harus menentukan hukum dan norma-norma yang bersih, baik terhadap agama maupun adat, sehingga tidak menimbulkan penyimpangan hukum atau norma yang mengarah pada ketidakadilan. Disamping itu tokoh ini pengemban amanat untuk selalu melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad Saw secara utuh, sehingga sosok ini menggambarkan watak dan kepribadian sahabat Nabi yang kedua yakni ’Sayyidina Abubakar, ra’.
Ketiga, Jintaka (Mangku Alam), dilambangkan dengan warna ’kuning’ artinya pemberi/penyebar, yaitu menyebarluaskan wilayah hukum adat Sesait dan memberi izin berupa pelaksanaan syarat/hajat yang berkaitan dengan bencana atau musibah. Misalnya, sebut Masidep, wabah kekeringan, wabah penyakit dan macam-macam wabah penyakit lainnya. Tokoh ini pula memiliki keahlian dalam menciptakan kemakmuran,baik perekonomian maupun usaha-usaha lain. Sosok ini menggambarkan watak dan kepribadian sahabat Nabi Muhammad Saw yang ketiga yaitu ’Sayyidina  Utsman, ra.’
Keempat, Mangku Gumi, dilambangkan dengan warna ’biru’ atau ’hijau’ artinya kesuburan yang mendatangkan kemakmuran, sehingga dapat memberi warna kehidupan yang sejahtera lahir bathin.
Berkaitan dengan kesuburan, masih menurut Masidep, bahwa pemelihara lingkungan alam pertanian dan menjaga kesuburan tanaman, sejak tanam bibit hingga panen. Kegiatan yang menyangkut tanah dan tanaman, Mangku Gumi ini dibantu oleh stafnya (penyuluh/PPL-nya) yang disebut ’Anakoda’ yang tersebar diseluruh gubug/kampung. Sedangkan untuk kegiatan pelestarian alam atau hutan (gawah) dan lingkungannya, Mangku Gumi dibantu oleh beberaoa stafnya yang disebut ’Mangku Gawah’. Karena dapat memberi atau menciptakan kesuburan, kemakmuran dan ketentraman bagi warga, maka Mangku Gumi ini digambarkan seperti watak sahabat Nabi Muhammad Saw yang keempat yaitu ’Sayyidina Umar, ra”. Jabatan yang mempunyai tugas dan kewenangan masing-masing, namun pada saat-saat tertentu, empat tokoh yang kalau di wet Sesait disebut Tau Lokaq Empat ini, bekerjasama secara kolektif, terpadu dan terkoordinasi. Dimana Pemusungan Adat bertindak sebagai penggerak dan pengendali.
Misalnya penangkal kekeringan dan wabah penyakit, upacara agama dan adat, kebutuhan dalam upacara perkawinan, serta penyelesaian berbagai kasus adat dan sosial kemasyarakatan.
BAB IV
RANGKAIAN PROSESI RITUAL MAULID ADAT
A.   PENJAGA SITUS LOKOK KREMEAN

Lokok Kremean adalah salah satu situs Sesait yang hingga kini masih lestari. Dimana, situs yang tiap tahunnya langganan digunakan sebagai rangkaian prosesi bisok beras (cuci beras) menjelang pelaksanaan Maulid Adat, selalu dibenahi oleh masyarakat Adat Sesait. Puluhan pemuda wet Sesait yang tergabung dalam Himpunan Pemuda Pencari Situs Sesait (HPPSS) bekerjasama dengan marga Sanggia gotong royong membenahi situs Lokok Kremean, yang memang di sumur inilah nenek moyang (Bapu Balo Tau Sesait) pada jaman dulu melakukan ritual bisok Menik setiap pelaksanaan prosesi ritual Maulid Adat (24/02/2011).
Menurut penuturan Lakiep (alm) yang dikonfirmasi saat pelaksanaan Maulid adat pada tahun 2011 silam mengaku, sudah empat tahun menjaga situs ini, dimana keberadaan dirinya sebagai penjaga situs tersebut berdasarkan Purusa (garis keturunan) dari Bapuk Buntit-Amaq Sanggia (Marga Sanggia).
120220111179.jpg”Saya menjaga situs Lokok Kremean ini sudah empat tahun, dari sejak ayah saya tiada pada tahun 2007. Marga kami menjaga situs ini secara turun-temurun atau berdasarkan Purusa, ”beber Lakiep. Disamping situs Lokok Kremean, lanjut Lakiep, ada pula situs yang lain. Diantaranya adalah Sumur Jukung, Sumur Minyak, Batu Lesong dan Lokok Nampih. Lakiep menjelaskan bahwa, situs-situs ini ada keterkaitannya satu sama lain.
Diceritakan, berdasarkan cerita para orang tua jaman dahulu yang diceritakan secara turun-temurun dengan bahasa tutur, bahwa sebelum pelaksanaan Maulid Adat, ditempat situs ini, Pare (padi)  ditutu (ditumbuk) , kemudian ditampik (dibersihkan), kemudian di Krem (di rendam), lalu dibuat Jaja Pangan (sejenis penganan), lalu di goreng. Setelah semuanya  ini sudah selesai, kemudian dibawa kembali menggunakan Jukung (sampan/rakit) ke Kampu (rumah adat) di Sesait untuk proses selanjutnya.
”Itulah sebabnya ada situs Batu Lesong (digunakan untuk menumbuk padi), situs Lokok Nampih (tempat Menampik/membersihkan beras), situs Lokok Kremean (tempat merendam beras sebelum dibuat jaja pangan) dan situs Sumur Jukung (diyakini sebagai sampan/rakit untuk membawa beras dan jaja pangan ke Kampu),”jelas Lakiep.
Ketika ditanya, apakah ada perhatian dari Perbekel Adat terhadap dirinya selaku penjaga situs Lokok Kremean selama ini, Lakiep mengaku tidak ada sama sekali. Hanya saja, katanya kalau sudah ada keperluan menggunakan situs ini sebagai tempat prosesi kegiatan Maulid adat, baru pihak Perbekel Adat menghubungi dirinya.
”Ini betul-betul karena Purusa saja, kami menjaga situs ini. Walau kami menjaganya berdasarkan Purusa, namun kami ikhlas, biarpun tidak mendapatkan perhatian serius dari pemegang kebijakan,”kilah Lakiep.
B.   SAMBUT MAULID ADAT, LESTARIKAN TRADISI TURUN TEMURUN
Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw di Kabupaten Lombok Utara (KLU) memiliki warna yang berbeda dari perayaan yang dilakukan ditempat lain. Setiap daerah di KLU merayakan Maulid yang dikenal dengan Maulid Adat.
Masyarakat Desa Sesait Kecamatan Kayangan gotong royong setiap menjelang perayaan Maulid Adat selalu membersihkan areal Mesjid Kuno dan tempat-tempat lainnya yang dijadikan sebagai pendukung pelaksanaan adat saat Maulid Adat digelar, semuanya harus dalam keadaan bersih. Kegiatan ini merupakan tradisi para leluhur yang di wariskan secara turun-temurun yang harus di lalui oleh Masyarakat Adat Sesait menjelang pelaksanaan Maulid Adat di gelar setiap tahunnya.
Salah seorang tokoh muda Adat Sesait Abdul Wahab mengatakan, kegiatan pembersihan di sekitar areal Mesjid Kuno tersebut memang sudah di jadualkan pihak Tau Lokaq Empat (Penghulu, Pemusungan, Mangkubumi dan Jintaka) seminggu sebelum pelaksanaan Maulid Adat di gelar.
Selain pembersihan di sekitar areal Mesjid Kuno Sesait, Abdul Wahab juga menyebut, ada sejumlah situs yang akan digunakan untuk mendukung proses ritual Maulid Adat, juga menjadi sasaran untuk dibersihkan. Seperti, Kampu (singgasana Raja = tempat penyimpanan benda-benda bersejarah peninggalan raja), Bale Adat (tempat Mangkubumi tinggal) dalam Kampu, situs Sumur Lokok Paok (tempat pengambilan air untuk memasak nasi Aji yang nantinya akan dinaikkan dalam acara puncak Maulid Adat), situs sumur Lokok Nampih (tempat cuci beras) dan sejumlah situs lainnya, seperti pembersihan gong dua (gamelan pengiring selama proses ritual Maulid Adat), berugak agung (tempat Tau Lokaq Empat melaksanakan ritualnya hingga selesai pelaksanaan Maulid Adat), persiapan pembuatan Payung Agung dan lainnya.
Dikatakan Wahab, rangkaian ritual Maulid Adat di Sesait pada tahun 2015 ini dimulai pada hari Kamis tanggal 01 Januari yang diawali dengan proses merembun bagi keluaraga Tau Lokaq Empat ke dalam Kampu dan dilanjutkan menumbuk padi bulu. Kemudian pada hari Jumat tanggal 02 Januari akan dilakukan pembuatan jajan pangan (aneka kue sejenis Wajik) pada pagi harinya yang nanti akan dihidangkan saat Maulid Adat berlangsung.
Kemudian pada sore harinya dilakukan pengumpulan bahan-bahan dari warga untuk kegiatan gawe Maulid Adat. Sementara itu, Gong Dua pun di turunkan.
Hari Sabtui tanggal 03 Januari, Gong Dua dibawa ke berugak Kelap untuk disemayamkan sementara sebelum dibawa ke berugak sebelah selatan Mesjid Kuno untuk ditabuh hingga selesai pelaksanaan Maulid Adat. Kemudian pada malam harinya digelar prisean di halaman depan mesjid Kuno. Lalu pada hari Minggu tanggal 04 Januari digelar cuci beras ke Lokok Kremean Bat Pawang dan malam harinya menjelang Magrib adalah puncak pelaksanaan ritual Maulid Adat dengan dinaikkannya nasi Aji ke Mesjid Kuno Sesait.
C.   PEMDA KLU APRESIASI PROSESI AWAL MAULID ADAT SESAIT
Seperti biasa, ditahun-tahun sebelumnya, datangnya bulan maulid tahun ini juga di ikuti oleh digelarnya prosesi Maulid Adat di beberapa wet adat yang terdapat di Kabupaten Lombok Utara, seperti pembukaan prosesi Maulid Adat yang digelar di Wet Sesait.
Kegiatan pembukaan prosesi Maulid Adat wet Sesait ini, dihadiri oleh Pemerintah Daerah KLU yang diwakili Kabag Kesra Muhammad, S.Pd. Acara awalnya yakni Memajang di Mesjid Kuno Sesait dimulai tepat pukul 16,00 wita, yang di dahului sholat Asar berjamaah di Musholla Kampu Sesait. Memajang itu sendiri dilakukan oleh Tau Lokak Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu dan Jintaka). Para tamu undangan dengan didampingi Tau Lokak Empat pun beriringan menuju tempat acara dilaksanakan (Mesjid Kuno) dan prosesi ini berjalan sakral dan meriah, Sabtu (03/01).
Pada hari yang sama, sebelum acara Memajang dilakukan, nampak rombongan iring-iringan pemuda-pemudi dari berbagai dusun di wilayah wet Sesait, berjalan menuju pusat lokasi digelarnya perayaan awal prosesi maulid adat yang terletak di dalam Dusun Sesait.
Dengan membawa berbagai macam hasil pertanian, yang dihajatkan sebagai bahan untuk masakan dalam pelaksanaan hari puncak yang jatuh pada hari Minggu (04/01), para muda-mudi ini perlahan memasuki area penyimpanan berbagai barang bawaan, ke sebuah tempat yang disebut kampu.
Kepala Desa Sesait Aerman dalam sekapur sirihnya mengatakan, tradisi maulid adat yang di gelar oleh masyarakat adat Sesait ini adalah merupakan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun sejak Islam masuk di bumi Sesait pertengahan abad ke 14 M. Sehingga perlu dilestarikan. Sebagai warisan para leluhur, Maulid Adat memberikan manfaat positif pada masyarakat. “Mudah-mudahan tradisi leluhur Sesait ini tetap lestari sepanjang zaman,”asanya.
Sementara Muhammad dalam sambutannya mengatakan, perayaan Maulid Adat ini adalah salah satu tradisi budaya yang patut dilestarikan. Sehingga kalau adat dan agama dijadikan bersinergi dalam kehidupan sehari-hari dari setiap manusia, maka inilah yang dikatakan adat luwir gama. “Agama dan adat tidak bisa dipisahkan dan harus sejalan dan saling beriringan,” ungkapnya di hadapan para tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat wet Sesait.
Dikatakan, prosesi Maulid Adat ini, diharapkan dapat memberikan transpormasi nilai-nilai agama agar dapat diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan yang dilakukan secara turun-temurun itu, penuh dengan nilai gotong royong dan pesan-pesan spiritual.”Para orang tua kita zaman dahulu menerapkan pengetahuan keagamaan mereka dengan tindakan. Nah, Maulid Adat di Wet Sesait ini adalah salah satu contohnya, ”katanya.
Disebutkan, tidak tepat melakukan pemisahan antara agama dengan adat. Ajaran agama selalu selaras dengan ajaran adat.Semua mengajarkan kebaikan dan saling mendukung satu sama lain. Pun ketika ada penyimpangan dalam praktiknya itu merupakan akibat kurangnya informasi yang diterima masyarakat. “Kalau ada anggapan bahwa Sholat itu hanya menjadi kewajiban pemangku saja, saya rasa itu bukan ajaran agama dan adat. Barangkali informasi yang sampai pada saudara kita itu belum lengkap,”tandasnya.
Menurutnya, nilai-nilai yang terakandung di tengah masyarakat berupa adat istiadat berjalan beriringandengan ajaran agama. Misalnya, ajaran tentang moral, yakni terkait dengan pergaulan dengan lain jenis yang memiliki norma-norma di tengah masyarakat. Agama pun memberikan rambu-rambu tentang pergaulan itu. “Ada daerah dimana ketika melanggar aturan agama yang juga aturan adat itu, langsung diberikan sanksi adat,”sebutnya.
Kedepannya, kegiatan Maulid Adat seperti yang di gelar di Sesait bisa menanamkan rasa tanggung jawab untuk mempertahankan tradisi. Namun jangan sampai semangat pelaksanaan kegiatan adat itu di lupakan. Maulid adat adalah merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat pada Nabi Muhammad Saw.
Terpisah, tokoh adat Sesait, Djekat mengatakan, hari ini, Sabtu (03/01). adalah prosesi awal yang dilakukan masyarakat adat wet sesait, dimana masyarakat berbondong - bondong datang ke Kampu membawa berbagai macam barang berupa kayu uyunan, beras, puntik, lekok-buak, tembakau secukupnya serta hasil bumi lainnya, yang oleh masyarakat Sesait dinamakan merembun (mengumpulkan).
“Merembun adalah prosesi awal maulid adat, dimana masyarakat datang dengan membawa berbagai barang bawaan, baik yang bersipat material ataupun hasil bumi,”ungkap Djekat.
Rangkaian prosesi Maulid Adat ini akan terus berlangsung hingga hari Minggu,(04/01). Adapun rangkaian prosesi lanjutan yang akan dilakukan hingga hari ini adalah peresean dan bisoq menik (cuci beras) di sebuah sungai yang memang di sakralkan dari jaman dahulu hingga saat ini. Selanjutnya disusul dengan penyembelihan hewan kurban berupa ratusan kambing didepan pintu Mesjid Kuno Sesait. Dan prosesi ritual Maulid Adat Sesait akan berakhir setelah dulang Nasi Aji diturunkan dari Mesjid Kuno.
D.  PROSESI RITUAL MAULID ADAT WET SESAIT
Tiga minggu sebelum ada kepastian akan di gelarnya Maulid Adat pada tahun bersangkutan, maka Tau Loka Empat yang terdiri dari Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu dan Jintaka mengadakan musyawarah bertempat di Kampu.Yang di bahas dalam pertemuan tersebut hanya satu yaitu tentang kesepakatan jadi atau tidaknya ritual Maulid Adat di gelar.
Setelah keputusan Tau Lokak Empat tersebut ditetapkan, maka sesuai dengan ranah masing-masing harus menyebarluaskan kepada kaula balanya (masyarakat diwilayahnya masing-masing) bahwa Maulid Adat jadi dilaksanakan.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan Tau Lokak Empat itu, maka diadakanlah musyawarah yang kedua untuk membahas tentang penetapan waktu dimulainya ritual Maulid Adat, termasuk menentukan tanggal dimulainya. Setelah seluruh masyarakat adat wet Sesait mengetahuinya, maka mulailah saat itu harus mempersiapkan segala sesuatunya.
Pelaksanaan prosesi ritual Maulid Adat di wet Sesait di laksanakan selama empat. Pada hari pertama dimulai dengan melakukan berbagai persiapan, termasuk membersihkan tempat-tempat yang dijadikan sebagai lokasi kegiatan ritual pendukung Maulid Adat. Diantaranya seperti membersihkan lingkungan Mesjid Kuno Sesait, membersihkan Sumur Lokok Kremean sebagai lokasi tujuan Bisok Menik (cuci beras), membersihkan Kampu termasuk alat-alat yang digunakan,membersihkan Sumur Lokok Paok yang air sucinya nanti diambil sebagai dasar membuat jaja pangan (aneka kue), memasak nasi untuk nasi aji pada saat puncak pelaksanaan ritual Maulid Adat  dan sebagai dasar memasak sayur didepan Mesjid Kuno serta berbagai persiapan lainnya, seperti mencari dan mengundang para mangku (Mangku Lokok Kremean, Mangku Payung Agung, Mangku Lokok Paok, Mangku Ran, Mangku Air, Mangku Gong Dua yang terlibat dalam prosesi ritual Maulid Adat di wet Sesait.
Setelah itu, maka pada sore harinya para Mangku ini berkumpul di Kampu untuk kemudian pada prosesi awal ritual Maulid Adat bekerja sesuai dengan tugas masing-masing hingga selesai pelaksanaan Maulid Adat. Selain itu, para praja Mangku dan praja Penghulu (dua orang perempuan supuk yang sudah tua dan dua orang yang masih muda dan belum aqil baleq) di jemput dan seterusnya mereka tinggal dirumah yang sudah disiapkan disekitar Kampu sejak dijemput pada hari pertama hingga berakhirnya ritual prosesi Maulid Adat. Praja Nina atau Praja Mulud  (anak perempuan yang belum aqil baliq sebagai simbol kesucian) yang sudah di jemput itu nantinya bertugas untuk Menutu Pare Bulu (menumbuk padi yang berbulu sampai menjadi beras) dan membuang unggunnya ke Lokok Kremean dengan didampingi Mangku Lokok Kremean.
Pada hari kedua dilanjutkan dengan Menguluh yaitu mengambil Pare Bulu (padi yang berbulu) dari Sambi (lumbung) yang ada disekitar Kampu oleh Toak Lokak Mangku. Kemudian diteruskan Menutu Pare Bulu dan unggunnya (kulit padi) dibuang ke Lokok kremean oleh Praja Mangku dan Praja Mulud yang dirangkaikan dengan mandi Praja Mulud. Setelah itu dilanjutkan dengan Pembuatan Jaja Pangan (Jajan sejenis wajik) dan air untuk membuatnya diambilkan dari Lokok Paok pada hari pertama oleh Toak Lokak Mangkubumi.
Menjelang Maghrib, Gong Adat (Gong Dua) diturunkan dari Bale Agung purusanya A.Siwadi. Setelah diturunkan kemudian diarak menuju Bangaran Adat yang berada 10 meter arah barat laut Kampu dan disambut oleh Tau Lokak Mangku. Setelah itu, gong adat tersebut selanjutnya terus diarak melalui sebelah utara Kampu dan ditempatkan di berugak depan Kampu sebelah timur sambil terus di bunyikan dan di inapkan satu malam.
Pada hari ketiga, pada pagi hari Gong Dua yang sudah nginap satu malam tersebut, lalu di bawa menuju Berugak Amak Kelap selatan Mesjid Kuno sambil terus dibunyikan hingga waktu Zuhur tiba. Setelah sholat Zuhur dilaksanakan, baru kemudian Gong Dua tadi di pindahkan lagi menuju Berugak Guram selatan Mesjid Kuno. Ditempat inilah Gong Dua ini diinapkan sambil terus dibunyikan hingga selesainya pelaksanaan ritual prosesi Maulid Adat di gelar.
Sore harinya dilanjutkan dengan acara Merembun (mengumpulkan) beras bagi Ina Bapu (sebutan bagi kaum hawa/ibu-ibu dan nenek-nenek) sekaligus juga waktu untuk membuat jajan selain pangan. Menjelang sore hari akan dilakukan persiapan Memajang  atau Ngengelat yang akan dilaksanakan setelah sholat Asyar berjamaah sampai menjelang waktu sholat Magrib dan Isya di Mesjid Kuno.
Ritual Memajang merupakan ritual pertama sebagai pembuka pelaksanaan ritual-ritual lainnya yang dilakukan oleh Tau Lokok Empat (Mangkubumi, Penghulu, Pemusungan dan Jintaka). Adapun makna dari ritual Memajang adalah sebagai simbol persamaan dan kesetaraan umat Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt.
Setelah selesai Memajang yang dilakukan oleh Tau Lokok Empat (Mangkubumi, Penghulu, Pemusungan dan Jintaka), dilanjutkan dengan sholat Magrib dan Isya. Ini semua dilaksanakan di Mesjid Kuno.
Kegiatan berikutnya dilaksanakan di halaman Mesjid Kuno adalah Semetian (Perisian) yaitu saling pukul menggunakan Penjalin (rotan) yang masing-masing bertameng. Acara semetian harus diawali oleh Pepadu (Jagoan) Nina Sik Wah Supuk (perempuan uzur yang sudah monopaus), barulah Pepadu Mama boleh bertarung sampai tengah malam.
Adapun  acara puncak prosesi ritual Maulid Nabi Besar Muhammad Saw yang dikemas secara adat dilaksanakan pada hari keempat yaitu keesokan harinya setelah Memajang dan Semetian dilakukan.
Rangkaian ritual pada acara puncak tersebut, diawali dengan ritual Bisok Menik (cuci beras) dipagi harinya ke Lokok Kremean (diyakini sebagai tempat pemandian bidadari dan orang-orang suci). Cuci beras ini dilakukan  oleh kaum hawa (baik yang masih gadis maupun yang sudah berkeluarga) asalkan tidak datang bulan, dengan di Abih (diapit)  baris tiga oleh  kaum laki-laki (barisan Nina ditengah diapit barisan Mama).
Ba’da Zhohor, acara dilanjutkan dengan berkurban dengan menyembelih binatang Kerbau (Sembeleh Kok) yang ukuran,umur dan bobot sudah menjadi ketentuan para leluhur (Kok Kembalik Pokon). Sementara di dalam Kampu, pada saat yang bersamaan, Nasi Aji (yang akan dibawa ke Mesjid Kuno) dan Payung Agung (nanti ditempatkan dipintu masuk Mesjid Kuno) juga dipersiapkan. Persiapan ini tidak sembarang orang yang mengerjakannya, harus berdasarkan Purusa (garis keturunan).
Setelah berkurban (Sembeleh Kok), dilanjutkan dengan Mbau Praja Mama dengan cara mengejar dan menangkap setiap laki-laki yang belum aqil baliq sebanyak tiga orang yang akan dijadikan putra Mahkota, untuk disandingkan dengan Praja Nina (yang sudah terpilih pada hari pertama saat menutu pare bulu) sebagai Praja Mulud (sepasang putra-putri mahkota).
Praja Mulud bertugas sebagai penjaga pintu Mesjid Kuno dengan membawa Payung Agung dan menjaganya dari sentuhan orang lain yang melewati pintu Mesjid Kuno. Jika Payung  Praja Mulud (Payung Agung) disentuh orang lain, maka diberi sanksi yaitu dipukul menggunakan Pemecut (Penjalin yang diberi tali) oleh Praja Mulud. Sementara yang dua orang Praja itu ditempatkan di tempat imam sebagai penjaga abu dedeng (sebuah wadah untuk menaruh abu api/au yang  biasa digunakan para ibu untuk memberikan kehangatan bagi bayinya ketika baru lahir).
Menjelang sore hari pada hari terakhir dari ritual Maulid Adat di wet Sesait ini, kemudian dilanjutkan dengan Naikang Dulang Nasi Aji  dengan wadah dulang berjumlah tiga buah berkaki satu yang dikhususkan bagi Tau Lokak Empat; (Pemusungan, Mangkubumi,Penghulu dan Jintaka), dimana seluruh isinya terdiri dari apa saja yang ada di alam ini dan waktu membuatnya atau pada saat merakitnya ini dilakukan oleh Praja Mangku,Praja Penghulu dibantu Tau Lokak Empat (Mangkubumi, Penghulu,Pemusungan dan Jintaka) serta tidak boleh berbicara sepatah katapun. Jadi ketika butuh bantuan harus menggunakan kode isyarat satu sama lainnya.
Waktu Naikang Nasi Aji ke Mesjid Kuno ini, diyakini yaitu pada waktu Gugur Kembang Waru ( waktu menjelang Magrib). Prosesi ritualpun berakhir dan ditutup dengan Do’a Maulid oleh Penghulu Adat.
Usai acara, masyarakatpun bubar. Sambil keluar Mesjid harus hati-hai, jangan sampai menyentuh payung Agung yang berada di pintu keluar yang dijaga oleh Praja Mulud.”Siapa saja yang masuk dalam Mesjid Kuno Sesait dalam acara ritual Maulid Adat setiap tahunnya, ketika keluar tidak boleh menyentuh Payung Agung, alasannya itu pemalik dan yang namanya pemalik itu tidak boleh,”terang Rahim alias A.Rahini yang merupakan tokoh adat Sesait keturunan Raja Sesait yang ke 27 Balok Pa’at.

E.     RITUAL MAULID ADAT SESAIT, SELURUH KEGIATAN DIMULAI DARI KAMPU
Seluruh rangkaian Maulid Adat Wet Sesait berasal dari dalam Kampu. Mangkubumi yang menjadi penjaga Kampu, mengambil berbagai perlengkapan maulid di sebuah bangunan yang dulunya istana raja.
Dalam struktur hirarki kepemerintahan Wet Sesait yakni Mangkubumi, memasuki bangunan bedek di dalam kompleks Kampu. Bangunan berdinding bambu dan berlantai tanah itu dulunya istana raja yang juga pemimpin agama di wilayah Sesait. Kini bangunan itu berubah menjadi semacam museum tempat menyimpan warisan para leluhur raja dan penyebar agama Islam di Wet Sesait.
Mangkubumi yang secara turun-temurun bertugas mengawali proses ritual maulid adat di wet Sesait itu, keluar dengan membawa  nampan berisi kain putih berukuran besar dan beberapa kain putih lainnya serta mushaf Al-Qur’an kuno. Kain putih dan mushaf Al-Qur’an kuno inilah yang dibawa menuju Mesjid Kuno untuk memulai prosesi Maulid Adat yakni Memajang.
Kitab suci Al-Qur’an umat Islam inilah yang nanti dibaca usai pelaksanaan memajang itu. Al-Qur’an berukuran besar yang merupakan cetakan kedua berasal dari Turki dan berkulit Onta tersebut sudah modern. Sedangkan Mushaf Al-Qur’an yang bertuliskan tangan sudah tidak di keluarkan karena sudah sangat tua usianya dan masih tersimpan dalam sebuah kaca di dalam bangunan Kampu.
Setelah perlengkapan memajang sudah di keluarkan, sang mangkubumi mengunci pintu bangunan di Kampu itu. Mangkubumi sebagai penjaga Kampulah yang berhak masuk memegang kunci itu.
Bahan perlengkapan memajang itu pun kemudian di bawa menuju ke Mesjid Kuno oleh Toak Lokak Mangkubumi. Iringan para pemimpin adat seperti Mangkubumi, Peghulu, Pemusungan dan Jintaka pun mengikuti di belakangnya. Baru kemudian di belakangnya lagi diikuti oleh para sesepuh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, masyarakat umum dan tamu undangan sambil beriringan keluar dari kompleks Kampu berjalan menuju Mesjid Kuno Sesait melalui jalur tertentu, seperti yang pernah dilalui oleh para leluhur terdahulu. Tidak boleh melalui jalan gang-gang di kompleks kampung Sesait yang kini sudah modern.
Di depan Mesjid Kuno Sesait, ratusan warga berpakaian adat menunggu rombongan. Diiringi gamelan adat berupa Gong Dua dan perangkatnya, rombongan memasuki alun-alun Mesjid Kuno. Tikar rotan di gelar, gamelan terus di tabuh, para wanita tua, anak muda menari di halaman mesjid, sembari para pemimpin adat menyiapkan prosesi memajang di dalam Mesjid.
Di tengah-tengah Mesjid Kuno itu terbentang sebuah tali, mulai dari mimbar di ujung barat hingga ke pintu masuk di ujung timur. Di atas tali itulah nantinya kain putih berukuran besar itu dibentangkan. Inilah yang disebut proses Memajang itu.
Kain putih itu mulai di naikkan dari bawah, diawali oleh Penghulu dari tiang ujung kiri mimbar terus naik hingga memasuki bentangan tali yang sudah di pasang sebelumnya, sembari membaca selawat nabi. Selawat nabi itu pun tidak dibaca keras. Ini sebagai symbol, dulunya ketika masyarakat adat wet sesait di jajah oleh Bali, mereka harus menyembunyikan identitas ke Islaman mereka lantaran di buru. Maka selawat pun di baca dalam hati. Lembaran kain putih itu, lalu diteruskan oleh pemimpin adat lainnya hingga seluruh lembaran kain putih itu selesai di bentangkan menutupi langit-langit Mesjid Kuno.
160220111250.jpgSetelah kain putih besar itu terbentang, lalu diiringi pemasangan kain di empat tiang pada bagian tengah mesjid. Di tiang pojok timur (tenggara) di pasang kain berwarna merah oleh Pemusungan. Warna merah melambangkan keberanian. Pojok timur (tenggara) tersebut melambangkan terbitnya matahari. Matahari yang menyinari seluruh isi alam. Pun demikian dengan seorang Pemusungan harus mampu mengayomi seluruh warganya tanpa membedakan status, agama dan status sosialnya.
Kemudian di tiang pojok barat daya, kain putih di pasang oleh Penghulu. Warna putih melambangkan  kesucian Islam. Penghulu dalam pandangan masyarakat Sesait sebagai pemimpin agama, pemimpin spiritual. Selanjutnya pada tiang di pojok timur laut di pasang kain berwarna biru yang diikat oleh Mangkubumi. Warna biru ini melambangkan kesuburan. Lalu kain warna kuning di pasang di tiang di pojok sebelah barat laut oleh Jintaka. Warna kuning melambangkan kesejahteraan.
Acara memajang ini juga di isi dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Usai itu, lalu dilanjutkan dengan penjelasan makna Maulid Adat Wet Sesait oleh sesepuh adat yang memang mengetahui dan paham tentang makna-makna yang terkandung di dalam setiap rangkaian ritual dan sejarah Maulid Adat di wet Sesait. Lalu selanjutnya, acara di tutup dengan pengajian hikmah Maulid Nabi Muhammad Saw.
 Para pemimpin adat ini pun kembali ke kompleks Kampu membawa perlengkapan. Malam harinya, barulah kegiatan presean di gelar semalam suntuk. Keesokan harinya, prosesi ritual tahap berikutnya pun dimulai dengan agenda bisok menik (cuci beras). Lagi-lagi prosesi awal dimulai dari Kampu. Praja Mulud, tiga anak gadis yang belum dewasa keluar dari ruangan tempat pemingitan. Merekalah yang terdepan dalam iring-iringan bisok menik. Di depan pemangku Lokok Kremean yang membawa sesaji memandu jalan menuju tempat pencucian beras ke Lokok Kremean yang letaknya 1,5 km kearah barat daya Kampung Sesait.
Usai prosesi ritual bisok menik, agenda berikutnya adalah prosesi sembelih hewan kurban di depan pintu Mesjid Kuno Sesait. Lagi-lagi prosesi awal dari kegiatan tersebut di mulai dari Kampu. Seluruh perlengkapan untuk menyembelih hewan kurban dikeluarkan dari dalam Kampu itu. Dua bilah parang dan beberapa perlengkapan lainnya dibawa dari Kampu menuju tempat penyembelihan. Kampu ini sebagai sentral seluruh kegiatan dimulai.
F.      MEMAJANG SIMBOL PERSAMAAN DAN KESETARAAN UMMAT MANUSIA
Menjelang sore hari akan dilakukan persiapan Memajang atau Ngengelat yang akan dilaksanakan setelah sholat Asyar berjamaah sampai menjelang waktu sholat Magrib dan Isya di Mesjid Kuno. ”Ritual Memajang merupakan ritual pertama sebagai pembuka pelaksanaan ritual-ritual lainnya. Adapun makna dari ritual Memajang adalah sebagai simbol persamaan dan kesetaraan umat Manusia sebagai makhluk citaan Allah Swt,”kata Asrin selaku ketua panitia pelaksana.
Asrin menambahkan bahwa setelah selesai Memajang yang dilakukan oleh Tau Lokok Empat (Mangkubumi,Penghulu,Pemusungan dan Jintaka), dilanjutkan dengan sholat Magrib dan Isya. Ini semua dilaksanakan di Mesjid Kuno.
Kegiatan berikutnya yang dilaksankan di halaman Mesjid Kuno adalah Semetian (Perisian) yaitu saling pukul menggunakan Penjalin (rotan) yang masing-masing bertameng. Acara semetian harus diawali oleh Pepadu (Jagoan) Nina Sik Wah Supuk (perempuan uzur yang sudah monopaus), barulah Pepadu Mama boleh bertarung sampai tengah malam.
160220111244.jpgAdapun  acara puncak prosesi ritual Maulid Nabi Besar Muhammad Saw (lanjut Asrin) yang dikemas secara adat dilaksanakan pada hari keempat (Kamis), yaitu keesokan harinya setelah Memajang dan Semetian dilakukan.
Rangkaian ritual pada acara puncak tersebut, diawali dengan ritual Bisok Beras (cuci beras) dipagi harinya ke Lokok Kremean (diyakini sebagai tempat pemandian bidadari dan orang-orang suci).
Cuci beras ini dilakukan oleh kaum hawa (baik yang masih gadis maupun yang sudah berkeluarga), dengan di Abih (diapit) baris tiga oleh  kaum laki-laki (barisan Nina ditengah diapit barisan Mama).
Ba’da Zhohor, acara dilanjutkan dengan Berkurban dengan menyembelih Kerbau (Sembeleh Kok) yang ukuran,umur dan bobot sudah menjadi ketentuan para leluhur (Kok Kembalik Pokon). Sementara di dalam Kampu, pada saat yang bersamaan, Nasi Aji (yang akan dibawa ke Mesjid Kuno) dan Payung Agung (nanti ditempatkan dipintu masuk Mesjid Kuno) juga dipersiapkan. Persiapan ini tidak sembarang orang yang mengerjakannya, harus berdasarkan Purusa (garis keturunan).
Setelah berkurban (Sembeleh Kok), dilanjutkan dengan Mbau Praja Mama dengan cara mengejar dan menangkap setiap laki-laki yang belum aqil baliq sebanyak tiga orang yang akan dijadikan putra Mahkota, untuk disandingkan dengan Praja Nina (yang sudah terpilih pada hari pertama saat menutu pare bulu) sebagai Praja Mulud (sepasang putra-putri mahkota).
Praja Mulud bertugas sebagai penjaga pintu Mesjid Kuno dengan membawa Payung Agung dan menjaganya dari sentuhan orang lain yang melewati pintu Mesjid Kuno. Jika Payung Praja Mulud (Payung Agung) disentuh orang lain, maka diberi sanksi yaitu dipukul menggunakan Pemecut (Penjalin yang diberi tali) oleh Praja Mulud.
Menjelang sore hari pada hari terakhir dari ritual Maulid Adat di wet Sesait ini, kemudian dilanjutkan dengan Naikang Dulang Nasi Aji (dulang yang berkaki satu yang dikhususkan bagi Tau Lokak Empat; Pemusungan, Mangkubumi, Penghulu dan Jintaka).
”Waktu Naikang Nasi Aji ke Mesjid Kuno ini, diyakini yaitu pada waktu Gugur Kembang Waru ( waktu menjelang Magrib). Prosesi ritualpun berakhir dan ditutup dengan Do’a oleh Penghulu Adat,”jelas Asrin.
G.    SEMETIAN MERIAHKAN MAULID ADAT
Wet Sesait meliputi empat desa yang ada wilayah Kecamatan Kayangan yaitu Desa Kayangan, Desa Pendua, Desa Santong (Khusus Dusun Santong Asli) dan Desa Sesait sendiri. Pada tahun ini menggelar acara ritual Maulid Adat yang dihadiri ribuan orang dari berbagai penjuru Lombok Utara.
Maulid Adat di wet Sesait memang berbeda dengan Maulid Adat di daerah lainnya di Lombok Utara.Wet Sesait menggelar Maulid adat agak maju beberapa hari dibandingkan dengan daerah lain. Perbedaan ini menurut perhitungan Tau Lokak Empat adalah berdasarkan perhitungan Jango Bangar.
“Kami memiliki penanggalannya berdasarkan perhitungan Jango Bangar, bahkan untuk Maulid adat pada tahun-tahun berikutnya sudah bisa ditentukan hari dan tanggalnya mulai sekarang,”ungkap Djekat salah seorang tokoh adat tertua di wet Sesait.
Di masa mendatang, Wakil Bupati KLU yang hadir memberikan sambutan pada acara Maulid Adat di Sesait ini mengatakan bahwa, kegiatan Maulid 160220111286.jpgAdat seperti yang digelar di Sesait ini, bisa menanamkan rasa tanggung jawab untuk mempertahankan tradisi. Namun jangan sampai semangat pelaksanaan kegiatan adat itu dilupakan. Maulid Adat merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat terhadap Nabi Muhammad Saw.  
Harapan yang sama juga disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata Propinsi NTB L.Gita Ariadi, ketika membuka secara resmi kegiatan Semetian atau yang lebih populer disebut Perisean. Gita mengatakan bahwa kegiatan Semetian dalam rangkaian Maulid Adat seperti di Sesait ini perlu dilestarikan.Karena ritual seperti  ini adalah warisan para leluhur dan masih memberikan manfaat positif pada masyarakat.
Gita juga mengharapkan kedepannya kegiatan Maulid Adat bisa ditata dengan lebih bagus lagi. Dalam artian, keunikan Maulid Adat itu bisa menjadi daya tarik pariwisata. Agar kegiatan sakral itu tidak terganggu, perlu dipikirkan acara seremonial yang bisa diikuti oleh wisatawan yang pada ujungnya akan memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat Sesait.
“Kalau Gong Dua ini sakral, mungkin perlu ada gong lainnya yang disiapkan sewaktu-waktu untuk menyambut tamu,”kata Gita.
H.  RITUAL BISOK MENIK KE LOKOK KREMEAN
Rangkaian lanjutan prosesi Maulid Adat pada hari yang ke empat (Kamis 17/02/2011) di wet Sesait, kembali dilaksanakan dengan agenda Bisok Beras (bisok Menik), sekitar satu km ke arah barat daya Mesjid Kuno Sesait.
Nampak rombongan iring-iringan para pemuda-pemudi dari berbagai dusun di wilayah wet Sesait, berjalan menuju pusat lokasi digelarnya ritual bisok beras (bisok menik) di Lokok Kremean, yang merupakan  prosesi awal sebelum beras dimasak dalam Kampu, yang terletak di dalam perkampungan Sesait.
Walau Sesait diguyur hujan sejak pagi harinya, namun peserta bisok beras yang terdiri dari kaum hawa baik yang masih gadis, sudah berkeluarga  maupun yang sudah monopaus, tidak menyurutkan semangat mereka untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan sacral ritual tahunan ini. Semangat mereka semakin bertambah manakala diiringi oleh dua barungan (grup) gong dua yang ikut mengiringi dari belakang.
“Wah, semangat betul kita ini, walau kita tidak pakai alas kaki, kita tetap semangat ikut ambil bagian untuk dapat bisok beras,”kata Turni, salah seorang  peserta bisok beras dari Sumur Pande, yang dibenarkan juga oleh temannya Rusmiati dari Rebakong.
160220111284.jpgKetua Panitia Pelaksana Asrin, mengatakan bahwa, kegiatan ritual bisok beras ke Lokok Kremean tahun ini diikuti oleh sekitar 230 orang peserta. Kegiatan ini, menurut Asrin sempat tertunda dari jadual semula, karena disebabkan kondisi cuaca yang tidak bersahabat.
“Dari pagi hari sampai di gelarnya ritual ini, hujan terus turun, sehingga jadual yang kita rencanakan mulai jam 07,00 molor menjadi jam 09,15. Ini bukan kesalahan kami panitia, tapi inilah kehendak Yang Kuasa,”jelas Asrin.
Diakui Asrin, walau hujan terus mengguyur Sesait, namun prosesi ritual bisok beras jalan terus dan semangat peserta juga antusias. “Mungkin ini karena pesertanya banyak, sehingga mereka juga semangat, lebih-lebih banyak peserta dari kalangan muda-mudi,”katanya menambahkan.
Sementara itu, dari kalangan generasi muda asal sumur Pande Demung Waji, mengatakan sangat terharu melihat rekan-rekan sebayanya penuh semangat ikut kegiatan sakral yang tiap tahun diselenggarakan wet Sesait ini. Sehingga, tidak terasa katanya air matanya jatuh dan tidak bisa ngomong apa-apa.
“Ini patut kita berikan apresiasi kepada generasi muda khususnya di wet Sesait. Karena kita lihat sekarang ini, para pemuda wet Sesait sudah mulai menampakkan jati dirinya. Buktinya, yang nampak menonjol dari kegiatan Maulid Adat ini adalah dari generasi mudanya, dari sejak perencanaan, penggalangan dana, pencarian situs sejarah, pelaksanaan ritual, sampai dengan berakhirnya rangkaian prosesi Maulid Adat ini, semuanya dari kalangan generasi muda yang ada di wet Sesait,” beber Demung Waji.
I.       BISOK MENIK SEBAGAI NAPAK TILAS SEJARAH
Kegiatan bisok menik (cuci beras) bukan sekadar membersihkan beras sebelum dimasak, namun memiliki makna sejarah.Lokasi bisok menik ini tidak pernah diubah sejak zaman dulu hingga sekarang yaitu Lokok Kremean, yang berdasarkan Purusa dijaga oleh Marga Sanggia.
Sekitar 230 wanita mengenakan pakaian tradisional berupa Kebaya berbaris rapi didepan pintu Kampu Sesait (Singgasana Raja sesait).Di tangan kanan mereka membawa sebuak keraro/praras (baki terbuat dari anyaman bambu).Satu persatu mereka masuk ke dalam Kampu untuk mengambil beras yang mau dibawa untuk dicuci ke Lokok Kremean.
Jintaka yang mengenakan pakaian berwarna kuning, sibuk  menuangkan beras satu bokor ke dalam praras/keraro yang dibawa oleh para wanita yang sudah siap antri satu persatu. Setelah keraro mereka terisi dengan beras, lalu mereka kembali berbaris.
Prosesi ritual bisok Menik ke Lokok Kremean ini, dimulai dari keluarnya Pemangku Lokok Kremean yang membawa Sesaji dalam wadah baki berada di barisan paling depan, dibelakangnya praja Nina (wanita yang sudah monopause), lalu disusul Praja Mulud dengan beban diatas kepalanya berada diurutan ketiga dan diikuti oleh ratusan wanita lainnya dibelakangnya, sambil menjunjung praras berisi beras yang mau di cuci ke Lokok Kremean Bat Pawang.
Saat acara ini digelar, hujan terus turun mengguyur wilayah Sesait, hingga selesainya acara ritual bisok beras ini. Namun ritual ini terus berlanjut dengan antrian yang cukup panjang dari depan Kampu menuju mata air Lokok Kremean Bat Pawang dengan memakan waktu yang cukup lama.
Perjalanan panjang menuju mata iar ini merupakan kilas balik perjalanan sejarah ritual Maulid Adat sejak zaman para leluhur. Dimana kegiatan bisok beras ini harus dilakukan di Lokok Kremean, sebab zaman dulu hanya di mata air inilah yang ada sumber air bersih.
Ketika sampai di mata air, pencucian beras hanya bisa dilakukan oleh pemangku Lokok Kremean dari Marga Sanggia. Sesajen berupa lekok buak ditempatkan dekat sumur. Baru pemangku mengambil air dengan Tambang ( bokor terbuat dari kelapa utuh), lalu disiramkan ke praras yang berisi beras. Satu persatu ratusan wanita pembawa praras yang ritual ini antre mendapat giliran bisok beras.
Setelah seluruh beras selesai dicuci, barulah perjalanan pulang digelar seperti perjalanan ketika berangkat. Pemangku Marga Sanggia berada paling depan disusul oleh praja mulud dan ratusan wanita lainnya yang ikut dalam prosesi ritual bisok beras ini. Kepulangan para wanita dalam ritual bisok beras ini disambut gembira warga lainnya. Gambelan Gong dua yang mengiring saat berangkat tadi hanya sampai di suatu tempat (dipinggir hutan belantara) yang dulunya tidak bisa masuk sampai ke Lokok Kremean tempat bisok beras.
Jadi, gong adat ini hanya menunggu ditempat itu, untuk menanti kembalinya iring-iringan para wanita bisok beras tadi. Ditempat inipun iring-iringan wanita bisok beras ini, disambut oleh pemangku, kemudian bersama sama kembali ke Kampu.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Kampu ini disambut oleh Tauk Olkak Empat (Mangkubumi, Penghulu, Pemusungan dan Jintaka) diiringi  musik gong dua (gong adat). Sepanjang perjalanan, para penyambut menari hingga ke Kampu. Lalu beras dituangkan kedalam sebuah Keraro beras. Beras siap dimasak untuk disuguhkan nantinya pada saat menaikkan dulang nasi aji ke Mesjid Kuno.
Ada sedikit perbedaan dalam kegiatan rangkaian bisok beras antara wet Sesait dengan wet Bayan serta wet Gumantar.Perbedaan ini pada penyembelehan hewan kurban yang akan dijadikan lauk pada kegiatan maulid adat.
Di wet Sesait, penyembelehan dilakukan persis dihalaman depan Mesjid Kuno, sejajar dengan pintu masuk mesjid. Penyembelehan itu dilaksanakan setelah kegiatan bisok beras usai yaitu ba’da zhohor. Sementara di wet Bayan penyembelehan dilaksanakan terlebih dahulu sebelum cara bisok beras didalam Kampu. Kalau di wet Gumantar tidak ada acara penyembelehan. Hanya acara bisok beras dilaksanakan setelah turun gong.
Perbedaan lainya terletak pada acara puncak penyelesaian ritual maulid adat dalam Mesjid Kuno. Di wet sesait acara ritual puncak Maulid Adat dengan dinaikkannya dulang Nasi Aji ke Mesjid Kuno. Sedangkan di wet Bayan dan wet Gumantar, acara puncaknya sama, yaitu dengan naiknya Praja Mulud ke Mesjid Kuno.
J.      RITUAL PENYEMBELIHAN KERBAU KEMBALIK POKON
Sudah menjadi tradisi ketentuan para leluhur bahwa, ritual bisok menik dalam rangkaian prosesi Maulid Adat Sesait, harus ke Lokok Kremean, yang lokasinya sekitar satu km kearah barat daya Mesjid Kuno.
Usai bisok menik ini, rangkaian selanjutnya setelah bakda zhohor adalah sembeleh Koq (kerbau) kembalik pokon, yang ukuran,umur dan bobot sudah menjadi ketentuan para leluhur.
Menurut A.Rahini (55) salah seorang tokoh adat Sesait bahwa, seluruh rangkaian pekerjaan ritual adat di wet Sesait ini adalah berdasarkan perhitungan kalender Jango Bangar.
Pelaksanaan ritual adat di wet Sesait seluruhnya berdasarkan perhitungan kalender Jango Bangar. Termasuk juga acara ritual penyembelehan Koq didepan pintu Mesjid Kuno Sesait ini,”jelas A.Rahini.
Namun diakui A.Rahini bahwa sebelum acara penyembelehan Kerbau (Koq) dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan penyembelehan tiga ekor ayam yang putek mulus,bulu telu (tiga) dan bing kuning, ditempat dimana nantinya pemyembelehan Koq dilaksanakan.
“Warna bulu ayam putek mulus (symbol kesucian) melambangkan Penghulu, warna bulu telu (biru, symbol kesuburan) melambangkan Mangkubumi, dan warna bing kunig (merah-kuning, symbol keberanian dan kemakmuran) melambangkan Pemusungan dan Jintaka,”beber A.Rahini lugas.
170220111376.jpgKetika ditanya,  mengapa ayam yang tiga warna tadi disembeleh duluan, A.Rahini yang juga anak mantan dari Mangkubumi terdahulu ini, mengatakan dengan senyum bahwa, pada saat itu ada Manik – Mulud (Firman Allah Swt) segala sesuatu mulai ada.
Sementara itu Ketua Panitia Pelaksana Maulid adat wet Sesait, Asrin mengatakan, yang mengerjakan ritual persiapan  penyembelehan Koq ini adalah Purusa A.Dalik-A.Kayam Bat Pawang.“Yang melakukan melekok koq (ikat kerbau) sebelum disembeleh dari Purusa A.Dalik-A.Kayam Bat Pawang.
Jadi tidak sembarang yang melakukannya,”jelas Asrin yang dikenal dalam komunitas Sesait ini dipanggil Upik.Sedangkan yang akan melakukan penyembelehan adalah dari Tau Lokak Empat, bisa Mangkubumi, Pemusungan,Penghulu dan Jintaka.Tergantung kesepakatan mereka, siapa yang akan melakukan penyembelehan.

K.  PUNCAK MAULID ADAT, DULANG NASI AJI DINAIKKAN
Ritual prosesi Maulid Adat wet Sesait, pada puncaknya yang terakhir (hari keempat) dengan menaikkan Nasi Aji ke Mesjid Kuno. Nasi Aji yang dinaikkan ini berjumlah tiga buah dulang  yang berkaki satu,  yang bentuk dulangnya seperti Waruga pada jaman batu besar.
Disebut Nasi Aji, karena cara penyajian segala isinya dengan cara berdiri dan dibungkus / dibalut dengan kain putih. “Pada intinya, ini adalah sebuah simbol bahwa, apapun isinya tidak ada yang mengetahui, karena dibungkus dengan kain putih,”kata Lakiep (alm) dari Marga Sanggia suatu kesempatan pada masa hidupnya.
Mengapa jumlahnya harus tiga dulang? Lakiep menjelaskan,” karena itu ada hubungannya dengan Menjango, Membangar dan Bukak Tanak, ”jelasnya.
Dulang Nasi Aji  berisikan segala jenis makanan yang sebelumnya sudah disajikan oleh Praja Mulud di dalam Kampu. Isinya terdiri dari nasi, lauk-pauk (tanpa garam), pisang, jaja pangan, jaja tutu dan lain secukupnya. Semua penganan ini disajikan / diatur dengan cara berdiri. Masing-masing dulang dibungkus dengan menggunakan kain putih (melambangkan kesucian).
160220111262.jpgMenurut salah seorang tokoh adat Sesait A.Rahini (55) bahwa, Nasi Aji yang  berjumlah tiga dulang ini, diperuntukkan bagi Tau Lokak Empat. Sedangkan dulang selebihnya itu adalah sebagai pengiring dulang Nasi Aji, dan diperuntukkan bagi siapa saja yang ada di dalam Mesjid Kuno.
“Khusus dulang Nasi Aji yang tiga buah ini, sudah ada peruntukannya. Satu dulang untuk pasangan Pemusungan dan Penghulu, satu dulang untuk pasangan Mangkubumi dan Jintaka, dan satu dulang yang lainnya diperuntukkan bagi tamu undangan yang lain, yang setingkat dengan jabatan Tau Lokak Empat,”terang A.Rahini.
Tetapi yang unik disini, lanjutnya, bahwa Mangkubumi itu tidak makan. Sebagai penggantinya dicarilah orang yang sederajat dengannya, untuk menyantap Nasi Aji bersama dengan Jintaka.
Ada lagi sebutan yang unik dalam Tau Lokak Empat. Misalnya, Penghulu, tidak disebutkan Penghulu saja, tetapi ditambah sebutan nama didepannya dengan sebutan Mas Penghulu. Sedangkan yang lain, seperti Pemusungan, Mangkubumi dan Jintaka, sebutannya tetap tidak berubah.
“Yang lain, tetap sebutannya, hanya Penghulu saja yang disebut Mas Penghulu,”jelas A.Rahini. Ketika ditanya mengapa demikian, A.Rahini menjawab dengan senyum, “Karena itu identik dengan Penggentik (Pengganti), ”katanya.(#)













BAB  V
SITUS  PENINGGALAN  SEJARAH  GUMI  PAER  SESAIT

Berbicara mengenai sejarah, pandangan kita tidak pernah lepas dari masa lampau. Sejarah bukanlah suatu yang asing bagi kita.Walaupun demikian, masih banyak diantara kita yang belum mengetahui sejarah peninggalan masa lalu yang ada disekitar kita. Hal ini disebabkan karena  kurangnya  peninggalan – peninggalan tertulis yang ditinggalkan oleh masyarakat terdahulu yang sampai kepada generasi berikutnya.
Dalam tulisan kali ini, terfokus pada beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di Gumi Paer Sesait, yang berhasil penulis kumpulkan dari berbagai sumber.
Menurut Perbekel Adat Sesait Masidep, menyebutkan, ada beberapa peninggalan sejarah yang ditemukan di Gumi Paer Sesait, yang hingga kini masih tersimpan lestari. Peninggalan-peninggalan sejarah itu, ada yang tersimpan dalam Kampu dan ada pula masih tersimpan oleh keturunannya.
Diantara peninggalan sejarah yang hingga kini masih tersimpan lestari tersebut,antara lain :
A.    KULEM DAN KERIS
Peninggalan Datu Bayan, Kulem adalah nama sebuah alat yang pernah dipergunakan oleh Mak Beleq (sebutan Datu Bayan sebelum menjadi Datu Bayan) sebagai sikap (senjata) dalam perjalanannya menuju ke Semboya, untuk memantau kawasan utara gunung Rinjani yang nantinya akan dijadikan sebagai lokasi mendirikan sebuah kerajaan baru.
Kulem, yang sudah berusia puluhan abad ini, secara turun - temurun masih tersimpan rapi oleh Masidep keturunannya yang ke-58  di dusun Sumur Pande Tengak Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU. Kulem tersebut adalah sejenis Perisai terbuat dari kayu Stuba dan sebilah keris.
Sebenarnya, Kulem ini adalah nama orang yang mendampingi Mak Beleq dalam perjalanannya menuju daerah Semboya, untuk melihat  seluruh daerah kawasan utara gunung Rinjani, daerah yang mana kira-kira yang cocok untuk mendirikan sebuah kerajaan baru.
Dari kerajaan baru inilah nantinya akan dijadikan pusat penyebaran Islam keseluruh pelosok dikawasan utara gunung Rinjani.
Mak Beleq, dengan didampingi oleh pengiringnya yang bernama Kulem, sebelum sampai ke tempat tujuan, singgah dulu disebuah gubug di daerah Santong (sekarang Santong Asli) untuk beristirahat sejenak menghilangkan kepenatan akibat perjalanan jauh. Gubug yang digunakan oleh Mak Beleq sebagai tempat istirahat tersebut, hingga sekarang gubug  ini masih terpelihara dengan baik oleh keturunannya, yang memang berdasarkan purusanya.
Peninggalan Datu Bayan 'Kulem'.JPGDalam perjalanan ritualnya ke Semboya kala itu, Mak Beleq bersama pendampingnya Kulem, memang mengharuskan singgah terlebih dahulu untuk beristirahat dirumah yang sampai saat ini masih terpelihara di Santong Asli itu. Setelah itu, baru kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Semboya. Tiba disana, dicarilah tempat yang cocok dijadikan pijakan, untuk melihat daerah sejauh mata memandang yang ada di lereng utara gunung Rinjani. Batu pijakan yang digunakan oleh Mak Beleq kala itu, yang oleh masyarakat adat wet Sesait dikenal dengan nama ‘Batu Penginjakan Semboya’. Batu Penginjakan ini pun hingga kini masih terpelihara dan dijaga oleh purusanya.
Kulem dan Keturunannya yg ke 58.JPGPada setiap tahun, untuk memperingati hijriyahnya Mak Beleq dalam menapak tilas mencari daerah baru sebagai lokasi sebuah kerajaan yang akan didirikannya, maka Kulem ini selalu dibawa ke Semboya oleh keturunannya dalam sebuah acara ritual. Mak Beleq didalam menjalankan misinya mencari daerah baru tersebut, berdasarkan naluri darah birunya sebagai calon Datu/Raja, maka dipilihlah daerah Bayan untuk dijadikannya sebagai daerah kerajaannya nanti.
Dimana pada saat yang bersamaan, pada masa itu di Bayan sudah ada Raja yang memerintah, yang bernama Emban Sereak. Rupanya, Mak Beleq inilah yang diceritakan dalam perjalanan sejarah nantinya yang akan menjadi Raja Bayan menggantikan Raja Emban Sereak.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, diceritakan bahwa Kulem ini juga dikenal sebagai salah satu tokoh penyebar Agama Islam di daerah Sesait. Salah satu tokoh keturunan  Kulem ( penyebar Islam ) di gumi Sesait adalah H.Yamani, atau yang lebih dikenal dengan sebutan H.Imok/ Amaq Imok. Alat ini (Kulem) tersebut, hingga kini masih tersimpan dengan baik oleh keturunannya yang ke- 58, Masidep, yang juga Sekjen Perbekel Adat Wet Sesait, yang berpenampilan low profil ini.
B.    BALE BANGAR
Gumantar adalah salah satu desa dari delapan desa yang ada diwilayah Kecamatan Kayangan Lombok Utara. Hingga sekarang, desa ini banyak meninggalkan beberapa situs sejarah yang penuh dengan nuansa adat istiadatnya, terutama yang berpusat di Dusun Dasan Beleq.
Secara sosiokultural, masyarakat adat Dasan Beleq berkaitan erat dengan ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari situs budaya yang ada, terus hidup dan berkembang sejalan dengan ritme kehidupan masyarakat setempat.
Pusat aspek keagamaan terdapat di dusun Gumantar, dimana Mesjid Kuno yang ada sekarang adalah dibangun oleh para wali dan ulama’ penyebar agama Islam terdahulu, sedangkan pusat Pemerintahannya kala itu terdapat di Dusun Dasan Beleq ini.
Situs – situs sejarah peninggalan para wali penyebar agama Islam yang terdapat di Dusun Dasan Beleq Desa Gumantar Kecamatan Kayangan KLU ini, menurut tokoh adat Dusun Dasan Beleq, Malinom (48), mengatakan bahwa, ada beberapa peninggalan, diantaranya :

1.     Bale Bangar Gubuq’
 ‘Bale Bangar Gubuq’, yang oleh masyarakat setempat disebutnya Pagalan. Bale ini, terletak ditengah-tengah Gubuq Dasan Beleq, dengan ukuran 5x5 m. Bale (rumah) ini, menurut Malinom, keberadaannya diyakini dibuat oleh orang yang pertama kali datang dan menetap di Dusun Dasan Beleq.  “Kedatangannya dari mana, dan siapa namanya, itu tidak bisa dipastikan, ”kata Malinom.
Namun menurut Sahir (40), salah seorang tokoh muda yang disegani di dusun setempat, menceritakan kepada suarakomunitas.net, tentang keberadaan dari seorang wali penyebar agama Islam yang pertamakali datang dan menetap di kampung Dasan Beleq tersebut.
Rumah Bangar Gubuq=Pagalan Ds Beleq Gmtr.JPGDiceritakan, konon katanya, pada sekitar abad 16 Masehi, ketika agama Islam sudah mulai tersebar ke seluruh pelosok tanah air, tak terkecuali para penyebar ajaran Islam sampai juga ke wilayah utara lereng gunung Rinjani. Termasuk di gumi Dasan Beleq ini. Para penyebar agama Islam yang pertama kali datang ke tempat itu (Dasan Beleq), menurut Sahir, diawali dari Gunung Rinjani. Penyebar agama Islam ini, bernama Mak Beleq dan Kendi (menyerupai Kendi) turun dari Gunung Rinjani, yang dikemudian hari, dalam perjalanan sejarah, setelah berkuasa dan menyebarkan agama Islam di daerah Bayan, Mak Beleq dikenal dengan sebutan Datu Bayan.Sedangkan temannya yang bernama Kendi tadi, kala itu,tetap tinggal dan menyebarkan agama Islam di daerah Dasan Beleq dan sekitarnya.
Diceritakan, sebelum sampai ke Dasan Beleq, para penyebar ajaran Islam (Mak Beleq dan Kendi) ini berhenti dulu di Pawang Semboya, untuk melihat sekeliling utara lereng gunung Rinjani, kearah mana nantinya tujuannya yang pertama dalam menyebarkan ajaran Islam yang dibawanya. Setelah mantap keteguhan hatinya, maka dipilihlah suatu daerah sebagai tujuannya yang pertama dalam menyebarkan ajaran Islam. Daerah tersebut, sekarang dikenal dengan nama Dusun Dasan Beleq. Karena yang pertama kali datang ditempat itu bernama Mak Beleq, sebelum melanjutkan penyebarannya ke daerah Bayan.
2.     Bale Adat
Kemudian, situs peninggalan sejarah yang lain di Dusun Dasan Beleq ini adalah Bale Adat yang berada di Pawang Gedeng/Pawang Adat, sekitar 400 meter kearah selatan Gubuq Dasan Beleq sekarang.
  Bale adat yang berada ditengah Pawang Gedeng/Pawang Adat ini, terbuat dari anyaman pohon bambu. Mulai dari atap hingga pagarnya semuanya terbuat dari bambu.
3.      Berugak Agung’
Disamping Bale Adat ini, sekitar 5 meter disebelah barat laut dari Bale Adat tersebut, didirikan ‘Berugak Agung’ saka enam, sebagai tempat persinggahan para tetua adat sebelum melaksanakan upacara ritual adat di Bale Adat tersebut. Selain sebagai tempat persinggahan para tetua adat sebelum melaksanakan upacara ritualnya, maka Berugak Agung ini, digunakan pula sebagai tempat mempersiapkan sesaji dan segala bentuk hidangan makanan yang disajikan dalam wadah yang disebut dulang, yang diperuntukkan bagi seluruh masyarakat adat  yang hadir dalam upacara adat,  usai melakukan upacara ritual di Bale Adat tersebut.
Menurut Sahir, yang mendampingi penulis, ketika mengunjungi Bale Adat yang berada di tengah Pawang Gedeng pada tahun 2010 silam mengatakan, kalau belum sampai waktunya diadakan acara ritual di Bale Adat tersebut, siapa saja tidak boleh masuk atau sekedar melintas didalam arena atau halaman Bale Adat. “Itu pemalik,”katanya meyakinkan.
Ketika penulis mengambil gambar Bale Adat dan Berugak Agung tersebut, hanya dari luar areal pembatas. Nuansa adat di sebuah dusun tradisional yang jauh dari bisingnya kehidupan masyarakat modern ini, masih kental dengan tradisi-tradisi wetu telu, berurat berakar dikalangan sebagian masyarakat Dayan Gunung, yang masih kuat memegang tradisi tersebut.
Komunitas masyarakat adat dusun Dasan Beleq, menurut Sahir, upacara ritual di Bale Adat yang berada di Pawang Gedeng itu, akan dilaksanakan secara besar – besaran empat  bulan sekali. Upacara tersebut, menurut Sahir adalah upacara Buku Beleq. Disebut demikian, karena upacara ini dilaksanakan empat bulan sekali secara besar-besaran. Namun Sahir juga mengaku, bahwa pelaksanaan upacara ritual adat di Pawang Gedeng tersebut, tiap bulan juga dilaksanakan,tetapi hanya sekedar upacara kecil-kecilan.
Pelaksanaan upacara Buku Beleq di Bale Adat dalam Pawang Gedeng ini, akan dilaksanakan setiap dua bulan sekali. Namun sebelumnya, kata Sahir, masyarakat adat Dusun Dasan Beleq secara gotong royong memperbaiki dulu atap dan pagar dari Bale Adat tersebut, dimana ‘bambu lande’ yang digunakan diambilkan dari suatu tempat yang sudah ditentukan, yaitu dari daerah Tenggorong.
‘Perbaikan ini, dilaksanakan selama 12 hari berturut-turut, hingga tiba waktunya pelaksanaan upacara adatnya, ”tambahnya. “Mudah-mudahan saja agenda yang sudah ditetapkan oleh para tokoh adat di Dusun Dasan Beleq ini, bisa dilaksanakan sesuai rencana, ”sambungnya.
C.     PENINGGALAN SRIANGGE
1.     Takepan Lahat
2.     Kitab Shalawatan
3.     Umbak Bayan
Peninggalan Sriangge, berupa : Takepan Lahat yang ditulis didaun lontar, Kitab Shalawatan dan Umbak Bayan, yang hingga kini masih disimpan oleh (Samudin-Kedemuq-Lokok Sutrang Sesait), juga yang hingga kini masih tersisa adalah pohon Kelor dan Paving block. Pohon Kelor (remunggek) ini masih ada hingga sekarang, tidak jauh dari makamnya.
Pohon ini dulunya diyakini sengaja ditanam dekat tempayan (Ploncor) yang digunakan sebagai wadah menyimpan air untuk wudu’.
DSC04577.JPGDalam menjalani kehidupan bersama istrinya di gawah alas bana ini, Sriangge terus menjalankan  kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt, hingga akhir hayatnya.Disamping itu, hingga saat ini bekas peninggalan Sriangge masih tersimpan.
Menurut Amaq Sudirahman (Narimah), salah seorang keturunan ke -12 dari Sriagan, menceritakan bahwa ke-5 anak Sriagan ini, antara lain Sriangge, Bading, Gubah, Oncok dan Goneng. ”Kelima anak dari Sriagan ini mempunyai andil dalam memperluas wilayah penyebaran Islam kala itu, ”sebut Narimah.
Sebut saja, lanjut Narimah  seperti Gubah, mendapat tugas ke Soloh dan ke Jawa Timur serta ke Betawi, Bading ke Lombok Tengah, Goneng ke Bayan, Oncok di sekitar Barat Laut wet Sesait dan Sriangge ke Beraringan dan sekitarnya.
Bagaimana kiprah dan keberadaan dari para penyebar Islam putra asli dari Gumi Paer Sesait ini, tidak banyak diketahui. Hanya yang dibahas dalam tulisan ini adalah ketokohan Sriangge dan keteguhan imannya dalam mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh Hindu yang masuk ke wet Sesait kala itu.
Pohon Kelor Peninggalan Sriangge.JPGPohon Kelor Dekat Tempat Berwudu dan Bekas Sumur Sriangge
Di ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya  Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke tanah / gumi paer Sesait, yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah. Sehingga, ketika pengaruh Hindu ini masuk ke gumi paer Sesait, maka dari kalangan santri yang ta’at beribadah ini, meninggalkan gumi paer Sesait untuk mengasingkan diri dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan Gawah Alas Bana, yang belum pernah terjamah tangan manusia.
Di Gawah Alas Bana (diyakini sebelah barat Dusun Beraringan sekarang) inilah Santri yang bernama Sriangge bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya.
D.    PENINGGALAN SAYYID ANOM
a. Al-Qur’an tulis tangan
 Peninggalan Sayyid Anom dalam kiprahnya menyebarkan agama Islam. Al-Qur’an tulis tangan pada kulit onta, yang usianya menurut Piagam Sesait sekitar 580 tahun yang lalu, yang hingga kini masih tersimpan baik di dalam Kampu Sesait.
b.Mesjid Kuno, Tongkat khutbah dan Balai Agung Adat
Mesjid Kuno Sesait.jpgDisamping itu, ada juga peninggalan Sayyid Anom  yang lain, seperti Mesjid Kuno, Tongkat khutbah yang terbuat dari hati pohon pisang (galih) dan Balai Agung Adat (Singgasana Raja) yang disebut Kampu.
Ajaran-ajaran yang dibawa oleh ulama Sayyid Anom ini adalah Fiqh Ushul dan Tasawuf. Dalam praktek syiarnya, metode yang dilakukan adalah tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat. Sehingga dalam perayaan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw  ketika itu, dilaksanakan secara adat. Hingga kini, ritual Maulid adat di kampung yang namanya Sesait ini, tetap lestari pelaksanaan Maulid secara Adat.
Kampu (Singgasana Raja Sesait).jpgUlama Sayyid Anom, dalam penyampaian risalah atau ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini, menurut Piagam Sesait, bahwa Raja Sesait Demung Melsi Jaya, berikut empat orang Patihnya bersama-sama menyebarkan agama Islam pada awal abad ke 14 M.
E.     SITUS PEMANDIAN EMPLENG BELELENG

Penelusuran jejak situs-sistus sejarah Sesait tempo dulu yang tersebar diwilayah wet Sesait, hingga kini terus dilakukan. Dalam penelusuran pencarian situs sejarah Sesait ini, Agus Wahyudi, salah seorang tokoh Pemuda Sesait, mengatakan bahwa, keberadaan situs-situs Sesait selama ini masih banyak yang belum ditemukan. Sedangkan yang sudah ditemukan baru sebagian kecil saja.

”Situs-situs sejarah Sesait yang sebagian besar tersebar diwilayah bagian timur KLU ini, masih banyak yang belum ditemukan, baru sebagian kecil saja,”kata Agus Wahyudi, yang biasa dipanggil Agus Engkang ini.

”Kami akan terus mencoba menelusuri jejak situs sejarah Sesait yang merupakan peninggalan nenek moyang Tau Lokaq Sesait yang pernah ada di zaman dulu, yang nyaris terlupakan ini. Sehingga nantinya, penemuan kami ini akan menjadi bukti bahwa peradaban Tau Lokak Sesait zaman dahulu betul-betul pernah ada dan jaya dimasanya,”jelas Agus Engkang semangat.

Situs pemandian Inaq Empleng Bleleng yaitu Situs Sumur Lokok Paok. Sekitar satu kilo meter ke arah barat laut Kampung Sesait inilah lokasi situs Sumur Lokok Paok itu berada. Keberadaan sumur ini, persis dilereng bukit gontoran Gunung Konoq, diatas Lokok Saong sebelah timur Gubuq Setowek, yang  hingga kini keasliannya masih terpelihara rapi. Hanya saja, seiring dengan perubahan zaman jutaan abad yang silam, penutup dari sumur ini sudah raib ditelan waktu.
Sumur Lokok Paok.jpgSumur Lesung Mpleng Bleleng.jpg
Sumur Inaq Empleng Bleleng dan Batu lesung

 Menurut cerita M.Ali salah seorang tokoh masyarakat Sesait, menceritakan hal ihwal keberadaan sumur lokok paok tersebut. Di ceritakannya bahwa, sumur lokok paok ini, dulu pada zaman ireng, sumur ini diyakini sebagai sumur tempat pemandian Inaq Empleng Bleleng. Batu lesung yang ada persis didekat sumur ini, diyakini sebagai wadah tempat menumbuk kelapa atau sejenisnya sebagai alat untuk keramas. Kebiasaan orang tua zaman dahulu, sebelum mandi, biasanya keramas terlebih dahulu, baru kemudian mandi ’melangeh’.

Tidak jauh dari tempat batu lesung tadi, yaitu sekitar satu meter arah utara darinya terdapat satu buah batu lesung lagi yang lubangnya ada lima. Ini, menurut M.Ali, diyakini juga sebagai tempat Inaq Empleng Bleleng menaruh segala macam racikan ramuan untuk dijadikan obat-obatan.
Sumur Lokok Koloh.jpgBatu Mpleng Bleleng.jpg
Lokok Koloh dan Situs Empleng Beleleng yang sudah menjadi batu
Disamping situs Sumur Lokok Paok, ada dua sumur lagi berderet disebelah utaranya, yaitu Sumur Lokok Lengkak dan Sumur Lokok Koloh yang menyerupai gua. Dari sumur Koloh yang menyerupai gua inilah hingga sekarang digunakan oleh penduduk Sejongga, untuk mengambil air sebagai sumber kehidupan mereka.

Menurut legenda yang berkembang secara turun- binurun dikalangan masyarakat Sesait, dari zaman dahulu hingga sekarang, diceritakan bahwa; pada zaman ireng (zaman kegelapan) atau mungkin juga pada zaman gletser jutaan tahun silam, hiduplah sepasang keluarga yang bernama Empleng Bleleng. Keluarga ini hidup dan berkembang membentuk sebuah komunitas yang oleh masyarakat setempat, diyakini mereka tinggal di gontoran Sesait yang sekarang. Sebagaimana layaknya kehidupan manusia zaman sekarang, kehidupan keluarga inipun yang pada zamannya, dalam kesehariannya terus bekerja banting tulang diladang miliknya demi menghidupi keluarganya. 
Batu tempat Kerames Mpleng Bleleng.jpg
Tempat Empleng Beleleng Melangeh dan Sumur Lokok Paok
Dari hari berganti hari, terus berlangsung sepanjang masa, kehidupan sepasang keluarga Empleng Bleleng pun berubah menjadi masa paceklik. Pada masa ini kehidupan keluarganya mengalami masa serba kekurangan. Tidak ada yang akan dimasak. Keluarga ini berusaha semampunya untuk mendapatkan sekedar penyambung hidup bagi keluarganya. Sehingga pada suatu ketika, sang ibu (Empleng Bleleng) sedang menyajikan makanan sekedar pengganjal perut bagi anak-anaknya. Sedangkan sang suami ketika itu sedang bekerja diladang.

Diceritakan dalam legenda tersebut bahwa, ketika Inaq Empleng Bleleng menyajikan makanan buat anak-anaknya, tiba-tiba anaknya nyeletuk mengatakan; ”Inaq, awas ’dowen epe’ (punyamu ibu),”kata anaknya yang paling besar.

Tanpa pikir panjang, ibunya langsung memukul anaknya yang berbicara tadi dengan menggunakan sendok sayuran yang biasanya terbuat dari tempurung kelapa. Peristiwa pemukulan Inaq Empleng Bleleng kepada anaknya ini, terdengar juga sampai diladang dimana lokasi tempat sang suami bekerja. Kemudian sang Suami begitu melihat keadaan anaknya yang berlumuran darah dari kepalanya, sang suami marah dan kalang kabut. Saking marahnya, sehingga kemarahannya ini tidak bisa dibendung, akhirnya sang suami kalap, dan menebas buah dada (payudara) sang isteri dengan menggunakan parang. Akibat tebasan parang dari suaminya ini, Inaq Empleng Bleleng lantas pergi ke tengah arungan (laut dangkal) guna merendam lukanya. Ini dimaksudkan agar darah yang terus mengucur keluar dari lukanya itu bisa dihentikan. Berhari-hari, berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan, Inaq Empleng Bleleng terus berendam.Karena terlalu lamanya berendam, anak yang ditinggalkan dirumahnya bersama suami dan anaknya yang paling besar, menjadi kewalahan. Pasalnya, anaknya yang bungsu masih membutuhkan air susu ibunya.

Dalam keadaan penyesalan yang amat dalam, sang suami berharap agar sang istri bisa keluar dari tengah arungan atau dari berendamnya. Namun, sang istri bersikukuh tidak mau keluar, dia memilih tetap tinggal dalam arungan tersebut. Sang suami sudah kehabisan akal membujuk istrinya, agar mau keluar menyusui anaknya yang masih kecil tersebut. Tetapi, istrinya tetap tidak memperdulikannya. Langkah terakhir yang ditempuh sang suami yaitu dengan menyuruh anaknya yang paling besar menyusul ibunya. Dengan langkah yang tertatih-tatih sambil menggendong adiknya yang sudah tidak kuat lagi menangis, lalu menyusul ke pantai, dengan harapan adiknya dapat disusui ibunya.

Setibanya dipinggir pantai, sambil berlarian kesana-kemari sambil memanggil-manggil nama ibunya, agar keluar sebentar menyusui adiknya. Sementara adiknya sambil digendong terus menangis tiada hentinya. Sampai-sampai suaranya tidak kedengaran lagi. Karena ibunya tidak mau keluar, sang kakak juga ikut menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, mungkin karena naluri sang ibu muncul dihatinya,tidak tega melihat nasib kedua anaknya terus menangis dipinggir pantai, lalu dipanggillah anaknya agar ikut masuk ke tengah arungan menemui ibunya. Lalu kedua kakak beradik inipun ikut masuk ke tengah arungan menemui ibunya.

Ajaib, setelah ibu dan kedua anaknya bertemu saling melepas rindu, maka sang ibu tidak mau lagi berpisah dengan kedua anaknya. Lalu dia memohon kepada Yang Kuasa agar mereka dijadikan batu saja. Sehingga permohonan ibu yang malang ini, terkabulkan. Sekarang batu penjelmaan dari Empleng Bleleng dan kedua anaknya ini,masih ada terpelihara dengan baik ditanah milik almarhum Dabak Sesait di Gunung Konoq, sekitar satu kilometer barat laut Kampung Sesait sekarang. Hingga saat ini, lubang bekas luka tebasan pada dada Inaq Empleng Bleleng yang sudah membatu tersebut, lubangnya tetap basah dan berisi air yang tidak pernah kering walau musim berganti sepanjang sejarah.   
    
F.     SITUS LOKOK KREMEAN                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
Situs Lokok Kremean,Sumur Jukung, Sumur Minyak, Batu Lesong dan Lokok Nampih. Menurut penuturan Lakiep (48) yang sudah empat tahun menjaga situs ini, menjelaskan bahwa, situs-situs ini ada keterkaitannya satu sama lain dan mengaku sebagai penjaga situs tersebut berdasarkan Purusa (garis keturunan) dari Bapuk Buntit-Amaq Sanggia (Marga Sanggia).
Lokok Kremean.jpg
Sumur Lokok Kremean dan Sumur Lokok Nampih
Diceritakan Lakiep, menurut cerita orang tua dari jaman dahulu, bahwa sebelum pelaksanaan ritual Maulid Adat, ditempat situs Sumur Lokok Kremean ini, Pare (padi) bulu ditutu (ditumbuk), kemudian ditampik (dibersihkan), lalu di Krem (di rendam), yang selanjutnya nanti akan dibuat Jaja Pangan (sejenis penganan), lalu di goreng. Setelah semua persiapan ini sudah selesai, beras yang sudah direndam tadi kemudian dibawa kembali menggunakan Jukung ke Kampu Sesait untuk proses selanjutnya.

”Itulah sebabnya ada situs Batu Lesong (digunakan untuk menumbuk padi), situs Lokok Nampih (tempat Menampik/membersihkan beras), situs Lokok Kremean (tempat merendam beras sebelum dibuat jaja pangan) dan situs Sumur Jukung (diyakini sebagai sampan/rakit untuk membawa beras dan jaja pangan ke Kampu),”jelas Lakiep (alm), yang diwawancari pada masa hidupnya saat Maulid Adat tahun 2011 silam.


G.    SUMUR PEMANDIAN DATU SESAIT
Jalan setapak menuju areal persawahan milik Dagul (55) dusun Sentul Desa Pendua Kecamatan Kayangan ini, sangat menguras tenaga. Pasalnya, jalan yang menuju ke areal persawahan tersebut penuh liku-liku dan berbukit terjal. Letak tanah persawahan milik Dagul ini, berada sekitar 500 meter kearah tenggara dusun Sentul. Di ujung selatan tanah sawah milik Dagul inilah lokasi Sumur yang menurut sejarah Sesait dinamakan Sumur Lokok Kapuk.
Untuk sampai ke sumur ini, bisa ditempuh dengan jalan kaki maupun menggunakan kendaraan roda dua, bisa lewat desa Santong dan bisa juga lewat Sesait. Namun, bagi yang menggunakan kendaraan cukup sampai di dusun Sentul bagian atas dan diteruskan jalan kaki menuju lokasi dengan menyusuri pematang sawah.
Disekitar lokasi sumur Lokok Kapuk ini ditumbuhi oleh pohon durian, pohon Jot dan pohon nangka. Sebelumnya, disebelah timur sumur ini bertengger dengan angker pohon Kapuk (randu), yang oleh masyarakat setempat diyakini berumur ratusan tahun. Itulah sebabnya sumur yang memiliki sejarah sacral dijamannya ini, ketika ditemukan oleh masyarakat secara turun – temurun, pohon randu atau kapuk itu sudah ada disekitar sumur ini, sehingga oleh masyarakat setempat dinamakan Sumur Lokok Kapuk.
Sumur Pemandian Datu Sesait Lokok Kapuk. Konon, menurut sejarah Sesait, dimasa jayanya pemerintahan Datu Sesaitatau yang lebih dikenal oleh masyarakat Wet Sesait dengan sebutan Tau Lokak Empat(Pemusungan, Penghulu, Mangku Gumi dan Jintaka), sumur lokok Kapuk ini adalah di yakini sebagai tempat Pemandiannya.
Menurut cerita A.Kaimah (alm) yang berkuasa di Kampu Sesait (1870) sebagai Raja Sesait yang ke-25 kala itu, yang diceritakan kembali oleh Dagul dan Bukren, bahwa keberadaan Sumur Lokok Kapuk ini, dulunya adalah sebagai induk dari seluruh mata air yang bermunculan di gontoran Sentul hingga Gubug Setowek. Namun setelah Sumur Lokok Kapuk ini ditutup oleh Tau Lokak Empat Sesait, maka sumur ini tidak lagi mengeluarkan air seperti sedia kala atau sebesar sebagaimana keadaannya semula.
Sumur Lokok Kapuk Sentul.JPG
Sumur Pemandian Datu Sesait dan Alirannya
Sebagaimana diceritakan bahwa diameter sumber mata air di sumur lokok Kapuk yang diyakini ditunggui oleh seekor ikan Tuna Putih ini adalah sebesar batang pohon enau. Tidak bisa dibayangkan, betapa besar air yang keluar dari sumur tersebut. Sehingga ketika sumur ini belum ditutup dulu, aliran airnya membentuk sebuah kali besar. Namun sekarang, bekas aliran kali tersebut sudah menjadi areal persawahan milik Dagul Sentul.
Sumur ini ditutup oleh Tau Lokak Empat Sesait, menggunakan Ijuk, pare bulu satu ikat, sebilah keris, seekor ayam putih mulus  dan daun  sirih digulung kemudian dimasukkan dalam kepeng bolong dalam sebuah upacara ritual adat, karena dikhawatirkan akan menjadi rebutan penguasa Hindu yang sampai ke wet Sesait kala itu. Seandainya sumur ini tidak ditutup, maka orang-orang Hindu pelarian Majapahit dari Jawa abad 16 silam, akan bermukim dan menetap di lokasi sekitar sumur itu.
Kekhawatiran para sesepuh Sesait kala itu, patut diacungi jempol. Karena berhasil menutup sumur yang menjadi tempat pemandian para Datu yang memerintah di wet Sesait pada masanya itu. Sehingga dengan ditutupnya sumur tersebut, penguasa Hindu yang datang ke Sesait yang merupakan pelarian dari Majapahit karena terdesak dengan masuknya pengaruh Islam di Jawa masa itu, maka mereka tidak menemukan sumur yang merupakan tempat pemandian para ‘Datu Sesait’ yang berkuasa secara turun-binurun.
Sumur Lokok Kapuk ini, walau sudah ditutup berabad-abad lamanya, namun airnya tetap mengalir meskipun tidak sebesar aslinya dulu, hingga sekarang airnya dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan oleh warga sekitar Sentul atas dan bawah hingga Gubuk Setowek Desa Pendua Kecamatan Kayangan Lombok Utara.

H.     SITUS MAKAM DATU SENTUL ‘SINOM’

 Situs Makam Datu Sentul yang bernama ’Sinom’. Makam ini tidak jauh dari jalan raya Sentul-Cempaka dan terletak dipinggir telabah, sekitar 10 meter  sebelah timur rumah Masdan (43) di Sentul Desa Pendua Kecamatan Kayangan Lombok Utara.
Makam Datu Sinom Sentul.JPG
Makam dan Sumur Lokok Buyut Pemandian Datu Sentul
Keberadaan Makam ini, yang oleh masyarakat setempat diyakini memilki Karomah tersendiri. Misalnya saja, menurut salah seorang tokoh masyarakat Sentul yang tidak ingin dipublikasikan namanya mengatakan, ketika ada anggota masyarakat yang secara kebetulan duduk di atas makam Datu ini, maka seketika buah pelirnya terasa membesar. Padahal kenyataannya tidak demikian. Hanya perasaannya saja yang merasakan buah pelirnya membesar.

Makam Pande Merkani Sentul(Menantu Datu Sinom).JPGMenurut sejarah, ketika Datu Sinom ini memerintah kerajaan Sentul ratusan abad silam, diceritakan bahwa pada masa jayanya, Datu Sinom adalah satu – satunya Raja yang tidak memiliki musuh dengan raja-raja yang berkuasa dilingkar utara gunung Rinjani kala itu. Termasuk dengan Raja Sesait. Karena antara Raja Sentul dengan Raja Sesait berbesan.

                Situs Makam Pande Merkani

Wilayah kerajaan Sentul diyakini adalah hanya sebatas gontoran Sentul yang sekarang hingga Gubug Setowek. Kerajaan ini memiliki rakyat termasuk Kaula Balanya sejumlah 144 KK.
Itulah sebabnya, hingga sekarang, jumlah penduduk yang mendiami daerah Sentul yang menjadi sebuah Dusun saat ini harus berjumlah 144 KK. Tidak boleh lebih dari itu. Kalau lebih, menurut Bukren, harus pindah tempat tinggal diluar dari wet Sentul. Jika Hal itu tidak diindahkan, maka penduduk yang mendiami wet tersebut ada saja kalanya bisa berkurang, seperti sebab meninggal dunia dan lain sebagainya. Sehingga jumlah penduduknya yang mendiami wet tersebut tetap harus berjumlah 144 KK.

Peninggalan Datu Sinom diantaranya adalah Sumur Lokok Buyut. Sumur ini adalah tempat pemandian Datu Sinom beserta keluarganya. Namun keberadaan keluarga maupun sampai kapan memerintah, tidak banyak diketahui. Hanya, Datu sinom ini memiliki menantu yang bernama Merkani.  Dimana Merkani inipun, selain mengawini putri Datu Sentul, juga mengawini putri dari Demung Melsi Jaya Datu Sesait yakni Demung Musani. Sehingga antara Datu Sesait Demung Melsi Jaya dan Datu Sentul Sinom berbesanan. Merkani (nama aslinya Syeh Sayyid Sa’id) inilah yang menurunkan nenek moyang Bukren Klau di Sesait. Dan salah satu peninggalan Datu Sentul Sinom yang sangat terkenal hingga kini masih dilestarikan oleh para pembaca takepan lontar adalah ’Tembang Sinom’.
                
Dalam menjalankan kehidupan dalam lingkungan kerajaan, Merkani hidup sebagai seorang pande besi. Karena sebagian besar kaula bala kerajaan Sentul waktu itu, hidup sebagai petani. Kehidupan para petani masa itu, berhuma diladang. Dimana, seluruh gontoran Sentul ini dulunya penuh dengan hutan belantara. Sehingga sebagian besar rakyatnya membuka hutan belantara untuk dijadikan ladang/huma. Dalam mengelola ladang inilah para petani masa itu kebanyakan menggunakan alat Susur terbuat dari galih kayu busur. Oleh Raja Sentul Sinom kala itu, diperintahkanlah menantunya Merkani untuk membuat alat susur dari besi. Sehingga oleh rakyat kerajaan Sentul masa itu, Merkani yang juga menantu Raja Sinom ini, di kenal dengan sebutan Pande Merkani.

Hingga sekarang makam Pande Merkani yang terletak tidak jauh dari makam Datu Sinom (mertuanya) ini, tetap terpelihara dengan baik oleh keturunannya di Sentul. Salah satu keturunannya adalah Bukren Klau.

Menurut rencana dari pihak keturunan Pande Merkani Bukren Klau, kedua makam, baik makam Datu Sinom maupun makam Pande Merkani yang asal Klungkung Bali ini, dalam waktu dekat disekitar kompleks makam tersebut akan dibangun pagar pembatas. Hal ini dilakukan, menurut Bukren adalah untuk menjaga kelestarian situs sejarah para penguasa yang pernah ada dan jaya dimasanya.
                                              
I.       SITUS TELAPAK KAKI DATU KELING
Situs telapak kaki Datu Keling, yang terletak di tebing sungai Cempogok Kayangan KLU, menyimpan sejarah nilai seni dan budaya dari kerajaan Keling Hindu beberapa abad yang silam. Situs ini terletak beberapa meter sebelah timur jalan raya Kayangan-Santong, yang bersebelahan dengan montong Cempogok, tidak jauh dari pusat Pemerintahan Kantor Camat Kayangan KLU.
Sebelumnya situs ini memang secara turun menurun sudah banyak warga masyarakat Kayangan yang menemukannya. Namun pada saat penemuannya itu, biasa-biasa saja belum ada yang berfikiran untuk mempublikasikannya. Hal ini disamping keterbatasan pengetahuan masyarakat setempat kala itu, juga disebabkan tidak tahu bagaimana caranya supaya banyak orang yang mengetahuinya.Lebih-lebih kala itu belum ada media cetak maupun dunia maya seperti jaman sekarang.
Sebagaimana diceritakan secara turun-temurun bahwa keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing bebatuan diatas sungai Cempogok tersebut, adalah oleh masyarakat adat setempat diyakini, itu bekas telapak kaki Datu Keling yang membekas ketika Datu Keling berburu. Sehingga bukti keberadaan situs ini, dibenarkan dengan pernyataan Datu Keling yang pernah berwasiat kepada kaula balanya (rakyatnya), bahwa  jika suatu saat dia akan menghilang, maka dia akan meninggalkan bekas telapak kakinya. Sangat besar kemungkinan, jika bekas telapak kaki ini adalah jejak Datu Keling seperti yang diwasiatkan.
Pernyataan Datu Keling itu pun juga dibenarkan oleh tokoh Adat KLU, Djekat S.Sos. yang juga anggota DPRD KLU, bahwa bekas telapak kaki ini erat kaitannya dengan cerita rakyat atau dongeng masyarakat Sesait, yaitu kisah perjalanan Teruna Keling (Datu Keling).
Bekas Aliran Kencing Datu Keling.JPGTAPAK KAKI Datu Keling.jpg
Situs Telapak Kaki Datu Keling dan Aliran Air Seninya
Hal ini juga, dibenarkan oleh Juru Tulis Pembekel Adat Wet Sesait,Masidep. Ia menjelaskan bahwa kisah perjalanan Datu Keling diabadikan dalam cerita Cupak Gurantang. Konon ceritanya, Teruna Kling memiliki dua orang putra. Putra pertamanya bernama Cupak yang berkarakter rakus dan sombong sedangkan putra keduanya bernama Gurantang adalah sosok yang lembut, baik hati, jujur dan patuh kepada orang tua. Sehingga kisah cupak gurantang diabadikan dalam bentuk drama oleh masyarakat.
Sumur Jembung di Empak Mayong.jpgBatu Dendeng atau Bertutup Empak Mayong.jpg
Situs Sumur Jembung dan Batu Bertutup
Disamping keberadaan situs telapak kaki yang menempel ditebing bebatuan sungai cempogok Kayangan tersebut, bukti yang lain memperkuat dugaan bahwa, memang benar bekas telapak kaki Datu Keling yang diyakini pernah berkuasa disekitar lereng gunung Rinjani pada masa pra aksara, juga tidak jauh  dari situs telapak kali ini,sekitar dua ratus meter kea rah selatan, ditemukan pula situs Jukung (sampan/rakit), Telapak Kaki Kuda dan situs dudukan serta situs aliran air seni dari Datu Keling yang menempel disekitar bebatuan kelat lante Empak Mayong Kayangan.
Bekas Tapak Kaki Kuda Datu Keling.JPGBatu Kali Jukung Cempogok.JPG
Situs Bekas Telapak kaki Kuda Datu keling
Tidak hanya itu saja, sebagai pendukung keberadaan situs telapak kaki ini, sekitar 500 meter kearah barat daya situs tersebut, ditemukan pula situs Sumur Jembung dan situs Batu Dendeng Bertutup. Situs-situs yang ditemukan ini pula, yang oleh masyarakat adat wet Sesait diyakini sebagai peninggalan dari Datu Keling yang pernah ada dan jaya dimasanya.
Lokasi Situs-situs ini adalah dulunya hutan Busur yang lebat, banyak dihuni ular-ular berbisa dan berbahaya. Karenanya, waktu itu raja berinisiatif untuk meminta bantuan kepada kaula balanya (rakyatnya), terutama para sesepuh kerajaan (pawang ular berbisa), untuk bagaimana bisa bersahabat dengan  hutan yang menjadi lokasi daerah buruannya, guna mengusir binatang berbisa itu.
Para Pawang sesepuh kerajaan Keling tersebut, ternyata menggunakan sejumlah burung merak untuk mengusir ular-ular dari hutan, tempat Datu Keling berburu dan beristirahat, sambil menunggu hasil buruannya.
Jika mengunjungi situs-situs ini, baik situs telapak kaki Datu Keling maupun situs-situs Datu Keling yang lainnya, anda akan disuguhkan dengan pemandangan yang jauh dari kesan hingar bingar kota. Suasana sejuk, hijau, dan alami akan menemani anda di tempat tersebut. Oleh pemerintah daerah, khususnya Dinas Pariwisata KLU, hendaknya situs-situs peninggalan budaya masa lampau yang banyak tersebar dan yang belum ditemukan  di daerah ini, dikemas sebagai icon daerah tujuan wisata dimasa mendatang.
J.      SITUS MAKAM KUBUR BELEQ
Ketika menyebut makam Kubur Beleq, sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar warga Sesait-Kayangan. Mengingat perjalanan panjang sejarah penyebaran Islam di Sesait, sangat erat kaitannya dengan keberadaan makam ini. Tidak sedikit mitos yang melingkari keberadaan makam Kubur Beleq, sosok ulama yang dikabarkan sebagai mubaligh berasal dari Bagdad ini, menyebarkan Islam sampai ke tanah Sesait, sekitar awal abad ke 14 M. Oleh masyarakat komunitas Sesait – Kayangan dikenal dengan sebutan Kubur Beleq.
       Batu Plawangan Makam Kubur Beleq Sesait

Kini makamnya, yang dalam komunitas Sesait – Kayangan dikenal dengan sebutan Kubur Beleq, ziarahnya dilakukan dua kali setahun dan dilakukan setiap hari Jum’at. Di hari lebaran hingga lebaran topat tiap tahun, makamnya banyak dikunjungi warga dari berbagai wilayah di Lombok Utara maupun daerah lain untuk berziarah. Ritual ziarah makam Kubur Beleq ini, oleh komunitas Sesait disebut ’Ngaturang Ulak Kaya’.
                        Makam Demung Titik Pati
”Ini adalah sebagai bukti bentuk wujud syukur kita kepada Allah Swt. Sehingga kita sebagai generasi penerus, jangan sampai makna Ngaturang Ulak Kaya dengan membawa dulang ke Kubur Beleq ini, memberikan penafsiran yang berbeda. Ini murni bentuk wujud syukur kita kepada Allah Swt,” urai Djekat dihadapan ratusan para peziarah suatu saat.
Disamping itu, lanjut Djekat, bahwa Wali yang berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Sesait ini, sangat penting keberadaannya di komunitas Sesait pada zaman dahulu. Karena memang, tanpa peran dan jasa ulama tersebut, mungkin ajaran Islam belum sampai ke daerah ini. Sehingga berkat jasanya dalam penyebaran agama Islam di gumi Sesait inilah, hingga kini makamnya memiliki makna spiritual yang luar biasa.
04032011054.jpgDSC00644.JPGMakam Kubur Beleq, diyakini sebagai makam Titik Pati atau Syech Said Saleh yang bergelar Kanjeng Pangeran Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati I, adalah salah satu penyebar Islam pertama di tanah Sesait selain Syech Abdul Kadir Jaelani, Syech Sayyid Rahmad dan Syech Sayyid Anom awal abad 14 silam. Makam ini terletak sekitar 300 meter arah utara dusun Sesait Desa Sesait Kecamatan Kayangan Lombok Utara.
Untuk sampai ke tempat makam Kubur Beleq ini, tidak harus menguras tenaga yang besar. Cukup jalan kaki beberapa menit, sudah sampai dilokasi. Begitu tiba dilokasi makam, kita akan singgah dulu dimakam Titik Pati yang lokasinya persis didekat pintu masuk.
Para peziarah yang akan melakukan ziarah ke makam Kubur Beleq, terlebih dahulu harus melakukan zikir di makam Titik Pati ini. Karena diyakini bahwa makam ini adalah makam dari ayahanda dari Kanjeng Pangeran Sangapati. Jadi sebelum ziarah ke makam Kanjeng, harus ke makam ayahandanya terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk minta ijin tentang hajatan datang ke makam tersebut.
”Makam Titik Pati ini diyakini oleh masyarakat adat Sesait bahwa, inilah makam para penyebar ajaran Islam di tanah Sesait yang pertama kali menganut Islam, tetapi belum sunnat,”jelas pembekel adat Sesait Masidep. Dijelaskannya juga bahwa, setelah selesai zikir/minta ijin di makam Titik Pati, lalu dilanjutkan ke makam Kanjeng Pangeran Sangupati, yang lokasinya tidak jauh dari tempat itu. Hanya beberapa meter saja.
                       Makam Daman
Makam Kanjeng Pangeran Sangapati, yang menurut komunitas Sesait dikenal dengan sebutan Kubur Beleq, disekelilingnya terdapat empat makam kecil-kecil, yang diyakini juga sebagai makam para pendampingnya. Empat orang pendamping Kanjeng dalam rangka syiar Islam ditanah Sesait ini, yang oleh orang Sesait dikenal sebagai patih/panglima perang. Keempat patih ini adalah Daman, Jumanah, Rafikah dan Rafi’ah.
                   Makam Jumanah
Dalam masa hayatnya, Kanjeng Pangeran Sangupati mendedikasikan dirinya untuk menyerukan kepada warga masyarakat Sesait agar menganut Islam, maka peran para patih inilah yang sangat penting dalam membantu syiarnya ajaran Islam saat itu.
Namun peran wali ini dalam menyiarkan ajaran Islam di Sesait, belum sepenuhnya tuntas memberikan pencerahan  terhadap warga. Karena sang wali terlebih dahulu mangkat. Sehingga sinkretisme (paham agama yang melibatkan unsur tahayul) dan animisme, bercampur aduk dengan ajaran yang diajarkan. Maka lahirlah pemahaman Islam waktu telu dan praktek keagamaan lainnya yang jauh dari ajaran Islam.
       Makam Rafikah dan Rafi’ah
Menurut Djekat salah seorang tokoh adat Sesait mengatakan bahwa, wali yang membawa dan menyebarkan ajaran Islam di tanah Sesait yang dimakamkan disini adalah Titik Pati. Ziarah ini dilakukan dua kali setahun, dengan maksud menapak tilas perjalanan sejarah penyebaran Islam di tanah Sesait.
K.     SITUS GONG BENGEL, GENDERANG PERANG DATU SESAIT

 Penelusuran jejak situs-sistus sejarah Sesait tempo dulu yang tersebar diwilayah wet Sesait, hingga kini terus dilakukan. Dalam penelusuran pencarian situs sejarah Sesait ini, Agus Wahyudi, salah seorang tokoh Pemuda Sesait, mengatakan bahwa, keberadaan situs-situs Sesait selama ini masih banyak yang belum ditemukan. Sedangkan yang sudah ditemukan baru sebagian kecil saja.

  ”Situs-situs sejarah Sesait yang sebagian besar tersebar diwilayah bagian timur KLU ini, masih banyak yang belum ditemukan, baru sebagian kecil saja,”kata Agus Wahyudi, yang biasa dipanggil Agus Engkang ini.
                              
”Kami akan terus mencoba menelusuri jejak situs sejarah Sesait yang merupakan peninggalan nenek moyang Tau Lokaq Sesait yang pernah ada di zaman dulu, yang nyaris terlupakan ini. Sehingga nantinya, penemuan kami ini akan menjadi bukti bahwa peradaban Tau Lokak Sesait zaman dahulu betul-betul pernah ada dan jaya dimasanya,”jelas Agus Engkang semangat.
Perjalanan panjang yang penuh lika-liku menguras waktu dan tenaga dalam pencarian jejak-jejak masa lalu, tentang keberadaan kehidupan para pendahulu penghuni gumi Sesait yang pernah jaya dimasanya ini, membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
     Gong Bengel diapit oleh A.Kelap,Kayanah dan Eko
Diantara peninggalan sejarah Sesait di masa lalu yang masih terpelihara dan lestari oleh keturunannya hingga saat ini banyak mengandung kekuatan magis. Misalnya sebut saja Batu Sait Pati dan Gong Bengel.
Batu Sait Pati dan Gong Bengel ini merupakan salah satu peninggalan Datu Sesait masa lalu, yang keberadaannya hingga kini masih ada dan meninggalkan secuil kisah yang patut di kenang oleh generasi berikutnya. Keberadaan kedua peninggalan ini tidak jauh dari Mesjid Kuno Sesait sekitar 15 m kearah barat daya. Gong Bengel ini di simpan  oleh Kelap (70) bersama sebilah keris yang kemunculannya hanya suara saja setiap malam Kamis. Sedangkan Batu Sait Pati letaknya sekitar 10 m kearah  selatan dari Gong Bengel ini. Antara Batu Sait Pati dan Gong Bengel itu, keberadaannya terdapat keterkaitan satu sama lain dalam perjalanan sejarahnya.
Bagaimana sejarah Batu Sait Pati dan Gong Bengel itu ada, wartawan media ini bersama Papuk Kayanah alias Amaq Sutarsah (90) menceritakan sejarahnya dalam tulisan berikut ini.
Konon ceritanya, sekitar abad ke-17 M, keberadaan Batu Sait Pati dan Gong Bengel yang hingga kini tersimpan dengan baik oleh Purusanya itu, memiliki andil yang cukup penting dalam kancah peperangan antar negeri tetangga pada masa berkuasanya Datu Sesait kala itu. Dimana menurut A.Sutar, Batu Sait Pati itu adalah sebagai wadah mengusap atau membersihkan darah yang menempel pada tangan,pedang/keris/tombak ataupun yang menempel pada pakaian kebesaran perang dan senjata lainnya yang di gunakan oleh Datu Sesait maupun punggawa kerajaan lainnya yang baru kembali dari medan perang.Sedangkan Gong Bengel ini di gunakan sebagai genderang perang atau sebagai pertanda akan ada bahaya atau huru-hara atau peristiwa perang yang bakalan terjadi.
Gong itu akan berbunyi sendiri tanpa harus di pukul. Itulah sebabnya Gong tersebut di namakan Gong Bengel. Karena biarpun di pukul, baik menggunakan alat pemukul ataupun tidak, tetap tidak berbunyi.
Gong Bengel diapit  A.Kelap,Kayanah dan Pembekel  Masidep,S.Pd
Di ceritakan oleh Amaq Sutar alias Kayanah, Gong Bengel atau biasa di sebut ‘Tambur Perang’ oleh masyarakat adat wet Sesait ini, keberadaannya tidak sendiri. Namun di tunggui oleh sebilah keris, dimana keris tersebut keberadaannya hanya suaranya saja dan keris itu hanya muncul pada setiap malam Kamis.
Sebenarnya menurut Balok Kaimah (alm) yang diceritakan kembali oleh Kayanah, Gong Bengel (Tambur Perang) tersebut dulunya ada dua buah, ditambah sebuah Al-Qur’an dan sebilah Keris.
                           BATU SAYID PATI
Namun karena sang pemilik bersaudara yaitu Sayid Dina (kakak) dan Sayid Tumekar Sari (adik) kala itu sama-sama ingin berkuasa dan tidak ada yang mengalah, maka oleh orang tuanya di pisah. Agar sama-sama bisa berkuasa nantinya, yang besar Sayid Dina tetap tinggal dan berkuasa di Kedatuan Sesait dengan diberikan sebuah Gong dan sebilah keris.
Sedangkan yang kecil Sayid Tumekar Sari harus rela meninggalkan gumi paer Sesait untuk merantau ke daerah Pejanggik dengan diberikan sebuah Gong dan sebuah Al-Qur’an.                           
Sepeninggal Sayid Tumekar Sari dari gumi Paer Sesait, maka Sayid Dina terus berkuasa di Sesait hingga akhir hayatnya. Keturunan Sayid Dina inilah yang menurunkan generasi berikutnya yang berkuasa di Kedatuan Sesait (Kampu Sesait), hingga akhirnya beberapa abad kemudian muncullah bangsa Demung. Kemunculan bangsa Demung ini sangat penting artinya bagi keberlangsungan keberadaan pemegang kekuasaan di kerajaan Sesait kala itu. Buktinya hingga sekarang yang berkuasa di Singgasana Kerajaan Sesait (sekarang Kampu Sesait) adalah bangsa Demung yang disebut Mangkubumi. Sedangkan Sayid Tumekar Sari dikabarkan setiba di Pejanggik, ia juga berkuasa dan menurunkan bangsa Menak (Bangsawan). Keturunannya  hingga sekarang sebagian besar mendiami daerah Lombok Bagian Selatan.
Keberadaan Gong Bengel dengan ukuran diameter 50 cm dan terbuat dari tembaga tersebut, baik yang ada di Sesait maupun yang ada di Pejanggik, ketika ada huru-hara atau bahaya yang akan di hadapi Pemerintah kala itu, pasti sama-sama berbunyi. Namun bunyinya tidak kedengaran oleh masyarakat di sekitar Gong itu, tetapi bunyinya akan terdengar dari daerah lain yang sangat jauh.
      Gong Bengel Peninggalan Datu Sesait Abad 17 M
 “Kalau sudah bunyi Gong yang ada di Sesait ini, maka Gong yang satunya lagi yang ada di Pejanggik, pasti akan bunyi, namun tidak ada yang mendengar bunyinya, kecuali bagi orang yang berada di daerah lain yang sangat jauh (bisa antar benua),”terang Kayanah meyakinkan.
Menurut Kelap (70) yang menyimpan Gong ini, jika di bunyikan, orang luar yang dengar. Dirinya mengaku, walau sebagai penyimpan benda bertuah dan bersejarah tersebut, tidak pernah mendengar bunyinya. Hanya saja katanya, bunyi keris itu saja yang sering di dengarnya pada setiap malam jumat. Hal itu menandakan keris itu minta diberi makan. Sehingga Kelap mengaku bahwa setiap malam jumat ia terus melakukan ritual tersebut dengan menghaturkan sesaji seperlunya.
Menurut cerita Bapuk Kaimah (alm) yang diceritakan kembali oleh Kayanah (A.Sutar), bahwa konon katanya, untuk memelihara gumi paer Sesait berdasarkan hitungan tahun jango bangar, maka peran Tau Lokak Empat yang di isi oleh Papuk Kaimah,Papuk Ekor,Papuk Lipa dan Papuk Anci, sangat penting keberadaannya waktu itu.
Dalam setiap  melakukan ritual pembicaraan penting terkait keamanan gumi paer Sesait kala itu, maka sebelumnya mereka menggelar kain putih terlebih dahulu sebagai alas mereka untuk bermusyawarah. Karena yang di musyawarahkan nantinya bersifat suci, maka tempatnya pun harus suci dan harus berada dalam rumah. Setelah mereka sepakat menelurkan sebuah kesepakatan, barulah mereka mengumumkan kepada para pembekel untuk melaksanakan sebuah acara ritual sesuai dengan apa yang menjadi hajatan yang harus digelar. Termasuk melibatkan para mangku sesuai tuntutan pekerjaan  masing-masing purusanya dalam menyukseskan gelaran adat yang dihajatkan.#



















BAB VI
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI GUMI SESAIT
A.    PARA PENYEBAR ISLAM DI GUMI PAER SESAIT
Nama dan istilah Sesait berasal dari bahasa Arab, yaitu Sayyid, sebagai istilah untuk memberi gelar kepada para pemimpin agama atau orang yang memiliki pengetahuan luas dibidang agama Islam.
Kata Sayyid, juga digunakan untuk menunjuk seseorang yang memiliki gelar keturunan atau sahabat Nabi Muhammad Saw yang menyebarkan agama Islam.
Konon, berawal dari sebuah kampung kecil bernama Sesait, yang merupakan sebuah dusun tertua dan tradisional, bahwa pada zaman jelma ireng (zaman gelap/Kecikol Kondoq), datanglah seorang ulama muda dari Timur Tengah (Bagdad) bernama Sayyid Rahmat atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat  untuk menyebarkan agama Islam pada awal abad ke 14 M.
Di kampung kecil inilah si Sayyid tinggal untuk menetap dan menyebarkan ajaran agama Islam. Menurut Kontara Sesait Sayyid Rahmad pernah menulis pesan kepada seluruh masyarakat Sesait kala itu, bahwa dirinya akan pergi ke Ampel Denta Surabaya untuk mendirikan Pesantren. Pesannya yang ditulis dengan tangannya sendiri itu, kini masih tersimpan lestari di Kampu Sesait dengan menggunakan bahasa jawa kawi.
Dalam terjemahan bahasa Sesait yang artinya : “Aku Sayyid Rahmad ku lalo ngamar pak gumi jawa dwipa ampel denta surabaya = “Saya Sayyid Rahmad akan pergi ke bumi jawa dwipa yaitu di daerah Ampel Denta Surabaya untuk menyiarkan agama Islam ). Sayyid Rahmad menulis pesannya tersebut pada lembaran daun Lontar pada tahun 1413 M.
 Sepeninggal  Sayyid Rahmad, namanya sering disebut dengan sebutan Si Sayyid (Sesait), yang kemudian diabadikan untuk memberi nama kampung tempat tinggalnya itu, yang sampai saat ini disebut Sesait.
120220111191.jpg
Mesjid Kuno Tanak Umbara Sesait dan Al-Qur’an Tulis Tangan

Dusun Sesait merupakan dusun tertua dan tradisional diwilayah Desa Sesait, yang lazim disebut dusun adat. Karena di dusun inilah terdapat benda-benda bersejarah peninggalan Sayyid Anom dalam kiprahnya menyebarkan agama Islam. Seperti Al-Qur’an tulis tangan pada kulit onta, yang usianya menurut Piagam Sesait sekitar 580 tahun yang lalu. Disamping itu, ada juga peninggalannya yang lain, seperti Mesjid Kuno, Tongkat khutbah yang terbuat dari hati pohon pisang (galih) dan Balai Agung Adat (Singgasana Raja) yang disebut Kampu.

Ajaran-ajaran yang dibawa oleh ulama Sayyid Anom ini adalah Fiqh Ushul dan Tasawuf. Dalam praktek syiarnya, metode yang dilakukan adalah tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat. Sehingga dalam perayaan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw  ketika itu, dilaksanakan secara adat. Hingga kini, ritual Maulid adat di kampung yang namanya Sesait ini, tetap lestari pelaksanaan Maulid secara Adat.
Ulama Sayyid Anom, dalam penyampaian risalah atau ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini, menurut Piagam Sesait, bahwa Raja Sesait Demung Melsi Jaya, berikut empat orang Patihnya bersama-sama menyebarkan Islam pada awal abad ke 14 M.
B.    MENGENAL SOSOK SYECH SAID SALEH PEDALEMAN SANGAPATI
                  “Wali Penyebar Agama Islam Pertama di Gumi Paer Sesait

Berawal dari sebuah kampung kecil pada Pertengahan abad 14 M, terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer  Sesait kala itu,  masyarakat kampung tersebut sudah memiliki keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima (dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki faham dan keyakinan yang  sangat kuat. Setelah kedatangan  para Wali Allah (para penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut, maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.

 Menurut  Djekat, salah seorang tokoh adat Sesait  mengatakan, pada sekitar abad 14 M, Sesait  dijadikan  sebagai Pusat  Penyebaran  Islam  dan Pusat Pemerintahan Pertama diwilayah kekuasaan Sesait, karena  berdasarkan atas keputusan  para  wali di Jawa,  bahwa wali yang  pertama  menginjakkan  kakinya di gumi paer Sasait  adalah  Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman, berasal  dari  Makkah Al-Mukarramah,  dan  Kanjeng Said Rahmad atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Bapuk Rahmad.
Kedua wali tersebut secara bersamaan datang ke kampung tersebut. Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka pun sepakat, siapa yang tetap tinggal dan siapa yang akan melanjutkan perjalanan.

Sejarah mencatat, bahwa yang tetap tinggal  di kampung tersebut adalah Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Pangeran Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati  atau lebih dikenal dengan nama Melsey Jaya. Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya.
 Kanjeng Syech Said Saleh Pedaleman Sangapati inilah  yang   menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makam beliau masih terpelihara hingga saat ini, yang oleh masyarakat Sesait di sebutnya “Makam Kubur Beleq”.          
                                                                                                                                                                                          
Kanjeng Sayid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa Dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Sayid Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam di tanah Sesait tersebut, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si Sayid menjadi Sesait. 

Disebutkan, adapun  peninggalan – peninggalan  serta  ajaran –ajaran  Sayid Rahmat  yang  hingga kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) diantaranya, Kitab Suci Al Qur’an Cetakan Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Sholawatan yang di  tulis  tangan oleh beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati pohon Pisang.
Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana  metode  yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan  adat - istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. “Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai,”tandas Djekat.


C.    REFLEKSI  SEJARAH  PENYEBARAN ISLAM DI SESAIT
Setiap kelompok umat manusia atau setiap komunitas masyarakat memliki perjalanan sejarah asal usul tersendiri yang menjadi latar belakang kehidupannya.
Hal ini tercermin dalam tampilan budaya dan dicirikan oleh tatanan sosial serta keyakinan yang masih dipertahankan sebagai identitas dan diyakini akan dapat memberikan manfaat bagi kelompoknya.
Demikian halnya dengan masyarakat Adat Wet Sesait yang terdiri dari 4 wilayah Administratif Pemerintahan Desa yaitu Desa Sesait sebagai pusat Pemerintahan Adat, Desa Kayangan, Desa Pendua, Desa Santong Mulia dan Dusun Santong Asli (Desa Santong).
Wet Sesait sebagai suatu komunitas Masyarakat Adat tentunya memiliki sistem sosial dan sistem kepercayaan yang bersumber dari nilai-nilai Agama Islam.
Adapun sistem sosialnya adalah Merenten, sedangkan sistem kepercayaannya adalah monotheisme atau meyakini adanya kekuasaan tunggal yaitu Allah Swt. Hal ini tercermin dalam tiap-tiap prosesi budaya atau ritual-ritual adat yang dijalankan atas dasar persaudaraan dan kebersamaan melalui gotong royong serta diyakini sebuah perwujudan tugas dan fungsi ummat manusia sebagai subyek perintah Ilahiah dalam membangun tatanan kehidupan sosial yang maju, damai dan berkeadilan di alam semesta.
Dalam rangka mewujudkan tujuan dan hakekat kehidupan tesebut, sehingga sebagai upaya regenerasi (menanamkan makna atau nilai-nilai sejarah kepada generasi muda sekaligus sebagai upaya melestarikan ritual-ritual adat yang diyakini bersumber dari nilai-nilai agama atau sebagai upaya penterjemahan nilai-nilai agama (Adat Bersendikan Agama) maka dilaksanakanlah berbagai ritual adat.
Diantara ritual adat yang tetap dilaksanakan tiap tahun, menurut sekjen pembekel adat wet Sesait Masidep adalah Maulid Adat Nabi Besar Muhammada SAW., Aji Makam, ulak kaya dan masih banyak lagi ritual Adat lainnya.
Salah satu ritual Adat yang akan dilaksanakan, lanjut Masidep adalah Ritual Aji Makam. Ritual Aji Makam akan dilaksanakan pada tiap pergantian musim dari musim kemarau ke musim Hujan (Mangku Sesait). Prosesi ritual Aji Makam akan dilaksanakan pada setiap bulan September tiap tahun, dengan Membaca Kitab Suci Al-Qur’an dari awal sampai selesai (tamat) dalam satu malam.
Adapun Kitab Suci Al-Quran yang akan dibaca adalah Kitab Suci Al-Qur’an yang dibawa oleh Alim Ulama’ yang bernama Said Anom pertama kali dalam melaksanakan si’ar Agama Islam  di tanah Sesait dan tertulis pada kulit onta.
04032011053.jpg Itulah sebabnya dalam rangka mengenang sejarah masuknya Agama Islam dan mengenang Tokoh penyebar Agama Islam ke Tanah Sesait tersebut dilaksanaknlah Acara Aji Makam. Kegiatan ini diawali dengan ritual memerikean (memperbaiki) Makam Tokoh penyebar agama Islam yang diyakini sebagai Datu Bayan.
Untuk mengenang sejarah penyebaran Agama Islam dan dalam rangka mempertahankan Aqidah  Masyarakat Wet Sesait, maka para sesepuh adat mengadakan berbagai usaha dalam memberikan dukungan baik berupa moril maupun Materil demi suksesnya kegiatan dimaksud.
Menurut salah seorang sesepuh adat wet Sesait Djekat, mengatakan, maksud diadakannya kegiatan ritual Aji Makam ini adalah selain sebagai Upacara Ritual yang rutin dilaksanakan tiap tahun, maka kegiatan semacam ini, diharapkan akan mampu dijadikan sebagai momen refleksi atau sebagai upaya perenungan sekaligus mengenang sejarah masuknya Ajaran Agama Islam di Tanah Sesait.
Sedangkan tujuan kegiatan ini (ritual Aji Makam) adalah : sebagai sarana Da’wah dan menanamkan nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari Agama Islam, sebagai upaya membangun kader bangsa yang memiliki loyalitas, militansi dan integratif yang tinggi. Sebagai upaya menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, Ajang memperkuat Sillaturrahmi, memperkuat persatuan dan kesatuan masyarakat dan sebagai sarana menanamkan nilai-nilai Moral kepada generasi Muda, khususnya generasi muda Sesait.
D.    ULAMA YANG ASINGKAN DIRI KE GAWAH ALAS BANA
”Teguh Pertahankan Aqidah dari Pengaruh Hindu”

Tersebarnya ajaran Islam di Gumi Paer Sesait adalah tidak terlepas dari peran para wali yang datang dari Timur Tengah (Bagdadh) sekitar abad 14 M hingga abad 17 M.
 Para pembawa dan penyebar Islam ini sengaja meninggalkan jazirah arab, dalam rangka membawa  amanah yang sangat mulia berupa risalah ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw untuk seluruh ummat manusia.
Maka Titik Sriangge (Barat Beraringan).JPGPara penyebar Islam yang pernah singgah dan menetap di Gumi Paer Sesait ini, menurut Piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) disebutkan yakni Syeh Abdul Kadir Jaelani, Sayyid Rahmat dan Sayyid Anom. 
Peran para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di Gumi Paer Sesait ini, sangat penting artinya bagi penduduk wet Sesait kala itu.
                         Makam Titi Sriangge
Sehingga banyak bermunculan santri-santri yang ta’at beribadah. Karena ajaran-ajaran yang dibawa oleh para wali ini sangat mudah difahami dan diamalkan.
Tidak jarang juga para santri diantaranya yang terkenal bernama Demung Pemban Banah, selalu memperdalam ajaran Islam  jalan Tashawwuf. Jalan Tashawwuf disini dimaksudkan adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt, yang melalui beberapa pendakian dari satu tingkat ke tingkat lainnya yang lebih tinggi, sebagaimana biasa dikerjakan para kaum shufi.
Menurut H.Yamani (80), salah seorang  tokoh agama Sesait mengatakan, para santri yang belajar agama di Sesait ketika itu lebih banyak memperdalam ajaran Islam jalan Tashawwuf. Hal tersebut dimaksudkan agar mereka dapat mencapai tujuan utama bertashawwuf, yaitu ma’rifat billah dan insan kamil.           
Sepeninggal Demung Pemban Banah, kemudian penyebaran ajaran Islam dilanjutkan oleh santri yang lain, bernama Sriagan, yang juga saudara kandung dari Demung Pemban Banah. Wilayah penyebarannya diyakini meliputi sekitar Gumi Paer Sesait (Wet Sesait).

Namun dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan Demung Pemban Banah dan saudaranya Sriagan ini, tidak banyak diketahui. Namun, dari keterangan beberapa tokoh keturunan dari Sriagan, menceritakan kepada Penulis, bahwa Sriagan ini memiliki 5 orang anak, yang keberadaannya juga sangat penting dalam memperluas wilayah syiar ajaran Islam kala itu.
Menurut Narimah (60) keturunan ke-12 dari Sriagan mengatakan, ke-5 anak Sriagan ini, antara lain Sriangge, Bading, Gubah, Oncok dan Goneng. ”Kelima anak dari Sriagan ini mempunyai andil yang cukup besar dalam memperluas wilayah penyebaran Islam kala itu, ”sebut Narimah.
Kelima anak Sriangge ini, sebut Narimah, mendapatkan tugas yang sama yakni untuk penyebaran Islam ke beberapa wilayah, baik di seputar pulau Lombok maupun ke luar pulau Lombok. Seperti Gubah, ia mendapat tugas ke Soloh dan ke Jawa Timur serta ke Betawi. Sedangkan Bading ke Lombok Tengah, Goneng ke Bayan, Oncok di sekitar Barat Laut wet Sesait dan Sriangge ke Beraringan dan sekitarnya.
Bagaimana kiprah dan keberadaan dari para penyebar Islam putra asli dari Gumi Paer Sesait ini, tidak banyak diketahui. Hanya yang dibahas dalam tulisan ini adalah ketokohan Sriangge dan keteguhan imannya dalam mempertahankan ajaran Islam dari pengaruh Hindu yang masuk ke wet Sesait kala itu.
Di ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya  Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke tanah / gumi paer Sesait, yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah. Sehingga, ketika pengaruh Hindu ini masuk ke gumi paer Sesait, maka dari kalangan santri yang ta’at beribadah ini, meninggalkan gumi paer Sesait untuk mengasingkan diri dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan hutan yang belum pernah terjamah tangan manusia, yang disebut Gawah Alas Bana.
Ulama Sriangge dan istrinya, sebelum mengasingkan diri ke Gawah Alas Bana kala itu, dia bersama keluarganya tinggal di sebelah utara Kampu Sesait. Pada masa itu, ia dikenal taat dalam menjalankan ajaran Agama Islam. Sehingga, ketika penjajahan Hindu merambah ke gumi paer Sesait kala itu, ia pun tetap memegang teguh aqidahnya. Oleh karena keteguhan imannya yang tidak tergoyahkan dengan adanya pengaruh Hindu yang masuk ke wilayah Sesait waktu itu, akhirnya ia bersama keluarganya memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya.
Di Gawah Alas Bana (diyakini sebelah barat Dusun Beraringan sekarang) inilah Santri yang bernama Sriangge bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan makamnya disekitar kaki Montong  Gedeng sebelah timur. Makam ini sering di kunjungi oleh keturunannya setiap selesai lebaran.
Dalam menjalani kehidupan bersama keluarganya di gawah alas bana ini, Ulama Sriangge pun terus menjalankan kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt  dan meneruskan misi dakwahnya diwilayah Beraringan, Rebakong, Lokok Rangan dan sekitarnya, hingga akhir hayatnya. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan makamnya disekitar kaki Montong  Gedeng sebelah timur. Adapun benda-benda peninggalannya yang masih disimpan oleh keturunannya, diantaranya Takepan Lahat yang ditulis didaun lontar, Kitab Shalawatan dan Umbak Bayan.
Selain itu, peninggalan lainnya yang juga yang hingga kini masih tersisa adalah pohon Kelor. Pohon Kelor (remunggek) ini masih ada hingga sekarang, tidak jauh dari makamnya. Pohon ini dulunya diyakini sengaja ditanam dekat tempayan (Ploncor) yang digunakan sebagai wadah menyimpan air untuk wudu’. Makamnya hingga sekarang masih tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunannya dan ramai dikunjungi para peziarah terutama di hari lebaran.
DSC04577.JPG
Peninggalan Ulama Sriangge (Gegandek berisi Kitab Lahat dan Shalawatan)

Ketika Sriangge mangkat, ajaib memang, secara kebetulan mangkatnya juga secara bersama dengan istrinya Sriaji. Ketika itu tidak ada orang yang akan memakamkannya. Karena ditempat tinggal mereka hanya mereka berdua di gawah alas bana masa itu. Mayat mereka baunya harum. Sehingga membuat para pelayar dari negeri jauh yang secara kebetulan lewat diperairan utara Beraringan kala itu kehabisan persediaan air minum, mencium bau harum tadi. Oleh nakhoda, lalu diperintahkan awak perahunya singgah untuk menyelidiki sumber bau harum tadi, sambil mencari air sebagai tambahan persediaan dalam perjalanan berlayar berikutnya.

Setelah tiba di pesisir pantai utara Beraringan, bau harum terus menusuk hidung semakin keras. Para awak perahu melihat dari kejauhan banyak sekali burung beterbangan dari  lembah sebelah timur dari kaki bukit, yang menurut penduduk setempat dinamakan Montong Gedeng. Mereka menduga, mungkin sumber bau harum tadi berasal dari lembah itu. Ternyata, dugaan mereka benar.
Setiba dilembah tadi, para awak perahu kaget. Begitu melihat sepasang mayat terbujur kaku disebuah gubug. Lalu merekalah yang memakamkannya. Jadi, para pelayar (oleh penduduk setempat disebut Tau Perahu) inilah yang mengurusi prosesi pemakaman jenazah Sriangge bersama istrinya Sriaji hingga selesai. Di ceritakan, batu-batu yang  digunakan sebagai batu nisannya itu, sudah disediakan memang dan sengaja diangkut dari Lokok Muntur Bayan oleh Sriangge bersama isterinya Sriaji jauh-jauh sebelumnya. Makamnya hingga sekarang masih tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunannya.
E.    AL-QUR’AN TULIS TANGAN ABAD XV MASIH TERSIMPAN
Kabupaten Lombok Utara (KLU) banyak  memiliki warisan budaya dan benda-benda bersejarah yang tersebar dibeberapa desa adat. Sayangnya, peninggalan sejarah itu belum banyak diperhatikan serius oleh pemerintah. Contohnya Al-Qur’an tulisan tangan di kulit Onta yang tersimpan di dalam Kampu (kompleks pusat pemerintahan raja Sesait zaman dulu) Desa Sesait Kecamatan Kayangan.
Al-Qur’an yang ditulis tangan itu hanya disimpan didalam kotak kaca yang bawahnya dilapisi tripleks.Tidak ada penghangat didalam kotak kaca itu, sehingga sering dalam kondisi lembab. Saat dikeluarkan dari dalam bangunan penyimpanan kotak itu berembun.
Ada tiga buah Al-Qur’an yang tersimpan di dalam Kampu Sesait itu.Satu buah Al-Qur’an 30 juz yang ditulis tangan, 30 buah Al-Qur’an yang berisi masing-masing satu juz, dan satu buah Al-Qur’an yang sudah di cetak dengan sampul dari kulit Onta.
“Hasil penelitian arkeologi yang pernah datang kesini sekitar tahun 1978 silam, Al-Qur,an tulis tangan itu adalah peninggalan abad ke-XV,”kata tokoh adat Sesait Djekat.
Dari hasil penelitian arkeologi tahun 1978 itu juga diketahui jika Al-Qur’an yang sampulnya dari kulit Onta itu berasal dari Pakistan.Para tokoh adat, tokoh masyarakat adat Sesait tidak mengetahui secara detail bagaimana Al-Qur’an itu ada di Sesait, yang hingga saat ini tersimpan dengan baik dalam Kampu Sesait itu.
“Ini salah satu bukti sejarah warisan peninggalan penyebar Agama Islam yang pertama kali masuk Sesait,”kata Maedi selaku Mangku Gumi Sesait, yang sehari-harinya sebagai penjaga Kampu Sesait.
Mangku Gumi adalah salah satu jabatan tokoh adat.Dia tinggal didalam Kampu dan menjaga Al-Qur’an itu. Di katakana Maedi, dulunya Al-Qur’an itu dibiarkan saja tergeletak begitu saja di dalam bangunan Kampu.Belakangan ketika Bupati Lombok Barat saat di jabat oleh Drs HL.Mudjitahid dan Departemen Agama tahun tentang keberadaan Al-Qur’an tersebut, barulah ada perhatian terhadap Al-Qur’an bersejarah yang sudah berabad-abad tersimpan didalam Kampu Sesait, barulah diberikan kotak kaca yang ada saat ini.
images.jpegSejak saat itu pula Al-Qur’an yang bernilai sejarah itu tidak lagi dikeluarkan dalam berbagai kegiatan keagamaan/adat di Sesait.Dalam berbagai kegiatan agama/adat, hanya Al-Qur’an bersampul kulit Onta itu saja yang dikeluarkan. Kondisi Al-Qur’an yang bernilai sejarah itu pun tidak jauh lebih baik dibandingkan Al-Qur’an tulis tangan. “Sudah banyak yang rusak,”kata Maedi.
“Dulu Al-Qur’an yang satu juz itu disebar diseluruh kampong untuk dibaca bagi orang yang ingin belajar ngaji. Dulu tidak ada istilah buku Iqro,”kata Djekat.
Belajar menggunakan Al-Qur’an yang terbagi dalam 30 juz itu memang cukup sulit. Orang langsung belajar membaca Al-Qur’an secara keseluruhan. Berbeda dengan sekarang, orang belajar dari dasar (Iqro’), sehingga ketika faseh barulah naik membaca Al-Qur’an yang 30 juz.
F.     RITUAL NGAJI MAKAM DI MESJID KUNO SESAIT
Tradisi Ngaji Makam dimasyarakat adat wet Sesait, berlangsung secara kebetulan bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan pada tahun ini. Nuansa Ramadhan pun sangat terasa dalam ritual yang digelar dalam ritual yang digelarkan setiap dua kali setahun.
Ziarah makam ke makam leluhur sudah menjadi kebiasaan masyarakat sasak muslim, bahkan sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia.Ziarah makam itu biasanya dilakukan pada hari-hari besar Islam. Paling banyak kunjungan Ramadhan, 
Ziarah makam itu biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu yaitu pada hari besar Islam.Paling banyak kunjungan ke makam menjelang Ramadhan dan usai Idul Fitri.Masyarakat yang memiliki hajatan tertentu juga kerap mengunjungi makam yang dikenal ziarah makam.Tak heran kemudian makam-makam yang berada di Lombok tidak pernah sepi dari pengunjung.
Termasuk di masyarakat adat Sesait,Kecamatan Kayangan Lombok Utara.Tradisi ziarah makam sudah menjadi tradisi masyarakat secara turun temurun. Menariknya dalam ziarah makam di Sesait ini, masyarakat adat Sesait atau yang lebih dikenal dengan Wet Sesait, melakukan ziarah makam itu, ke makam Sesait yang ada di Bayan.
“Ada hubungan antara masyarakat adat di Bayan dengan di Sesait. Leluhur kami punya makam dikompleks Mesjid Kuno Bayan,”kata Djekat salah seorang tokoh masyarakat di Sesait.
Ziarah makam itu dikenal   dimasyarakat adat Sesait, dengan sebutan Ngaji Makam. Di Bayan pun tradisi Ngaji Makam ini masih hidup sampai sekarang dan kerap dilaksanakan. Pada tahun ini kebetulan ritual Ngaji Makam masyarakat adat Sesait bertepatan dengan datangnya bulan Ramadhan. Selain mengingatkan pada kematian, ritual Ngaji Makam yang digelar dua kali setahun ini, ada kaitannya dengan siklus pertanian masyarakat adat Sesait.
Ngaji Makam yang digelar pada bulan Agustus kali ini, yang bertepatan dengan tanggal 10 Ramadhan berkaitan dengan ritual syukuran atas hasil panen selama enam bulan yang lalu.Ritual ini juga sebagai persiapan untuk menyambut datangnya musim kemarau.
”Sistem kalender masyarakat adat Sesait, menggunakan sisklus musim tanam. Disini kami punya kalender yang disebut dengan Jangobangar, ”kata A.Rahini salah seorang tokoh adat Sesait keturunan Demung Musani.
Pada enam bulan kemudian, setelah musim kemarau lewat, akan digelar lagi Ngaji Makam yang dikenal dengan Ngaji Lawat. Dalam Ngaji Lawat ini masyarakat adat Sesait membaca Salawat atas Nabi Muhammad Saw.
Usai melakukan ziarah makam ke Bayan, masyarakat adat Sesait kembali ke kampong mereka untuk melanjutkan ritual selanjutnya. Dari namanya Ngaji Makam,maka dalam kegiatan itu digelar Ngaji (membaca Al-Qur’an). Rentang waktu kegiatan ziarah ke makam Bayan dengan mengaji  itu 10 hari.
Dalam kegiatan Ngaji itu, masyarakat adat Sesait melakukannya didalam Mesjid Kuno Sesait. Jadi Mesji Kuno Sesait itu sama seperti Masjid pada umumnya dari segi fungsi.
G.    RITUAL NYEDEKAH PUASA MASYARAKAT ADAT SESAIT
Masyarakat Adat Sesait Kecamatan Kayangan memiliki tradisi unik saat bulan Ramadhan. Pada pertengahan puasa mereka menggelar kegiatan nyedekah puasa.Ritual ini mirip dengan kegiatan buka puasa.
Menyebut masyarakat Adat Wet Sesait, maka sebutan itu bukan sekadar bagi masyarakat yang mendiami Desa Sesait semata. Melainkan Wet Sesait itu meliputi masyarakat yang ada di Desa Santong,Desa Sesait,Desa Pendua dan Desa Kayangan.Sebelum ada desa-desa seperti saat ini, masyarakat adat itu berpayung dalam sebuah komunitas besar.
Modernitas memang sudah masuk ke dalam masyarakat adat Sesait itu. Di Sesait, tidak lagi ditemukan pemukiman tradisional seperti yang ada di daerah lainnya. Tidak ditemukan pula pemukiman yang masih mempertahankan bentuk ketradisional rumahnya.
Pantangan-pantangan seperti listrik,rumah batu dan fasilitas modern lainnya sudah menjadi tinggal cerita lama di Sesait. Sesait dan desa-desa liannya sudah menjadi desa modern. Malahan Mesjid Kuno Sesait yang menjadi symbol peninggalan tradisional itupun nyaris menerima perubahan.
Hanya Mesjid Kuno Sesait lah yang memasang pengeras suara dan listrik. Beda dengan Mesjid-Mesjid Kuno lainnya.Karena memang Mesjid Kuno ini berada di tengah-tengah perkampungan Sesait.
Sehingga mau tidak mau mengalami perubahan. Namun, seiring dengan perubahan zaman, Mesjid Kuno Sesait ini, akan dikembalikan ke bentuk aslinya.
Kampu (pusat pemerintahan zaman dulu), memang masih mempertahankan bentuk bangunan asli tardisionalnya, namun isinya sudah modern dengan masuknya listrik.Namun ditempat ini, saat ini tidak sembarang orang bisa masuk kalau tidak ada keperluan yang penting.Itupun harus melalui sebuah ritual baru boleh masuk ke dalam Kampu Sesait ini.
“Dunia itu berubahdan kami tidak anti dengan perubahan.Namun tradisi-tradisi para leluhur kami masih mempertahankannya hingga saat ini,”kata tokoh masyarakat adat wet Sesait Djekat.
Nyedekah puasa adalah salah satu warisan leluhur yang masih dipegang kuat oleh masyarakat adat Sesait. Malahan kegiatan ini, kini makin banyak dilakukan di kampong-kampung, seiring dengan makin banyaknya penduduk dan pemukiman.Nyedekah puasa ini sepintas mirip dengan berbuka puasa bersama. Warga kumpul didalam halaman Kampu untuk berbuka bersama. Namun dibalik kegiatan buka puasa bersama itu ada nilai luhur yang melatarbelakangi.
Sejak Islam masuk ke Sesait sekitar abad 15 silam, masyarakat setempat menerima ajaran Islam tersebut.Masyarakat Adat Wet Sesait identik dengan Islam.Ketika bulan Ramadhan, masyarakat berpuasa dengan menyambut bulan itu dengan berbagai kegiatan.Sholat Tarawih berjamaah dan Tadarusan adalah salah satu kegiatan yang lumrah dilakukan.
Disaat berpuasa itu, masyarakat adat wet Sesait merefleksikan diri sebagai bagian dari masyarakat yang ada. Keadaan masyarakat inipun bermacam-macam.Ada yang serba kecukupan dan ada pula yang kurang mampu.
Berpuasa itu juga sebagai bagian merasakan penderitaan umat Islam yang masih banyak merasakan lapar lantaran miskin.
Dalam praktek sehari-hari itulah di gelar Nyedekah Puasa ini.Masyarakat menyediakan makanan untuk diberikan pada masyarakat yang berpuasa.
“Tujuannya memberikan kebahagiaan pada masyarakat yang berpuasa. Alangkah bahagianya ketika berpuasa itu ada yang memberikan makanan,”kata Djekat.
Kegiatan ini dilakukan pada pertengahan bulan puasa yang mana masyarakat yang berkecukupan membawa dulang berisi makanan ke dalam Kampu Sesait untuk nantinya akan dinikmati pada saat berbuka puasa. Acara inijuga lebih menekankan pada silaturrahmi dan menikmati suasana puasa dalam kebersamaan. Semua tokoh adat dan masyarakat setempat akan hadir menikmati suguhan sedekah Ramadhan ini.
“Pelajaran berharga dan paling penting adalah bagaimana membentuk rasa kesetiakawanan sosial diantara masyarakat yang ada dilingkungan tersebut, ”imbuh Djekat.
H.    MASYARAKAT ADAT SESAIT GELAR RITUAL PIJER GUMI
Sudah menjadi tradisi turun-temurun kegiatan ritual adat pijer gumi yang dilakukan masyarakat adat wet Sesait hingga kini masih terus di lestarikan. Ritual pijer gumi yang dilaksanakan masyarakat adat wet Sesait ini dimaksudkan untuk memelihara alam terutama hutan dan air agar tetap utuh dan bisa di manfaatkan bagi kemaslahatan hidup seluruh makhluk di alam ini. Jika hutan rusak, tentu air yang menjadi kebutuhan makhluk hidup akan berkurang.
Itulah sebabnya, masyarakat adat wet Sesait, Senin (04/11/2013) di Dam Santong menggelar ritual adat yang dikenal dengan sebutan Pijer Gumi. Ritual Pijer Gumi semacam ini biasanya digelar setiap 5 tahun sekali di hulu sungai atau di pintu pembagian air (bungas..bhs Sesait) yaitu di Dam Santong. Mengapa hal ini harus dilaksanakan di tempat tersebut, karena satu-satunya pintu pengambilan air untuk irigasi bagi 6 desa (Santong, Sesait, Pendua, Kayangan, Dangiang, Gumantar) dalam wilayah Kecamatan Kayangan selama ini adalah hanya dari tempat itu.
Menurut Murdan, tokoh adat wet Sesait yang juga mantan Pemusungan Sesait yang kini aktif di lembaga adat Sesait ini mengatakan, ritual adat Pijer Gumi yang di gelar saat ini memang merupakan tindak lanjut ritual yang pernah di lakukan oleh masyarakat adat wet Sesait secara turun-temurun dari jaman dulu.
Dikatakan, ritual pijer Gumi ini awal mulai dilaksanakannya sejak kegagalan panen masyarakat adat wet Sesait tahun 1958 silam. Memang pengerjaan pembangunan Dam Santong ini sudah dua kali mengalami kegagalan karena banyak buruh pekerja saat itu yang menjadi korban meninggal dunia.”Sejak pembangunan Dam Santong ini, sudah dua kali pemborong gagal, karena buruh-buruh banyak yang menjadi korban, ”kenang Murdan.
Melihat phenomena peristiwa tersebut, oleh Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu, Jintaka) masyarakat adat wet Sesait menggelar ritual pijer Gumi (memadatkan bumi) untuk memelihara alam ini agar airnya tidak hilang di telan bumi. Ritual pijer Gumi tersebut dengan mempersembahkan hewan kurban berupa seekor kerbau. Hewan kurban berupa seekor kerbau inipun tidak tanggung-tanggung untuk mendapatkannya yaitu dengan syarat harus yang kembalik pokon (sesuai dengan persyaratan hewan yang dijadikan kurban). Hewan kurban tersebut, lalu di sembelih di pintu pembagian air (bungas) di Dam Santong ini.
Pada jaman pemborong yang ketiga yang bernama Raden Suanda di mulailah pembangunan Dam Santong itu agar airnya bisa naik. Namun sebelum memulai pembangunan, Raden Suanda meminta pituah kepada Tau Lokaq Empat Sesait agar proses pembangunan Dam Santong tersebut lancar dan sukses. Oleh Tau Lokaq Empat menyarankan agar sebelum melaksanakan pembangunan harus di gelar terlebih dahulu ritual pijer Gumi. Ritual inipun dilakukan oleh Tau Lokaq empat menurut hirarki di masyarakat adat wet Sesait. Setelah itu, barulah kemudian di gelar syukuran seperti yang dilaksanakan sekarang ini.
Sesudah semua ritual dan syukuran telah dilaksanakan, maka Raden Suanda selaku pemborong yang ketiga pembangunan tersebut memulai pembangunan Dam Santong yang sempat gagal selama dua kali di borong oleh pemborong lain sebelum Raden Suanda.
Menurut Pembekel Adat Wet Sesait Masidep,S.Pd mengatakan, ritual pijer Gumi yang rutin dilaksanakan setiap 5 tahun sekali ini adalah dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya erosi agar air tetap utuh dalam DAS (Daerah Aliran Sungai). Selain itu,katanya, ritual pijer gumi ini dilakukan adalah untuk melindungi pori-pori bumi agar tetap padat dan utuh sehingga air tidak hilang dan berkurang meresap ke dalam bumi.
Selaku Pembekel Adat Masyarakat Wet Sesait, Masidep berharap, mudah-mudahan dengan di gelarnya ritual pijer Gumi yang rutin di gelar setiap 5 tahun sekali ini, airnya tetap utuh dan bahkan bertambah.Selain itu, dengan ritual pijer Gumi tentu akan mengurangi peresapan air ke pori-pori bumi yang lebih besar sehingga petani bisa menikmati air secara merata.
Kepada P3A dan para pekasih di se-antero wet Sesait (8 desa = Santong, Sesait, Pendua, Santong Mulia, Pansor, Dangiang, Kayangan dan Gumantar) dalam wilayah Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara, agar kegiatan serupa pada masa mendatang ketika sudah tiba waktunya untuk digelar, untuk ikut secara bersama-sama mendukung sepenuhnya demi kemaslahatan umat manusia selaku khalifah di muka bumi ini. Karena bagaimana pun ritual pijer Gumi yang di gelar para tetua adat di gumi paer adat wet sesait secara turun-temurun ini tetap utuh dan tetap lestari sepanjang masa.
I.       BUPATI APRESIASI RITUAL ADAT PIJER GUMI
Buapti KLU H.Djohan Sjamsu,SH dalam sambutannya memberikan apresiasi yang luar biasa kepada masyarakat adat wet Sesait atas di gelarnya upacara adat Pijer Gumi yang dilaksanakan, Senin (04/11/2013) di Dam Santong.
Kejayaan suatu masyarakat adat dalam mempertahankan tradisi lokal leluhur mereka tergantung kuatnya masyarakat adat itu sendiri untuk tetap teguh dan taat dalam melestarikan tradisi lokal yang pernah ada pada jamannya. Tradisi lokal yang di gelar para leluhur ternyata membawa dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan hidup generasi sesudahnya. Hal itu bisa di buktikan dengan tetap lestarinya budaya lokal yang pernah ada pada jaman leluhur yang hingga kini masih ada dan bahkan tetap di lakukan oleh generasi berikutnya, seperti upacara adat Pijer Gumi yang di gelar masyarakat adat wet Sesait di Dam Santong kali ini. Hal ini membuktikan betapa kuatnya tradisi lokal masa lalu yang di yakini oleh para penganutnya.
Bupati KLU H.Djohan Sjamsu,SH berharap agar ritual adat Pijer Gumi yang dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait tersebut akan mampu memberikan warna harapan baru bagi keberlangsungan hidup akan kebutuhan air irigasi di delapan desa yang menjadi wilayah pengampu di bagian timur KLU ini. “Ini patut terus di pertahankan agar tradisi yang sudah berurat-berakar di kalangan masyarakat adat wet Sesait ini tetap lestari sepanjang masa,”tandas Bupati..
Dihadapan ratusan sesepuh adat yang hadir dan tamu undangan lainnya dalam acara syukuran ritual adat Pijer Gumi oleh masyarakat adat wet Sesait di Dam Santong tersebut, Bupati mengajak untuk selalu menjaga alam ini terutama dari kerusakan hutan akibat ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Sebab dengan tetap terpeliharanya hutan di Santong ini, tentu air pun akan tetap besar, sehingga kebutuhan hajat hidup orang banyak akan tetap terpenuhi.
Ritual  adat Pijer Gumi yang di gelar masyarakat adat wet Sesait ini perlu terus di pertahankan agar keberadaannya tetap lestari sepanjang zaman.Kepada para sesepuh adat terutama Tau Lokaq Empat Sesait, (Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu dan Jintaka), Bupati sangat mengapresiasi kegiatan yang jika di kelola dengan baik dan rutin ini tentu akan memiliki daya tarik untuk tujuan wisata di daerah ini.



J.       PROSESI RITUAL PIJER GUMI
Sejak pagi hari Dam Santong terlihat ramai oleh warga komunitas Sesait berpakaian adat.Tidak seperti hari-hari biasa, Dam ini sepi pengunjung. Jika pun ada warga yang datang, itu pun jika mereka memiliki keperluan dan atau hanya sekedar rekreasi bersama keluarga atau hanya sekedar mandi dan nyuci.
Ramainya Dam Santong hari itu, karena memang ada prosesi ritual adat Pijer Gumi oleh masyarakat adat Sesait. Ritual Pijer Gumi tersebut diselenggarakan dengan hajatan untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan kemaslahatan umat manusia. Dimana oleh masyarakat adat Sesait, ritual seperti itu di yakini akan membawa kebaikan. Pesan moral kegiatan ini sangatlah mendalam, ada norma-norma pengikat warga adat yang menjadi pandu tindak laku. Misalnya, warga tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap hutan, tidak boleh menggunduli hutan serta aktivitas lainnya yang tidak terpuji.
Keseimbangan antara alam lingkungan dan kehidupan manusia harus terjaga. Keduanya harus diikat dalam hubungan mutual simbiosis demi takdir bumi yang lebih baik. Itulah tujuan ritual adat Pijer Gumi yang di gelar komunitas adat Sesait di Dam Santong Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara, Senin (04/11/2013) silam.
Bagi warga adat Sesait, jika semena-mena terhadap alam akan berdampak buruk bagi keseimbangan lingkungan. Bahkan, manusia bisa dijadikan tumbal bila tidak memelihara alam dan hutan. ”Kita bisa mengalami krisis air, misalnya, kalau sampai menggunduli hutan,”kata Murdan yang juga mantan Pemusungan Sesait ini meyakinkan.
Pijer Gumi, katanya, merupakan ritual adat yang di gelar sekali dalam lima tahun. Karena rentangnya yang panjang, masyarakat adat Sesait sangat antusias merayakannya. Dimana masyarakat adat sesait bukan tanpa alasan menggelar ritual Pijer Gumi di Dam Santong ini. Sesuai fungsinya, Dam Santong ini merupakan sumber air irigasi pertanian warga di delapan desa. Kedelapan desa itu meliputi Desa Santong, Desa Sesait, Desa Pendua, Desa Santong Mulia, Desa Pansor, Desa Dangiang, Desa Gumantar dan Desa Kayangan.
Dikatakan Murdan, ritual adat Pijer Gumi yang di gelar saat ini memang merupakan tindak lanjut ritual yang pernah di gelar oleh masyarakat adat Sesait secara turun-temurun dari jaman dulu.
Ritual adat Pijer Gumi ini mulai dilaksanakannya sejak kegagalan panen masyarakat adat Sesait tahun 1958 silam.
Konon pengerjaan pembangunan Dam Santong sudah dua kali mengalami kegagalan karena banyak buruh pekerja saat itu yang menjadi korban meninggal dunia. Sehingga makamnya hingga saat ini masih ada tidak jauh dari lokasi Dam Santong yang dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ritual adat Pijer Gumi lima tahunan ini.
Melihat phenomena peristiwa tersebut, oleh Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Penghulu, Jintaka) masyarakat adat wet Sesait menggelar ritual pijer Gumi (memadatkan bumi) untuk memelihara alam ini agar airnya tidak hilang di telan bumi. Ritual pijer Gumi tersebut dengan mempersembahkan hewan kurban berupa seekor kerbau. Hewan kurban berupa seekor kerbau inipun tidak tanggung-tanggung untuk mendapatkannya yaitu dengan syarat harus yang kembalik pokon (sesuai dengan persyaratan hewan yang dijadikan kurban). Hewan kurban tersebut, lalu di sembelih di pintu pembagian air (bungas) di Dam Santong ini.
Pada jaman pemborong yang ketiga yang bernama Raden Suanda di mulailah pembangunan Dam Santong itu agar airnya bisa naik. Namun sebelum memulai pembangunan, Raden Suanda meminta pituah kepada Tau Lokaq Empat Sesait agar proses pembangunan Dam Santong tersebut lancar dan sukses. Oleh Tau Lokaq Empat menyarankan agar sebelum melaksanakan pembangunan harus di gelar terlebih dahulu ritual pijer Gumi. Ritual inipun dilakukan oleh Tau Lokaq empat menurut hirarki di masyarakat adat wet Sesait. Setelah itu, barulah kemudian di gelar syukuran seperti yang dilaksanakan sekarang ini.
Sesudah semua ritual dan syukuran telah dilaksanakan, maka Raden Suanda selaku pemborong yang ketiga pembangunan tersebut memulai pembangunan Dam Santong yang sempat gagal selama dua kali di borong oleh pemborong lain sebelum Raden Suanda.
Menurut Pembekel Adat Wet Sesait Masidep,S.Pd mengatakan, ritual pijer Gumi yang rutin dilaksanakan setiap 5 tahun sekali ini adalah dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya erosi agar air tetap utuh dalam DAS (Daerah Aliran Sungai). Selain itu,katanya, ritual pijer gumi ini dilakukan adalah untuk melindungi pori-pori bumi agar tetap padat dan utuh sehingga air tidak hilang dan berkurang meresap ke dalam bumi.
Selaku Pembekel Adat Masyarakat Wet Sesait, Masidep berharap, mudah-mudahan dengan di gelarnya ritual pijer Gumi yang rutin di gelar setiap 5 tahun sekali ini, airnya tetap utuh dan bahkan bertambah.Selain itu, dengan ritual pijer Gumi tentu akan mengurangi peresapan air ke pori-pori bumi yang lebih besar sehingga petani bisa menikmati air secara merata.
Kepada P3A dan para pekasih di se-antero wet Sesait (6 desa, yakni Santong, Sesait, Dangiang, Kayangan, Gumantar dan Selengen) wilayah Kecamatan Kayangan, agar kegiatan serupa ketika sudah tiba waktunya untuk di gelar, untuk ikut bersama-sama mendukung sepenuhnya demi kemaslahatan umat manusia selaku khalifah di muka bumi ini.Karena bagaimana pun ritual pijer Gumi yang di gelar para tetua adat di gumi paer adat wet sesait secara turun-temurun ini tetap utuh dan tetap lestari sepanjang masa.







BAB VII
GUMI PAER SESAIT DALAM SEJARAH
A.    WALI PENYEBAR AGAMA ISLAM PERTAMA

Berawal dari sebuah kampung kecil pada  Pertengahan abad 14 M, terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer  Sesait kala itu,  masyarakat kampung tersebut sudah memiliki keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima (dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki faham dan keyakinan yang  sangat kuat. Setelah kedatangan  para Wali Allah (para penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut, maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.

Menurut  Piagam Sesait  yang di namakan Kitab Muhtadi’,  pada abad 14 M kala itu, Sesait  dijadikan  sebagai Pusat  Penyebaran  Islam  dan Pusat  Pemerintahan  Pertama  yang  mencakup  wilayah kekuasaan Sesait , karena  berdasarkan atas keputusan  para  wali di Jawa,  bahwa wali yang  pertama  mengijakkan  kakinya di gumi Sasait  adalah  Kanjeng Syeh Said Saleh Pedaleman, berasal  dari  Makkah Al-Mukarramah,  dan  Kanjeng Said Rahmad atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Bapuk Rahmad. Kedua wali tersebut secara bersamaan datang ke kampung tersebut. Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka sepakat siapa yang tetap tinggal dan yang akan melanjutkan perjalanan.

Sejarah mencatat, bahwa yang tetap tinggal di kampung tersebut adalah Kanjeng Syeh Said Saleh Pedaleman dan beliau sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran Sangapati  atau lebih dikenalText Box: Inilah Makam Kanjeng Pangeran Sangapati, atau lebih di kenal dengan Nama  Melsy Jaya, Beliau sebagai Mangku Gumi Pertama di kerjaan Sesait, sekitar pertengahan Aad 15 M.


 
 dengan nama Melsey Jaya. Kanjeng Syeh Said Saleh Pedaleman setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya. Kanjeng Syeh Said Saleh Pedaleman inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat tahun 1413 M, beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makamnya hingga saat ini masih terpelihara, yang oleh masyarakat Sesait menyebutnya “Makam Kubur Beleq”.
                                                                             
B.   STRUKTUR PEMERINTAHAN LOKAL KERAJAAN SESAIT

Kanjeng Sayyid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait (Kitab Muhtadi’) yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Said Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam di tanah Sesait tersebut, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si Sayid menjadi Sesait. 

Inilah awal mula kampung tersebut diberikan nama Kampung Sesait hingga sekarang. Sesuai dengan nama beliau sendiri Sayid Rahmat yang artinya dalam bahasa arab keselamatan. Adapun  peninggalan – peninggalan  serta  ajaran –ajaran  Sayid Rahmat yang masih ada yang kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) seperti, Kitab Suci Al Qur’an  Cetakan Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Sholawatan tulisan  tangan beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati Pisang.

Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana metode yang digunakan dalam menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan  adat - istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait. Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai.

Sepeninggal Kanjeng Said Rahmad berlayar ke gumi jawa Dwipa kala itu, lalu beliau menempatkan kampung Said (Sesait) sebagai pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Sesait.

Adapun wilayah Kerajaan Sesait yang dijadikan sebagai pusat Pemerintahan kala itu menjadi satu wilayah. Namun sekarang sudah berubah menjadi beberapa buah desa yang berdiri sendiri, yaitu Desa Pendua, Desa Santong (Khusus Dusun Santong Asli), Desa Kayangan, Desa Santong Mulia dan  Desa Sesait sendiri. Walau wet Sesait ini sudah masuk menjadi bagian desa lain dan di pisahkan secara administrasi, namun wet adatnya masih tetap satu yaitu Wet Adat Gumi Paer Sesait.  Kampu Sesait yang oleh Sayid Rahmat  dijadikan sebagai keratonnya dan  dalam setruktur Pemerintahan di bentuklah lembaga pemerintahan yang di sebut Tau Lokaq Empat, yaitu  Mangku Gumi sekaligus sebagai Raja, Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan, Jintaka sebagai Pengatur pola tanam dibidang perekonomian dan Penghulu membidangi di bidang Agama yang mencakup wilayah kekuasaan Kerajaan Sesait.

Selanjutnya dalam Kitab Muhtadi’  yang menjadi sumber tertulis Sejarah Sesait menyebutkan, Pengangkatan Raja Pertama Sesait kala itu dijalankan berdasarkan atas keputusan keluarga Kerajaan dan bukan memakai sistem Demokrasi seperti yang berlaku di Negara yang menganut paham demokrasi. Hal tersebut dilakukan karena ini masalah urusan Trah Kerajaan dan itu juga di setujui oleh para Wali penyebar agama Islam (Sayid Rahmat) ketika itu, sekitar pertengahan abad 14 M silam. Pengangkatan Raja pertama Sesait dengan gelar Pangeran Mangku Gumi (Satu) sesuai dengan silsilah keturunan yang sudah tertulis di dalam Piagam Sesait (Kitab Kontara dan Kitab Muhtadi’), dan inilah yang menjadi pedoman keluarga Kerajaan dalam hal pengangkatan Raja, dari pertama terbentuk  sampai saat ini dan itu tidak bisa di intervensi oleh siapapun, karena itu mutlak keputusan Trah keluarga Kerajaan (sesuai Purusa) yang sudah baku sejak pertamanya terbentuk.
Setelah terbentuknya Mangku Gumi, barulah Mangku Gumi  mengangkat  Pemusungan sebagai  Kepala  Pemerintahan pada waktu itu, kemudian Penghulu dan Jintaka. Untuk membantu dalam menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangku Gumi, juga mengangkat seorang Senopati Perang  yaitu  Senopati Anggura Paksa dan empat orang Patih sekaligus, yaitu Daman,Jumanah, Rapiqah dan Raqiah. Konon ke-empat orang patih ini adalah bersaudara  dan  khusus  di datangkan dari  Negeri  Iraq Bagdad. Di ceritakan dalam piagam Sesait,  ketika Sayid Rahmat  meninggalkan kampung Sesait untuk berlayar melanjutkan perjalanannya ke Jawa Dwipa, namun sebelum sampai ke Jawadwipa, beliau sempat singgah di Serean Karang Asem dan Klungkung Bali, setelah itu baru kemudiam beliau melanjutkan perjalanan ke tanah Jawadwipa. Sesuai dengan wasiat beliau, kisah  perjalanan Sayid Rahmat  dari Sesait ke Pulau Jawa  tepatnya di Ampel  Denta  Surabaya, di tulis oleh Lebe Seriaji (santri beliau sendiri), hingga saat ini tulisan beliau masih tersimpan  dengan baik di Kampu Sesait.

C.     MISTERI MUNCULNYA PANGERAN SAYID ANOM
Kurun waktu dua abad lebih lamanya, Sesait mengalami masa kejayaannya. Pada masa Pemeintahan Layur tahun 1725-1755 M. Pada zaman itu terjadi peristiwa  yang hingga saat ini masih melegenda pada rakyat Sesait, yaitu cerita tentang munculnya buah sondak (sejenis labu) diatas langit Sesait, yang  kemudian buah Sondak itu berubah menjadi seorang bayi dan bayi inilah kelak menjadi  ulama besar yang bergelar Pangeran Said Anom. Di bawah asuhan ulama besar inilah sehingga  Islam pada zaman itu berjaya di  gumi paer Sesait. Tidak heran banyak santri yang menimba ilmu di daerah ini, yang rata-rata mengambil aliran jalan tassauf.

Gumi paer Sesait pada saat itu mempunyai wilayah kekuasaan yang cukup luas, bahkan  sekitar 200 tahun lebih kejayaan Datu Sesait masih kuat bertahan. Sebelum kedatangan Pangeran Said Anom ke Gumi paer Sesait, pada saat itu Kerajaan Sesait pernah di singgahi  oleh  beberapa  ulama – ulama  besar, seperti  Said Rahmat, Kanjeng Syech Said Saleh.

Diceritakan, Sayid Rahmat yang berkedudukan di Ampel Denta Surabaya pernah datang ke daerah Dayan Gunung khususnya di tanah Sesait, di buktikan dengan banyaknya bukti sejarah  peninggalan  beliau yang masih tersimpan di dalam Kampu Sesait, seperti Kitab Suci Al-Qur’an yang tertulis pada kulit Onta, tongkat khutbah yang terbuat dari hati pohon pisang. Ini membuktikan bahwa Kanjeng Said Rahmat  pernah singgah dan mengajarkan Agama Islam kepada penduduk Kampung Sesait, pada sekitar pertengahan abad 15 M. Kemudian  Kanjeng Syeh Said Saleh, yang ahkirnya menjadi Mangku Gumi Pertama Kerajaan Sesait. Kedua Wali Allah  tersebut secara bersamaan datang  ke  kampung Sesait.

Menurut keterangan sesepuh adat Sesait Djekat mengatakan, Layur adalah  Raja Sesait  ke 16  dengan Gelar Pangeran Mangku  Gumi.  Dalam struktur Pemerintahan Tau Lokaq Empat menjalankan roda Pemerintahannya dengan baik, sehingga ia di cintai oleh segenap lapisan masyarakatnya.

Dalam sejarah Sesait, kedatangan Said Anom ke Gumi Sesait penuh misteri yang membutuhkan pikiran sehat dan rasional untuk memaknainya.  Dikisahkan, pada suatu malam, pertengahan abad 15 M  langit gelap diatas Sesait, selama tiga hari tiga malam. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat yang hidup masa itu menjadi heran bercampur takut, tidak biasanya terjadi, jangan-jangan akan terjadi kiamat, pikir mereka. Berselang beberapa waktu kemudian, langit yang tadinya gelap, tiba- tiba  terang kembali, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Begitu langit terang, masyarakat Sesait yang pada saat itu di liputi rasa takut dan kebingungan, kemudian melihat ada buah sondak (sejenis labu) sudah berada di oman rot selatan kampung Sesait yang sekarang, mengeluarkan sinar terus-menerus tanpa henti. Rupanya buah sondak inilah yang membawa sinar di atas langit Sesait  selama  tiga hari tiga malam masa itu.

Di ceritakan, selanjutnya buah sondak yang tadinya berada di bawah pohon beringin Oman Rot selatan kampung Sesait yang sekarang, kemudian bergelinding  sendiri ke  arah utara, ketika waktu asar tiba, buah sondak itu berhenti di samping masjid kuno Sesait (mesjid Tanak Umbara).


 
Setelah waktu asar habis, buah sondak itu  kembali bergelinding ke arah utara memasuki gawah pedewak Sesait (gawah dris/gawah alas bana=belum terjamah tangan manusia) hingga di koloh bandan. “Anehnya, buah Sondak ini terus saja menggelinding arah utara-selatan dan ketika tiba di lokasi tempat Mesjid Kuno Sesait berdiri saat ini sudah masuk waktu sholat. Begitu pula setrusnya. Itulah sebabnya Mesjid Kuno Sesait yang dikenal dengan Mesjid Tanak Umbara itu dibangun,”jelas A.Rahini.

Pangeran Mangku Gumi Layur (yang berkuasa saat itu) langsung memerintahkan abdi dalamnya untuk mengecek keberadaan buah sondak itu. Setelah abdi dalam yang di perintah itu sampai  di koloh bandan dengan di saksikan masyarakat setempat, buah sondak tersebut tiba – tiba meledak dengan mengeluarkan suara seperti guntur menyambar. Anehnya dari dalam buah Sondak tadi muncullah seorang bayi laki-laki mungil.

Sontak saja abdi dalam dan masyarakat yang menyaksikan kejadian itu kaget. Lalu oleh abdi dalam dan masyarakat sekitarnya berusaha mencari sebuah wadah bernama Bandan untuk dijadikan tempat menampung air untuk memandikan bayi tersebut. Hingga sekarang nama tempat munculnya bayi itu, oleh masyarakat adat Sesait secara turun-temurun disebutnya Koloh Bandan. Usai dibandikan dan memakaikan perlengkapan bayi pada umumnya, maka bayi itu kemudian di bawa langsung menghadap Raja. Singkat cerita, Raja Sesait pun langsung menerima bayi tersebut, dan berjanji akan merawat dan membesarkannya. Dalam perkembangan selanjutnya, konon bayi laki-laki mungil itu semakin hari pertumbuhannya semakin cepat besar, tidak seperti bayi biasa yang pertumbuhannya lambat. Sehingga di kalangan istana memberikan nama anak itu dengan sebutan ‘Mak Beleq’.
Seiring dengan berjalanya waktu, bayi itupun tumbuh besar menjadi seorang pemuda, dimana pemuda inilah yang di kemudian hari menjadi ulama besar yang di kenal dengan sebutan Sayid Anom dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran Sayid Anom, yang telah mengajarkan  Agama Islam keseluruh wilayah kekuasaan kerajaan Sesait  hingga Islam berjaya pada masa itu.

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan pesatnya perkembangan Islam di gumi Sesait kala itu, maka Diah Kanjeng Pangeran Sayid Anom mengambil inisiatif untuk hijrah dari Sesait ke Bayan dan memperluas syiar Islam di sana hingga akhir hayatnya. Bukti - bukti sejarah peninggalan beliau  di Bayan, diantaranya, Masjid Kuno Bayan Beleq dan makamnya yang terletak di Desa Bayan Beleq, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.  Makam Diah Kanjeng Pangeran Sayid Anom yang letaknya di samping Masjid kuno Bayan Beleq itu, hingga saat ini banyak di kunjungi para peziarah baik lokal, regional maupun internasional. Hal ini sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa beliau dalam menyebarkan Agama Islam di wilayah Sesait dan Bayan. 

D.    MELETUSNYA PERISTIWA BERDARAH BAGEK KEMBAR

 Seiring dengan berjalannya waktu, Sesait menjadi wilayah kerajaan yang berdaulat hingga satu abad lamanya hingga  meletus Perang Pageh Praya pada tahun 1882 M. Dalam Perang Pageh Praya tersebut, kerajaan Sesait  juga ikut andil di dalamnya, yaitu dengan mengirim bantuan pasukan dan bergabung dengan pasukan di Praya untuk melawan  Pasukan Anak Agung  yang ingin menguasai Lombok. Di bawah pimpinan Titik Pantok, maka pasukan kerajaan Sesait berangkatlah menuju Praya.

Dalam perang Pageh Praya melawan Pasukan Anak Agung ini, Titik Pantok  gugur sebagai kusuma bangsa (Syahid) di medan perang  dan jasadnya di bawa pulang dan dimakamkan di utara kampung Sesait yang sekarang.

Agar  Pasukan Sesait tidak kehilangan  kendali di medan Perang, maka  Mangku Gumi  mengangkat Rebos Bin Alaya sebagai Pimpinan Pasukan  menggantikan Titik Pantok yang telah gugur ketika terjadi perang melawan pasukan Anak Agung di Praya Lombok Tengah tahun 1882 M.  Rebos Bin Alaya  ini, tidak lain adalah misan Mangku Gumi sendiri. Mangku Gumi pada waktu itu di pegang oleh  Lengguk Bin Rebadi, beliau adalah Mangku Gumi ke 19 di dalam hirarki Kerajaan Sesait.

031020131737.jpgKurun waktu  65 tahun kemudian (1882-1945), dari sejak perang  Pageh Praya, maka berkecamuklah  perang dunia kedua. Di daerah teritorial Kerajaan Sesait pada tanggal 02 juni 1945, timbullah peristiwa berdarah yang menewaskan Komandan kompi Nippon Jepang  bernama “Tani Guci” di Bagek Kembar oleh pejuang Sesait. Sehingga peristiwa berdarah itu yang oleh masyarakat Sesait disebut Peristiwa Berdarah Bagek Kembar.

Karena rakyat Sesait dan bahkan siapapun yang tinggal di dunia ini, tidak rela dijajah dalam bentuk apapun. Itulah sebabnya  rakyat Sesait dalam menegakkan kedaulatan hirarki kerajaan, termasuk di dalamnya adat budaya yang masih kuat dan ini merupakan bagian dari perjuangan  mempertahankan kemerdekaan dalam mengusir penjajah dari Ibu pertiwi tercinta ini. Maka hal tersebut patut di apresiasi dengan memberikan penghargaan yang luar biasa, karena semangat patriotisme yang terpatri dalam diri para pejuang tak terkalahkan.

Menurut keterangan saksi sejarah yang masih hidup hingga sekarang seperti Papuk Antek, Papuk Jamiah, Amaq Bardi dan lain-lainnya, mereka rata-rata mengaku ketika terjadinya peristiwa Bagek Kembar Berdarah itu mereka masih usia remaja dan menuturkan kronologis atau sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.

Di tuturkan, sebagaimana di ketahui bahwa penjajahan Jepang semakin leluasa memperluas wilayah kekuasaannya dalam Perang Asia Timur Raya. Ekspansi Jepang yang didasari semangat Hakko Ichiu dengan cepat merambah Asia Tenggara dan masuk ke Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1942, Ter Porteen (Panglima Tentara Hindia Belanda) harus menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Jepang di Kalijati. Maka, mulailah periode pendudukan Jepang di Indonesia.
Kehidupan rakyat pada masa pendudukan Jepang sungguh sangat menyedihkan. Lahan-lahan pertanian dieksploitasi sehingga menimbulkan krisis bahan pangan, krisis ekonomi, sumber daya alam, dan tingginya angka kematian. Hal itu diperparah dengan pengerahan tenaga kerja rakyat dalam bentuk kinrohoshi atau kerja bakti dan romusha atau kerja paksa. Pengerahan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Jepang akan pembuatan kubu-kubu pertahanan, lapangan terbang, gudang bawah tanah, jalan raya, dan jembatan. Proyek itu tidak hanya berada di Indonesia tetapi juga Birma, Muangthai, Vietnam, dan Malaysia. Dampaknya adalah ribuan orang terbunuh sementara para gadis dijadikan jughun ianfu atau wanita penghibur. Kita tidak  bisa membayangkan bagaimana kondisi rakyat Indonesia pada waktu itu. Begitu pula dengan di Lombok terutama di gumi paer Sesait.
                  Amaq Bardi
Menurut cerita Amaq Bardi yang di benarkan oleh Papuk Antek dan Papuk Jamiah, kronologis terjadinya peristiwa berdarah bagek kembar yang menewaskan Tani Guchi seorang komandan tentara Jepang yang pada saat itu bertugas di wilayah gumi paer Sesait-Kayangan. Suatu ketika Tani Guci sebagaimana biasanya selalu turun ke lapangan mengawasi para petani tanaman kapas di wilayah Santong Korang, Bagek Kembar hingga di lendang galuh montong cempogok Lokok Rangan. Dalam menjalankan tugasnya ini, oleh Tuan Tani Guchi dan pasukannya selalu bertindak kasar dan main hakim sendiri. Tidak perduli orang itu sakit atau alasan lainnya. Yang penting yang ada di pikirannya semua rakyat harus keluar untuk bekerja menuntaskan pekerjaannya saat itu. Sehingga ada dua orang pejuang Sesait yang di bunuhnya karena tidak keluar menanam kapas dikarenakan mereka sakit.

Amaq Akon, salah seorang korban yang di bunuh oleh Tuan Tani Guchi di kediamannya di Sesait (sekitar 50 meter sebelah timur Kampu) bersimbah darah segar dari sekujur tubuhnya. Terbunuhnya Amaq Akon ini dikarenakan tidak ikut pergi menanam kapas yang ditanam diwilayah Santong Korang sampai Bagek Kembar. Namun ketidak ikutan Amaq Akon itu, bukan tanpa alasan yang jelas. Ia saat itu dalam keadaan sakit. Sehingga Amaq Akon pada hari itu tidak keluar bekerja. Sebelumnya memang Amaq Akon telah permakluman kepada teman-teman seperjuangannya bahwa pada hari itu, ia tidak bisa ikut bekerja menanam kapas sebagaimana yang dilakukannya setiap hari, dikarenakan Amaq Akon sedang sakit perut sehingga dia  tidur di rumah kumuh sederhana miliknya sebelah timur Kampu Sesait yang berjarak kurang lebih 50 m itu.
                                                                                                  
Rupanya Tuan Tani Guchi tidak memperdulikannya. Lalu Tuan Tani Guchi  mencari Amaq Akon langsung ke rumahnya dan membunuhnya. Melihat kejadian sadis yang di lakukan oleh penjajah Jepang terhadap rakyat Sesait waktu itu, maka lima dari Sembilan belas pahlawan Sesait menjadi murka. Mereka tampil membela pahlawan Sesait yang telah di bunuh oleh Tuan Tani Guchi tersebut. Saking marahnya melihat kejadian sadis tersebut, maka kelima pahlawan Sesait (Amaq Rera,Amaq Rumpat, Amaq Baris,Amaq Ideh dan Amaq Benjang ) kala itu, murka dan ikut pula membunuh pasukan pengawalnya. Setelah berhasil membunuh beberapa pasukan Jepang itu, mereka berencana untuk membunuh komandannya Tuan Tani Guchi.
             Papuk Jamiah

Di ceritakan, setelah Guci selesai menyiksa dan membunuh Amaq Akon, di lihatnya masyarakat banyak yang berdatangan sambil membunyikan Beduk di Masjid Kuno Sesait, Guci pun pergi. Kemudian Mangku Gumi mengambil inisiatip mengumpulkan tokoh-tokoh bertempat di Kampu  untuk bermusyawarah menyusun  rencana membunuh Guci.  Setelah sepakat, dibawah pimpinan Mangku Gumi Lengguk sendiri dan putranya Rumpat, mereka mengatur siasat untuk bisa melumpuhkan Tuan Tani Guchi komandan Jepang yang sombong dan selalu bertindak anarkis tersebut.
Dalam strategi perang itu, mereka membagi menjadi dua jalur pengejaran yaitu jalur barat di pimpin Mangku Gumi Lengguk, mulai dari Sesait terus ke utara melalui sejongga, mengambil arah memutar untuk mendahului Guci yang akan pulang ke Pos penjagaannya di Amor-amor, dimana Tuan Tani Guchi ini ketika akan pulang melalui jalan Mpak Mayong. Sedangkan jalur timur di pimpin oleh Rumpat putra Mangku Gumi sendiri, dari Sesait terus ke utara menyusuri Tukak Bendu, Santong Korang, Bagek Kembar hingga Empak Mayong.

 Mangku Gumi beserta Pejuang lainnya dapat mendahului Guci  di  selatan  Mpak Mayong (sekarang Dusun Bagek Kembar), Lokaq Ebeh langsung menghunus pedangnya dan mengarahkan ke tubuh Guci, namun Guci sempat berkelit, sehingga pedang lokaq Ebeh kala itu terpental hingga nyaris mengenai leher kuda yang di tunggangi oleh Guci. Berselang beberapa detik setelah itu, secara bersamaan dari arah selatan dari atas kudanya Rumpat menghujamkan tombaknya tepat kedada Guci. Guci pun terpental jatuh dari atas kudanya sambil bersimbah darah. Guci berusaha untuk bangun, namun malang bagi Guci secara serentak pejuang Sesait dibawah pimpinan Mangku Gumi Lengguk dan Rumpat secara bersamaan  menghujamkan senjata pedang dan tombak serta keris yang mereka bawa secara bertubi-tubi  ke tubuh Guci, hingga tubuh Guci tidak bisa di kenali.

Menurut  keterangan saksi sejarah yang masih hidup seperti Amaq Bardi (Bat Pawang), Amaq Jamiah (Tukak Bendu) dan Papuk Antek (Lendang Lego) menceritakan, setelah terbunuhnya Guci tersebut lalu mayatnya di mutilasi menjadi tiga bagian lalu di kubur terpisah di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Hal itu di maksudkan  untuk menghilangkan jejak. Sementara Kuda tunggangan Tuan Tani Guci saat itu lari terus ke selatan hingga ke Lokok Bakak. Kemudian bagaimana cerita selanjutnya tentang Kuda tunggangan Tuan Tani Guci yang mereka bantai itu, rata-rata saksi sejarah yang masih hidup tersebut mengaku tidak mengetahuinya. Mereka hanya mendengar kabar bahwa kuda tunggangan Tuan Tani Guci lari ke selatan hingga ke Lokok Bakak, tanpa berusaha mengejarnya. Karena pada saat itu, yang ada dalam pikiran mereka adalah kebanggaan karena telah berhasil membunuh Tuan Tani Guci. Sehingga kuda sebagai tunggangan Tuan Tani Guci mereka anggap tidak terlalu penting untuk di kejar.

Peristiwa terbunuhnya Tuan Tani Guci itu terjadi tanggal, 02 Juni 1945 di Bagek Kembar, yang sekarang masuk dalam wilayah Dusun Bagek Kembar Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara Barat. Untuk mengenang para pejuang atau pahlawan Sesait yang berhasil membunuh Komandan tentara Jepang waktu itu, maka peristiwa tersebut hingga kini terkenal dengan nama Peristiwa Berdarah Bagek Kembar.

E.      MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN MASA PENDUDUKAN JEPANG

 Berita tentang terbunuhnya Komandan Kompi Nippon Jepang  bernama “Tani Guchi” di Bagek Kembar oleh pejuang Sesait pada tanggal 02 juni 1945, sampailah ketelinga tentara jepang yang ada di Mataram, sehingga Jepang mengirim satu kompi pasukan untuk menyerang Sesait. Upaya damaipun sudah berkali-kali dilakukan melalu meja perundingan, namun upaya itu pun kandas tidak menemukan titik temu. Selain itu, persenjataan yang dimiliki rakyat Sesait  kala itu tidak sebanding dengan persenjataan yang dimiliki Pasukan Jepang.
Menurut saksi sejarah  Amaq Antek (80) yang ketika itu bertugas sebagai sinendan Pasukan Jepang yang sekarang di sebut Hansip (Linmas) menuturkan, ketika Pasukan Jepang datang ke Sesait untuk mencari Lokak Ebeh dan lainnya yang di duga sebagai pembunuh Komandan Kompi Nippon Jepang Tuan Tani Guchi di Bagek Kembar pada tanggal 02 Juni 1945 itu, mereka bertindak beringas.
             Papuk Antek
Mereka menodongkan senjata ke arah anak-anak yang tidak berdosa, sambil mengancam untuk di bunuh, jika tidak mau buka mulut menginformasikan keberadaan Pejuang Sesait Lokaq Ebeh dan kawan - kawan yang tidak mau menyerahkan diri.

Selanjutnya Amaq Antek menceritakan, para pejuang Sesait yang selama itu teguh pada pendirian bahwa mereka anti pada penjajah, dengan berjiwa kesatria dan penuh pertimbangan, lalu mereka keluar dari persembunyian dan menyerahkan diri, ketimbang Anak-anak yang tidak berdosa menjadi korban keganasan Pasukan Jepang. 

Pada awalnya, hanya ada empat orang  yang menyerahkan diri. Mereka adalah  1.Ebeh (Mangku Gumi yang ke 20 dalam hirarki Sesait), 2.Rumpat (Putra Mangku Gumi Ebeh), 3.Surawang  ( Penghulu Mesjid Kuno Sesait pada waktu itu, sekaligus misan dari Mangku Gumi sendiri),  4.Baris (Putra Surawang). Namun  karena ada antek-antek  Jepang (orang Pribumi sendiri) yang memberitaukan tentang nama-nama siapa saja yang ikut terlibat membunuh Tuan Tani Guci kepada  Pasukan  jepang.  Akhirnya pasukan Jepang menangkap 30 orang pejuang Sesait dan di bawa ke Mataram. Diantara 30 orang yang di tangkap tersebut, menurut tutur Amaq Antek, yang di ketahui namanya ada 22 orang, yaitu 1 Ebeh,   (Mangku Gumi ) 2. Surawang, 3. Aik, 4. Arip, 5.Baris, 6. Kecu, 7. Benjang, 8. Cangkir, 9. Pina, 10. Aliap, 11. Bikik, 12. Ideh, 13. Rumpat, 14. Sebab, 15. Rera, 16. Gantut, 17. Niar, 18. Sedin, 19.Sahadin, 20.Rarun, 21.Rasidah, 22.Tahim.

Sebelum mereka di bawa,  Para Pejuang Sesait mengucapkan ikrar di hadapan rakyat Sesait dan di saksikan oleh Pasukan Jepang. Mereka berikrar  dengan bahasa Sesait (Lalongku  Jalan Perang, Ulekku Jalan Perang ). Ikrar  mereka ini menunjukkan bahwa, betapa perjuangan mereka dalam mengusir Penjajah tidak bisa di patahkan, meskipun jasad mereka terkubur, namun semangat kepahlawanan mereka selalu tertanam pada  diri setiap anak cucu keturunannya dan seluruh lapisan masyarakat Sesait.

Setelah tiba di markas Jepang di Mataram, para Pejuang Sesait itu, kemudian di mintai keterangan satu persatu. Jika ada yang terbukti membunuh Komandan Daenipon Jepang Tani Guci di wilayah utara (Dayan Gunung) itu, mereka akan di hokum dan di penjarakan. Dan jika tidak terbukti, mereka akan di bebaskan dan di pulangkan.

Dari hasil penyidikan, diantara 22 orang pejuang sesait yang ditawan itu, hanya Sembilan belas  orang yang terbukti terlibat membunuh dan yang lainnya di pulangkan. Seluruh tawanan yang terbukti tersebut, lalu di jebloskan ke penjara. Berapa lama mereka berada dalam penjara, itu tidak di ketahui dan bahkan ada yang meninggal dunia.
Ada empat orang yang di ketahui makamnya, mereka adalah 1.Ebeh  2.Surawang, 3.Akon. dan 4. Rera. Mereka meninggal di Penjara, mereka di makamkan di Pekuburan Umum Karang Medain Mataram, dan  yang lainnya  tidak di ketahui  nasib dan keberadaannya, hingga menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tahun 1945.

Setelah pengeboman Hirosima dan Naga Saki, Jepang menarik mundur Pasukannya dan khabar  mengenai  Pejuang Sesait  yang masih tersisa dalam penjara saat itu, tidak di ketahui rimbanya hingga saat ini. Mungkinkah mereka (keturunannya) akan kembali ke tanah kelahirannya di Sesait pada saat terjadinya perang kembali, sebagaimana ikrar yang telah mereka ucapkan sebelum mereka di tangkap dan di penjarakan? Semua itu, kembali kepada diri kita masing-masing untuk memaknainya.

Itulah wujud perlawanan Pejuang Sesait dalam mengusir Penjajah, mempertahankan kemerdekaan, walau hanya dengan senjata apa adanya. Ini membuktikan  bahwa  rakyat Sesait  di masa lalu tidak mau di jajah dalam bentuk apapun, terbukti dengan terbunuhnya Tani Guci selaku Komandan Daenipon Jepang  wilayah utara (Dayan Gunung) saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa  perlawanan rakyat Sesait dalam mengusir Penjajah dari bumi pertiwi ini patut di Perhitungkan dalam deretan sejarah pahlawan kemerdekaan Indonesia.

F.     MUHALIP, SOSOK ULAMA YANG MENGASINGKAN DIRI
Di ceritakan bahwa ketika berkuasanya kerajaan Majapahit sampai menguasai seluruh Nusantara lewat sumpah serapah dari patihnya  Gajah Mada, maka pengaruhnya sampai juga ke Lombok termasuk di gumi paer Sesait, yang kala itu penduduknya menganut agama Islam yang ta’at beribadah. Sehingga, ketika pengaruh Hindu ini masuk ke daerah ini, maka dari kalangan santri yang ta’at beribadah ini, meninggalkan daerah kelahirannya untuk mengasingkan diri dari pengaruh Hindu ke salah satu kawasan Gawah Alas Bana sebelah utara lereng Gunung Rinjani  yang belum pernah terjamah tangan manusia.
Di Gawah Alas Bana (diyakini menjadi sebuah kampung Pansor yang sekarang) inilah Santri yang bernama Muhalip bersama keluarganya tinggal dan menetap hingga akhir hayatnya.
                      Makam Muhalip alias Dulinep
Siapakah Muhalip atau yang lebih di kenal dengan sebutan Papuk Dulinep ini? Berikut penulis menuturkannya kembali bersama Amaq Tiasih penunggu atau juru kunci makamnya yang ada di Pansor Lauk Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU. Muhalip lahir di Ampenan tahun 1692.
Beliau adalah putra dari seorang Kepala Kampung di Ampenan.Tidak tahan dengan kekejaman Kerajaan Karang Asem Bali yang menguasai dan menyerang Lombok pada tahun 1691-1894 M, maka keluarga Muhalip mengasingkan diri ke hutan Alas Bana utara lereng Gunung Rinjani di Dayan Gunung tepatnya disekitar kampung Pansor yang sekarang.
Menurut H.Zkan yang memugar makam Muhalip (Papuk Dulinep) mengatakan, TGH.Mustafa Kamal Sidik dari Sesela, pada tahun 1992 pernah datang ke Pansor dimana Muhalip (Papuk Dulinep) tinggal. Berdasarkan pengakuan Muhalip (Papuk Dulinep), katanya, ketika pada saat kerajaan Hindu Karang Asem menyerang Lombok melalui Ampenan pada tahun 1691 M, dirinya mengaku sudah usia remaja. Secara kebetulan orang tuanya kala itu menjabat sebagai Kepala Kampung di Ampenan.
Di Ampenan, umat Islam terdesak oleh Kerajaan Hindu Karang Asem Bali. Muhalip (Papuk Dulinep) yang tidk tahan dengan kekejaman ini, lalu menyingkir bersama keluarganya ke Lombok Utara dan menetap di hutan Dayan Gunung sekitar Pansor yang sekarang hingga wafatnya hari Jum’at tanggal 11 Mei 1995 M.
Dalam menjalani kehidupan bersama keluarganya di gawah alas bana ini, Muhalip (Papuk Dulinep)  terus menjalankan  kewajibannya untuk ta’at kepada Allah Swt, hingga akhir hayatnya.
Makamnya sudah di pugar beberapa waktu lalu oleh H.Zkan dari Ampenan. Kemungkinan H.Zkan ini merupakan ketrurunan dari Muhalip (Papuk Dulinep) yang berasal dari Ampenan.
Dalam menjalankan rutinitas kehidupannya sehari-hari, Muhalip (Papuk Dulinep) hidup sederhana bersama keluarganya. Muhalip (Papuk Dulinep) memiliki tiga orang putri dari dua orang isteri. Namun yang satu orang meninggal ketika masih kecil dan dimakamkan jauh dari wilayah Pansor di pemakamam umum, yang satunya lagi meninggal sudah usia dewasa dan di makamkan dekat pusara Muhalip (Papuk Dulinep) serta yang satunya hingga kini masih hidup.
Masyarakat setempat tidak mengetahui keberadaan Muhalip/Papuk Dulinep atau yang di kenal dengan sebutan  Syech Maulana Ali Akbar Rijalallah ini hingga wafatnya. Baru mereka mengetahui ketika makamnya mau di pugar oleh H.Zkan dari Ampenan tahun 2000 silam. Setelah itu barulah masyarakat sekitar bahkan seantero dayan gunung mengetahuinya bahwa beliau adalah sosok seorang ulama yang asingkan diri dan dedikasikan hidup sederhana jauh dari pengaruh hindu hingga akhir hayatnya. Menurut A.Tiasih juru kunci makam tersebut mengatakan, dengan telah di pugarnya makam ulama Muhalip atau Papuk Dulinep atau Syech Maulana Ali Akbar Rijalallah ini, maka banyak pula masyarakat dari berbagai wilayah pulau Lombok ini yang datang berziarah.
Wasiat-wasiat alm Muhalip (Papuk Dulinep) yang di tulis di pusaranya diantaranya;
1).”Kita hidup diantara yang hidup, karena hidup itu satu. Hidup ini tidak laki-laki, tidak perempuan,tidak tua, tidak muda, tidak besar, pun tidak kecil. Hidup tetap hidup, tetapi wadahnya yang berbeda-beda, wadahnya yang laki dan perempuan, yang tua dan yang muda, yang kecil dan yang besar, apa saja yang hidup adalah bersaudara.”
2).Bila mau berumur panjang, jangan terlalu banyak kemauan (tentang urusan duniawi), makanlah yang sederhana, perbanyaklah sayur-sayuran dan jangan mau tahu urusan orang, lebih-lebih yang ada kaitannya dengan diri kita.
G.      TRADISI ”TAIQ LAUQ” DI KALANGAN MASYARAKAT ADAT WET SESAIT KUNO
Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur, yang menjadi landasan kehidupan bagi masyarakat. Adat ditetapkan secara bersama sejak zaman dahulu hingga sekarang sebagai sarana menjamin keharmonisan antara sesama manusia dengan alam sekitar dan manusia dengan sang penciptanya.
Menurut Pembekel Adat Sesait Masidep, mengatakan adat sering dipertentangkan dengan agama oleh banyak kalangan, terutama dimasa transisi dari istilah ”gama telu”(gama waktu telu) menjadi ”gama lima” (agama Islam). Justeru agama mengakui keberadaan adat sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan beragama.
Dikatakan Masidep, umumnya dalam masyarakat Suku Sasak khususnya komunitas adat wet Sesait, dikenal istilah ”Adat Luwir Gama”, bahwa adat bersendikan agama. ”Hukum adat sangat perlu ditumbuhkan sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama, ”jelasnya.
Dengan istilah ”agama diadatkan” dan bukan ”adat diagamakan” artinya, lanjut Masidep, yang juga tokoh adat berpengaruh ini berpendapat bahwa, perintah-perintah agama harus diadatkan atau dibudayakan dan diamalkan  dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat adat wet Sesait sangat menjunjung tinggi keluhuran adat luwir gama dengan senantiasa melaksanakan tradisi upacara keagamaan versi adat Sesait, seperti upacara agama bulan Mi’raj, upacara syukuran bulan lebaran, upacara ruwah tanaman, upacara kelahiran,upacara kematian, upacara ngurisan,upacara sunatan, perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw secara adat dan lain-lain.
Pada zaman dahulu secara turun-temurun sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer Sesait, upacara-upacara adat tradisi lokal yang sering di lakukan masyarakat adat wet Sesait seperti upacara Mempayone Gunung Kenawan, mempayone Lande dan mempayone Gunung Gedeng (taek lauq). Tetapi sejalan dengan datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam di gumi paer adat wet Sesait, segala bentuk ritual adat yang bertentangan dengan ajaran Islam di hentikan atau di larang.
Maka sejak tahun 1968 segala bentuk ritual tersebut di larang untuk dilakukan.Kecuali ritual adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam tetap dilakukan, bahkan hingga kini ritual tersebut masih dilestarikan, seperti ziarah ke makam penyebar agama Islam di Sesait yang di kenal dengan sebutan ’Kubur Beleq’ (Kanjeng Pangeran Sangupati), ziarah ke makam Sesait di Bayan (Datu Bayan) dan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw yang dilaksanakan secara adat di Sesait.
Upacara adat Taeq Lauq (upacara pemujaan) yang pernah dilaksanakan oleh masyarakat adat Sesait Lama ke Gunung Gedeng (Gunung Khayangan) yang letaknya sekitar 2 km kearah barat dari Kantor Desa Kayangan sekarang, sebelum tahun 1966 kebawah itu para pemujanya masih memeluk Islam Wettu Telu.
Gunung Khayangan, dulunya ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan sekali dalam setahun dengan membawa sesajian dan membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional berupa gong dua yang jumlahnya tidak kurang dari 10 s/d 15 grup kesenian.
Acara pemujaan yang di kenal dengan upacara Taeq Lauq ke Gunung Khayangan tersebut adalah untuk mempayone petilasan Panji Mas Kolo yang ada di puncaknya. Acara pemujaannya pun dilaksanakan mulai sore hari sekitar pukul 15,00 hingga pukul 05,00 pagi keesokan harinya.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk sekedar mengulas kilas balik dari prosesi adat ”Taek Lauq” yang pernah dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait Lama sebelum datangnya pergerakan penyempurnaan ajaran Islam ke gumi paer Sesait tahun 1966 silam.
Menurut Inaq Ijin (76) salah seorang tokoh keturunan Mangku Gedeng yang kini tinggal di Lokok Tujan Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU menuturkan kepada penulis tentang rangkaian prosesi ritual upacara adat ”Taek Lauq” hingga akhir pelaksanaannya.
Di tuturkannya, ritual adat taek lauq yang secara turun-temurun dilakukan purusanya dari sejak zaman ireng (zaman kegelapan) adalah salah satu sarana untuk memohon kepada yang kuasa atas penomena alam, seperti musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga hal ini sangat merugikan bagi  masyarakat yang pada saat itu membutuhkan air hujan untuk segala kebutuhan hidup. Karena satu-satunya yang diharapkan pada saat itu adalah hanya air hujan.Belum ada air irigasi seperti yang ada sekarang ini.
Maka untuk mengatasi hal tersebut, lanjut Inak Ijin, sebagai yang bertanggung jawab untuk semua itu adalah Mangku Gedeng. Melihat kejadian ini, lalu Mangku Gedeng (Papuk Nanom,Papuk Jumedah,Puk Narek) tidak tinggal diam, bagaimana mengatasi permasalahan yang di hadapi masyarakatnya kala itu.
Untuk mengatasi hal tersebut, selaku Mangku Gedeng pada masa di jabat oleh Papuk Nanom (abad 18 M), Papuk Jumedah (abad 19 M), Papuk Narek (abad 20) dan Puk Surya (abad 21), pertama yang dilakukannya adalah mengadakan rapat (sangkep) dengan ”Tau Lokaq Empat (Mangkubumi, Pemusungan, Jintaka dan Penghulu) ” bagaimana langkah-langkah mengatasi yang sedang menimpa masyarakat gumi paer Sesait Kuno kala itu. Oleh Tau Lokaq Empat bersama Mangku Gedeng sepakat untuk menggelar upacara  adat ”Taeq Lauq” ke Montong Gedeng (gunung Khayangan yang sekarang), dimana di Montong Gedeng ini terdapat petilasan seorang tokoh spiritual bernama Panji Mas Kolo yang mengaku saudara kandung dari Datu Bayan.
Diceritakan Inaq Ijin, setelah sepakat untuk menggelar upacara adat Taeq Lauq tersebut dan ketika sudah tiba waktunya, maka  pelaksanaannya pun segera di gelar selama 3 hari 2 malam, yaitu setiap tanggal 12,13 dan 14 Syawal tiap tahun. Namun sebelum pelaksanaan itu di gelar, Mangku Gedeng di bantu oleh para pelingsirnya melakukan berbagai persiapan, seperti melakukan bersih-bersih dilokasi sekitar petilasan Panji Mas Kolo yang dijadikan tempat ritual nantinya termasuk membuat berugak saka empat disekitar petilasan.
Adapun segala persiapan untuk perabotan kayu Salinguru, tales diambil dari pawang adat utara Sesait, termasuk atap berugak yang terbuat dari Santek dilapisi Ijuk (dibuat di Karang Lande Lokok Rangan yang sekarang). Itulah sebabnya pada zaman dahulu, juga pernah di adakan ritual ”Mempayone Lande”, tetapi sekarang sudah menjadi perkampungan Karang Lande Lokok Rangan.
Pada hari pertama ritual ”Taeq Lauq” yaitu pada tanggal 12 Syawal, gong dua di turunkan dari peraduannya (dari rumah adat Mangku Gedeng Papuk Jumedah).Setelah itu barulah masyarakat adat wet Sesait berdatangan untuk merembun ke rumah Mangku Gedeng yang dulu terletak di utara Mesjid Kuno Sesait. Sementara tari-tarian pun terus berlangsung tanpa henti mengiringi ritual merembun tersebut hingga malam hari.
Keesokan harinya yaitu tanggal 13 Syawal, Mangku Gedeng ”Tun Melauk” (turun ke Montong Gedeng duluan). Dalam perjalanan Mangku Gedeng ini pun tidak boleh ada orang yang mengetahui, termasuk tidak boleh berbicara, jika dia makan tidak boleh mengajak orang berbicara, tidak boleh bertemu dengan praja Taeq Lauq. Hal ini dimaksudkan agar segala bangsa hewan dan unggas tidak buas. ”Pokoknya tidak boleh ngomong kepada siapa saja alias diam seribu bahasa,”jelas Inak Ijin dengan mimik serius.
Kemudian pada hari ketiga yaitu puncaknya tanggal 14 syawal, masyarakat wet Sesait Kuno mulai berdatangan ke Sesait dengan membawa segala macam kelengkapan sajian makanan yang di kemas di atas dulang adat, termasuk gong gambelan (gong dua) dari segala penjuru pun di datangkan untuk mengiringi. Termasuk mempersiapkan para gadis untuk dirias sebagai Praja Taek Lauq. Masing-masing kampung kala itu pun mengeluarkan seorang gadis untuk dijadikan praja.Sehingga nyaris masyarakat dari berbagai kampung yang mengikuti pemujaan itu beradu dan berlomba saling memperebutkan praja dari kampung manakah yang paling cantik.Sambil melakukan tari-tarian bebas dan lepas.
Setelah semuanya telah siap, maka iring-iringan pun di gelar dengan posisi praja Taeq Lauq berada paling depan diapit dan di iringi para pelingsir adat, dibelakangnya diikuti oleh para pengiring pasukan tombak muda-mudi, lalu di belakangnya barisan pembawa dulang saji adat, baru kemudian di belakangnya lagi diiringi gong dua dan gong gambelan lainnya. Setelah itu baru diikuti oleh masyarakat umum.
Perjalanan ritual Taeq Lauq menuju Montong Gedeng  pun di lakukan pada sore hari sekitar pukul 15,00  waktu setempat dan menyusuri hutan belantara (pawang adat pedewak Sesait). Tiba di kaki Montong Gedeng sebelah selatan menjelang Maghrib.
Mangku Gedeng Inaq Ijin didepan Petilasan Panji Mas Kolo
Lalu di lanjutkan dengan ritual  penyembelihan kerbau berbulu putih yang belum dewasa. Penyembelihan ini pun dilakukan di kaki Montong Gedeng sebelah selatan. Ritual ini pun terus di iringi tari-tarian bebas dan lepas oleh penari-penari yang terpilih dan memang sudah disiapkan sebelumnya. Kemudian pada pukul 18,00-20,00 acara istirahat sambil mempersiapkan acara selanjutnya.
Ketika segala sesuatunya sudah siap,  sajiannya lalu di bawa naik ke atas dimana petilasan Panji Mas Kolo berada dengan di iringi gong dua. Sementara masyarakat pengiring termasuk praja Taeq Lauq dan gong gamelan lainnya tetap tinggal di bawah.Tari-tarian pun terus berlangsung hingga Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas.  Tari-tarian dengan di iringi gong dua ini bisa berlangsung hingga pajar menyingsing. Namun yang perlu di ingat pada ritual pemujaan yang melibatkan kaum hawa sebagai penari bebas itu pun tidak boleh bercampur dengan kaum laki-laki dalam melakukan tarian bebas itu. Karena Puncak acara dari pemujaan Taeq Lauq itu adalah tidak bercampurnya kaum laki-laki dan kaum wanita dalam melakukan tari-tarian bebas dan lepas. Hal itu, karena disamping mereka yang menari itu merasa mendapat penghargaan, juga merupakan pelepas lelah setelah setahun bekerja dan berkarya.
Setelah Mangku Gedeng selesai melaksanakan tugasnya di atas,  maka Mangku Gedeng pun turun diringi gong dua dan di sambut oleh Praja Taek Lauq, para pelingsir adat, gong gamelan lainnya serta masyarakat kebanyakan yang sejak sorenya menunggu.
Sambil bersorak sorai kegirangan yang tak terbendung dari masyarakat menyambut turunnya Mangku Gedeng yang telah selesai melaksanakan tugasnya.Tari-tarian pun terus di gelar hingga tiba waktunya untuk berangkat pulang kembali ke rumah sesuai dengan asal masing-masing, yang dari Sesait kembali ke Sesait, yang dari Luk kembali ke Luk, dari Kelongkong kembali ke Kelongkong, dari Rempek kembali ke Rempek dan lain sebagainya. Iring-iringan pulang pun berlangsung penuh kegirangan sambil terus menari.
Seluruh rombongan yang ikut ambil bagian dalam ritual Taek Lauq ini, ketika kembali  dan sebelum memasuki pintu gerbang masuk ke kampung Sesait, maka oleh Tau Lokak Empat, mereka di sembek terlebih dahulu baru boleh masuk di tanah Sesait. Hal ini dilakukan karena ritual yang dilakukan pada jaman itu, di anggap keluar dari aqidah ajaran Islam.
Setelah tahun 1966, kegiatan pemujaan ke Gunung Khayangan itu sudah tidak kelihatan lagi. Namun sisa-sisa keturunan Mangku Gedeng yang hingga kini masih hidup, tetap melakukannya walau hanya sebatas ruwah biasa.(#)
H.    KISAH CILINAYA, YANG MELEGENDA DI KALANGAN MASYARAKAT
Wilayah Kabupaten Lombok Utara yang lebih dikenal masyarakatnya dengan sebutan Dayan Gunung, ternyata memiliki banyak peninggalan sejarah masa lalu, baik berupa benda, tulisan,rekaman maupun yang berbentuk lisan.
Salah satu bukti peninggalan sejarah masa lampau yang masih terpelihara dengan baik hingga saat ini adalah makam Denda Cilinaya, yang terletak di Labuhan Carik Bayan. Denda Cilinaya di kisahkan mati terbunuh oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling.                                     
Keberadaan makam Denda Cilinaya ini di kalangan masyarakat Dayan Gunung dan bahkan mungkin masyarakat sasak pada umumnya sudah banyak yang mengetahuinya. Sedangkan makam Patih Jero Tuek yang merupakan pembunuh Denda Cilinaya, yang keberadaannya tidak jauh dari makam Cilinaya, mungkin tidak banyak orang yang mengetahui.
Untuk bisa sampai ke lokasi makam Cilinaya, para pengunjung dihadapkan pada medan yang cukup melelahkan. Pasalnya, jarak makam dari pusat pemerintahan Kecamatan Bayan sekitar 1 km, dari Labuhan Carik kearah timur sekitar 350 meter. Para pengunjung yang menggunakan alat transportasi baik roda empat maupun roda dua, cukup di parkir di Labuhan Carik. Setelah itu, para pengunjung harus jalan kaki melewati pematang sawah dan sebuah kali yang membatasi lokasi makam dengan Labuhan Carik.                  
Menurut Raden Singanem (47), Situs makam Denda Cilinaya ini, untuk pertama kalinya di pelihara oleh mendiang orang tuanya Mangku Raden Singagrib (alm) sejak tahun 1977 silam. Setelah orang tuanya mangkat tahun 1980, dari sejak itulah dirinya aktif sebagai Mangku makam Denda Cilinaya ini.
                            Makam Cilinaya
 Dikatakan Raden Singanem, dulu katanya, ketika dirinya masih kecil, lokasi makam ini masih gawah (hutan) yang di penuhi oleh tumbuhan ilalang. Waktu itu belum di ketahui bahwa di lokasi itu ada makam, seperti yang di kenal sekarang (Cilinaya).
Di lokasi itu ada makam Cilinaya, sekitar tahun 1977, berawal dari adanya warga Tanak Song Tanjung yang mendapatkan petunjuk dari paranormal dengan mendatangi lokasi itu untuk sebuah hajatan Ngurisan.
Dari paranormal yang mendapatkan wangsit dari pemilik makam inilah di ketahui bahwa di lokasi itu ada sebuah makam yang di kenal dengan  makam Denda Cilinaya. Dari paranormal ini pula di ketahui bahwa yang menjadi Mangku atau yang menjadi penanggung jawab sebagai pemelihara makam itu harus yang lebih tua dari keluarga Raden Singagrib. Paranormal yang sudah di rasuki roh penghuni makam itu pula yang memerintahkan agar mencari Raden Singagrib dan Raden Singanem sebagai yang bertanggungjawab memelihara makam itu. Maka di putuskanlah Raden Singagrib yang memelihara pertama makam itu, karena menurut Paranormal yang sedang disanding roh makam itu, dia lebih tua. Setelah beliau mangkat tahun 1980, praktis Raden Singanem yang meneruskannya hingga sekarang.
Bagaimana kisah terbunuhnya putri Denda Cilinaya oleh Patih Jero Tuek atas perintah Datu Keling dan bagaimana makamnya bisa berada di atas montong dekat Labuhan Carik Bayan, Mangku Raden Singanem, yang merupakan generasi kedua sekaligus juru kunci makam Denda Cilinaya, bersama wartawan media ini mengisahkannya dalam tulisan ini.
Konon, menurut Mangku Raden Singanem, pada jaman ireng di sekitar Bayan Beleq sekarang ini, terdapat dua buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Posisi persisnya, katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet timur Orong dan Kerajaan Keling berada di wet barat Orong.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.
Maka kedua bersaudara ini (Datu Daha dan Datu Keling) berencana akan melakukan tapa brata di sebuah bukit atau montong yang dipenuhi hutan belantara, memohon kepada yang kuasa agar keduanya diberikan putra sebagai calon penggantinya kelak ketika mereka sudah mangkat.
             Makam Cilinaya dilihat dari arah selatan
Pada waktu yang sudah di tentukan, maka berangkatlah Datu Daha Mas Mutering Sejagat dengan membawa perlengkapan secukupnya menuju ke sebuah tempat yang juga sudah di tentukan yaitu Montong Kayangan. Dalam waktu yang bersamaan, Datu Keling Mas Mutering Sejagat pun berangkat pula menuju ke tempat itu, untuk bersama-sama melakukan tapa brata. Dalam perjalanan menuju tempat tapa brata itu, Datu Daha dan Datu Keling bertemu di perempatan Geruk Gundem untuk selanjutnya bersama-sama menuju Montong Kayangan.
Setiba di tempat melakukan tapa brata, masing-masing menghaturkan sesuai dengan syarat dan niatnya untuk mendapatkan anak. Dimana Datu Daha dalam nazarnya berniat, jika sang penguasa jagat memberikan anak perempuan, maka kelak dirinya akan membayar kaul, dengan persyaratan membawa lekok buak,kerbau bertanduk emas, ber ekor sutera, mengkupak slaka (bertapak kaki slaka) dan mentete gangsa ( alat yang di gelar atau yang dibentangkan) sebagai pijakan waktu bayar nazar mulai dari Kerajaannya hingga ke lokasi Montong Kayangan. Begitu pula dengan Datu Keling, bernazar yang sama, dengan persyaratan yang sama, namun Datu Keling menginginkan anak yang laki.
Dalam tapa bratanya itu, diceritakan tidak di ketahui berapa lama berlangsung.Hanya konon ceritanya semua hajat dari kedua pembesar kerajaan itu dikabulkan. Ajaib memang, kedua permaisuri dari dua buah kerajaan yang ada di lereng Gunung Rinjani sebelah utara itu pun mengandung secara bersamaan. Sebagaimana adat kebiasaan di kalangan istana kerajaan terhadap yang mengandung, maka di adakan pula acara ritual selamatan tiga bulanan,tujuh bulanan dan upacara kelahiran.
Setelah tiba waktunya untuk melahirkan, maka kedua permaisuri, baik kerajaan Datu Daha maupun kerajaan Datu Keling pun melahirkan anak sesuai dengan keinginan Datu Daha yang menginginkan anak perempuan maupun Datu Keling yang menginginkan anak laki-laki.
Berselang satu tahun kemudian, tibalah saatnya untuk menunaikan nazar mereka masing-masing.Kedua Datu dari dua kerajaan besar yang melingkari Gunung Rinjani itu pun sepakat untuk membayar nazar (kaul) sesuai dengan apa yang pernah mereka janjikan. Di ceritakan bahwa yang bisa menunaikan nazarnya itu baru Datu Keling. Sementara Datu Daha akan menyusul kemudian.
Mangku Makam Cilinaya R.Singanem bersama penulis
Maka Datu Keling berangkatlah menuju Montong Kayangan dengan di iringi seluruh kaula balanya untuk menunaikan janjinya membayar nazar, dengan membawa persyaratan seperti yang pernah di terimanya melalui wangsit ketika melakukan tapa brata dulunya ditempat itu.
Suatu ketika Cilinaya sebagaimana kebiasaan anak kecil sebayanya setiap harinya selalu bermain di halaman istana kerajaan. Sedang asyiknya bermain, tiba-tiba menghilang begitu saja dari alam dunia.
Dengan menghilangnya Cilinaya ini, seluruh kalangan istana kerajaan Daha kala itu kaget. Maka Datu Daha mengerahkan seluruh kaula balanya untuk mencari putri semata wayangnya itu ke seluruh negeri. Namun upaya pencarian itu pun gagal, sang putri tidak ditemukan.Maka pencarian pun di hentikan.
Sementara itu di pinggir hutan belantara masih dalam wilayah Kerajaan Datu Daha, hiduplah sepasang suami isteri yang bernama Amak Lokaq dan Inaq Lokaq (Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol).Suatu hari Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol pergi ke kebun miliknya untuk mencari sayuran.Tiba-tiba keduanya mendengar ada suara tangisan anak kecil. Setelah diselidiki ternyata benar tangisan anak kecil.Lalu di bawa pulang ke pondoknya yang reot beratapkan ilalang dan berpagar bedek itu.
Setiba di rumah keduanya berunding, apa yang pantas untuk diberikan namanya.Sebab kalau di lihat dari wajahnya memang anak tadi berparas cantik. Dari sinilah timbul ide dari Amak Bangkol untuk memberikan nama Cilinaya (Cili=kecil, naya= bagus,elok). Itulah sebabnya nama Cilinaya terkenal hingga sekarang khususnya di kalangan masyarakat suku sasak Lombok.
Diceritakan, Denda Cilinaya pun hiduplah bersama Amak Bangkol dan Inaq Bangkol di gubuq terpencil di pinggir hutan kerajaan Daha hingga menginjak remaja.Dalam kesehariannya, dikisahkan bahwa Denda Cilinaya ini pekerjaannya adalah menyesek atau menenun. Sebagai seorang gadis belia pekerjaan menenun itu sangat di gemari olehnya.Sehingga tidak heran pekerjaan itu terus di tekuninya setiap hari. Itulah sebabnya pekerjaan menenun ini hingga sekarang para gadis atau kaum hawa di daerah Bayan Beleq masih dapat di lihat. Keberadaan Cilinaya di gubuq ini tidak ada yang tahu selain kedua orang tua angkatnya itu.
Raden Mas Panji putra Datu Keling saat itu juga baru menginjak remaja. Sebagai putra mahkota kerajaan, kegiatan sehari-harinya selain berlatih bela diri juga hobinya berburu. Suatu ketika, Raden Mas Panji berkeinginan pergi berburu ke hutan di pinggir kerajaan Daha.Keinginan itu kemudian disampaikan kepada ayahandanya (mamiknya) Datu Keling. Raja Keling pun mengijinkan putranya untuk pergi berburu rusa dihutan tutupan di pinggir daerah kekuasaan kerajaan Datu Daha.
Tiba waktu yang telah ditentukan, Raden Mas Panji  berangkatlah menuju hutan yang dimaksud untuk berburu rusa, dengan diiringi tiga orang pengasuhnya Raden Krude, Raden Kalang dan Raden Semar. Hutan tutupan yang di tuju Raden Mas Panji beserta tiga orang pengiringnya itu diperkirakan berada di sebelah timur Bayan Beleq sekarang.
Diceritakan, hutan tutupan yang di jadikan lokasi berburu Raden Mas Panji ini pada jaman itu banyak sekali di huni oleh binatang buruan seperti babi rusa,kijang, dan berbagai jenis burung. Sedang asyiknya berburu, tiba-tiba Raden Mas Panji merasa kehausan, kepingin minum.Maka di carilah mata air di sekitar hutan itu.Namun ketika sampai di dekat sebuah gubuq, Raden Mas Panji mendengar ada suara Jajak (alat tenun) sedang di mainkan. Lalu Raden Mas Panji berfikir kalau ada suara Jajak seperti itu, berarti ada orang penghuni gubuq itu. Dengan demikian berarti dapat minta air untuk sekedar melepas dahaga,pikirnya.Raden Mas Panji pun tanpa pikir panjang langsung menuju gubuq itu untuk minta air minum.Singkat cerita, Inaq Bangkollah yang memberikan air minum kepada Raden Mas Panji.Sementara Cilinaya sembunyi dalam rumah. Walau demikian, Cilinaya sempat juga dilihat oleh Raden Mas Panji.Seketika itu pula hati Raden Mas Panji tertutup untuk melanjutkan perburuannya. Akhirnya berburu pun gagal di lanjutkan.
            Makam Patih Jero Tuek,Yang membunuh Cilinaya
Dengan bersusah payah, ketiga pengiring itu mengajak Raden Mas Panji pulang kembali ke istana kerajaan.Namun Raden Mas Panji tidak menghiraukan ajakan ketiga pengiringnya itu.Akhirnya, Raden Mas Panji ditinggal.
Setiba di istana kerajaan, pengiring Raden Mas Panji itu melapor kepada Mamiknya Datu Keling. Mendengar laporan itu, maka Datu Keling murka. Keadaan inilah yang membuat Raden Mas Panji betah tinggal di gubuq itu selama 3 tahun. Hingga akhirnya Raden Mas Panji menikah dengan Denda Cilinaya dan di karuniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Megatsih.
Tiga tahun telah berlalu, kemurkaan Datu Keling belum sirna begitu saja atas kelakuan dan perbuatan putra satu-satunya sebagai harapan penggantinya kelak, rela tinggal di sebuah gubuq dipinggir hutan. Maka Datu Keling mengumpulkan para punggawa kerajaan untuk musyawarah. Dalam musyawarah tersebut, atas titah raja telah disepakati untuk menjemput Raden Mas Panji yang sudah lama tinggal di gubuq pinggir hutan kawasan kerajaan Daha.
            Rombongan para peziarah makam Cilinaya dari Sesait
Konon ceritanya seluruh punggawa dan   kaula bala kerajaan Keling di kerahkan untuk menjemput putra mahkota Raden Mas Panji, dibawah pimpinan kedua maha patih Jero Tuek dan Adipati (Mangkubumi dan Mangkunegaran).
Alasan Datu Keling menjemput anaknya ini adalah dikatakan dirinya kepingin makan hati menjangan. Agar putra satu-satunya inilah yang berburu untuknya.Padahal dalam hatinya sebenarnya ingin memisahkan Cilinaya dengan anaknya Raden Mas Panji. Karena menurutnya, tidak pantaslah seorang putra mahkota (Pangeran) kerajaan kawin dengan orang kebanyakan. Padahal seandainya Datu Keling mengetahuinya, sebenarnya Cilinaya itu adalah putri saudaranya Datu Daha yang dikabarkan sempat hilang 20 tahun silam.Tapi karena Datu Keling sama sekali tidak mengetahuinya, maka hal itulah yang dilakukannya.
Datu Keling salah kaprah, karena dianggapnya anaknya Raden Mas Panji kawin dengan anaknya Amaq Bangkol itu tidak sederajat. Itulah sebabnya di utus patih dalam (Mangkubumi-Jero Tuek) dan patih luar (Mangkunegaran-Adipati) untuk menjemput putranya Raden Mas Panji pulang, dengan alasan Mamiknya Datu Keling sakit keras dan ingin makan hati menjangan putih.
Maha Patih Jero Tuek dan Maha Patih Adipati pun berangkatlah menuju hutan dimana Raden Mas Panji tinggal bersama isterinya Cilinaya. Raden Mas Panji ketika mendengar kabar itu, lalu minta ijin pada isterinya untuk memenuhi keinginan dan permintaan ayahandanya Datu Keling.
Cilinaya pun mengijinkan suaminya berangkat berburu memenuhi pesan Datu Keling. Namun sebelum suaminya Raden Mas Panji berangkat, Cilinaya memberikan sebuah cincin sambil berpesan pada suaminya, apabila cincin ini gugur (hancur) dari jarinya, berarti dirinya sudah tidak ada di dunia ini.
Dikisahkan, usai memberikan cincin pada suaminya itu, maka Cilinaya dan suaminya Raden Mas Panji berpisahlah. Mas Panji bersama pengiringnya yang lain, selain Patih Jero Tuek dan Adipati, berangkatlah menuju hutan untuk berburu demi memenuhi permintaan ayahandanya Datu Keling yang kepingin makan hati menjangan putih.Sementara Jero Tuek dan Adipati tetap tinggal di gubuq tempat Cilinaya berada bersama keluarganya.
Kemudian setelah kira-kira jarak 1 km Raden Mas Panji pergi masuk hutan berburu, maka Patih Jero Tuek dan Patih Adipati menjalankan maksud sebenarnya mereka berada di tempat itu, yaitu ingin melenyapkan Cilinaya dari muka bumi. Namun sebelum niat kedua maha patih itu dilaksanakan, Cilinaya mengajak keduanya ke kebun miliknya di pinggir pantai bawah pohon ketapang, yang menurut Mangku Raden Singanem, lokasi yang dimaksud oleh Cilinaya ketika itu adalah pantai sekitar 200 meter kearah timur laut dari makam Cilinaya yang sekarang.”Di lokasi inilah Cilinaya dibunuh oleh patih Jero Tuek,”kata Raden Singanem.
 Sebelum dibunuh, Cilinaya berpesan kepada patih Jero Tuek, “Mun tetu aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi berbau, kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit taik sengeh,”(Kalau benar saya ini anak rakyat jelata, agar darah saya muncrat keluar menetes ke bumi berbau busuk dan kalau benar saya ini keturunan raja, agar darah saya keluar muncrat dari tubuh saya berbau harum).
Patih Jero Tuek pun usai Cilinaya menyampaikan pesannya itu melakukan tugasnya untuk melenyapkan keberadaan Cilinaya dari atas bumi. Patih Jero Tuek terkejut dan kaget, ternyata darah Cilinaya muncrat keatas bumi dibarengi dengan bau harum mewangi. Pikirnya ternyata ucapan Cilinaya itu benar bahwa dirinya adalah keturunan raja yang tidak lain adalah putri Datu Daha yang dikabarkan hilang 20 tahun silam.Penyesalan pun tiada guna nasi sudah menjadi bubur.
Setelah Cilinaya mangkat, kemudian anaknya Raden Megatsih yang kira-kira kala itu baru berumur 2 tahun, kemudian dilangkepkan diatas jasad ibunya untuk di susui. Amak Bangkol dan Inaq Bangkol yang membawa Raden Megatsih kala itu tidak kuasa melihat kenyataan di depan matanya.Lalu Raden Megatsih di bawa pulang kembali ke gubuqnya oleh Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol untuk dipelihara. Sementara jasad Cilinaya ketika itu masih terkapar di atas bumi.
Dengan bersusah payah Patih Jero Tuek dan Patih Adipati mempersiapkan tablak (peti) sebagai tempat menaruh jasad Cilinaya, termasuk tenandan (tali) dari perdu untuk mengikat tablak itu juga dipersiapkan.Setelah seluruh persiapan sudah lengkap dan jasad Cilinaya juga sudah ditempatkan dalam tablak, maka tablak yang berisi jasad Cilinaya itu di hanyutkan ke tengah lautan luas hingga tidak terlihat kearah mana tablak itu terbawa arus.
Sementara di tempat terbunuhnya Cilinaya, keadaan semakin mencekam. Tiba-tiba datanglah angin pusut disertai hujan lebat dan halilintar menyambar setiap benda yang dilaluinya.Patih Jero Tuek maupun Patih Adipati sempoyongan sambil jatuh bangun akibat terjangan bencana tersebut. Sehingga dengan peristiwa tersebut Patih Jero Tuek akhirnya mangkat dan jasadnya dimakamkan di Tete Bukal, sekitar 200 meter kearah selatan dari lokasi terbunuhnya Cilinaya. Makamnya hingga saat ini masih ada dan tetap terpelihara tidak jauh dari makam Cilinaya.
Patih Adipati kemudian kembali ke istana kerajaan Datu Keling untuk melaporkan bahwa tugasnya sudah dilaksanakan serta peristiwa dan kejadian yang menimpa Patih Jero Tuek.Usai melaporkan itu, tiba-tiba Patih Adipati pun juga mangkat seketika ditempat. Makam Patih Adipati ini pun hingga sekarang masih ada dan tetap terpelihara di utara Bayan Beleq (Tempos).
Konon ceritanya, setelah berselang 8 tahun kemudian, Datu Daha berniat mengadakan acara rekreasi ke pantai “segara meneng” dengan mengajak seluruh kaula balanya. Setelah tiba waktunya keluarga besar kerajaan itu pun berangkatlah menuju pantai. Dari kejauhan Datu Daha melihat sebatang pohon terapung diatas lautan.Disaat memperhatikan batang kayu itu, tiba-tiba Datu Daha melihat burung gagak hinggap di batang itu lalu terbang kembali. Datu Daha kala itu tidak memiliki firasat apa-apa terhadap keadaan yang dilihatnya.
Batang kayu itu pun semakin lama semakin mendekat, ternyata yang tadinya di kira batang kayu oleh Datu Daha, melainkan   sebuah peti yang isinya belum diketahui. Setelah agak dekat, kira-kira dalam air laut kala itu sepinggang orang dewasa, maka Raja Daha mengerahkan seluruh kaula balanya untuk mengangkat dan membuka peti  itu. Namun peti itu tidak bisa diangkat, apalagi membukanya. Maka Datu Daha sendirilah yang mengambil dan membukanya dengan disaksikan oleh seluruh kaula balanya serta para pembesar istana.
Betapa terkejutnya Datu Daha ketika membuka peti itu. Ternyata di dalam peti itu adalah terdapat putrinya sendiri Cilinaya sedang duduk. Kabar tentang ditemukannya putri Cilinaya masih hidup itu, cepat tersebar ke seantero negeri kerajaan Daha maupun kerajaan Keling.
 Kabar Cilinaya masih hidup ini pun sampailah ke telinga Raden Mas Panji suaminya.Maka Raden Mas Panji pun tanpa pikir panjang berangkatlah menuju istana kerajaan Daha untuk memastikan dengan membawa anak mereka Raden Megatsih. Pertemuan sepasang suami isteri dan anak ini pun berlangsung sangat memilukan. Karena mereka berpisah dulunya tidak dengan sewajarnya.
Atas pertemuan tersebut, maka kedua belah keluarga besar kerajaan mengadakan pesta syukuran selama 8 hari 8 malam.Datu Daha bersyukur karena bertemu lagi dengan putrinya Cilinaya beserta cucunya, sementara Datu Keling bersyukur karena putranya bisa kembali lagi ke istana. Kemudian kedua kerajaan, baik Kerajaan Daha maupun Kerajaan Keling dapat dipersatukan menjadi satu kerajaan yaitu Kerajaan Bayan. Karena adanya ikatan tali perkawinan antara Cilinaya putri Datu Daha dan Raden Mas Panji putra Datu Keling itulah, sehingga kerajaan Bayan itu berdiri.
I.        MITOS YANG MELINGKARI MASYARAKAT TERHADAP MAKAM CILINAYA
Setiap suku bangsa yang hidup dengan kebudayaannya masing-masing selalu memiliki mitos atau cerita rakyat yang berupa folklor ataupun babad dan dongeng suci mengenai penciptaan alam semesta, tokoh-tokoh yang dianggap suci, dan cerita-cerita rakyat yang dianngap memiliki nilai-nilai luhur dalam sebuah budaya dianut dan lakukan secara berkelangsungan dan turun temurun.
Cerita rakyat biasanya penuh dengan keajaiban-keajaiban atau nilai-nilai mistis yang tidak bisa dikaji dan bahkan sulit untuk dipercayai dengan nalar, namun demikian, para pendukung dari cerita rakyat ini selalu percaya dan menerimanya sebagai suatu hal yang bernilai luhur bahkan lebih dari itu, mereka senantiasa mengagung-agungkan cerita rakyat yang berkembang di daerah mereka masing-masing.
Di pulau Lombok sendiri terdapat banyak sekali cerita rakyat yang berkembang dan tetap hidup hingga sekarang. Diantara sekian banyak cerita rakyat yang berkembang di pulau Lombok, ada beberapa cerita rakyat yang sangat terkenal dan bahkan tersebar hingga ke luar pulau Lombok.
Cerita-cerita dimaksud adalah cerita rakyat Dewi Anjani, cerita rakyat Cupak Gurantang, cerita rakyat Denda Cilinaya, cerita rakyat Putri Nyale, cerita rakyat Doyan Neda, dan cerita rakyat Batara Guru.
Cerita rakyat yang telah disebut tadi, hampir tersebar di seluruh wilyah pulau Lombok dan dikenal oleh semua masyarakatnya, sebab cerita tersebut telah tersebar dari mulut ke mulut dan dari masa ke masa.
Pada bagian ini, penulis hanya membahas mengenai cerita rakyat Denda Cilinaya yang disebut juga dengan nama Bibi Cili. Cerita rakyat Denda Cilinaya ini tersebar hampir di seluruh penjuru pulau Lombok, dan setiap daerah mengklaim bahwa di daerah merekalah Denda Cilinaya tersebut hidup pada masa lampau.
          Makam Cilinaya dilihat dri arah selatan
Misalnya masyarakat Lombok Timur menganggap bahwa Denda Cilinaya adalah cerita rakyat yang asli dari Lombok Timur, demikian juga dengan masyarakat Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Utara. Namun selama ini belum ada bukti yang pasti sebagai bukti bahwa Denda Cilinaya atau Bibi Cili itu memang benar-benar hidup di Lombok Timur, Lombok Tengah, ataupun Lombok Barat pada masa lampau.
Berbeda dengan di Lombok Utara yang memiliki bukti autentik tentang keberadaan Denda Cilinaya pada masa lampau. Bukti keberadaan Denda Cilinaya di Lombok Utara adalah adanya makam Denda Cilinaya atau Bibi Cili di Desa Anyar Kecamatan Bayan yang tepatnya berada di Bangket Montong milik Raden Singanem yang sekaligus juru kunci dan mangku dari makam tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pantai Labuhan Carik. Makam Bibi Cili terletak sekitar 350 meter kearah timur dari tepi pantai Labuhan Carik, makam ini merupakan suatu bukti yang autentik mengenai keberadaan Denda Cilinaya pada masa silam.
Makam Bibi Cili berada di daerah persawahan masyarakat Desa Anyar, makam ini berada lebih tinggi dari pada daerah sekitarnya, oleh sebab itulah makam ini juga sering disebut dengan makam Montong yang berarti tinggi.
 Ketinggian tempat makam ini kurang lebih 40 meter dengan luas sekitar 6 x 4 meter dengan bentuk semakin ke atas semakin lancip, layaknya sebuah anak bukit.
Di sebelah barat makam terdapat sebatang pohon beringin tua yang usianya diperkirakan sekitar ratusan tahun, di sebelah timur makam terdapat pohon mengkasar yang usianya juga diperkirakan sudah mencapai ratusan tahun, di sebelah selatan makam terhampar sawah dan sekitar 50 meter kearah tenggara makam juga terdapat sebuah makam patih Jero Tuek yang membunuh Cilinaya dan di sebelah utaranya juga terdapat persawahan dan pantai.
      Mangku Montong Makam Dende Cilinaya,R.Singanem
Sekitar 50 meter ke arah selatan terdapat sumur yang disebut dengan nama Sumur Tada yang konom sumur tesebut adalah tempat Raden Mas Panji mengambil air minum saat berburu bersama maha patih yang mengawalnya dan dari sanalah Raden Mas Panji pertama kali melihat Denda Cilinaya.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Anyar Sukarsah, mengatakan bahwa: “…Pada zaman dahulu di gumi Bayan ini  pernah terjadi suatu pristiwa besar, yaitu dibunuhnya Denda Cilinaya oleh patih yang diutus oleh Datu Keling. Pembunuhan tersebut terjadi di sekitar Tanjung Poros Mua yang sekarang disebut dengan Tanjung Menangis, yang letaknya di sekitar pantai Labuhan Carik.
Pada masa itu bumi Bayan ini masih berupa hutan belantara, namun sebagai pengingat peristiwa itu di pinggir pantai masih terdapat Pohon Ketapang dan tidak jauh dari sana terdapat Memontong (dataran tinggi) yang di atasnya terdapat Makam Denda Cilinaya.
Pada bagian sebelah selatan terdapat Sumur Tada yang merupakan sumur tempat Raden Mas Panji mengambil air minum pada saat ia berburu bersama tiga orang patih yang mengawalnya, patih itu adalah Raden Gerude, Raden Tokok dan Raden Semar.
“Dari sumur itulah Raden Panji pertama kali melihat Denda Cilinaya, sehingga ia jatuh cinta dan akhirnya ia mumutuskan untuk tinggal di rumah pengasuh Denda Cilinaya,”cerita Sukarsah.
Berbicara mengenai cerita rakyat Denda Cilinaya atau yang disebut juga dengan Bibi Cili, maka kita harus membahas siapa sebenarnya Denda Cilinaya dan dari mana asal usul sehingga makamnya terdapat di Memontong.
Di daerah Bayan memang terdapat sebuah lontar yang menceritakan asal usul Denda Cilinaya, namun lontar tersebut hingga sekarang masih disimpan di Bencingah Agung Bayan Timur dan orang yang boleh membacanyapun memiliki keturunan tersendiri.
Keturunan yang boleh membuka dan membaca lontar tersebut adalah keturunan dari Pemangku Mandalika yaitu keturunan dari orang yang memelihara Makam Denda Cilinaya. Oleh karena itu penulis mencari keterangan dari Pemangku Mandalika terkait dengan asal muasal Denda Cilinaya dan makamnya.
Setelah mencari informasi dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat Anyar, maka penulis mendapatkan informasi bahwa yang mengetahui tentang asal muasal Makam Bibi Cili adalah keturunan dari Pemangku Mandalika atau disebut juga dengan Amaq Lokaq Mandalika.
Berikut ini penulis sajikan cerita Denda Cilinaya yang merupakan hasil wawancara dengan Amak Lokak Mandalika, yang juga juru kunci sekaligus Mangku Makam Denda Cilinaya (Raden Singanem), secara runtut sesuai dengan apa yang tertera di dalam Lontar Cilinaya.
Konon, menurut Mangku Raden Singanem, pada zaman dahulu sekitar Bayan Beleq sekarang ini, yaitu pada abad ke 8 M di bumi Bayan berkembang dua buah kerajaan besar yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Posisi persisnya, katanya, bahwa Kerajaan Daha berada di wet timur Orong dan Kerajaan Keling berada di wet barat Orong.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan.
Konon kedua orang raja ini sulit sekali memiliki keturunan, sehingga pada suatu hari mereka berdua berencana untuk pergi bertapa di Montong Kayangan, dengan tujuan keduanya ingin meminta atau bertafakur di sana supaya Sang Hiyang Tunggal memberi mereka berdua keturunan.
Keesokan harinya mereka berdua pergi bertapa, dalam pertapaannya Datu Keling memohon kepada Sanghiyang Tunggal supaya ia mendapatkan anak laki-laki, sedangkan Datu Daha memohon supaya ia mendapatkan seoramg anak perempuan.
Datu Keling berjanji jika kelak ia  mendapatkan anak laki-laki maka ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk membayar Kaul atau nazar berupa sirih pinang dan sesajen secukupnya. Pada kesempatan yang sama Datu Daha juga berjanji, kelak jika ia benar-bernar mendapatkan anak perempuan, maka ia akan kembali ke Montong Kayangan untuk membayar Kaul dengan membawa pinang sirih, sesajen selengkapnya, ia juga berjanji akan membawa seekor kerbau bertanduk emas, berkuku permata, berekor sutra, dan permadani.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dikisahkan istri Datu Daha dan Datu Keling pun hamil, kemudian mereka melahirkan. Istri Datu Keling melahirkan anak Laki-laki yang diberi nama Raden Mas Panji. Begitu juga dengan istri Datu Daha beberapa minggu kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Tidak diceritakan dalam lontar Cilinaya itu siapa nama anak dari Datu Daha yang baru lahir itu.
 Begitu anaknya lahir, Konon Datu Keling langsung pergi untuk membayar nazarnya ke Montong Kayangan dengan membawa apa yang diucapkan pada saat melakukan permohonan ketika melakukan tapa bratanya. Berbeda dengan Datu Daha, ia lupa akan apa yang pernah diucapkannya saat beliau bertapa untuk meminta anak perempuan itu. Diceritakan Datu Daha sangat bahagia dengan kehadiran putrinya, sehingga dengan kebahagiaan tersebut, beliau terlena dan lupa untuk membayar janjinya ke Montong Kayangan.
Dikisahkan pada saat putri Datu Daha berusia sekitar tiga tahun, anak tersebut hilang tanpa jejak, ia hilang saat bermain di halaman istana kerajaan. Konon anak perempuan tersebut dibawa oleh angin dan pada akhirnya putri tersebut terdampar di kebun milik Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol.
Tidak lama berselang semenjak putri tersebut terdampar, Inaq Bangkol yang sedang mencari pakis mendengar suara tangisan dari semak-semak belukar di kebunnya, mendengar suara bayi tersebut Inaq Bangkol terkejut, lalu mencari dari mana terdengarnya tangisan bayi tersebut, setelah beberapa lama mencari di semak-semak belukar yang dicurigainya, maka Inaq Bangkol pun menemukan seorang anak kecil mungil di tengah-tengah semak belukar yang tidak jauh dari sumurnya yang nantinya di sebut Sumur Tada itu.
Melihat anak mungil tersebut, Inaq Bangkol terkejut dan belum berani mengambilnya, maka Inaq Bangkol segera memanggil suaminya Amaq Bangkol. Setelah mereka berunding maka Inaq Bangkol langsung mengangkat dan menggendong anak tersebut, selanjutnya mereka bawa ke dalam rumah.
Sesampainya di rumah mereka (Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol) berunding untuk memberikan anak tersebut nama. Pada saat itu Amaq Bangkol langsung mengusulkan supaya anak itu diberi nama Cilinaya, di mana Cili berarti kecil mungil dan Naya berarti Cantik Jelita. Setelah itu maka anak tersebut dipanggil dengan nama Cilinaya, mereka mengasuh dan membesarkan anak tersebut dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya sebagai anak mereka sendiri. Hingga Denda Cilinaya berusia kurang lebih 25 tahun.
Sementara itu di kerajaan Keling, Raden Mas Panji (Putra Datu Keling) juga sudah dewasa, ia juga berumur 25 tahun sama dengan Denda Cilinaya. pada suatu hari Raden Mas Panji tiba-tiba berniat untuk pergi berburu ke Pawang Bening (hutan belantara). Lalu Raden Mas Panji meminta izin kepada ayahandanya (Datu Keling). Datu Keling memberi izin kepada putranya untuk pergi berburu dengan dikawal oleh tiga orang patih, yaitu Raden Gerude, Raden Tokok, dan Raden Semar.
Keesokan harinya mereka berempat berangkat dengan membawa bekal dan alat-alat untuk melakukan perburuan di hutan belantara. Dalam perjalannaya mencari hewan buruan mereka terus menyusuri hutan belantara. Semenatara haru sudah mau beranjak sore, mereka belum menemukan satupun hewan buruan, sedangkan persiapan air yang di bawa dari kerajaan sudah habis. Karena merasa haus maka Raden Mas Panji mengajak ketiga pengawalnya untuk mencari air minum sambil menusuri hutan belantara.
Dalam perjalanan mencari air minum mereka mendengar suara Jajak yaitu suara orang menenun. Mendengar suara tersebut mereka langsung mencari sumber suara, sebab mereka yakin di tempat itu pasti terdapat sumur untuk mengambil air minum.
Tidak lama berselang, mereka menemukan rumah Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol, sesampai di sana mereka disambut oleh Inaq Bangkol dan merekapun langsung menyatakan keinginan mereka untuk meminta air minum, setelah itu Inaq Bangkol memberikan Ceret (kendi) yang berisi air kepada Raden Mas Panji dan merekapun minum untuk melepas dahaga yang mereka rasakan sejak tadi siang.
Singkat cerita, mereka beristirahat dan berbincang-bincang dengan Ianq Bangkol dan Amaq Bangkol. Raden Mas Panji menanyakan tentang situasai dan kehidupan Inaq Bangkol dan suaminya. Saat berbincang-bincang itu, tidak sengaja Raden Mas Panji melihat Denda Cilinaya yang sedang menenun di dalam rumah, lalu dari sela-sela pagar yang bolong Raden Mas Panji terus saja mengawasi Denda Cilinaya. Karena penasaran ingin melihat Denda Cilinaya lebih jelas maka Raden Mas Panji terus saja duduk bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol.
Sementara itu, ketiga patih yang mengawalnya mengajak Raden Mas Panji untuk segera pulang ke isatana sebab hari sudah sore, beberapa kali mereka mengajak Raden Mas Panji untuk pulang, namun Raden Mas Panji tidak bergeming dari tempat duduknya. Akhirnya ke tiga orang patih itu memutuskan untuk pulang dan Raden Mas Panji memutuskan untuk tinggal bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol digubuk yang sederhana itu.
Sesampainya di istana, ketiga patih tersebut langsung melaporkan keberadaan Raden Mas Panji yang tidak mau diajak pulang dan memutuskan untuk tinggal bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol di gubuk yang sederhana di tengah hutan.
 Mendengar laporan tersebut Datu Keling sangat murka, sebab putra mahkotanya lebih memilih tinggal di rumah orang miskin karena jatuh cinta kepada anak dari orang kebanyakan tersebut. Ia merasa putranya tidak layak untuk tinggal dan menjalin cinta kasih bersama anak orang miskin seperti Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol sebagaimana yang diceritakan oleh ketiga patih tersebut.
Sementara itu Raden Mas Panji yang berada di gubuq Inaq Bangkol semakin terpikat dengan kecantikan Denda Cilinaya, akhirnya mereka menjalin cinta kasih. Setelah kurang lebih 6 tahun tinggal di sana, Raden Mas Panji memutuskan untuk menikah dengan Denda Cilinaya. dari hasil pernikahan tersebut mereka mendapatkan seorang putra yang sangat mungil, yang kelak dikenal dengan nama Raden Megatsih. Mereka hidup dengan bahagia meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana.
Ketika anak mereka bisa merangkak (kurang lebih 6 bulan), Datu Keling mendengar kabar bahwa putranya menikah dengan anak Amaq bangkol, mendengar kabar tersebut Datu Keling semakin murka sebab Raden Mas Panji sudah mau tujuh tahun tidak pernah pulang ke istana. Akhirnya Datu Keling mengutus dua orang maha patihnya Raden Adipati dan Raden Tokok, yang juga lebih dikenal dengan sebutan patih Jero Tuek, untuk mengajak Raden Mas Panji pulang dengan siasat bahwa Datu Keling sedang sakit keras, dan setelah itu mereka akan membunuh istri Raden Mas Panji.
Sesampainya di gubuq Inaq Bangkol, kedua maha patih tersebut menjelaskan tujuan kedatangan mereka kepada Raden Mas Panji bahwa mereka diutus oleh Datu Keling untuk menyampaikan kabar bahwa Datu Keling sedang dalam keadaan sakit keras dan Raden Mas Panji harus mencarikannya obat yaitu hati menjangan putih. Itulah siasat mereka supaya Raden Mas Panji mau meninggalkan istrinya.
Mendengar hal tersebut, Raden Mas Panji berunding dengan istrinya Denda Cilinaya. Raden Mas Panji menceritakan maksud kedatangan kedua patih itu kepada Denda Cilinaya, mendengar penjelasan itu Denda Cilinaya langsung memiliki pirasat tidak baik terhadap kedatangan kedua orang patih tersebut, namun ia tidak berani mengatakannya kepada suaminya.
Sebelum Raden Mas Panji berangkat untuk mencari hati menjangan putih, Denda Cilinaya meberinya sebuah cincin. Sewaktu memberikan cicin tersebut Denda Cilinaya berkata,
 “Kanda pakailah cincin ini, jika ditengah perjalanan mata cincin ini gugur maka itu pertanda bahwa aku telah tiada dan jika mata cincin ini tidak apa-apa maka itu berarti tidak terjadi apaun terhadap aku dan anak mu”.
Mendengar perkataan istrinya, Raden Mas Panji curiga, namun kedua patih itu terus mendesaknya untuk segera pergi mencarikan Datu Keling obat. Akhirnya Raden Mas Panji berangkat dengan membawa peralatan untuk berburu. Sedangkan kedua patih juga pergi dari rumah Ianq bangkol, namun mereka tidak langsung pulang ke istana, melainkan mereka bersembunyi, menunggu Raden Mas Panji pergi jauh kemudian melaksanakan tugas mereka untuk membunuh Denda Cilinaya.
Setelah kira-kira Raden Mas Panji berjalan sekitar 1 Km, kedua patih itu kembali ke rumah Inaq Bangkol untuk membunuh Denda Cilinaya. Sesampainya di sana, Adipati dan Tokok (Jero Tuek) menjelaskan maksud kedatangannya kepada Denda Cilinaya, bahwa ia akan membunuh Denda Cilinaya dan membumi hanguskan rumah Inaq Bangkol, sebab Denda Cilinaya yang merupakan anak hina, anak dari orang miskin telah lancang menikah dengan putra raja.
Mendengar penjelasan dari kedua patih tersebut, Denda Cilinaya yang pada saat itu sedang menggendong putranya berkata, “Kalau memang tujuan kalian akan membunuhku, maka aku tidak bisa berbuat apa-apa, silahkan kalian lakukan”.Denda Cilinaya berucap dengan logat dan bahasa Bayan yang pasih, “Mun tetu aku anak dedoro bebenes, agar darahku mencerit tun gon gumi berbau amis, kemudian mun tetu aku terijati anak raja, maka biar darahku mencerit taik sengeh,”(jika aku benar-benar anak orang miskin dan kebanyakan seperti yang kalian katakan, maka biarlah darahku akan tertumpah ke tanah dan berbau amis, sedangkan jika aku adalah keturunan dari seorang raja atau anak orang mulia maka darahku akan muncrat ke atas dan berbau harum”.
Setelah perkataan Denda Cilinaya terebut mereka dengarkan, mereka hanya tertawa terbahak-bahak dan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung menancapkan pedangnya di hulu hati Denda Cilinaya.
Konon darah Denda Cilinaya muncrat ke atas dan membasahi daun ketapang yang berada di pinggir pantai tempat dilakukannya pembunuhan tersebut, darahnya juga berbau harum. Setelah itu Denda Cilinaya jatuh terkapar di bawah pohon ketapang tepatnya di pinggir pantai Labuhan Carik, sekitar 200 meter kearah timur laut dari makamnya sekarang, sedangkan putranya masih memeluknya sambil menangis.
Tidak lama berselang angin badai pun datang menerjang kedua patih tersebut. Di ceritakan Patih Tokok (Jero Tuek) langsung mati terkapar tidak jauh dari mayat Denda Cilinya, dan makamnya hingga sekarang masih ada, tempatnya sekitar 50 meter kearah tenggara dari makam Cilinaya, sedangkan Adipati bisa pulang sampai istana dengan keadaan yang mengenaskan. Sesampai di istana Adipati melaporkan bahwa mereka telah berhasil membunuh Denda Cilinya, setelah laporannya selesai, maka Adipati itupun mati bersimbah darah di depan Datu Keling. Makamnya sekarang masih ada di Tempos Bayan Beleq.Melihat hal tersebut Datu Keling heran dan merasa takut.
Makam Patih Jero Tuek,Yang membunuh Cilinaya
Sementara itu, Raden Mas Panji yang sedang berjalan menyusuri hutan untuk mencari menjangan putih mendapatkan pirasat, cincin yang diberikan oleh istrinya Denda Cilinaya gugur. Melihat hal itu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia pun langsung pulang, sesampai di rumah ia melihat rumahnya sudah rata dengan tanah, ia langsung mencari istri dan anaknya dan akhirnya Raden Mas Panji menemukan istrinya sudah terkapar di Memontong tepatnya di bawah pohon ketapang, pada saat di temukan putranya sedang menyusu sambil mendekap tubuh ibunya yang sudah terkapar.
 Melihat hal itu, Raden Mas Panji sangat sedih, ia langsung mengambil putranya, lalu membuatkan istrinya peti mati. Setelah peti mati itu jadi maka mayat Denda Cilinaya dimasukkan dan kemudian diapungkan dan di hanyutkan di lautan, dimana peti itu diikatkan di pohon beringin yang ada di Memontong (tempat makam Cilinaya dikenal sekarang).
Diceritakan, tidak lama kemudian tali pengikat peti mati tersebut putus dan akhirnya peti mati itu terapung dan dibawa arus entah kemana. Pada saat itulah Raden Mas Panji memberi anaknya nama “Raden Megatsih” yang artinya terputusnya tali kasih.
Selanjutnya untuk mengenang istrinya, Raden Mas Panji membuatkan pertanda di Memontong, disana ia membuatkan istrinya makam yang hingga sekarang dikenal dengan sebutan makam Denda Cilinaya itu.
Dikisahkan, delapan tahun setelah kejadian itu Datu Daha mengajak kaula balanya berekreasi ke pantai Labuhan Carik, pada saat itu Raden Megatsih juga berusia delapan tahun. Sesampainya di pantai Datu Daha berjalan-jalan di pinggir laut sambilm melihat-lihat keadaan lautan. Pada saat itu Datu Daha melihat sebuah Tabla (peti mayat) terapung dari kejauhan dan terus menuju ke pinggir lautan. Setelah peti mayat berada sekitar beberapa meter dari pantai, Datu Daha langsung memerintahakan rakyatnya untuk mengangkat peti mati tersebut dan membawanya ke luar dari lautan. Namun tidak satupun dari mereka yang dapat mengeluarkan peti tersebut dari lautan, akhirnya Datu Daha sendirilah yang langsung mengambilnya dan barulah peti itu bisa dikeluarkan dari lautan.
Sesampainya di pantai, Datu Daha langsung membuka peti mayat dan betapa terkejutnya Datu Daha saat melihat isi dari peti mayat tersebut. Di dalam peti mayat itu Denda Cilinaya duduk tenang dalam keadaan yang masih cantik jelita. Setelah itu Denda Cilinaya mengaku bahwa dirinya adalah putri pertama dari Datu Daha, di sana Datu Daha sangat bersyukur sebab anaknya yang sudah hilang puluhan tahun lamanya sekarang telah ia temukan.
Sebagai ungkapan rasa syukurnya kehadirat Yang Maha Tunggal, maka Datu Daha pergi membayar nazarnya ke Montong Kayangan. Setelah itu Datu Daha melakukan selamatan selama delapan hari delapan malam yang disebut dengan Gawe Pelentungan.
Pada saat dilaksanakannya gawe Pelentungan tersebut, Datu Daha mementaskan berbagai kesenian pada setiap malamnya, seperti Gendang Beleq dan Perisean. Pada saat pementasan kesenian tersebut, Raden Megatsih selalu menonton, melihat Raden Megatsih yang selalu menonton tanpa dibarengi oleh kedua orang tuanya, maka Datu Daha curiga dan menyelidiki siapa sebenarnya bocah tersebut. Setelah itu beberapa orang punggawa kerajaan Daha diutus untuk mencari dan membawanya ke istana.
Akhirnya Raden Megatsih ditemukan di Memontong (dimakam ibundanya) dan kemudian ia di bawa ke istana Datu Daha, di sana Denda Cilinya langsung mengenali anaknya sebab di jari tangan Raden Megatsih terdapat cincin yang diberikan olehnya. Akhirnya Denda Cilinaya menyuruh punggawa kerajaan untuk menjemput Raden Mas Panji supaya mereka bersama-sama tinggal di istana Datu Daha. Akhir cerita Denda Cilinaya hidup bahagia bersama keluarganya di istana Kerajaan Daha.
Berdasarkan cerita lontar Cilinaya tersebut, maka dapat di ketahui bahwa nama asli dari Bibi Cili adalah Denda Cilinaya yang merupakan putri bungsu dari Datu Daha yang memimpin kerajaan Budha Daha pada sekitar abad ke-VIII Masehi.
Namun nama Bibi Cili juga tidak kalah tenarnya di kalangan masyarakat suku Sasak, tetapi jika  mendengar nama Bibi Cili maka yang dimaksud adalah Denda Cilinaya.
Mengenai asal usul nama Bibi Cili, memang tidak  terdapat lontar atau bukti-bukti yang menjelaskan mengapa Denda Cilinaya di sebut dengan panggilan Bibi Cili. Memang di dalam lontar Cilinaya disebutkan bahwa putri pertama Datu Daha bernama Denda Cilinaya, tidak disebutkan ada  nama Bibi Cili. Namun dalam kalangan masyarakat ramai nama Bibi Cili mungkin lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.
Menurut Raden Setia Wati, nama asli Bibi Cili adalah Denda Cilinaya, sebagaimana yang diceritakan di dalam Lontar Cilinaya.Di dalam lontar tersebut tidak terdapat atau tidak pernah disebutkan nama Bibi Cili, tetapi dalam kalangan masyarakat Anyar,Bayan dan sekitarnya, nama Bibi Cili lebih dikenal dari pada Denda Cilinaya.
“Namun dari cerita yang pernah kami dengar dari para leluhur kami, nama Bibi Cili merupakan suatu penghormatan bagi Denda Cilinaya. Konon keturunan Denda Cilinaya inilah yang berkembang menjadi masyarakat Bayan dan sekitarnya hingga sekarang. Oleh sebab itulah kami di Anyar ini lebih mengenal Denda Cilinaya dengan sebutan Bibi Cili, di mana Bibi berarti Ibu atau nenek moyang dan Cili berarti kecil, oleh karena itu sebenarnya nama Bibi Cili merupakan suatu penghargaan terhadap Denda Cilinaya,”cerita Raden Setia Wati.
Dari keterangan di atas, maka dapat diketahui bawa nama Bibi Cili merupakan suatu penghormatan kepada Denda Cilinaya, nama Bibi Cili juga sebagai peringatan bahwa Denda Cilinaya adalah nenek moyang masyarakat Bayan dan sekitarnya. Oleh sebab itulah ia disebut dengan nama Bibi Cili yang berarti ibu atau nenek moyang yang cantik dan mungil.
Dari kisah yang telah terpapar di atas juga dapat kita ketahui bahwa Makam Bibi Cili yang bisa di lihat dan saksikan sekarang ini merupakan suatu pertanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi peristiwa besar, dimana Memontong (tempat Makam Bibi Cili) merupakan tempat dibunuhnya Bibi Cili oleh Patih Tokok (Jero Tuek) dan di sana juga merupakan tempat terakhir Raden Mas Panji melihat Bibi Cili yang kemudian hanyut dibawa arus bersama peti mayatnya.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Bibi Cili adalah seorang putri raja yang hidup sekitar abad ke-VIII Masehi, dimana pada saat itu di bumi Bayan masih berkembang agama Budha.
Bibi Cili merupakan keturunan dari Datu Daha yang pada saat itu adalah penganut agama Budha, sehingga kerajaannya dikenal dengan sebutan Budha Daha dan saudaranya memimpin kerajaan Budha Keling.
 Jadi dari cerita rakyat Bayan ini tentang Bibi Cili itu, kita bisa banyak mengetahui tentang keberadaan kerajaan Budha pada masa itu. Oleh karena itu cerita rakyat Bibi Cili bisa dijadikan sebagai suatu acuan atau referensi mengenai keberadaan atau perkembangan agama Budha di daerah Bayan masa itu. Keberadaan ini pula yang memperkuat bahwa ada patung kepala di baon gontor Senaru. Patung kepala ini mirip dengan patung Budha. Sehingga sisa peninggalan penduduknya hingga sekarang ada dan berkembang di Torean Bayan, dusun Baru dan Lenek di Desa Bentek Gangga serta Tebango di Desa Pemenang Barat Kecamatan Pemenang.
Terkait dengan mitos Makam Bibi Cili yang keberadaannya hingga sekarang masih terpelihara dan lestari oleh keturunannya itu, dapat diketahui adalah karena terjadinya peristiwa pembunuhan Denda Cilinaya oleh Patih Tokok (Jero Tuek) dan Adipati di pinggir pantai Labuhan Carik tepatnya di Memontong. Di tempat tersebut Raden Masa Panji membuatkan istrinya makam sebagai pertanda bahwa di tempat itulah istrinya menghembuskan napas terakhir dan di tempat itulah terakhir kali ia melihat istrinya.
“Jadi makam Bibi Cili ini bukanlah kuburan melainkan sebuah tempat yang mengingatkan masyarakat bahwa di tempat tersebut Denda Cilinaya hilang atau moksa,”jelas Raden Setiawati.
              Makam Cilinaya dilihat dari arah timur
 Untuk itu perlu dipahami bahwa makam adalah suatu tempat yang pernah disinggahi oleh orang-orang yang dianggap memiliki karomah, kemudian tempat tersebut dibuatkan sebuah bangunan berupa kuburan sebagai pertanda bahwa tempat itu pernah dikunjungi atau pernah dijadikan sebagai tempat istirahat atau tempat terakhir orang melihat tokoh yang dikaromahkan. Sebagaimana juga tentang keberadaan beberapa makam yang dianggap memiliki karomah lainnya,seperti makam Sesait di Bayan,makam mas penghulu, makam kubur beleq di Sesait,makam sayid budiman,makam titi sama guna dan lain sebagainya.
Makam Bibi Cili yang ada di Bangket Memontong Desa Anyar itu bukanlah kuburan yang berisi mayat atau jasad Bibi Cili atau Cilinaya, melainkan hanya sekedar gundukan tanah yang dibuat seperti kuburan sebagai pertanda bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa pembunuhan Bibi Cili dan ditempat itu pula sosok Bibi Cili hilang dibawa oleh arus bersama Tabla yang dibuatkan oleh suaminya Raden Mas Panji putra Datu Keling. Jadi, Makam Bibi Cili bukanlah sebuah kuburan, namun makam tersebut sangat dikeramatkan oleh warga Desa Anyar dan sekitarnya sebab menurut kepercayaan mereka, Makam Bibi Cili menyimpan nilai mistis yang tinggi.(net).
J.       GUNUNG KAYANGAN MINIATUR BOROBUDUR LOMBOK UTARA
 Kabupaten Lombok Utara (KLU) dengan semboyan Tioq Tata Tunaq banyak memiliki tradisi lama yang masih kuat dipegang masyarakat penganutnya hingga saat ini.
Montong Gedeng yang kerap dijadikan sebagai lokasi tujuan pelaksanaan ritual adat oleh masyarakat penganutnya pada jaman dulu, kini keadaannya banyak ditumbuhi tanaman liar yang mengering. Meski sekilas tak ada yang tampak istimewa, keberadaannya menjadi saksi bisu perjalanan sejarah di timur bumi Tioq Tata Tunaq.
Nilai-nilai peninggalan nenek moyang berupa ritual adat masih berpengaruh kuat sebagai pola hidup masyarakatnya.Seperti ritual buka tanah sebelum mulai membuka areal untuk pola tanam. Ritual adat ini diwariskan nenek moyang masyarakat wet  (gontoran) Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
Sebelum memulai pola tanam masyarakat wet (gontoran) Sesait  selalu menggelar perayaan adat yang jatuh pada tiap bulan lima setiap tahun. Perayaan rutin ini diperingati secara turun-temurun oleh masyarakat adat wet (gontoran) Sesait dan dikenal dengan  Perayaan Adat Taiq Daya dan  Taiq Lauq.
Taiq Daya dilakukan masyarakat komunitas adat Santong Asli. Prosesi ritualnya dilakukan dengan naik ke Bale Penginjakan di Pawang Semboya yang terletak di lereng utara gunung Rinjani. Waktu pelaksanaannya setelah pagelaran ritual Taiq Lauq. Sementara Taiq Lauq dilaksanakan mengenang sejarah nenek moyang masyarakat adat Sesait yang kala itu naik ke Montong Gedeng untuk melaksanakan ritualnya. Montong Gedeng itu sendiri tidak lain adalah Gunung Kayangan saat ini, terletak sekitar 200 meter ke arah timur  Kampung Cangkring Dusun Sidutan Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara.
Menurut tokoh adat Wet Sesait, Djekat, menuturkan berdasarkan sejarah perayaan adat Taeq Daya maupun Taeq Lauq, asal-muasal perayaan ini berawal dari kebiasaan orang tua Sesait lama yang dikenal dengan sebutan Tau Lokaq Empat, yang terdiri dari Penghulu, Pemusungan, Mangkubumi, dan Jintaka.
Dikatakan, kebiasaan para sesepuh Sesait lama kala itu, sebelum melaksanakan suatu kegiatan yang berlaku menyeluruh bagi masyarakatnya, mereka selalu menggelar sangkep atau musyawarah di Bale Adat yang berada di lereng selatan Montong Gedeng. Hal-hal yang biasanya dibicarakan adalah terkait waktu dimulainya membuka tanah dan waktu dimulainya musim pola tanam. Itulah sebabnya, sebut Djekat, warga Sesait lama tidak akan berani memulai pelaksanaan pola tanam sebelum Tau Lokaq Empat selesai menggelar rapat tersebut. Pasalnya, mereka patuh dan taat pada aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun. “Jadi, orang Sesait lama sejak jaman dulu sudah mengenal yang namanya aturan pola tanam,” kata Djekat.
Djekat menyebut, kegiatan ritual adat yang digelar, Minggu (14/09) lalu adalah sebagai bentuk revitalisasi ritual adat yang memang pernah dilakukan oleh masyarakat Sesait lama pada jamannya. Namun semenjak tahun 1968 ritual adat ini hilang atau praktis tidak dilakukan oleh warga. Pasalnya, pada saat itu  terjadi perombakan ajaran Islam dari wettu telu ke ajaran Islam waktu lima. Karena pada saat itu penduduk Sesait lama dan sekitarnya masih menganut Islam Wettu Telu. “Jadi sudah 46 tahun silam ritual Taiq Lauq tersebut tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Sesait lama,”jelasnya.
 Pada zaman dahulu dibawah tahun 1965, Montong Gedeng atau gunung Khayangan ramai di kunjungi oleh para peminat dan penganut acara pemujaan kepada para Dewa yang bersemayam di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat Sesait Lama, bahwa di gunung Khayangan tersebut di yakini sebagai tempat petilasan Panji Mas Kolo. Itulah sebabnya, setiap tahun sebelum tahun 1965 kebawah, tempat itu ramai di kunjungi oleh masyarakat penganutnya untuk Ngaturang Ulak Kaya.
Pada saat acara Ngaturang Ulak Kaya (terkenal dengan sebutan “Taeq Lauq”)  itu, masyarakat penganutnya membawa makanan, sesaji dan Praja Taeq Lauq (para gadis yang di rias layaknya pengantin) sambil membunyikan tabuh-tabuhan atau kesenian tradisional rakyat yang jumlahnya tidak kurang dari 10 hingga 15 grup.

Praktis sejak tahun 1966 acara pemujaan di Gunung Khayangan itu sudah tidak kedengaran lagi, tinggal Gunung Khyangan yang masih tetap utuh tegak berdiri yang merupakan peninggalan bersejarah bagi Desa Kayangan, sehingga namanya diabadikan sebagai lambang dan nama Desa Kayangan saat ini.

Sehingga perayaan adat yang dilakukan masyarakat Sesait Kayangan minggu lalu untuk mengajak masyarakat setempat merevitalisasi kembali ritual adat yang sejak puluhan tahun silam tidak pernah lagi dilakukan oleh masyarakat penganutnya (Sesait lama). “Setidak-tidaknya itu sebagai bentuk upaya generasi penerus untuk  menghargai apa yang telah dan pernah dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Sesait lama pada jamannya dulu. Spirit atau semangatnya itulah yang perlu kita revitalisasi oleh kita sebagai generasi penerusnya,”tandas Djekat.

Sebagai destinasi daerah tujuan wisata, maka Montong Gedeng yang dikenal sebagai Gunung Kayangan saat ini, kedepannya akan ditata dan dibangun menyerupai sebuah candi yang mirip dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Sehingga tidak heran, oleh sosok tokoh adat Sesait yang juga politisi di DPRD KLU ini memiliki impian besar agar Montong Gedeng (Gunung Kayangan) tersebut, bisa kembali diangkat. Djekat pun berhajat ingin menata Montong Gedeng agar ke depannya lebih menarik dan sangat potensial untuk dikembangkan.

”Saya menganggap dan berkeinginan besar agar kedepannya kawasan Montong Gedeng ini dapat dijadikan sebagai  Miniatur Borobudurnya Kabupaten Lombok Utara. Karena memiliki nilai historis yang tinggi, khususnya bagi warga Kayangan dan sekitarnya,” tandas Djekat.
















BAB  VIII
                               MISTERI GUNUNG RINJANI               
A.  MITOS DEWI ANJANI
DEWI ANJANI, walau resminya adalah putri sulung Begawan Gotama dari pertapaan Gratina, di Gunung Sukendra, ayah yang sebenarnya adalah Batara Surya. Ibunya seorang bidadari bernama Dewi Indradi atau Dewi Windradi. Adiknya dua, laki-laki semua. Namanya Subali alias Guwarsi, dan Sugriwa alias Guwarsa. Keduanya sesungguhnya juga anak Batara Surya. Karena peristiwa Cupumanik Astagina, Dewi Anjani yang semula seorang gadis cantik berubah menjadi wanita berwajah kera. Peristiwanya adalah sebagai berikut:
Suatu hari Dewi Anjani memergoki ibunya sedang bermain-main dengan Cupumanik Astagina, yakni sebuah alat yang berkhasiat untuk melihat menikmati keindahan alam dunia. Dewi Anjani menyaksikan, betapa ibunya asyik dengan Cupu Manik Astagina, yang dikiranya alat permainan itu. Waktu Anjani meminta mainan itu, ibunya terpaksa memberikannya karena takut putrinya itu akan mengadukan soal adanya Cupumanik Astagina pada Begawan Gotama, suaminya. Dewi Indradi wanti-wanti berpesan agar Dewi Anjani menyembunyikan dan senantiasa merahasiakan alat permainan itu.
"Jangan sampai ada orang yang mengetahui adanya alat permainan itu", kata Dewi Indradi.
Namun Dewi Anjani ternyata tidak mematuhi pesan ibunya. la justru memamerkan Cupumanik Astagina pada kedua adiknya. Segera terjadilah keributan di antara mereka. Ketiga bersaudara itu saling memperebutkan Cupumanik Astagina.
Keributan karena pertengkaran itu akhirnya mengganggu Begawan Gotama yang sedang samadi. Ia mendatangi ketiga anaknya dan melihat apa yang mereka perebutkan. Betapa terkejutnya Begawan Gotama ketika tabu bahwa yang diperebutkan anak-anaknya adalah Cupumanik Astagina, yang diketahuinya sebagai milik Batara Surya. Dewi Indradi pun segera dipanggil dan ditanya mengenai asal usul Cupumanik Astagina. Karena takut, Dewi Indradi bungkam, tak berani menjawab. Begawan Gotama marah dan cupu itu dilemparkannya jauh-jauh. Kepada ketiga anaknya is berkata, siapa yang dapat menemukan cupu itu, maka ia boleh memilikinya.
Kepada Dewi Indradi yang diam saja waktu ditanya, ia pun berkata: "Ditanya kok diam saja, seperti tugu ..." Kesaktian Begawan Gotama menyebabkan kata-katanya bertuah, dan seketika itu juga Dewi Indradi berubah ujud menjadi tugu.
Cupumanik Astagina yang dilemparkan Begawan Gotama jatuh di Telaga Mandirda (di pewayangan disebut Telaga Sumala, "mala" artinya cacat, penyakit, dosa, atau kesalahan; "su" berarti banyak atau sangat, sedangkan Telaga Nirmala artinya bebas dari penyakit, karena "nir" berarti bebas atau tidak terkena). Guwarsa dan Guwarsi yang larinya lebih cepat dibandingkan Dewi Anjani, sampai ke telaga itu lebih dahulu. Kedua kakak beradik itu segera terjun dan menyelam ke dalam air telaga mencari Cupumanik Astagina. Dewi Anjani yang datang lebih lambat, sampai ke telaga itu dalam keadaan lelah. la segera membungkuk dan mencuci muka dengan air telaga itu untuk menghilangkan lelahnya. Sementara itu, dua orang pengasuh Guwarsa dan Guwarsi yaitu Menda dan Jembawan, berlarian pula mengikuti anak asuhannya. Mereka pun ikut terjun ke telaga.
Terjadilah keajaiban. Begitu muncul kembali ke permukaan telaga, Sugriwa dan Subali (atau Guwarsa dan Guwarsi) telah berubah ujud menjadi kera. Sedangkan Dewi Anjani, hanya wajahnya saja yang berubah ujud menjadi kera, tetapi tubuhnya tetap manusia biasa. Wajah keranya, tidak mengurangi keindahan tubuh Dewi Anjani yang masih remaja itu. Menda dan Jembawan, yang juga berubah ujud menjadi kera, selanjutnya disebut Kapi Menda dan Kapi Jembawan. Kapi berarti kera.
Ketiga anak Begawan Gotama menyesal sekali atas kejadian yang mereka alarm itu. Mereka lalu kembali ke pertapaan. Begawan Gotama menyarankan agar anak-anaknya mau menerima takdir. Selain itu ia juga mengganti nama mereka. Guwarsa diganti namanya menjadi Subali, sedangkan Guwarsi menjadi Sugriwa. Keduanya lalu disuruh pergi ke tengah hutan untuk bertapa.
Dewi Anjani pun melakukan hal yang serupa. la bertapa nyantoka, yaitu bertelanjang, membenamkan tubuhnya, hanya kepalanya saja yang menyembul di permukaan air Telaga Nirmala selama berbulan-bulan. Selama bertapa itu Dewi Anjani hanya memakan apa saja yang hanyut di permukaan air telaga itu.
Pada suatu ketika, Batara Guru sedang melayang di angkasa mengendarai Lembu Andini. Saat itulah pemuka dewa itu melihat seorang wanita tanpa busana berendam di Telaga Nirmala. Timbul birahi Batara Guru menyaksikan keindahan tubuh wanita itu sehingga jatuhlah kama benih (mani)nya menimpa setangkai daun asam muda, yang dalam bahasa Jawa disebut sinom. Daun yang telah ternoda kama benih itu hanyut ke arah Dewi Anjani, yang segera meraih dan memakannya. Betapa sedihnya Anjani ketika ia menyadari tiba-tiba dirinya hamil, padahal merasa belum pernah tersentuh pria. Maka ia pun protes kepada para dewa. Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang nenemuinya, memberi penjelasan mengenai apa yang telah terjadi. Batara Guru juga menyatakan bersedia mengaku, bahwa janin yang dikandung Dewi Anjani adalah anaknya.
Ketika datang waktunya bersalin, timbul huru hara dunia. Gunung meletus, banjir mengganas dan badai terjadi di mana-mana. Setelah mengetahui penyebab bencana itu, Batara Guru mengutus beberapa orang bidadari menolong Dewi Anjani. Setelah lahir, anak Dewi Anjani itu diberi nama Anoman, berupa seekor kera berbulu putih mulus. Selanjutnya Dewi Anjani diperkenankan masuk ke kahyangan dan kembali pada ujudnya semula, seorang wanita cantik. Anaknya pun dibesarkan dan dididik di kahyangan. Kelak, anak yang dilahirkan Anjani itu akan menjadi ksatria perkasa yang berumur panjang, walaupun ia berujud kera. (Artikel ini diambil dari berbagai sumber).


B.   BEBERAPA MITOS SEKITAR GUNUNG RINJANI
1.        Gunung Rinjani
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiXR-ZbWjKLpS_3YGfHet7gIhGesNEm7JecIWbNfgutA7-Kz2sy5t1WmtQujBcKa1ciWpNfg2CHahSp-Vbpf3ghc0SkpuiH4spAq3ydu7lMQWNtB-jU1RFun0GXb3oqGeQe1FRRG08lb9c/s320/goa+susu.jpgMenurut kepercayaan masyarakat Sasak merupakan singgasana Dewi Anjani yang merupakan Ratu para Jin. Sebagian masyarakat lokal percaya bahwa Nama suku Sasak adalah pemberian dari Dewi Anjani. Di Puncak gunung Rinjani diyakini oleh masyarakat umum di lombok adalah Sebagai tempat bersemayamnya Raja Jin, penguasa Gunung Rinjani bernama Dewi Anjani. dari puncah ke arah tenggara terdapat sebuah lautan debu ( kaldera ) yang dinamakan Segara Muncar. pada saat saat tertentu, dengan kasat mata dapat terlihat istana Ratu Jin. Pengikutnya merupakan golongan Jin yang baik baik. alkisah Ratu Jin Dewi Anjani adalah seorang putri Raja yang tidak di izinkan menikah dengan kekasih pilihannya. pada suatu tempat mata air bernama Mandala sang Ratu Menghilang. ia berpindah tempat dari alam nyata menuju alam gaib ( alam Jin ).
2.       Danau Segara Anak.
Dari atas, danau segara segara anak tampak luas meyerupai lautan. Dengan warna air yang mebiru, danau ini bagaikan anak lautan, karena itulah disebut segara anak, danau segara anak  menyimpan berbagai misteri dan kekuatan gaib, itulah sebabnya manusia merasa betah tinggal lama di tempat ini. Disinilah komunitas mahluk gaib yang disebut jin bermukim. Diyakini sekitar danau segara anak di huni oleh komunitas bangsa jin yang sangat banyak, sebagai besar dari mereka beragama islam. Keyakinan masyarakat, apabila Danau Segara ANak terlihat luas menandakan bahwa umur orang yang melihat itu masih panjang. Sebaliknya jika tampak sempit maka menandakan umur si pelihat pendek. Untuk itu agar tidak menjadikan seseorang pesimis maka segera dilakukan bersih diri, artinya bangkitkan semangat hidup dan harus berjiwa tenang. pandanglah kembali danau sepuas puasnya. Pantangan ketika di sana, tidak boleh melakukan hubungan intim suami istri, jangan mengeluh dan berkata kotor, harus tetap sabar dalam menghadapi persoalan persoalan.

3.       Sandar Nyawa / Bunga Abadi.
Jenis tanaman ini menurut kepercayaan terlarang di petik, karena tanaman ini merupakan tanaman di dalam Taman Sari dari kerajaan Jin di alam gaib. untuk memperoleh bunga ini masyarakat pada zaman dulu harus berani mempertaruhkan nyawanya. itulah sebabnya bunga ini disebut bunga Sandar Nyawa. bunga ini tak pernah layu, usianya sama dengan usia mahluk gaib.
4.       TNGR
 Di Taman national Gunung Rinjani terdapat 3 goa yang terkenal yaitu Goa susu, goa payung dan goa manik, goa susu dapat di jadikan media bercermin diri, sering di gunakan sebagai tempat bermeditasi. orang-orang yang berhati kotor, dengki akan mendapat kesulitan untuk memasuki goa susu. Lubangnya memang sempit namun sebaliknya, hanya orang-orang yang berhati mulia, bersih lahir batinnya yang dapat memasukinya. dari dalam goa air menetes dari ujung bebatuan yang meyerupai punting susu, itulah sebabnya di sebut goa susu. Rasa air yang menetes dari setiap puting tersebut berbeda beda. Di dalam goa susu terasa suhu yang panas dan berasap bagaikan asap kukusan sehingga pelakuan dalam proses ini di sebut mengukus dan terkadang orang menyebutnya rontgen, dan sangat bagus untuk menyembuhkan segala macam penyakit di badan.

5.       Putri Mandalika
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhV7xI6ziJ_wTDS-bsAIAZGRtGLGy3Vctkvo7pUtPU-NTjCUXgRL2Si4zUxKlhhKAlTJtzQjDyTTCJjZHsgd8eG3iJe5otOZnuo7ECGRuV25CzNStLhfpdsMsHRV4M6S1hdP1ooZzz_fWo/s320/Nyale.jpgPutri Nyale (Putri Mandalika) dikisahkan adalah seorang putri cantik jelita yang dicintai oleh rakyatnya. Seorang Putri yang rela berkorban demi rakyatnya. dikisahkan bahwa adanya dua orang pangeran dari negeri yang bebeda ingin melamar putri Mandalika. mereka menggunakan segala cara agar dapat memiliki sang putri termasuk mengancam akan membuat kerajaan tersebut sengsara. Akan timbul bencana bagi rakyatnya manakala sang putri menjatuhkan pilihannya pada salah seorang pangeran. "Wahai ayahanda dan ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tojang Biru yang aku cintai. Hari ini aku telah menetapkan bahwa diriku untuk kamu semua. Aku tidak dapat memilih satu diantara pangeran. Karena ini takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut". Kira-kira seperti itulah kata-kata terakhir sang putri sebelum menceburkan diri kelaut dan berubah menjadi nyale. Setiap tanggal duapuluh bulan kesepuluh dalam penanggalan Sasak atau lima hari setelah bulan purnama, menjelang fajar di pantai Seger Kabupaten Lombok Tengah selalu berlangsung acara menarik yang dikunjungi banyak orang termasuk wisatawan. Acara yang menarik itu bernama Bau Nyale. Bau dari bahasa Sasak artinya menangkap. Sedangkan Nyale, sejenis cacing laut yang hidup di lubang - lubang batu karang di bawah permukaan laut. Penduduk setempat mempercayai Nyale memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat bagi orang yang meremehkannya.

6.       Air Awet Muda Narmada
Air Awet Muda di Taman Narmada dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai air yang dapat membuat orang yang meminumnya awet muda. Memasuki gerbang masuk Taman Narmada yang berarsitektur Hindu ini, mata Anda akan langsung disuguhi sebuah pemandangan taman yang hijau dan asri. Taman Narmada terletak di Kabupaten Lombok Barat, sekitar 10-15 kilometer sebelah timur Kota Mataram, Provinsi Nusa    Tenggara Barat.

Taman seluas dua hektare ini dibangun pada 1727 oleh Raja Mataram Lombok Anak Agung Ngurah Karang Asem. Nama Narmada sendiri diambil dari nama anak Sungai Gangga di India, yang bernama Narmadanadi. Dalam kawasan Taman Narmada terdapat pancuran sembilan (siwak) yang letaknya di atas Segara Anak. Bangunan ini termasuk bangunan sakral bagi penganut Hindu Dharma maupun penganut Waktu Tilu.
Selain keindahan taman yang tertata apik dan asri ini, daya tarik utama taman ini adalah terdapatnya sebuah Balai Petirtaan yang sumber mataairnya berasal dari Gunung Rinjani. Balai Petirtaan merupakan tempat pertemuan tiga sumber air, yakni Suranadi, Lingsar, dan Narmada. Mata airnya yang berasal dari Gunung Rinjani sekaligus sebagai tempat pertemuan tiga sumber mata air lainnya, air yang ada di Balai Petirtaan dipercaya berkhasiat dapat menjadikan orang yang meminum dan membasuh mukanya dengan air di situ akan awet muda. Sebelum mendapatkan air suci ini, pengunjung harus mengikuti tatacara yang dipandu seorang juru kunci penjaga (kuncen ) dalam balai petirtaan. Bersama sang kuncen, pengunjung mengikuti ritual pengambilan air. Sang kuncen kemudian meminta pengunjung berdoa menurut keyakinan masing-masing. Setelah, melalui serangkaian ritual tersebut barulah para pengunjung dapat menikmati dengan membasuh ke muka atau dengan meminumnya. Perlu juga diketahui ada larangan bagi wanita yang sedang datang bulan dilarang untuk masuk dalam balai petirtaan ini.

C.     KISAH DEWI ANJANI
Pada satu masa di dekat negri Alengka (tempat para raksasa), tersebutlah sebuah pertapaan yang disebut dengan Gunung Sukendra. Pertapaan itu dihuni oleh Resi Gotama dan keluarganya. Resi Gotama adalah keturunan Bathara Ismaya, putra Prabu Heriya dari Mahespati. Resi Gotama memiliki seorang kakak bernama Prabu Kartawirya yang kelak akan menurunkan Prabu Arjunasasrabahu. Atas jasa-jasa dan baktinya kepada para dewa, Resi Gotama dianugrahi seorang bidadari kahyangan bernama Dewi Windradi. Dari hasil perkawinannya mereka dikaruniai tiga orang anak Dewi Anjani, Guwarsa (Subali) dan GuwaResi (Sugriwa).

Tahun berganti tahun, Dewi Windradi yang selalu dalam kesepian karena bersuamikan seorang brahmana tua, akhirnya tergoda oleh panah asmara Bhatara Surya (dewa Matahari). Terjadi saat sang dewi sering berjemur telanjang mandi sinar matahari di pagi hari. Terjalinlah hubungan asmara secara rahasia sedemikian rapih sehingga sampai bertahun-tahun tidak diketahui oleh Resi Gotama, maupun oleh ketiga putranya yang sudah menginjak dewasa. Akibat suatu kesalahan kecil yang dilakukan oleh Dewi Anjani, jalinan kasih yang sudah berlangsung cukup lama itu, akhirnya terbongkar dan membawa akibat yang sangat buruk bagi keluarga Resi Gotama.

Karena rasa cintanya yang begitu besar pada Dewi Anjani, Dewi Windradi mengabaikan pesan Bhatara Surya, memberikan pusaka kedewataan Cupumanik Astagina kepada Anjani. Padahal ketika memberikan Cupumanik Astagina kepada Dewi Windradi, Bhatara Surya telah berwanti-wanti untuk jangan sekah-kali benda kedewatan itu ditunjukkan apalagi diberikan orang lain, walau itu putranya sendiri. Kalau pesan itu sampai terlanggar, sesuatu kejadian yang tak diharapkan akan terjadi.

http://images.tigorpanggabean.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/RrvJ5AoKCn8AAGeVBms1/Cakil.jpg?et=iA45y3t0bzKkC%2C99L4TaQACupumanik Astagina adalah pusaka kadewatan yang menurut ketentuan dewata tidak boleh dillhat atau dimiliki oleh manusia lumrah. Larangan ini disebabkan karena Cupumanik Astagina disamping memiliki khasiat kesaktian yang luar biasa, juga didalamnya mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam kesuragaan. Dengan membuka Cupumanik Astagina, melalui mangkoknya kita akan dapat melihat dengan nyata dan jelas gambaran surga yang serba polos, suci dan penuh kenikmatan.

Sedangkan dari tutupnya akan dapat dilihat dengan jelas seluruh kehidupan semua makluk yang ada di jagad raya. Sedangkan khasiat kesaktian yang dimiliki Cupumanik Astagina ialah dapat memenuhi semua apa yang diminta dan menjadi keinginan pemiliknya.
Bagi masyarakat hindu, cupu ini merupakan suatu wadah berbentuk bundar berukuran kecil terbuat dari kayu atau logam. Manik=permata, melambangkan sesuatu yang indah.

Asthagina=delapan macarn sifat yang harus dimiliki oleh seorang brahmana:
1. daya sarwa buthesu (belas kasih kepada sekalian makluk),
2. ksatim (suka memaafkan, sabar),
3. anasunyah ( tidak kecewa atau menyesal),
4. saucam (suci lahir batin),
5. anayasah (tidak mengeluarkan tenaga berlebih-lebihan. Jawa; nyengka, ngaya),
6. manggalam (beritikad baik),
7.akarpanyah (tidak merasa miskin baik dalam hal batiniah maupun lahiriah, begitu pula dalam  hal budi),
8. asprebah (tidak berkeinginan atau bahwa nafsu duniawi)]

Namun dorongan rasa cinta terhadap putri tunggaInya telah melupakan pesan Bhatara Surya. Dewi Windradi memberikan Cupumanik Astagina kepada Anjani, disertai pesan agar tidak menunjukkan benda tersebut baik kepada ayahnya maupun kepada kedua adiknya.

Suatu kesalahan dilakukan oleh Anjani. Suatu hari ketika ia akan mencoba kesaktian Cupumanik Astagina, kedua adiknya, Guwarsa dan Guwarsi melihatnya. Terjadilah keributan diantara mereka, saling berebut Cupumanik Astagina. Anjani menangis melapor pada ibunya, sementara Guwarsa dan Guwarsi mengadu pada ayahnya. Bahkan secara emosi Guwarsa dan Guwarsi menuduh ayahnya, Resi Gotama telah berbuat tidak adil dengan menganak emaskan Anjani. Suatu tindakan yang menyimpang dari sifat seorang resi.
http://images.tigorpanggabean.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/RrvSAAoKCn8AAG-5KOg1/cupu-manik-astagina.jpg?et=m1SJcs6KoDq7IzjqUwdVJAhttp://images.tigorpanggabean.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/RrvN9woKCn8AADidZOQ1/BataraSurya.jpg?et=IePgHSPL9NAX09eevklbhQTuduhan kedua putranya membuat hati Resi Gotama sedih dan prihatin, sebab ia merasa tidak pernah berbuat seperti itu. Segera ia memerintahkan Jembawan, pembantu setianya untuk memanggil Dewi Anjani dan Dewi Windradi. Karena rasa takut dan hormat kepada ayahnya, Dewi Anjani menyerahkan Cupumanik Astagina kepada ayahnya. Anjani berterus terang, bahwaa benda itu pemberian dari ibunya.

Sementara Dewi Windradi bersikap diam membisu tidak berani berterus terang dari mana ia mendapatkan benda kadewatan tersebut. Dewi Windradi seperti dihadapkan pada buah simalakama. Berterus terang, akan memebongkar hubungan gelapnya dengan Bhatara Surya. Bersikap diam, sama saja artinya dengan tidak menghormati suaminya.  Sikap membisu Dewi Windradi membuat Resi Gotama marah, dan mengutuknya menjadi patung batu, yang dengan kesaktiannya, dilemparkannya melayang, dan jatuh di taman Argasoka kerajaan Alengka disertai kutukan, kelak akan memjelma kembali menjadi manusia setelah dihantamkan ke kepala raksasa.

Demi keadilan, Resi Gotama melemparkan Cupumanik Astagina ke udara. Siapapun yang menemukan benda tersebut, dialah pemiliknya. Karena dorongan nafsu, Dewi Anjani, GuwaResi Guwarsa dan Jembawan segera mengejar benda kadewatan tersebut.  Tetapi Cupumanik Astagina seolah-olah mempunyal sayap. Sebentar saja telah melintas dibalik bukit. Cupu tersebut terbelah menjadi dua bagian, jatuh ke tanah dan berubah wujud menjadi telaga. Bagian Cupu jatuh di negara Ayodya menjadi Telaga Nirmala, sedangkan tutupnya jatuh di tengah hutan menjadi telaga Sumala. Anjani, Guwarsi, Guwarsa dan Jembawan yang mengira cupu jatuh kedalam telaga, langsung saja mendekati telaga dan meloncat masuk kedalamnya. Suatu malapetaka terjadi, Guwarsa, Guwarsi dan Jembawan masing-masing berubah wujud menjadi seekor manusia kera. Melihat ada seekor kera dihadapannya, Guwarsa menyerang kera itu karena menganggap kera itu menghalang-halangi perjalanannya.

Pertarungan tak pelak terjadi diantara mereka. Pertempuran seru dua saudara yang sudah menjadi kera itu berlangsung seimbang.
Keduanya saling cakar, saling pukul untuk mengalahkan satu dengan lainnya. Sementara Jembawan yang memandang dari kejauhan tampak heran melihat dua kera yang bertengkar namun segala tingkah laku dan pengucapannya sama persis seperti junjungannya Guwarsa dan Guwarsi. Dengan hati-hati Jembawan mendekat dan menyapa mereka. Merasa namanya dipanggil mereka berhenti bertengkar. Barulah mereka sadar bahwa ketiganya telah berubah wujud menjadi seekor kera. Dan merekapun saling berpelukan! menangisi kejadian yang menimpa diri mereka.

Adapun Dewi Anjani yang berlari-lari datang menyusul, karena merasa kepanasan, sesampainya di tepi telaga lalu merendamkan kakinya serta membasuh mukanya, dan... wajah, tangan dan kakinya berubah ujud menjadi wajah, tangan dan kaki kera.  Setelah masing-masing mengetahui adanya kutukan dahsyat yang menimpa mereka, dengan sedih dan ratap tangis penyesalan, mereka kembali ke pertapaan.

Resi Gotama yang waskita dengan tenang menerima kedatangan ketiga putranya yang telah berubah wujud menjadi kera.  Setelah memberi nasehat seperlunya, Resi Gotama menyuruh ketiga putranya untuk pergi bertapa sebagai cara penebusan dosa dan memperoleh anugerah Dewata.

http://images.tigorpanggabean.multiply.com/image/1/photos/upload/300x300/RrvUjgoKCn8AAAtM-cY1/Rinjani01.JPG?et=AVCynm5ot%2B9H6UmFwN3L4Q Subali 'tapangalong' bergantungan di atas pepohonan seperti kalong (kelelawar besar) layaknya. Sugriwa 'tapa ngidang' mengembara dalam hutan seperti kijang, sedang Anjani 'tapa ngodhok' berendam di air seperti katak ulahnya di tepi telaga Madirda. la tidak makan kalau tidak ada dedaunan atau apapun yang dapat dimakan yang melayang jatuh di pangkuannya, dan untuk melepas rasa haus ia membasahi mulutnya dengan air embun.

Beberapa tahun berialu, syahdan Batara Guru pada suatu waktu melanglang buana dengan naik lembu Andininya. Ketika melewati telaga Madirda dilihatnya Anjani bertapa berbadan kurus kering, timbul rasa belas kasihannya, maka dipetiknya dedaunan sinom (daun muda pohon asam), dilemparkan ke arah telaga dan jatuh di pangkuan Anjani. Anjanipun memakannya, dan ... iapun menjadi hamil karenanya.

Setelah tiba saatnya, bayi yang dikandungnya lahir dalam ujud kera berwarna putih sekujur badannya. Bayi itu kemudian diberi nama Hanoman, mengacu kepada daun sinom pemberian Batara Guru yang menyebabkan kehamilan Anjani. Dengan demikian dituturkan bahwa Hanoman adalah putra Batara Guru dan Dewi Anjani. (Diambil dari berbagai sumber.net)










































BAB  IX
          HIKAYAT  CUPAK  GURANTANG  PUSAKA  JATI  SESAIT

A.    Hikayat Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait, Kini Bangkit Kembali
Setelah 35 tahun terpuruk ditinggal pemeran utama Gurantangnya mengabdi sebagai TNI AD pada awal dekade tahun 1980, kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait yang sempat gulung tikar itu, kini bangkit kembali.
Kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait berdiri pada tahun 1958 dengan para tokoh yang mempopulerkannya diantaranya, Sauban (Suling dan Gurantang), A.Satar, A.Remait, A.Masi (Cupak), A.Ripen (Inaq Bangkol),Supadi (Inaq Emban), A.Jeranjang, A.Kelas, A.Ris (A.Bangkol), Inak Kinjep, Inaq Sengkor, Lintok, Inaq Canep, A.Asri,    Jago,  Kredek dan Nasudin (Gurantang), Rekawi dan Rajip (Prabu Daha), A.Siradi (Cupak), A.Lepak (Suling), Lentak, A,Israh (Raksasa), Napinah, Naskiah (putri),  Tayap, Kayanah (Mahapatih),  A.Murni, Rentung (Panakawan).Sedangkan pendukung lainnya yang tidak kalah penting keberadaannya diantaranya adalah Puk Sardin, A.Aru, A.Mahlin, Jahip,  A.Sumi, A.Napinah dan Dauh.
Pada masa jayanya kesenian ini dengan di dukung oleh para tokoh tersebut terus eksis, sehingga boleh di bilang tidak ada yang menandinginya, yang walaupun ada beberapa Sanggar Seni sejenis lainnya yang se-zaman dengannya bertebaran di lingkar utara gunung Rinjani kala itu.
Sejak kepergian pemeran utama Gurantangnya Nasudin merantau dan bertugas sebagai Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di perbatasan NTT dan Timor-Timur (kini Timor Leste) pada tahun 1980 silam, peran utamanya di gantikan oleh adiknya Naskiah yang sebelumnya berperan sebagai putri. Praktis ketenaran kesenian ini tetap bertahan hingga tahun 1985, setelah peran Gurantang yang diperankan oleh Naskiah pindah mengikuti suaminya ke Bujak Aik Mual Lombok Tengah.
Namun demikian, sewaktu-waktu di butuhkan bisa kembali lagi untuk bergabung dan bermain bersama dengan para pemain yang lainnya. Hal inipun tidak bertahan lama, karena orang tuanya (Sauban) sebagai tukang suling pulang kerahmatullah pada tanggal 9 Januari 1991, sehingga praktis keberlangsungan untuk tetap eksisnya di jajaran blantika kesenian tradisional yang ada di Dayan Gunung kala itu seolah-olah kehilangan pamor, karena memang satu-satunya yang menjadi andalan sebagai Gurantang pada masa itu adalah hanya kakak beradik yaitu Nasudin dan Naskiah.

Pada perkembangan selanjutnya kendatipun tidak sepopuler pada masa jayanya pada tahun 1970-an hingga 1980-an, keberadaannya tetap eksis hingga tahun 1990-an, yang walaupun  hanya tampil sesaat, namun para tokoh yang terlibat di dalamnya terus mengadakan pentas keliling pulau Lombok bagian utara menghadiri hajatan masyarakat yang mengundangnya hingga tahun 1990-an.
Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian yang sempat populer di awal dekade tahun 1975-an itu, ditambah lagi dengan banyaknya para tokoh yang wafat sebagai pendukung dari kesenian ini, maka mulailah ketenarannya memudar hingga kembalinya sang pemeran utama Gurantangnya (Serka TNI AD Nasudin) dari rantauan setelah bertugas selama 35 tahun di perbatasan NTT dan Timor-Timur (kini Negara tetangga Timor Leste). Kembalinya pemeran Gurantang yang telah memasuki purna tugas ini menambah semangat para sekaha yang telah lama menunggu. Kini kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait telah bangkit kembali dan sudah mulai eksis latihan setiap malam Kamis tiap minggu dan pentas setiap malam minggu di Sekretariatnya Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU.
Menurut budayawan Sesait Masidep,S.Pd sekaligus Ketua Sanggar ini mengatakan bahwa ketokohan Cupak adalah sosok yang sangat rakus,banyak akal,licik,perut buncit, wataknya buruk, suka mencuri dan berkhianat tapi pandai bersandiwara penuh kepura-puraan. Jika berbicara manis dan memukau sehingga banyak orang bersimpati kepadanya. Sedangkan Gurantang, lanjut Masidep, adalah menggambarkan orang yang biasa saja, tidak ada yang menonjol pada dirinya, karena memang dia tidak mau menonjolkan diri. Kata-katanya halus dan jarang bicara. Disiplinya tinggi dan menjunjung kebenaran, ketulusan dalam menjalankan tugas. Selain itu, Gurantang juga seorang yang pemaaf. Cerita ini berakhir dengan pesan kuat, kebaikan atau kebaikan akan selalu menang melawan keburukan atau kejahatan.
Untuk tetap lestarinya kesenian ini, Masidep berkeinginan agar kesenian tradisional Cupak Gurantang ini tidak saja di kenal oleh masyarakat lokal, akan tetapi juga bisa dikenal oleh masyarakat dunia dan eksis sepanjang masa. Karena kesenian ini tumbuh dan berkembang dari masyarakat pecinta seni, sehingga diharapkan akan mampu lebih dikenal dan tetap terpatri di dalam hati para penggemarnya.
“Kami saat ini sedang menggarap film dokumenternya, sehingga nantinya bagi masyarakat pecinta seni khususnya kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait ini, bisa mengkoleksinya.Selain itu, film dokumenter Cupak Gurantang yang di perankan oleh para tokoh yang memang pemainnya sejak dulu, akan di arsipkan di Dikbudpora KLU, khususnya di bidang kebudayaan, ”jelas Masidep.

B.    Mengenal Pemeran Utama Gurantang Pusaka Jati Sesait
Sejak berdirinya pada tahun 1958 silam, kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait tidak terlepas dari peran para tokoh legendaris pendirinya, seperti Sauban, Saharim, Yahep, Dahu, Remait, Malon,Amak Kelas dan Puk Sardin.
Ketenaran kesenian tradisional Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait pada zamannya itu, menjadikan kesenian tersebut lebih dikenal luas oleh masyarakat seantero Dayan Gunung kala itu. Pada generasi pertama keberadaan kesenian yang sempat membuat heboh masyarakat lokal pada zamannya itu, sebagai pemeran utama Gurantangnya adalah Sauban. Sementara yang berperan sebagai Cupaknya adalah Saharim dan Remait serta putrinya di perankan oleh Kilo. Ketenarannya pun berakhir ketika posisi Gurantangnya di gantikan oleh putranya sendiri yaitu Nasudin pada tahun 1975.
Praktis sejak Nasudin tampil sebagai pemeran Gurantang dan Naskiah (adiknya) berperan sebagai putri, maka sejak saat itu ketenarannya pun kembali memuncak hingga Nasudin sendiri meninggalkan kesenian yang sempat membesarkan namanya itu, untuk mengabdi sebagai TNI AD di perbatasan NTT dan Timor Leste pada tahun 1980.
Kepada penulis, Nasudin yang merupakan generasi ke tujuh dari Sauban yang memerankan tokoh Gurantang kala itu mengatakan, dirinya tampil memerankan tokoh Gurantang menggantikan ayahnya (Sauban) adalah karena orang tuanya menginginkan adanya regenerasi.Ternyata keinginan dari orang tuanya pun terwujud.Dengan tampilnya Nasudin sebagai pemeran Gurantang menggantikan posisi orang tuanya, maka kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait kala itu semakin tenar dan lebih di kenal dari kesenian sejenis yang pernah ada di KLU.
Dikatakan, ketenaran kesenian tradisional yang  sempat jaya pada decade tahun 1980-an itu, karena memang peran para tokoh pendukung saat itu sangat penting. Generasi kedua, pemeran Gurantangnya Lainnya, Cupaknya Saharim dan putrinya Canep. Generasi ketiga, pemeran Gurantangnya Nursep, Cupak (Remait, Siradi, Yahep, Malon) dan putrinya Kinjep. Genrasi Keempat, pemeran gurantangnya Maharip, putrinya Senip. Sedangkan Cupaknya tetap Yahep, Malon,Remait dan Siradi.Generasi Kelima, gurantangnya Jago dan putrinya kredek,Cupaknya Remait,Siradi,Malon, Yahep.Kemudian generasi keenam, gurantangnya Dugek dan putrinya Sidik, sedangkan Cupaknya Siradi,Remait, Yahep.Generasi ketujuh, Gurantangnya Nasudin dan putrinya Naskiah dan Cupaknya Remait,Yahep (A.Satar). Kemudian  Generasi kedelapan, gurantangnya Naskiah, putrinya Same, sedangkan Cupaknya Remait,Yahep, Malon.Pada geresai Sembilan, Gurantangnya Murina dan putrinya Samina, sedangkan Cupaknya Remait, Yahep,
Pemeran utama Gurantang pada kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait patut di banggakan. Karena dengan kembalinya ia ke kampung halamannya di Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait Kecamatan Kayangan KLU setelah purna tugas bulan Februari 2013 lalu, maka praktis kesenian yang sempat timbul tenggelam selama 35 tahun selama ditinggalkannya itu, kini bangkit kembali.
Karena Nasudin bertekad dan berkeinginan agar kesenian yang pernah membesarkan namanya itu kembali jaya sebagaimana pada masa dulunya. Lebih-lebih para sekaha dan para pemain pendukungnya yang kini masih hidup antusias untuk menghidupkan kembali kesenian ini. Sehingga sesuai dengan kesepakatan mereka tetapkan jadual latihannya setiap malam Kamis dan pentasnya setiap malam Minggu di sekretariatnya di Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait KLU.
“Film dokumenternya sudah dibuat, kini dalam tahap finishing.Masyarakat yang ingin mengkoleksinya pun bisa memilikinya,”tandas Nasudin.
 Film Cerita Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait ini nantinya akan di arsipkan di bagian kebudayaan di Dikbudpora KLU. Hal ini dilakukan agar kesenian tradisional tersebut tetap lestari sepanjang masa.Disamping itu, Perhatian Pemerintah Daerah juga sangat diperlukan terhadap tetap eksisnya keberlangsungan kesenian tradisional di daerah ini.Tanpa dukungan dan peran serta Pemerintah Daerah melestarikan sejarah dan nilai-nilai seni budaya lokal tentu semuanya itu hampa.
C.      Kiprah Nasudin Membangkitkan Kesenian Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait
Di lingkungan masyarakat adat Sesait, cerita Cupak Gurantang di kenal dengan sebutan Kayak. Cerita ini pun tidak sembarang cerita, melainkan di sadur dari Kitab Takepan Lontar Kasmaran yang hingga kini tersimpan di Kampu Sesait.
Menurut budayawan asal Sesait Masidep,S.Pd mengatakan, sejak berdirinya pada bulan Agustus 1958 silam, para tokoh penggagas sekaligus pemain seperti Sauban dan dibantu Malon, Remait, Rekawi, Amaq Kelas, Gendek, Dranjang, Ripen,Amaq Musti, Amak Israh serta Amaq Tami’in, keberadaan kesenian ini terus eksis. Selain itu, tokoh yang tidak kalah penting ikut sebagai pendukung kesenian tersebut diantaranya Puk Sardin,Puk Napinah,Puk Laku, Puk Sumenep,Puk Satar, Puk Saharim, Aca, Amaq Amaq Lepak,Amaq Jamiah,Amaq Aru, Amaq Siradi dan lainnya.
Dikatakan, kesenian Cupak gurantang Pusaka Jati Sesait yang kini mulai bangkit tersebut mengalami puncak kejayaan pada masa yang pertama yaitu ketika Sauban berperan sebagai Gurantang dan Cupak diperankan oleh Saharim dan putri diperankan oleh Kilo, yaitu dari sejak berdirinya tahun 1958 hingga awal tahun 1970-an. Kemudian kesenian ini pun mengalami puncak kejayaannya pada masa generasi kedua setelah Sauban yaitu pada zamannya Nasudin sebagai Gurantang, Naskiah (adiknya) sebagai putri dan Amaq Satar sebagai Cupak tahun 1972-1980-an. ”Kenapa kesenian ini mengalami puncak kejayaannya berakhir hingga tahun 1980-an, karena Nasudin selaku pemeran utama Gurantangnya kala itu mengabdi ke perbatasan NTT dan Timor Leste sebagai alat Negara yaitu TNI AD,”jelas Masidep.
Namun diakui Masidep, ayah dari Nasudin yang dulunya berperan sebagai Gurantang dan pada generasi kedua hanya berperan sebagai peniup suling, walau pemeran utama gurantangnya tidak lagi berperan karena bertugas sebagai seorang TNI AD di perbatasan NTT dan Timor Leste, sehingga posisi gurantangnya di gantikan oleh adiknya Naskiah dan ketenarannya pun terus berlanjut hingga tahun 1985. Setelah tahun itu, ketenarannya sudah mulai redup karena sebagian pemain maupun sekaha pendukungnya ada yang wafat. Seperti Sauban, Amaq Satar, Amaq Ripen, Amaq Lepak, Amak Israh, Amak Kelas, Rekawi, Amak Deranjang dan lain sebagainya. Disamping itu ada beberapa perlatannya  yang dijual dan ada pula yang lapuk di makan rayap karena saking lamanya tersimpan tidak pentas lagi.
Bersyukurlah, setelah 35 tahun kemudian, sekembalinya pemeran utama gurantang (Nasudin) dari rantauan pada awal tahun 2013 lalu ke kampung halamannya di Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait KLU, maka seluruh pemain dan sekaha yang pernah mendukung kesenian Cupak Gurantang pada masa lalu terutamna yang masih hidup di hubunginya untuk bagaimana kesenian yang pernah jaya dimasanya dulu dibangkitkan kembali. Ternyata upaya ini di dukung oleh seluruh keluarga para sekaha dan pemain yang masih hidup.Sehingga mulailah Nasudin dibantu oleh saudara-saudaranya seperti Masidep, Eko, Jhon, Jinul, Asrudin, Rangga, Soadi dan lainnya menyusun kekuatan dengan membentuk pengurus terlebih dahulu baru kemudian menata keadaan anggota yang masih setia pada kesenian leluhur ini.
Dalam rapat pertama yang digelarnya awal Januari 2013 lalu, disepakati untuk membentuk Pengurus dan calon sekaha serta para pemain yang masih hidup semuanya didata.Sebagai Ketua Masidep,S.Pd, Sekretaris Zaenulhadi, S.Pd, Bendahara Eko Sekiadim,S.Sos dan selaku Ketua Umum Serka (Purn) TNI AD Nasudin.Disamping pengurus inti, terbetuk pula seksi-seksi diantaranya seksi sekaha, seksi pentas, seksi Pewarah, seksi dokumentasi dan  seksi transportasi.
Disamping kepengurusan yang sudah terbentuk, maka disepakati pula sebagai tempat Sekreatriat kesenian ini di Dusun Lokok Sutrang Desa Sesait Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara Nusa Tenggara Barat.Jadual latihan pun disepakati setiap malam Kamis dan jadual pentasnya setiap malam minggu di sekretariatnya Dusun Lokok Sutrang.(Eko)


D.       Cerita Cupak Gurantang Pusaka Jati Sesait

Oleh : Eko Sekiadim
Bagian Pertama :
Di lingkungan masyarakat adat Sesait, cerita Cupak Gurantang di kenal dengan sebutan Kayak. Cerita ini pun tidak sembarang cerita, melainkan di sadur dari Kitab Takepan Lontar Kasmaran yang hingga kini tersimpan di Kampu Sesait.
Menurut budayawan asal Sesait Masidep,S.Pd mengatakan, sejak berdirinya pada bulan Agustus 1958 silam, para tokoh penggagas sekaligus pemain seperti Sauban dan dibantu Malon, Remait, Rekawi, Amaq Kelas, Gendek, Dranjang, Ripen, Amaq Musti, Amak Israh serta Amaq Tami’in, keberadaan kesenian ini terus eksis. Selain itu, tokoh yang tidak kalah penting ikut sebagai pendukung kesenian tersebut diantaranya Puk Sardin,Puk Napinah,Puk Laku, Puk Sumenep, Puk Satar, Puk Saharim, Puk Aca, Amaq Lepak, Amaq Jamiah, Amaq Aru, Amaq Siradi dan lainnya.
Diceritakan secara gamblang oleh Masidep, berdasarkan Takepan Lontar Kasmaran tersebut, bahwa cerita Cupak Gurantang konon lokasi keberadaan kisah ini berada di sekitar pesisir utara pulau Lombok, tepatnya di Wet Sesait (Pawang Alas Bana) sekitar Semboya Cutakan yang sekarang (suteran tempat berhuma berpindah-pindah).
Konon, dulunya di sekitar pesisir utara pulau Lombok (Dayan Gunung) terdapat dua buah kerajaan kecil bernama Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Di wilayah kekuasaan Raja Keling tersebut, jauh di lereng gunung Rinjani sebelah utara, hiduplah sebuah keluarga kecil bernama Keluarga Inaq Rangda. Keluarga kecil ini memiliki dua orang putra yang tabi’at maupun karakternya jauh berbeda satu sama lain.Putranya yang sulung bernama Montong Ulung (bahasa Sesait) atau yang lebih dikenal dengan nama Cupak. Sedangkan  anaknya yang paling bungsu bernama Kasmaran yang lebih di kenal dengan nama Gurantang.
Diceritakan, Cupak adalah sosok yang sangat rakus, banyak akal, licik, perut buncit, wataknya buruk, suka mencuri dan berkhianat tapi pandai bersandiwara penuh kepura - puraan. Jika berbicara manis dan memukau sehingga banyak orang bersimpati kepadanya. Sedangkan Gurantang adalah menggambarkan orang yang biasa saja, tidak ada yang menonjol pada dirinya, karena memang dia tidak mau menonjolkan diri. Kata-katanya halus dan jarang bicara. Disiplinnya tinggi dan menjunjung kebenaran, ketulusan dalam menjalankan tugas. Selain itu, Gurantang juga seorang yang pemaaf. Cerita ini berakhir dengan pesan kuat, kebaikan akan selalu menang melawan keburukan atau kejahatan.
Menurut Takepan Lontar Kasmaran tersebut, di ceritakan bahwa Cupak Gurantang ini adalah putra dari Raja Keling, namun di sanepakan. Sehingga sepeninggal Raja Keling, maka Cupak Gurantang (kakak beradik) tersebut di pelihara dan di asuh oleh Inaq Emban.
Di ceritakan bahwa antara Datu Daha dan Datu Keling itu bersaudara. Masing-masing menjalankan pemerintahan di kerajaannya dengan aman gemah ripah loh jinawi. Namun kedua bersaudara ini belumlah cukup merasa bahagia kalau penggantinya kelak belum ada tanda-tanda akan di karuniai putra sebagai calon penerus penguasa kerajaan. Maka kedua bersaudara ini (Datu Daha dan Datu Keling) berencana akan melakukan tapa brata di sebuah bukit atau montong yang dipenuhi hutan belantara, memohon kepada yang kuasa agar keduanya diberikan putra sebagai calon penggantinya kelak ketika mereka sudah mangkat.
Pada waktu yang sudah di tentukan, maka berangkatlah Prabu Daha dengan membawa perlengkapan secukupnya menuju ke sebuah tempat yang juga sudah di tentukan yaitu Montong Kayangan. Dalam waktu yang bersamaan, Datu Keling pun berangkat pula menuju ke tempat itu, untuk bersama-sama melakukan tapa brata. Dalam perjalanan menuju tempat tapa brata itu, Datu Daha dan Datu Keling bertemu di perempatan Geruk Gundem untuk selanjutnya bersama-sama menuju Montong Kayangan.
Setiba di tempat melakukan tapa brata, masing-masing menghaturkan sesuai dengan syarat dan niatnya untuk mendapatkan anak. Dalam tapa bratanya itu, diceritakan tidak di ketahui berapa lama berlangsung.Hanya konon ceritanya semua hajat dari kedua pembesar kerajaan itu dikabulkan. Ajaib memang, kedua permaisuri dari dua buah kerajaan yang ada di lereng Gunung Rinjani sebelah utara itu pun mengandung secara bersamaan. Sebagaimana adat kebiasaan di kalangan istana kerajaan terhadap yang mengandung, maka di adakan pula acara ritual selamatan tiga bulanan,tujuh bulanan dan upacara kelahiran.
Setelah tiba waktunya untuk melahirkan, maka kedua permaisuri, baik kerajaan Datu Daha maupun kerajaan Datu Keling pun melahirkan anak sesuai dengan keinginan Datu Daha yang menginginkan anak perempuan maupun Datu Keling yang menginginkan anak laki-laki. Al hasil, Datu Daha memperoleh seorang putri dan diberi nama Candra Wulan Sasih. Sedangkan Datu Keling memperoleh dua orang putra sekaligus, yang sulung diberi nama Montong Ulung (Cupak) dan yang bungsu diberi nama Kasmaran (Gurantang).
 Bagian Kedua :
Putri Datu Daha di Culik Raksasa Kalimandaru
Dalam perkembangan sejarah berikutnya, diceritakan dalam takepan lontar kasmaran tersebut, kocap cerita setelah besar, putri Prabu Daha yang bernama Candra Wulan Sasih ingin bermain ke sebuah taman milik kerajaan ayahandanya. Dengan diiringi inang pengasuhnya Inaq Emban dan kedua Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegaran, sang putri berangkatlah menuju taman untuk bermain sebagaimana biasanya.
Sedang asyiknya bermain, tiba-tiba datanglah makhluk aneh yang tinggi besar serta muka yang menyeramkan. Makhluk aneh itu bernama Raksasa. Suaranya bagaikan guntur menggelegar, pandangannya bagaikan halilintar menyambar membuat bulu roma berdiri. Saking takutnya, baik putri Candra Wulan  Sasih, Inaq Emban dan kedua Mahapatih yang sedang berjaga di pojok taman menjadi kalang kabut bercampur gemetar dan menggigil. Mereka melakukan perlawanan semampunya, namun makhluk aneh yang disebut Raksasa itu tidak bisa terkalahkan.Putri pun di sambar dan di larikannya.
Kedua Mahapatih Mangkubumi dan  Mangkunegaran dan Inaq Emban pun bersedih, beduka yang sangat mendalam atas hilangnya sang Putri kesayangan sang Raja. Mereka takut, hukuman apa gerangan yang di jatuhkan raja kepada mereka atas kelalaiannya menjaga sang Putri. Sambil menangis sejadi-jadinya, kedua Mahapatih dan Inaq Emban kembali ke istana guna melaporkan kejadian yang menimpa putri semata wayang sang Raja Daha.
Begitu mendapat laporan dari para abdinya tentang putri semata wayangnya menghilang di culik Raksasa, Prabu Daha pun murka. Dalam suasana berduka tersebut sang Prabu memerintahkan kepada kedua Mahapatihnya untuk mengumumkan sebuah sayembara yang telah dibuatnya. Sayembara tersebut berisi, ”Barang siapa yang menemukan Putri Candra Wulan Sasih hidup atau pun mati, jika ia laki-laki, maka akan di kawinkan dengan putrinya dan jika ia perempuan maka ia akan di angkat sebagai saudara sang putri.”
Seiring dengan berjalannya waktu, kedua Maha patih Mangkubumi dan Mangkunegaran pun menyebarkan pengumuman berupa sayembara tersebut ke seluruh pelosok negeri Kerajaan Daha. Disamping membawa dan menyebarkan pengumuman sayembara itu, kedua Mahapatih pun di titahkan oleh sang Prabu Daha untuk mencari orang berani (pendekar) yang mampu melawan dan membunuh raksasa sang penculik putri.
Kocap cerita, maka berangkatlah kedua Mahapatih menuju hutan tarik (pawang alas bana) untuk melaksanakan titah sang prabu. Dengan menyusuri lembah, mendaki bukit, masuk hutan, masuk kampung, menuruni jalan curam dan medan yang melelahkan, kedua Mahapatih jalankan tanpa mengenal lelah dan putus asa. Tiba di suatu tempat, merekapun istirahat.
Bagian Ketiga :
Cupak dan Gurantang Menerima Tugas Berat
Selanjutnya dalam Takepan Lontar Kasmaran itu diceritakan, tersebutlah dua orang bersaudara kakak – beradik yang tidak lain adalah Montong Ulung dan Kasmaran yang lebih dikenal dengan sebutan Cupak - Gurantang, dimana dalam menjalani kehidupan masing-masing memiliki karakter yang berbeda, sehingga Kasmaran prustasi dengan sikap kakaknya karena tidak konsekuen dalam kehidupan. Akhirnya Kasmaran pergi nglalu (mengembara) entah kemana tanpa arah tujuan. Montong Ulung kakaknya pun menyesal berbuat seperti itu. Maka di susullah adiknya agar selalu bersama, susah maupun senang ditanggung bersama. Setelah menemukan adiknya, maka merekapun mengembara bersama-sama.
Dalam perjalanan mengembara tersebut, kedua kakak-beradik ini bertemu dengan makhluk asing yang memiliki tanduk. Makhluk asing yang ditemukan itu tiada lain adalah Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegaran yang sedang menjalankan tugas rajanya untuk mencari putri yang hilang di culik Raksasa sekaligus mencari orang pemberani (pendekar) yang mampu mengalahkannya dan membawa sang putri pulang kembali ke kerajaan Daha.
Setelah saling adu argumen antara kedua belah pihak, maka Cupak pun menyanggupinya bahwa dirinyalah yang akan membunuh raksasa yang menculik sang putri. Mendengar kesanggupan Cupak tersebut, kedua Mahapatih merasa lega dan selanjutnya membawa Cupak bersama adiknya Gurantang menuju istana Kerajaan Daha untuk di hadapkan kepada baginda Prabu Daha.
Tiba di depan istana, Cupak menyuruh adiknya menunggu di luar tembok pintu gerbang istana, sementara dirinya masuk ke istana menghadap Prabu Daha. Dihadapan  sang Prabu, Cupak berjanji dan sanggup mencari sang putri yang hilang dan membunuh raksasa yang menculiknya. Dasar Cupak yang banyak akal tanpa pikir panjang, dia mengumbar janji, hanya yang terbersit dalam pikirannya adalah yang penting bagaimana dia dapat makan.
Mendengar kesanggupan Cupak ini, maka Prabu Daha pun memberikan perbekalan secukupnya pada sang pemberani Cupak  termasuk memberikan Keris Pusaka leluhur Kerajaan Daha dan menjamunya dengan berbagai macam hidangan sebelum Cupak berangkat melaksanakan tugas berat yang menunggunya. Usai dijamu, maka berangkatlah Cupak bersama adiknya yang sejak tadi menunggu di luar istana untuk mencari dan membunuh raksasa yang menculik putri Datu Daha.
Perjalanan mencari raksasa pun sangat melelahkan bagi sang Cupak. Dalam keadaan seperti itu, sempat terlintas dalam hati sang Cupak ingin mengajak adiknya mengurungkan niatnya untuk mencari raksasa sesuai dengan janjinya kepada sang Prabu. Namun adiknya mengatakan, teruskan saja, karena terlanjur sudah berjanji. Jadi pantang mundur, kata adiknya.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan menyusuri hutan, lembah, naik-turun jurang dan perbukitan yang penuh dengan tantangan. Ketika mereka merapat dan  mendekati sebuah gua, yang dijumpai pertama kali adalah bekas telapak kakinya sebesar Mayang Pinang. Cupak pun takut melihat bekas telapak kakinya itu. Bagaimana besar makhluknya, jika bekas telapak kakinya saja seperti itu, pikir Cupak pada adiknya.
Lalu Cupak terus membujuk adiknya agar mengurungkan niat untuk mencari raksasa itu.Tetapi adiknya terus bersikeras untuk tetap melanjutkan perjalanan mencari raksasa Kalimandaru, meskipun harus mati sebagai taruhannya, karena untuk menepati janji kepada Prabu Daha. Bagi Gurantang, janji itu harus di tepati, pantang ingkar janji.

Pada perjalanan lanjutan, kembali kakak beradik ini menemukan hal serupa seperti yang pernah di temukan sebelumnya ketika mereka menemukan lagi bekas kencingnya seperti bekas kubangan kerbau, bekas kotorannya seperti bukit, kemudian menemukan jurang dan di jurang inilah di yakini sebagai tempat gua tempat tinggalnya raksasa yang mereka cari.
Oleh adiknya, Cupak di suruh duluan masuk ke dalam gua untuk perang melawan raksasa dengan membawa keris pusaka leluhur kerajaan daha. Baru mendengar suara raksasa berdehem saja, Cupak lari tunggang langgang, dia mengira  suara Guntur. Lalu Cupak menyuruh adiknya gurantang saja yang masuk ke gua dan perang melawan raksasa. Maka Gurantangpun menyanggupinya. Dengan langkah pasti, maka gurantang pun masuk ke dalam gua raksasa tersebut. Dari dalam gua terdengar suara gaduh dan menggelegar bak gempa bumi yang menggetarkan perut bumi. Dari mulut gua tersebut sesekali terlihat mengeluarkan cahaya kilatan bagaikan kilatan halilintar menyambar mangsanya. Rupanya cahaya itu merupakan cahaya kilatan yang berasal dari keris pusaka kerajaan yang digunakan gurantang perang melwan raksasa itu. Di kejauhan dari atas pohon besar, Cupak pun terus menyaksikan bagaimana adiknya berperang melawan Raksasa di dalam gua itu. Tidak diketahui berapa lama berlangsungnya. Perang pun terus berlanjut hingga di luar gua. Akhirnya, raksasa pun bisa di kalahkan oleh gurantang.
Cupak mencoba turun ke dalam gua untuk mencari sang putri. Namun sang Cupak hanya turun hingga pertengahan gua. Lalu kembali naik ke atas, karena Cupak khawatir jangan-jangan masih ada raksasa lainnya yang ada di dalam. Kemudian Cupak menyuruh adiknya saja yang turun ke gua mencari dan menyelamatkan sang putri. Pendek cerita akhirnya sang putri ditemukan di dalam gua raksasa itu, lalu di bawa naik oleh gurantang.
Bagian Ke- Empat :
Cupak Kecewa di Tolak Putri Candra Wulan Sasih Hingga Menzholimi Adiknya Gurantang
Dalam perjalanan pulang, Cupak membujuk sang putri, ketika nanti di tanya oleh Prabu Daha (ayahandanya) agar mengatakan Raden Cupaklah yang membunuh Raksasa itu. Berbagai bujuk dan rayu yang lancarkan sang Cupak. Disamping itu, Cupak juga merayu sang putri agar dia mau di kawinkan dengannya, namun putri Candra Wulan Sasih tidak mau dan tetap bungkam. Akhirnya Cupak kehabisan akal. Berbagai strategi telah dilakukannya, namun sang putri tetap pada pendiriannya, karena memang bertentangan dengan kenyataan yang dilihatnya, bahwa bukan Cupak yang membunuh raksasa yang menculiknya melainkan Gurantang.
Dengan kondisi tersebut, lalu Cupak berpura-pura memanggil raksasa agar sang putri di ambil lagi. Hal ini dilakukan Cupak, karena dirinya berfikir sudah tidak mungkin ada raksasa lain lagi yang masih berkeliaran sedang mencari mangsanya yang belum kembali. Sebab raksasa yang menculik sang putri sudah mati. Dugaan Cupak inipun meleset. Ternyata masih ada satu lagi yang masih berkeliaran. Maka sang putri pun di sambar lagi dari tangan sang Cupak dan di larikan ke dalam guanya.
Maka dengan rasa penyesalan yang sangat mendalam, Cupak pun bersama adiknya Gurantang kembali ke gua tersebut. Singkat cerita, maka raksasa pun berhasil dibunuh oleh Gurantang. Sang Putri berhasil di selamatkan kembali. Namun setelah putri berhasil keluar dari dalam gua dengan menggunakan tali laso, Gurantang tertinggal dalam gua, karena ketika giliran Gurantang diangkat, tali laso terputus, karena memang sengaja di putuskan oleh Cupak. Jadilah Gurantang seorang diri dalam gua, yang keberadaannya tidak diketahui berapa lama tinggal di dalam gua yang gelap dan berbau amis itu.
Dalam takepan lontar kasmaran tersebut di ceritakan, setelah raksasa berhasil di bunuh oleh Gurantang dan sang putri juga berhasil di selamatkan, oleh Cupak kemudian mengajak sang putri pulang kembali ke istana menghadap Prabu Daha (ayahanda sang putri) untuk menepati janjinya. Dihadapan Prabu Daha Cupak pun menagih janji untuk segera di kawinkan dengan putri Candra Wulan Sasih.
Setibanya di istana, Cupak diterima langsung oleh Prabu Daha sendiri yang didampingi para pembesar kerajaan, termasuk kedua Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegaran. Di hadapan Datu Daha dan para pembesar kerajaan itu, Cupak kembali berpesan, jika ada orang yang kurus kerempeng yang datang dan berkeliaran di luar istana dan mengaku dirinya gurantang adiknya, maka di bunuh saja, itu musuh kerajaan, kata Cupak. Hal ini tiada lain adalah akal licik Cupak supaya tidak ada penghalang baginya untuk dapat mempersunting putri Datu Daha Candra Wulan Sasih.
Bagian Kelima :
Kasmaran di Bunuh dan di Pungut Keluarga Amaq Bangkol

Kocap cerita, di sebuah gubuq kecil nun jauh di pinggir hutan alas bana, tinggallah sepasang suami isteri yang sudah berpuluh-puluh tahun tinggal bersama belum juga di karuniai seorang anak. Sepasang suami isteri ini, tidak lain adalah Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol. Disebut demikian karena memang kedua-duanya mandul. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari,Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol bekerja dan berprofesi sebagai petani ladang. Itulah yang dikerjakannya bertahun-tahun, sehingga tidak terasa rambut pun sudah mulai memutih, badan mulai bongkok, berjalan menggunakan tongkat serta gigi pun sudah mulai rontok. Suatu hari, tersebutlah kedua Mahapatih kerajaan Daha yaitu Mangkubumi dan Mangkunegaran berpatroli hingga memasuki hutan alas bana (hutan tarik) pinggir wilayah kekuasaan kerajaan Daha dimana Inaq Bangkol dan Amaq Bagkol tinggal.

Di lain tempat, di ceritakan, Kasmaran yang sudah lama tinggal di dalam gua, akibat akal licik kakaknya Montong Ulung, suatu saat dengan menggunakan tulang rusuk atau taring raksasa yang berhasil di bunuhnya, ia memanjat tebing gua tersebut berusaha keluar. Dengan berusaha sekuat tenaga walau tubuhnya kurus kerempeng tinggal kulit pembalut tulang, akhirnya berhasil keluar dari dalam gua itu. Dia berusaha bangkit dan berjalan tertatih-tatih menyusuri tebing, lembah, keluar hutan, masuk kampung, itu semua di laluinya. Hingga akhirnya tiba di sekitar halaman  istana Kerajaan Daha dimana kakaknya Montong Ulung berada.
Di saat kedua Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegara berpatroli di sekitar istana, tiba-tiba di lihatnya sesosok bayangan manusia yang kurus kerempeng tinggal kulit pembalut tulang memasuki lingkungan istana kerajaan. Lalu kedua Mahapatih itu mencegat dan menangkapnya. Karena mereka pikir bahwa itulah musuh kerajaan sesuai dengan pesan Montong Ulung (Cupak) di hadapan para pembesar kerajaan Daha pada saat berhasil menyelamatkan sang putri Candra Wulan Sasih dari cengkraman raksasa yang telah di bunuhnya beberapa waktu lalu.
Maka sesosok bayangan manusia itu pun setelah ditangkap,  lalu dibawa ke pinggir hutan dadapan untuk di bunuh dan mayatnya di buang ke kali. Namun apa yang terjadi kemudian dan berapa lama mayat Kasmaran berada di kali itu? Dalam kitab takepan lontar kasmaran di ceritakan, bahwa setelah Kasmaran di bunuh oleh kedua Mahapatih Mangkubumi dan Mangkunegaran, lalu di buang ke kali yang ada di tengah hutan dadapan (hutan tarik), itu tidak di ketahui.
Sebenarnya, maksud dan tujuan Kasmaran datang ke istana Kerajaan Daha kala itu adalah disamping mencari kakaknya, juga sekaligus ingin melaporkan hal ikhwal sebenarnya terjadi, sehingga nasibnya seperti itu. Namun apa pun alasannya, kedua Mahapatih itu tidak menggubrisnya. Malah Kasmaran di adili, di usir dan mereka bunuh serta mayatnya di buang di kali Sampururang (perbatasan Bayan-Sesait) yang ada di tengah hutan tutupan (dadapan= tarik= alas bana).
Sementara itu, di tepi hutan alas bana dimana Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol bertempat tinggal dan bercocok tanam. Mereka bekerja berhuma di ladang miliknya sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Dalam menjalani rotasi kehidupan sepasang keluarga yang tidak memiliki keturunan ini, sebagaimana biasanya di setiap mulai bekerja di ladang milik mereka, saban hari Amaq Bangkol selalu mengganggu Inaq Bangkol. Walau usia mereka sudah tidak semuda dulunya, namun mereka tetap hidup bahagia meskipun Amaq Bangkol sering menjahili Inaq Bangkol..Itupun tidak terlalu lama, mereka akur kembali.
Di ceritakan, sampai pada suatu saat, sementara menunggu hasil panen di huma mereka, Inaq Bangkol ngidam kepingin makan udang merah ekor. Mendengar keinginan Inaq Bangkol ini, Amaq Bangkolpun sangat bahagia mendengarnya. Lalu ia merespon dengan mengajak Inaq Bangkol pergi ke kali (Lokok) Sampururang untuk mencari dan menangkap udang yang dimaksud.
Dengan perasaan lega bercampur bahagia, keduanya pun berangkatlah menuju kali yang dimaksud dengan membawa peralatan penangkap udang (kodong). Sesampainya di kali tersebut, maka mulailah Amaq Bangkol memasang kodong di sela-sela bebatuan di tengah kali itu. Selain memasang alat perangkap, Amaq Bangkol pun mencari dan menangkap udang dengan menggunakan sorok yang di sosoh dan di susupkan di sela-sela bebatuan yang ada di kali itu. Berkali-kali Amaq Bangkol selalu gagal mendapatkan udang. Jangankan udang yang di dapatkan, malah yang tertangkap adalah kayu, sandal bekas dan lain sebagainya. Amak Bangkol pun hampir putus asa. Namun karena selalu di hibur oleh Inaq Bangkol bahwa itu merupakan ujian kesabaran, maka di sarankan agar mencoba kembali siapa tahu ada rejeki nomplok. Maka Amaq Bangkol pun mencoba menyorok kembali di sela-sela bebatuan itu, sementara Inaq Bangkol mengikut di belakang. Tiba-tiba sorok Amaq Bangkol nyangkut di salah satu kubangan yang ada disekitar batu besar yang ada di kali itu. Setelah diangkat dan di bawa ke pinggir, betapa terkejutnya kedua insan yang sudah lama mendambakan keturunan ini. Ternyata yang mereka tangkap adalah sesosok anak manusia.
Akhirnya, niat Inaq Bangkol ingin makan udang merah ekor menjadi urung, karena saking bahagianya mendapatkan seorang anak manusia, lalu mereka membawanya pulang. Dengan senyum sumringah bercampur bahagia, Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol bergegas ingin cepat sampai di gubuq reotnya. Dalam hati mereka timbul rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas anugerah yang telah di berikan kepada hamba-Nya yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya menunggu kehadiran seorang anak. Maka anak manusia yang ditemukan itu pun di rawat dan besarkannya serta di berikan nama Kasmaran.
Bagian Ke-Enam :
Kebenaran Selalu Menang Diatas Kejahatan

Kocap cerita, tersebutlah di kalangan istana Kerajaan Daha kala itu sedang berlangsung pesta besar 7 hari 7 malam. Pesta besar dan meriah ini dilakukan adalah dalam rangka memenuhi janji Prabu Daha untuk mengawinkan putrinya dengan Raden Cupak sang penyelamat putri Daha dari cengkeraman Raksasa Kalimandaru yang telah menculiknya serta berhasil membunuhnya. Itulah sebabnya Prabu Daha mengkarya 7 hari 7 malam dengan menghadirkan seluruh kaula balanya (rakyatnya). Tidak ketinggalan para pepadu pilih tanding dari berbagai negeri pun di undang. Sehingga semua pepadu yang hadir itu berkesempatan untuk saling menjajal kekuatan kanuragan masing-masing. Namun di ceritakan dalam takepan lontar kasmaran itu, semua pepadu yang hadir tidak mampu menandingi atau melawan Raden Cupak yang nota bene nantinya akan menjadi menantu Prabu Daha.

Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol yang walau tinggal jauh dari pusat kerajaan, namun suara bunyi-bunyian terdengar sayup-sayupnya dari kejauhan. Kasmaran yang tinggal bersama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol pun mendengar bahwa Prabu Daha mengadakan pesta besar itu adalah dalam rangka memenuhi janjinya kepada Raden Cupak untuk mengawinkan putrinya karena berhasil membunuh raksasa dan menyelamatkannya.
Mendengar berita tersebut, Kasmaran yang di hianati oleh kakaknya sendiri merasa geram bercampur marah yang tidak bisa di bendung. Maka Kasmaran pun mengajak Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol pergi ke istana untuk sekedar menonton. Kasmaran juga tidak pernah menceritakan nasib sebenarnya yang telah menimpa dirinya. Siapa sebenarnya dirinya, itupun tidak pernah di ceritakan kepada siapapun, termasuk kepada Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol sendiri. Setiba di alun-alun istana, mereka mengambil tempat di pojok timur laut dari arena hiburan. Bermacam-macam hiburan ditampilkan, mulai dari kesenian sireh, baris, legong, joget dan kesenian khas kerajaan lainnya ikut pula meramaikan malam puncak pesta Datu Daha itu.
Setelah agak lama menunggu, maka acara yang sangat di tunggu-tunggu oleh para penonton pun dimulai, yakni tampilnya para pepadu atau jawara-jawara pilih tanding dari berbagai negeri. Para jawara ini akan mengadu kesaktian ketangkasan dalam Prisean. Dimana prisean ini adalah kesenian trdisional yang memang membutuhkan nyali besar untuk bisa mencobanya.Tidak tanggung-tanggung alat yang di gunakan dalam prisean adalah rotan yang diberi balutan di ujungnya menggunakan besi atau sejenisnya sebagai alat pemukul dan kulit kambing atau kerbau sebagai ende atau perisainya. Adapun para pepadu yang akan bertanding dalam prisean di haruskan membuka baju atau telanjang dada dan mereka akan beradu dalam beberapa ronde (biasanya 5 ronde) yang di pimpin seorang pekembar (wasit).
Diceritakan, setelah seluruh jawara atau para pepadu pilih tanding sudah tampil dan semuanya kalah oleh pepadu calon mantu raja yaitu Raden Cupak sendiri. Maka Raden Cupak pun sesumbar di tengah arena bahkan menantang siapa saja dari para penonton yang berani melawannya, dipersilahkan maju. Raden Gurantang yang sejak tadi sudah berada di tengah-tengah kerumunan para penonton menjadi geram. Sepontan saja dirinya berdiri dan tampil di tengah arena sembari membalas tantangan Raden Cupak yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
Raden Cupak begitu melihat yang tampil, menjadi terkejut dan keder. Ternyata adiknya masih hidup. Dirinya sangat menyesal telah menyia-nyiakan serta memperdaya adiknya di dalam gua. Sekarang, sudah kepalang tanggung, mau mundur, takut ketahuan belangnya. Dalam keadaan terpaksa, Cupak pun melawan adiknya sendiri.
Putri Candra Wulan Sasih yang sejak tadi duduk di tribun istana sambil memperhatikan para jawara bertarung, pandangannya kosong, yang difikirkannya adalah siapa gerangan yang telah berani membunuh dan masuk ke gua raksasa untuk menolongnya. Namun pada saat masih di dalam gua, dirinya sempat memberikan sebuah cincin permata kepada Kasmaran sebagai kenangan agar suatu saat dapat mengenali penolongnya.
Kocap cerita, ketika Kasmaran  mulai mengangkat perisainya, Putri pun melihat Cincin yang di pakai pemuda itu. Putri berfikir mungkinkah Pemuda itu yang pernah menyelamatkan dirinya ketika masih di dalam gua dulu. Dimana sang Putri pernah memberikan sebuah cincin kepadanya sebagai bentuk syukur dirinya di selamatkan dari raksasa. Ternyata mereka sudah saling mengenal satu sama lainnya. Pertarungan  prisean antara Raden Cupak dan Raden Gurantang pun di gelar dan di saksikan oleh seluruh pembesar kerajaan, termasuk Prabu Daha sendiri dan seluruh rakyat kerajaan Daha. Dalam pertarungan prisean tersebut di menangkan oleh Raden Gurantang. Lalu sang Putri memanggil pemuda tadi yang tidak lain adalah Raden Gurantang dan di perkenalkan kepada Prabu Daha bahwa inilah pemuda yang pernah menolongnya dari gua raksasa dan bukan Raden Cupak.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         
Akhirnya, perkawinan antara Putri Candra Wulan Sasih yang seharusnya dengan Montong Ulung, batal dilakukan dan putri selanjutkan dikawinkan dengan Kasmaran. Montong Ulung, saking malunya karena batal kawin, lalu pihak kerajaan mengusirnya dan pergi ke Pulau Jawa (Betawi). Akhir cerita, kebenaran selalu menang diatas kejahatan.(eko)